Sore itu, angin berhembus lembut di sekitar mereka. Langit yang mulai berwarna jingga membuat suasana semakin syahdu. Namun, Ilona merasakan sesuatu yang lain. Hatinya bergemuruh, dadanya berdebar kencang. Kata-kata Bu Hikmah masih terngiang di telinganya.
“Siapa, Bu? Rasanya aku tidak meninggalkan urusan yang belum selesai saat pergi dari kampung,” ujar Ilona penasaran.
“Seorang wanita datang mencari ibumu, tapi setelah dicermati, dia mencari kamu.” Bu Hikmah menjelaskan sambil menatap mata Ilona dengan begitu dalam.
Ilona mengernyitkan keningnya. "Maksudnya gimana, Bu?" tanyanya, merasa janggal.
Bu Hikmah menatapnya dengan mata penuh perhatian, seolah menyadari kebingungan yang menghantui Ilona. Karena amanah orang ini juga bu Hikmah akhir-akhir
Angin sore berhembus lembut, menyapu rambut Ilona yang tergerai. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat jingga yang memantul di permukaan air laut. Namun, semua keindahan itu tak mampu mengusir gelombang kegelisahan yang tengah menguasai hatinya.Apa yang dikatakan oleh bu Hikmah hari ini mengganggu pikirannya. Semua perasaan bercampur menjadi satu. Dia tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti dia merasa marah, emosi yang memuncak yang menguasainya.“Terima kasih, Bu,” ucap Ilona kepada Bu Hikmah dengan suara yang sedikit bergetar.Bu Hikmah menatapnya dengan penuh kasih. “Kamu kuat, Ilona.”Ilona mengangguk pelan, meski di dalam dirinya ia merasa jauh dari kata kuat.Setelah berp
Malam sudah larut, tapi Ilona masih duduk, menatap kosong ke arah langit yang bertabur bintang yang menembus pintu kaca di samping. Udara dingin berhembus pelan melalui celah-celah, menyapu kulitnya yang terbuka di balik cardigan tipis yang ia kenakan. Namun, hawa malam tak mampu mendinginkan badai yang berkecamuk dalam dadanya.Di sampingnya, Egar masih setia menemani, menggenggam jemarinya yang terasa dingin. Ia tahu, pikiran istrinya sedang berkelana jauh."Sayang," suara Egar lembut, penuh ketenangan. "Bukankah kamu percaya kalau semuanya adalah takdir Tuhan? Tuhan tahu kapan waktu yang tepat. Mungkin jika dulu Ibu menemui kamu, akan terjadi sesuatu yang lebih menyakitkan bagimu. Dan mungkin sekaranglah waktunya."“Semua sudah diatur oleh Tuhan, berbaik sangka lah kepada sang pencipta. Dia lah yang lebih t
Malam semakin larut, tapi mata Ilona masih terbuka lebar. Pikirannya terus berputar pada satu hal—pesan yang ia kirim tadi belum juga mendapat balasan. Layar ponselnya masih menampilkan tanda centang satu abu-abu. Itu berarti pesan itu belum terkirim ke penerima.Apakah wanita itu sedang tidur? Atau sengaja mengabaikan pesannya? Atau mungkin nomor itu sudah tidak aktif lagi? Tapi, aneh kalau tidak aktif lagi, untuk apa dia meninggalkan nomor itu kepada bu Hikmah?“Kamu belum mengantuk?” tanya Egar kepada sang istri.“Belum. Masih ingin menikmati malam ini, diluar sangat gelap,” jawab Ilona.“Iya, sepertinya mau hujan.”“Atau, alam tahu bagaimana perasaanku?” kekeh Ilona da
Rumah itu sunyi saat Egar pulang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua siang. Yumi dan Gana, buah hati mereka, sedang tidur siang, membuat suasana rumah begitu tenang.Egar meletakkan tasnya di meja dekat pintu lalu berseru, "Sayang, aku pulang."Ilona, yang sedang membaca di perpustakaan kecil mereka, segera menutup bukunya dan turun menemui sang suami. Senyum lembutnya menyambut kepulangan pria yang selalu menjadi tempatnya bersandar."Kamu sudah makan?" tanyanya sambil mendekat.Egar mengangguk. "Sudah tadi sekalian makan dengan penanggung jawab supermarket. Maaf ya gak kabarin kamu kalau makan di luar."Ilona tersenyum kecil. "Gapapa, kalau belum makan, aku bisa ambilkan nasi."
Suasana rumah tetap sunyi setelah panggilan telepon itu berakhir secara tiba-tiba. Ilona menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Dan itu pastinya akan membuat Ilona merasa kesal."Kok mati?" gumamnya, merasa heran.Wanita itu yang meneleponnya lebih dulu, tetapi justru sekarang memutuskan sambungan begitu saja. Ilona masih penasaran dengan kata-kata terakhir yang diucapkan wanita itu, terutama mengenai "sebelum terlambat." Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar begitu mendesak, seolah ada hal yang harus dikatakan secepatnya. Tapi, kenapa malah dimatikan?Egar, yang sedari tadi memperhatikan ekspresi istrinya, mendekat dan menyarankan, "Telepon balik saja."Namun, Ilona menggeleng cepat. Ada gengsi yang masih menguasai dirinya. Untuk apa aku menelepon balik?
Ilona masih menatap layar ponselnya yang kini kembali diam. Sesaat setelah memberikan alamat rumahnya kepada wanita itu—seseorang yang mengaku sebagai ibu kandungnya—hati Ilona terasa campur aduk. Ragu, takut, penasaran, dan marah bercampur menjadi satu.Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau justru sebuah kesalahan besar. Dia tacit, memberikan alamat rumahnya, itu artinya membiarkan orang lain masuk ke dalam rumah mereka.Egar, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan raut wajah istrinya dengan penuh pengertian. Ia tahu, Ilona pasti tengah bergelut dengan perasaannya sendiri.“Tidak, ini adalah keputusan yang tepat,” ucap Egar sambil tersenyum.Ilona menoleh padanya, menatapnya dengan mata penuh keraguan. "Kenapa?" tanyanya pelan.
Egar mengangkat tangan ke udara dengan penuh semangat. “Kita akan beli es krim!” serunya dengan nada riang, membuat Yumi bersorak gembira.“Horee…”“Terima kasih, Papa.”Ilona tertawa kecil melihat suaminya yang tampak begitu bahagia. Begitu pula Yumi, putri kecil mereka yang hampir berusia empat tahun, melompat-lompat kegirangan di sampingnya.Hari ini benar-benar menyenangkan. Bermain di taman, menikmati makanan sederhana di pinggir jalan, tertawa bersama tanpa beban.Di tengah perjalanan pulang, mereka bernyanyi bersama di atas motor. Suara kecil Yumi yang ceria bercampur dengan suara Egar yang sengaja dibuat lucu untuk menghibur putri mereka. Ilona yang duduk di belakang ikut ter
Tepat pukul sepuluh pagi…Suara deru mesin mobil memenuhi halaman rumah Egar dan Ilona. Sebuah mobil mewah hitam perlahan memasuki halaman itu, kontras dengan suasana sederhana di sekitarnya. Ilona yang tengah menggendong Gana, menghentikan langkahnya, menatap kendaraan itu dengan kening berkerut.Egar yang baru saja keluar dari dapur pun ikut berhenti di ambang pintu, matanya memperhatikan mobil tersebut dengan penuh selidik. Karena, selama ini tidak pernah ada mobil mewah yang bertandang ke rumah mereka, kecuali Nyonya Bira.“Apakah itu dia?” tanya Ilona, suaranya terdengar ragu dan penuh emosi yang tertahan.Egar menggeleng samar. “Gak tahu. Tapi, kan beda kota. Kalau memang beliau,berarti tiba disini langsung sewa mobil. Kirain dari bandara k
Malam itu, kamar terasa hangat bukan karena suhu, tapi karena hati yang saling menemukan tempat berteduh. Ilona tertidur dalam pelukan Egar, setelah perbincangan panjang yang mengguncang perasaannya. Mereka membicarakan Kezio, luka yang belum sembuh, dan rasa bersalah yang belum pergi. Tapi dibalik itu semua, mereka punya satu hal yang membuat beban terasa lebih ringan—cinta.Cinta yang membuat mereka saling menguatkan, saling mendengar.Egar memandangi wajah Ilona yang akhirnya tertidur. Ujung mata Ilona masih tampak sedikit basah, tapi kini lebih tenang. Ia mengusap lembut rambut istrinya dan membisikkan pelan, “Semua sudah ditakdirkan bertemu, tidak perlu disesali.”Dan malam itu, mereka akhirnya terlelap dalam pelukan. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok, tapi mereka yakin: masalah apa
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Langit yang biasanya penuh bintang kini hanya dihiasi awan kelabu, seakan menyimpan semua rahasia bumi. Di dalam kamar yang remang-remang, Ilona berbaring di sisi tempat tidur, matanya terbuka menatap langit-langit. Beberapa kali ia membalikkan tubuh, menarik selimut, lalu melemparkannya lagi. Hatinya berkecamuk.Egar, yang sedari tadi berpura-pura tidur, akhirnya membuka mata. Ia menoleh, memperhatikan gerak-gerik istrinya. Ia tahu, Ilona bukan sedang kesulitan tidur karena hal sepele. Ada sesuatu yang berat menekan pikirannya.“Kenapa? Gak bisa tidur?” tanya Egar dengan suara lembut, nyaris berbisik.Ilona menghentikan gerakannya. Perlahan ia duduk di atas ranjang, menatap Egar dengan sorot mata yang letih. “Iya,” jawabnya pelan, suaranya seperti
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu