Ayu semakin panik. Situasi ini terasa menjeratnya dalam jebakan tanpa jalan keluar.
"Ngapain sih Mas Baim tanya terus?" batinnya resah. "Aku nggak mungkin jujur kalau aku jatuh cinta sama dia, kan? Di kontrak itu sudah jelas tertulis... kita nggak boleh terlibat secara emosi."
Ia menggigit bibirnya, tetap enggan menatap Baim.
Baim hanya tersenyum kecil, seakan sudah memahami semuanya.
Perlahan, ia semakin mendekat. Ayu menahan napas, jantungnya semakin tak menentu.
Tapi ternyata—
Baim menunduk, bukan ke arahnya, melainkan ke bayi mungil dalam pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup kening Srikandi.
"Sayang..." bisiknya penuh kasih, "Papa berangkat kerja dulu, ya. Kamu jangan rewel, oke?"
Ayu menatapnya dalam diam. Cara Baim memperlakukan si kembar, kehangatan yang selalu ia tunjukkan pada anak-anak i
"Indri?"Suara Ayu terdengar tenang, namun tatapannya penuh selidik. "Kamu belum selesai membersihkan kamar ini?"Indri menegakkan tubuhnya, menampilkan senyum setengah. Ia menyeringai kecil, berusaha terlihat santai meskipun jantungnya masih berpacu."Sudah, kok," katanya ringan, meraih perlengkapan kebersihan yang tadi nyaris ia lupakan. "Ini aku mau balik ke bawah."Ia menyelipkan pel ke dalam ember, menarik gagangnya dengan sedikit lebih keras dari seharusnya."Permisi, ya," tambahnya, sebelum melangkah cepat melewati Ayu, meninggalkan kamar itu dengan kepala penuh pertanyaan yang terus berputar.Di area dapur, aroma tumisan bawang bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membantu Bik Imah menyiapkan sarapan. Bunyi piring beradu dan suara gemericik air dari keran memenuhi ruang
Hening. Tak ada yang berbicara. Yang terdengar hanyalah suara penyiar berita yang terus menjelaskan latar belakang rekaman itu.Namun, satu hal yang pasti—semua orang di dapur kini terpaku pada layar, dengan pikiran yang penuh tanda tanya.Tak satu pun dari mereka berkedip. Semua mata terpaku pada layar televisi, menatap sosok Ayu yang masih terpampang jelas dalam rekaman berita."Ayu menantu gubernur?" suara Fatima terdengar gemetar.Mereka saling pandang, seolah berharap ada yang bisa memberikan jawaban masuk akal. Tapi tak ada yang bersuara.Indri, yang masih memproses informasi di kepalanya, akhirnya bersandar di kursi. Tangannya terlipat di atas meja makan. "Menurut kalian, apa Pak Baim tahu soal ini?"Sari, yang sejak tadi diam, akhirnya menatap Indri. "Kalau dia gak tahu, gimana?"Indri menarik napas, lalu menyilangkan tangan di dadanya. Matanya menyipit, seakan mencoba menyusun kepingan teka-teki yang baru saja terbuka.
Mata Baim teduh saat mendapati para karyawannya membicarkan tentang Ayu. Tapi sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kebingungan yang tak mudah terjawab. Telinganya dipaksa menangkap setiap kata buruk yang keluar dari mulut mereka. Tatapannya menunduk, pikirannya berputar. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Ayu?" Kelopak matanya turun, hatinya semakin dipenuhi tanda tanya. Meski para karyawannya terus membicarakan hal buruk tentang Ayu, Baim tak ikut terpengaruh. Justru, rasa penasarannya semakin dalam. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya ingin mencari tahu lebih jauh. Tanpa berpikir lama, ia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Mesin menderu pelan saat ia mulai berkendara menuju hotelnya. Namun, pikirannya tak tenang. Seribu pertanyaan tentang Ayu berputar di kepalanya, seakan menggema tanpa jawaban. Beberapa menit berlalu. Perasaan gelisah
Umi Euis menatapnya dengan sorot penuh keraguan. Jemarinya meremas ujung kerudungnya, seakan enggan mengungkapkan sesuatu yang terlalu berat."Soal itu…" Umi menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. "Umi gak bisa cerita banyak, Nak. Sebaiknya… Nak Baim bertanya langsung saja pada Ayu."Hening.Baim menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban lain di wajah wanita itu. Tapi Umi Euis hanya tersenyum tipis—senyum yang penuh makna, tapi juga terasa menahan banyak hal yang tak bisa diungkapkan.Baim mengepalkan tangannya di atas pahanya. "Umi… apakah benar berita yang sedang ramai di televisi itu?"Umi Euis terdiam sesaat. Matanya berkabut, seakan ada beban berat di hatinya. Lalu, dengan suara bergetar, ia menjawab,"Itu gak benar, Nak…"Baim menahan napas."Ayu…" Umi melanjutkan, suaranya terdengar begitu lirih. "Dia adalah korbannya. Bukan seperti yang ramai dibicarakan." Ia mengalihkan pandangan, seperti tak sang
Genggaman tangan Baim mengerat, jari-jarinya mencengkeram erat ponsel, seolah ingin meremas harapan yang tersisa di dalamnya. Hening menyelubungi ruangan, hanya suara detak jam yang terdengar seperti pengingat waktu yang terus berjalan—tanpa peduli pada perasaan siapa pun.Tiba-tiba, Baim berbalik. Langkahnya mantap menuju meja kerja. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di sana. Ada sesuatu yang mendesak dalam dadanya, dorongan yang tak bisa ia abaikan."Aku harus menemui Ayu."Tanpa pikir panjang, ia melangkah keluar. Perasaannya berbisik—entah kenapa, kali ini, ia merasa Ayu lebih membutuhkan dirinya daripada siapa pun.Di dalam rumah Baim, Ayu merasakan botol minum di tangannya bergetar. Suasana di dapur terasa begitu dingin, bukan karena udara, tapi karena tatapan dan sikap yang baru saja ia terima.Fatma dan Sari, yang biasanya ramah, bahkan tak menoleh ke arahnya. Indri tersenyum sinis. "Menantu Gubernur yang terhormat..
Suara Baim terdengar tegas, tak memberi ruang untuk dibantah.Ayu hanya bisa menurut, langkahnya tertatih mengikuti derap kaki Baim yang panjang dan tergesa. Jantungnya berdegup kencang—bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga kebingungan yang semakin menyesakkan dadanya."Mas… ada apa?" Suaranya lirih, hampir bergetar.Baim tak menoleh."Diam dan ikut saja."Dingin. Tajam. Tak terbantahkan.Ayu menelan ludah. Ia tidak tahu ke mana Baim akan membawanya. Tapi satu hal yang pasti—di tengah kemarahan semua orang, pria ini masih mau menggenggam tangannya.Genggaman itu erat, kuat, seolah tak ingin melepaskannya begitu saja.Tanpa sepatah kata pun, Baim menariknya keluar rumah. Langkahnya tegap, penuh ketegasan yang tak bisa dilawan. Ayu hanya bisa mengikuti, tubuhnya terbawa dalam arus yang lebih besar darinya.Langit mulai berpendar keemasan, matahari condong ke barat, mewarnai sore dengan semburat jingga
Tentang pernikahan yang Ayu jalani tanpa cinta. Tentang perlakuan keluarga Gubernur itu terhadapnya. Tentang luka yang selama ini ia pendam sendirian."Atau… haruskah aku tetap menyimpan semuanya sendiri?"Ia menundukkan kepala, jemarinya saling meremas di pangkuan. Pikirannya terus berputar, membentuk simpul ketakutan yang semakin menjeratnya.Bukan lagi cemoohan orang-orang yang ia takutkan.Tapi kemungkinan kehilangan mereka.Si kembar.Jantungnya berdebar keras hanya dengan membayangkan skenario terburuk—jika Baim lebih mempercayai tuduhan para karyawan dibanding dirinya. Jika pria itu mulai berpikir bahwa ia hanya memanfaatkan anak-anaknya untuk mendapatkan simpati."Bagaimana jika… Mas Baim memisahkanku dengan si kembar?"Bayangan itu begitu menyesakkan, menghantam dadanya dengan kepanikan yang sulit dikendalikan.Namun, di antara semua ketakutan itu, Ayu tetap memilih diam.Ia tidak menj
"Bulan ini… saya nggak usah digaji aja ya. Buat ganti bayar ponselnya."Baim meraih kembali kartu debit yang baru saja dikembalikan karyawan toko, sementara struk pembayaran masih tergenggam di tangannya. Ia menatap Ayu lekat, seakan memastikan sesuatu di dalam dirinya."Aku beliin ini buat kamu." Suaranya pelan, tapi tegas. "Kamu nggak perlu menggantinya."Ayu terpaku. Tatapan Baim terlalu dalam, terlalu lama, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tanpa kata-kata. Jantung Ayu berdegup keras. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, menunduk, meremas tali tasnya. Tidak boleh. Ia tidak boleh membiarkan dirinya terseret lebih jauh ke dalam perasaan ini.Tak lama, Baim mengulurkan sebuah tas belanja kecil ke arahnya."Ini," katanya ringan. "Di dalamnya sudah terpasang kartu. Aku juga sudah menyimpan nomorku."Ayu terdiam sejenak sebelum akhirnya meraih tas itu den
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal
"Malam, Pak Baim," sapa para karyawan hampir bersamaan.Di ruang TV, mereka sedang duduk, berselonjor santai di karpet sambil menikmati tayangan ringan."Malam," jawab Baim singkat, lalu menoleh ke arah Fatma yang duduk di ujung sofa. "Laura sudah pulang?"Fatma menggeleng pelan. "Belum, Pak."Baim melirik jam dinding yang berdetak pelan di ruang tengah, menandai pukul sembilan malam lewat sepuluh menit.Sekilas raut kecewa terlintas di wajahnya, tapi ia menyembunyikan itu dengan anggukannya yang tenang."Si kembar sudah tidur?"Sari, yang baru muncul dari dapur, menjawab sambil menyeka tangannya dengan serbet. "Tidur di kamar Ayu, Pak. Tadi Ayu minta... katanya cuma malam ini."Baim tidak berkata apa-apa. Tapi senyum kecil sempat muncul, nyaris tak terlihat. "Baiklah. Nikmati waktu santai kalian."Ia melangkah naik ke lantai dua. Rumah terasa semakin sunyi saat suara langkahnya menjauh dari ruang bawah
"Apa? Selingkuh?" seru Fatma, terperangah. "Jangan asal tuduh, Indri. Fitnah itu berat!"Indri segera menarik tubuhnya ke belakang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Ya… siapa tahu, kan? Kalau bukan karena itu, terus mereka bertengkar gara-gara apa?"Sari menoleh dengan ekspresi malas menanggapi, tapi akhirnya berkata, "Tadi mereka sempat debat. Bu Laura maksa main sendiri. Dia gak mau gendong si kembar bareng Ayu. Bapak kelihatan jengkel."Fatma mengangguk setuju, menurunkan suaranya meski tak ada siapa-siapa lagi di dalam rumah. "Iya, kayaknya Bu Laura gak tulus deh, ingin dekat sama si kembar. Dia mungkin cuma ngerasa kalah aja sama Ayu. Makanya si kembar direbut terus, biar nggak terlalu deket sama Ayu."Indri berkedip cepat, tak yakin. "Ah masa sih Bu Laura begitu, sih?"Sari menyandarkan diri ke kursi, matanya menatap kosong ke arah pintu depan. "Awalnya
"Kamu mau ninggalin aku gitu aja, Mas?" Laura berteriak, berharap Baim menghentikan langkahnya."Mas Baim... Berhenti!"Namun Baim terus berjalan. Tanpa menoleh, tanpa sedikit pun memberi isyarat bahwa ia mendengar. Seolah suara Laura hanyalah angin lalu.Seketika, dunia Laura terasa sunyi. Yang tersisa hanya bayangan punggung suaminya yang menjauh—dan keheningan yang menyakitkan."Mas... Aku bilang gak mau pulang!"Meski begitu, ia masih terus berteriak sembari berlari kecil mengikuti langkah Baim yang semakin menjauh.Ia berteriak sembari setengah berlari mengejar Baim, langkahnya terantuk emosi. Tapi gerakannya terhenti mendadak saat getaran ponsel terasa di dalam tas.Satu pesan masuk.Matanya menyipit, bibirnya tertarik membentuk senyum tipis—senyum yang bukan bahagia, tapi mengandung api
"Benar, kan, Pak Baim? Anda yang menyebabkan Ayu meninggalkan rumah?" tanya salah satu awak media, lantang.Seketika, Laura menoleh pada Baim. Tatapannya menuntut penjelasan. Ada ribuan pertanyaan yang tak pernah terucap, namun semuanya terpancar jelas dari sorot matanya."Mas... apa benar yang mereka katakan?" tanya Laura lirih.Baim membeku. Napasnya tertahan. Wajahnya tegang, tapi bibirnya enggan bergerak."Maaf..." ucapnya akhirnya, pelan nyaris tak terdengar. "Kalian keliru."Tanpa memberi ruang untuk pertanyaan lanjutan, Baim menggenggam tangan Laura dan menariknya pergi. "Ayo, Laura. Kita pergi sekarang."Suara kamera menjepret dan teriakan wartawan memburu langkah mereka, tapi Baim tak menghentikan langkah.Laura menoleh sejenak, bibirnya tertutup rapat. Bukan karena malu, melainkan karena ingin tahu—apakah kali ini Mas Baim akan kembali melindungi Ayu?Namun kerumunan awak media belum menyerah. Mereka t
Langkah Baim dan Laura menjauh, dan suara tawa Laura terdengar sayup, menggema di ruang yang kini terasa kosong bagi Ayu. Satu-satunya yang tersisa hanyalah keheningan—dan lengan Ayu yang masih terasa hangat meski tak lagi memeluk siapa pun.Mereka akhirnya berangkat menuju Playtopia di Senayan Park. Kedua pengasuh, Fatma dan Sari, berjalan di belakang sambil menggendong si kembar yang masih terlelap.Sesaat sebelum masuk ke mobil, Baim melirik ke arah mereka. "Aku rasa... Fatma dan Sari nggak perlu ikut."Laura menoleh cepat. "Loh, kenapa, Mas? Nanti aku jadi repot dong kalau gak ada mereka.""Kamu yang bilang ingin lebih dekat dengan anak-anak," ujar Baim pelan, nada suaranya cerminan kesabaran yang mulai tipis. "Kalau memang serius, ya harus siap repot, Laura."Laura menghela napas panjang, lalu menoleh padanya sambil tersenyum manis—senyum yang tidak menjangkau matanya. "Mas…
Fatma memutar badan. Langkahnya terhenti mendadak. Di ambang pintu, Laura berdiri tegak, di sampingnya Baim menyusul pelan. Tanpa diminta, Fatma menunduk dalam."Bu…" ucapnya pelan, nyaris seperti minta ampun.Senyum Ayu meredup, seperti cahaya lampu yang dipadamkan mendadak. Pelukannya pada Srikandi menguat, seolah dunia bisa runtuh kapan saja dan hanya tubuh kecil itu yang membuatnya tetap berdiri.Langkah Laura masuk penuh wibawa dan dingin. "Kami yang akan membawa mereka jalan-jalan," ujarnya tajam, tatapannya menusuk lurus ke arah Ayu. "Kamu gak lupa perintahku kemarin, kan? Jangan terlalu dekat sama si kembar. Kamu cuma ibu susunya, Ayu. Bukan ibu kandung."Ayu berdiri perlahan, namun sikapnya tak lagi tunduk. Srikandi masih dalam pelukannya, dilindungi seperti sesuatu yang tak ternilai. Suaranya tenang, tapi ada bara dalam nada itu. "Memang bukan. Tapi darah saya mengalir d
Ciuman Laura mendarat perlahan di dada Baim—lembap, hangat—meninggalkan jejak yang seolah membakar kulit… dan hati. Jemarinya menelusuri sisi tubuh pria itu, seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang dulu pernah menjadi miliknya.Namun dalam benak Baim, wajah Ayu perlahan muncul. Tatapan matanya yang jernih. Suara lembutnya saat berbicara. Dan kepolosannya yang selalu berhasil menggugah naluri Baim untuk melindungi.Seketika, dadanya terasa sesak. Antara raga yang disentuh godaan… dan jiwa yang ingin melarikan diri.Bibir Laura semakin intens menyusuri dada dan lehernya—pelan, menggoda. Tapi tubuh Baim tetap kaku. Tak ada reaksi. Seolah setiap sentuhan itu gagal menyalakan bara di dalam dirinya. Ia memejamkan mata, berusaha memanggil hasrat yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan."Kenapa aku gak bisa merasakan apa-apa?" batinnya bertanya, getir.Laur