Ayu menyeka pipinya dengan punggung tangan, lalu terkekeh pelan. "Saya cuma senang banget bisa ketemu mereka lagi, Mbak."
Fatma tersenyum, ikut merasakan ketulusan yang terpancar dari Ayu. "Saya juga sangat senang. Akhirnya, si kembar menemukan ibu susu tetap." Ia menatap Arjuna yang masih nyaman menyusu.
"Selama ini, Pak Baim selalu sibuk mencari ASIP untuk mereka."
Ayu mengangguk pelan, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Meski luas dan mewah, ada sesuatu yang terasa hampa di dalamnya. Sepi.
"Kalau boleh tahu... kenapa rumah sebesar ini sepi banget, Mbak?" tanyanya hati-hati.
Fatma menoleh, lalu menghela napas pelan. "Itu karena memang gak ada orang, Mbak. Yang tinggal di sini cuma Pak Baim dan si kembar."
Ayu mengernyit. "Apa Mbak Fatma tahu di mana ibu mereka?"
Fatma menelan ludah, ragu sejenak sebelum menggeleng. "Saya nggak tahu, Mbak. Saya juga gak berani tanya," ujarnya dengan suara pelan, lalu menyeringai kecil. "K
Ayu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Mbak Sari. Saya turun dulu, ya."Sari membalas dengan anggukan, sementara tangannya terus menepuk pelan punggung Srikandi yang mulai menggumam pelan.Tanpa menunggu lebih lama, Ayu dan Fatma melangkah menuju lift, derap kaki mereka berpadu dengan suara halus pendingin ruangan yang berdengung di latar belakang.Fatma menekan tombol panah ke bawah, jarinya menempel sesaat sebelum ia menunjuk ke arahnya. "Kalau mau turun, kamu pencet yang ini ya, Yu."Ayu mengangguk, memperhatikan deretan tombol di panel lift."Rumah ini ada tiga lantai," lanjut Fatma. "Kamar si kembar ada di lantai tiga, paling atas. Kamar aku dan Sari juga di sana, biar lebih gampang kalau mereka butuh sesuatu."Sebuah bunyi lembut terdengar, lalu pintu lift terbuka. Ayu melangkah masuk bersama Fatma, matanya menyapu ruangan kecil den
Ayu terperanjat. "Ih, Mbak Fatma ada-ada saja. Pak Baim kan sudah punya istri.""Tapi istrinya nggak pernah ada buat dia," Fatma menghela napas, suaranya terdengar lebih serius. "Kasihan, loh. Pak Baim selalu sendirian. Apalagi dia juga anak yatim, nggak punya keluarga. Makanya, dia sangat baik sama kita. Dia menganggap kita semua keluarganya."Ayu mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. "Saya sudah mengira, Pak Baim orang baik."Fatma menatapnya lekat-lekat. "Apa kamu pernah bertemu dengan Bapak sebelumnya?"Ayu menelan ludah. Ada bayangan kelam yang seketika muncul di benaknya. "Iya," suaranya terdengar lebih pelan. "Dia menolong saya... saat hampir diperkosa oleh pria tua."Fatma terbelalak, napasnya tercekat. "Astaghfirullah... Ayu."Ayu menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Andai waktu itu Pak Baim nggak membuka pintu l
Ayu menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Nggak sama sekali." Suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, menatap angka itu lagi seolah takut angka tersebut akan berubah jika ia berkedip."Ini justru terlalu banyak. Saya..." Ayu menarik napas, mencoba meredakan gejolak di dadanya. "Sebenarnya, saya jadi sedih. Karena dengan menerima gaji sebesar ini, saya merasa seperti menjual ASI saya. Padahal, saya sangat menyayangi mereka seperti anak saya sendiri."Baim menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum yang entah kenapa terasa begitu tulus hingga membuat Ayu sedikit lebih tenang."Aku sangat berterima kasih soal itu," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Tapi memberi gaji adalah kewajiban aku, Yu. Ini bukan soal membeli atau menjual kasih sayang. Ini soal menghargai peranmu."Ayu menunduk, jemarinya menggenggam ujung kertas. Meskipun kata-kata Baim terdengar masuk akal, ada
"Sudah, Pak Baim," jawab suara di ujung sana. "Semua dekorasi sesuai dengan yang Bapak minta."Baim mengangguk kecil meski lawan bicaranya tak bisa melihatnya. "Baik, bagus. Sekarang tolong ke ruang kerja, antar Ayu ke kamarnya.""Baik, Pak."Ia meletakkan telepon dengan gerakan santai, lalu kembali menoleh ke Ayu. Kali ini, ekspresinya lebih lembut. Ia melangkah kembali ke sofa, duduk di sampingnya dengan tubuh sedikit condong ke depan, seolah ingin memastikan Ayu merasa nyaman."Asisten rumah tangga akan segera ke sini untuk mengantarmu ke kamar," kata Baim, suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di matanya—seperti ingin memastikan Ayu merasa nyaman. "Kamarmu ada di lantai ini. Karena kamar asisten sudah penuh, jadi kamu menempati kamar tamu. Itu juga supaya kamu lebih mudah menuju kamar bayi."Ayu hanya mengangguk pelan. Jemarinya meremas ujung bajunya, seakan masih mencoba memahami perubahan besar dalam hidupnya.Baim memperhat
Ayu membuka mulutnya, hendak berkata sesuatu, tapi sebelum sempat menjawab—Tok tok...Suara ketukan pintu memecah keheningan di antara mereka.Ayu buru-buru mengusap sisa air mata di pipinya, sementara Baim menoleh ke arah pintu, ekspresinya kembali terkendali."Masuk." Suara Baim terdengar tenang, tapi ada sedikit perubahan dalam nada bicaranya—seolah ia butuh waktu untuk mengalihkan pikirannya dari percakapan barusan.Pintu terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan langkah mantap, wajahnya memancarkan ketenangan seorang yang sudah lama mengabdi. "Saya mau antar Mbak Ayu, Pak," katanya dengan suara ramah.Baim mengangguk sebelum menoleh ke Ayu. "Ayu, ini Mak Ti. Dia asisten senior di rumah ini. Sudah kuanggap seperti ibuku sendiri." Ia menatap wanita itu dengan penuh hormat. "Aku bahkan nggak pernah panggil namanya. Semua orang di sini menyebutnya Mak Ti."Ayu segera berdiri, lalu meraih tangan Mak
Mak Ti yang sejak tadi berdiri di ambang pintu tersenyum. "Pak Baim yang minta. Dia bilang, Nak Ayu suka warna pink, jadi dia suruh Mak dekorasi kamar ini seperti ini. Dia juga meminta Mak menyiapkan perlengkapan make-up dan baju-baju itu."Ayu terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa menghangat, sekaligus bergetar."Dia ingat warna favoritku?" batinnya. "Kenapa perhatian sekali?"Tangannya perlahan menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya yang mulai berdegup lebih cepat."Ya Allah... Kenapa aku deg-degan lagi?"Ayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Tapi pikirannya justru kembali ke perjanjian itu-poin delapan.'Dilarang terlibat emosi antara pemberi dan penerima kontrak.'Ia menutup matanya sejenak, menggigit bibir, berusaha mengusir perasaan aneh yang mulai merayapi ben
Mak Ti mengangguk, ekspresinya seakan mengatakan bahwa hal ini wajar saja.Ayu menghela napas, berusaha menepis pikirannya yang mulai berlarian ke arah yang tidak seharusnya. "Ah… nggak. Gak mungkin, kan?" batinnya.Ia mengusap wajah, mencoba mengembalikan fokusnya. "Ya udah, Mak. Saya siap-siap dulu ya."Mak Ti tersenyum. "Baiklah. Kami tunggu di bawah, ya."Setelah pintu tertutup, Ayu menghela napas panjang, lalu berjalan menuju wastafel. Percikan air dingin menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit lebih segar.Ia berdiri di depan lemari, tangannya terulur, menyentuh deretan pakaian yang tersusun rapi. Matanya menelusuri satu per satu sebelum akhirnya mengambil sebuah dress yang terlihat cantik namun tetap sederhana.Saat mengenakannya, ia melangkah ke depan cermin.Sejenak, ia tertegun.Pantulan d
"Saya nggak enak sama yang lain. Jadi, biarkan saya makan bersama mereka saja, ya?"Baim menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ayu dengan sorot penuh ketenangan."Ayu," katanya, nada suaranya lebih dalam. "Kamu adalah ibu susu anak-anakku. Aku perlu membahagiakanmu demi menjaga kualitas ASI yang kamu berikan untuk mereka."Ayu tercekat. Kata-kata itu seharusnya terdengar biasa, sangat masuk akal. Tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya bergetar.Dada Ayu berdesir pelan. Ia menggigit bibir, mencoba menekan perasaan yang mulai menguar di hatinya."Ya Allah… andai saja suamiku memperlakukanku seperti dia," bisiknya dalam hati.Tapi seketika ia menggeleng halus, menepis harapan yang tak seharusnya ada.Ia menarik napas dalam, lalu dengan ragu meraih sendoknya.Di hadapannya, Baim masih tersenyum.Dan untuk pertama kalinya, Ayu merasa dihargai.Bik Imah melangkah mendekati meja makan, tatapannya hangat saat i
"Sstt!" Laura spontan menutup ponsel dengan telapak tangannya. Matanya menyapu sekeliling, napasnya memburu. Detak jantungnya tak karuan. Ia tak sadar, dari balik pintu yang sedikit terbuka, Ayu berdiri diam, matanya mengawasi dengan wajah murung.Laura menggigit bibir, lalu melangkah cepat menjauh, mencari tempat yang lebih sepi. Ia kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Suaranya pelan tapi tegas."Papi, jangan bahas Leon sekarang. Aku sudah punya anak, Pi. Aku harus mengurus mereka.""Laura, kamu yakin mau korbankan masa mudamu demi merawat bayi-bayi itu? Dengar, masa depanmu masih panjang! Jangan buang karirmu hanya untuk merawat bayi. Kamu belum pantas menjadi ibu, Laura. Dan berhentilah bersikap bodoh! Harusnya kamu pakek logika. Mana mungkin anak yatim piatu bisa sukses bersih begitu?"Laura terdiam sejenak. Suaranya nyaris pecah saat menjawab, "Papi... beri aku kesempatan. Aku ing
"Dasar wanita munafik!"Laura membalikkan badan, lalu menuruni tangga dengan langkah cepat. Tumit sepatunya menghentak setiap anak tangga, menciptakan gema tajam yang mendahului kehadirannya.Di dapur, suara riuh para karyawan sontak mereda. Percakapan terputus, piring berhenti berbunyi. Semua kepala menoleh serempak. Keheningan seolah menggantung di udara saat sosok Laura muncul di ambang pintu.Indri berdiri di barisan terdepan. Matanya membulat, berbinar seperti menyala oleh harapan yang akhirnya menjadi nyata. Tanpa ragu, ia melangkah cepat dan memeluk Laura erat—seolah ingin memastikan wanita itu benar-benar kembali, bukan sekadar bayangan dari masa lalu."Bu Laura..." suaranya gemetar, tercekat oleh rasa haru. "Saya... saya benar-benar senang. Akhirnya Ibu kembali ke rumah ini."Laura membalas pelukannya, gerakannya lebih tenang namun kaku. Tangannya meny
Langkah Baim terhenti. Bahunya menegang, namun ia tetap membelakangi Laura."Laura…" Suaranya rendah, nyaris hanya desiran di udara. "Aku mengerti alasan kepergianmu… tapi itu tidak berarti aku sudah memaafkan. Rumah tangga kita sudah terlanjur retak, dan itu kesalahanmu sendiri."Tanpa menunggu jawaban, Baim melanjutkan langkahnya."Mas! Aku masih istrimu, Mas!" teriak Laura.Namun hanya keheningan yang menjawab. Baim terus berlalu, menuruni tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang baru saja keluar dari lift.Kepalanya tertunduk, langkahnya lunglai, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk dipikul. Cahaya lampu koridor memantulkan bayangan sendu di wajahnya, membuat dada Baim semakin sesak."Ayu..." panggilnya, suaranya lirih namun penuh penyesalan.Langkah Ayu terhenti. Perlahan, ia menoleh. Matanya yang basah bertemu dengan tatapan Baim—ada luka di sana,
Ayu tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, seolah Indri tak lebih dari bayangan yang tak layak dipedulikan. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Di dalam kamar, ia dengan hati-hati mengangkat si kembar dari stroller, lalu mendekap mereka erat-erat, seakan ingin menyembunyikan mereka dari dunia."Arjuna... Srikandi..." suaranya lirih, hampir serupa bisikan. "Jangan pernah tinggalin Ibu, ya..."Bibirnya bergetar, dan setetes air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Dada Ayu terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya erat.Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang ingin pecah. Tapi tetap saja, lengannya semakin erat melingkupi bayi-bayinya.Seakan mereka adalah satu-satunya yang masih bisa ia genggam.Sedetik kemudian, langkah tergesa-gesa menggema di ambang pintu. Laura muncul dengan napa
Baim membeku. Napasnya tertahan, pikirannya berputar tak percaya. Laura... wanita yang selama ini menghilang dari hidupnya, kini berdiri nyata di hadapannya."Mas Baim!" suara Laura memecah kebisuan. Tanpa ragu, ia melompat ke tubuh Baim, melingkarkan lengannya erat-erat di sekeliling pria itu.Pegangan Baim pada Ayu seketika terlepas.Ayu menatap mereka, sorot matanya dipenuhi tanda tanya. Tapi di dalam dadanya, sesuatu bergemuruh liar. Ia mungkin belum pernah bertemu Laura sebelumnya, tetapi ia mengenali wajah itu—wajah yang pernah ia lihat dalam foto pernikahan yang tersimpan di gudang."Mas... Aku kangen banget," suara Laura terdengar bergetar di antara dekapan yang tak kunjung ia lepaskan.Baim menghela napas panjang sebelum perlahan melepas pelukan itu. Tangannya turun dari bahu Laura, sementara rahangnya mengatup rapat. "Apa yang kamu lakukan di sini, Laura?" suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Laura menatap matanya. Dulu
Ayu menggigit bibirnya, menahan senyum yang perlahan merekah di wajahnya. "Mas Baim..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah hanya untuk dirinya sendiri."Sebentar lagi, Mas!" serunya, kali ini dengan nada lebih ceria.Tangannya kembali bergerak, merapikan helai terakhir rambutnya sebelum meletakkan catokan. Ia berdiri, menatap bayangannya di cermin. Gaun selutut berwarna merah muda membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya tanpa berlebihan. Ia berputar pelan, ujung gaunnya melayang ringan seiring gerakannya.Dengan cepat, ia meraih tas di atas ranjang, menarik napas panjang, lalu melangkah menuju pintu.Gagang pintu berputar. Saat pintu terbuka, sinar matahari pagi menyelinap masuk, memperjelas rona bahagia yang terpancar di wajahnya."Mas..." ucapnya pelan, lalu tatapannya jatuh pada si kembar yang duduk manis di dalam stroller. Kaki-kaki mungil
Hayati mengangguk, jemarinya meremas ujung gaunnya dengan kuat. "Aku akan mencoba mencarinya di rumah Jaka. Mungkin saja dia tidak membawanya."Sambo tak berkata lagi. Ia hanya mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya dengan langkah berat.Di sisi lain, Ayu duduk di atas tempat tidurnya, ponsel tergenggam erat di tangannya. Cahaya layar menyorot wajahnya yang penuh kepuasan.Berita yang bertebaran di media sosial benar-benar menguntungkannya. Setiap komentar yang mendukungnya terasa seperti angin segar yang membebaskannya dari cengkeraman keluarga Jaka.Senyumnya mengembang. Matanya berbinar."Alhamdulillah…" bisiknya pelan, penuh rasa syukur. "Akhirnya. Aku akan segera lepas dari keluarga iblis itu."Jarinya kembali menggulir layar, membaca seruan masyarakat yang memintanya untuk menceraikan Jaka. Dukungan itu membanjiri kolom komentar, membuat hatinya semakin mantap."Ini berarti kei
Sambo meremas ponselnya, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya menajam saat membaca komentar-komentar yang membanjiri berita daring. Ia melangkah cepat mendekati Hayati yang baru saja melempar gelas, jemarinya masih menggenggam remote televisi."Apa yang terjadi, Ma?" suaranya terdengar berat. "Masyarakat justru menyerangku. Kalau begini, reputasiku bisa hancur."Hayati mengangkat wajahnya. Matanya memerah, napasnya tertahan sesaat sebelum ia menghembuskannya perlahan. Bibirnya melengkung tipis, nyaris seperti sebuah senyum."Tenang aja, Pa," katanya, suaranya rendah, terukur. "Kita cuma perlu membalik pendapat mereka."Tiba-tiba, suara langkah cepat menggema dari koridor. Maharani muncul dengan wajah panik, ponsel tergenggam erat di tangannya."Ma… kacau!" suaranya meninggi, hampir histeris. "Akun sosmedku penuh hinaan. Kalau kayak gini, followers-ku bisa turun!"Hayati tak langsung menjawab. Mat
Ayu menyeringai sinis, lalu berbalik. Tanpa kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan pesta dengan kepuasan yang berpendar di matanya.Setelah usai melakukan misi di pesta itu, Ayu bergegas keluar ballroom. Ia bertemu dengan Baim yang mengawasinya sedari tadi. Ayu mengangguk memberi kode, Baim membalasnya dengan anggukan yang sama. Ayu kemudian berlalu dari pesta itu, kembali masuk ke dalam Limosin yang menjadi sorotan awak media. Kilatan lampu kamera masih berusaha menembus kaca gelapnya, tapi Ayu sudah tak peduli. Ia menyandarkan kepala, menatap langit-langit mobil dengan napas masih memburu.Tangannya menggenggam erat gaunnya yang sedikit kusut. "Ya Allah… akhirnya aku bisa melewati ini. Aku gak percaya bisa seberani itu di depan umum," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Bagus, Ayu."Suara itu datang dari belakang