Mak Ti yang sejak tadi berdiri di ambang pintu tersenyum. "Pak Baim yang minta. Dia bilang, Nak Ayu suka warna pink, jadi dia suruh Mak dekorasi kamar ini seperti ini. Dia juga meminta Mak menyiapkan perlengkapan make-up dan baju-baju itu."
Ayu terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa menghangat, sekaligus bergetar.
"Dia ingat warna favoritku?" batinnya. "Kenapa perhatian sekali?"
Tangannya perlahan menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya yang mulai berdegup lebih cepat.
"Ya Allah... Kenapa aku deg-degan lagi?"
Ayu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Tapi pikirannya justru kembali ke perjanjian itu-poin delapan.
'Dilarang terlibat emosi antara pemberi dan penerima kontrak.'
Ia menutup matanya sejenak, menggigit bibir, berusaha mengusir perasaan aneh yang mulai merayapi ben
Mak Ti mengangguk, ekspresinya seakan mengatakan bahwa hal ini wajar saja.Ayu menghela napas, berusaha menepis pikirannya yang mulai berlarian ke arah yang tidak seharusnya. "Ah… nggak. Gak mungkin, kan?" batinnya.Ia mengusap wajah, mencoba mengembalikan fokusnya. "Ya udah, Mak. Saya siap-siap dulu ya."Mak Ti tersenyum. "Baiklah. Kami tunggu di bawah, ya."Setelah pintu tertutup, Ayu menghela napas panjang, lalu berjalan menuju wastafel. Percikan air dingin menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit lebih segar.Ia berdiri di depan lemari, tangannya terulur, menyentuh deretan pakaian yang tersusun rapi. Matanya menelusuri satu per satu sebelum akhirnya mengambil sebuah dress yang terlihat cantik namun tetap sederhana.Saat mengenakannya, ia melangkah ke depan cermin.Sejenak, ia tertegun.Pantulan d
"Saya nggak enak sama yang lain. Jadi, biarkan saya makan bersama mereka saja, ya?"Baim menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ayu dengan sorot penuh ketenangan."Ayu," katanya, nada suaranya lebih dalam. "Kamu adalah ibu susu anak-anakku. Aku perlu membahagiakanmu demi menjaga kualitas ASI yang kamu berikan untuk mereka."Ayu tercekat. Kata-kata itu seharusnya terdengar biasa, sangat masuk akal. Tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya bergetar.Dada Ayu berdesir pelan. Ia menggigit bibir, mencoba menekan perasaan yang mulai menguar di hatinya."Ya Allah… andai saja suamiku memperlakukanku seperti dia," bisiknya dalam hati.Tapi seketika ia menggeleng halus, menepis harapan yang tak seharusnya ada.Ia menarik napas dalam, lalu dengan ragu meraih sendoknya.Di hadapannya, Baim masih tersenyum.Dan untuk pertama kalinya, Ayu merasa dihargai.Bik Imah melangkah mendekati meja makan, tatapannya hangat saat i
Mak Ti yang berdiri di dekat Indri menyenggol lengannya pelan. "Udah, jangan cari masalah. Lebih baik kamu bersikap ramah sama karyawan baru kali ini."Indri mendengus, melipat tangan di dada. "Gak mau! Kalau bukan Ibu Laura, gak ada yang boleh memiliki hati Pak Baim—kecuali aku," ujarnya sambil menyeringai.Mak Ti menatapnya tajam. "Kamu pikir Pak Baim mau sama kamu?"Indri segera merangkul lengan Mak Ti dengan manja. "Mak Ti harus bantu aku dong! Pak Baim pasti nurut sama Mak Ti, kan?"Mak Ti mencibir. "Jangan mimpi..."Indri mendengus kesal, kakinya menghentak lantai dengan gemas.Setelah menghabiskan makan malamnya, Ayu segera menuju kamar si kembar untuk menyusui mereka. Sementara itu, para pengasuh menikmati makan malam bersama karyawan lainnya.Seperti biasa, si kembar menyusu dengan lahap sebelum akhirnya terlelap dalam tidur yang damai.Ayu menghela napas lega. Dengan penuh kasih, ia mengusap kepala mungil mereka
Ayu hanya diam, tak ingin terpancing.Indri menyeringai, tangannya semakin kuat menekan pel ke lantai. "Semoga aja gak ada yang lupa diri gara-gara kebaikan orang, ya. Soalnya, kalau jatuh dari angan-angan, sakitnya bisa keterlaluan."Ayu berusaha tak peduli. Ia hendak melangkah ke dispenser, tapi tiba-tiba ujung alat pel Indri berkali-kali menyentuh kakinya, seolah disengaja.Ayu berhenti. Mata mereka bertemu—tatapan Indri tajam, penuh amarah yang tak tersampaikan.Ayu menegakkan tubuhnya, menatap Indri dengan ekspresi tenang tapi menusuk. "Mbak Indri… Aku permisi ya, mau ambil air." Kali ini, nada suaranya mengandung sedikit ketegasan.Indri menyeringai sinis. "Gak liat apa aku lagi ngepel?" Gerakannya makin kasar, membasahi lantai di dekat kaki Ayu."Indri…" Suara Mak Ti dari meja makan terdengar seperti peringatan.
Baim hanya tersenyum kecil. "Apa yang kamu pikirkan? Sampai gak lihat aku yang berdiri di depan."Ayu berusaha tersenyum, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai menjalari tubuhnya. "Nggak kok, Mas. Gak ada…"Baim mengamati wajahnya. "Aku perhatiin, kamu sering jalan sambil nunduk. Di rumah sakit juga begitu. Itu pasti karena kamu banyak pikiran, kan?"Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Beneran enggak."Baim tak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu, dengan suara lebih lembut, ia bertanya, "Ayu… Apa ada sesuatu yang membuatmu gak nyaman di rumah ini?"Ayu ingin menjawab. Ingin sekali mengatakan bahwa iya, dia merasa tak nyaman. Tapi bukan karena rumah ini, bukan karena orang-orang di dalamnya.Tapi karena dia.Baim."Kamu yang membuat aku gak nyaman, Mas. Kebaikanmu terlalu berlebihan. Aku takut..." batinnya.Baim mengulurkan tangan, menyentuh bahunya pe
"Indri?"Indri menyilangkan tangan di dada, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa kaget? Kecewa yang datang bukan Pak Baim?"Ayu mengerjap, berusaha menguasai ekspresinya. "Ah... nggak kok. Aku cuma kaget. Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu nggak suka sama aku?"Indri terkekeh sinis, lalu mengangkat alat bersih-bersih yang dibawanya. "Servis room. Aku mau bersihin kamar kamu."Ayu menghela napas, membuka pintunya lebih lebar. "Oh... baiklah. Silakan."Indri melangkah masuk, bola matanya langsung berkeliling, menelusuri setiap sudut ruangan. Napasnya terdengar berat, seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Matanya menyipit ketika melihat fasilitas yang ada di kamar itu—tempat tidur yang lebih besar, lemari yang lebih mewah, bahkan ada kursi empuk di pojokan."Hebat juga kamu, bisa bikin Pak Baim memberikan semua ini," katanya, suaranya sarat dengan racun.Ia melangkah mendekat, lengannya bersedekap. "Kamu... nggak ngeray
Langkah Baim sempat terhenti, sorot matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku.Ayu buru-buru menutup dadanya dengan telapak tangan, wajahnya memanas seketika.Baim pun tampak kaget, tatapannya hanya bertahan satu detik sebelum dengan cepat ia membalikkan badan, punggungnya kini menghadap Ayu."Ohh, maaf, Ayu. Aku nggak tahu kamu sedang menyusui," ucapnya terbata.Suara beratnya memenuhi ruangan yang mendadak terasa sempit.Ayu menelan ludah. Dada yang sejak tadi sesak karena kejutan kini terasa semakin sulit bernapas."Ada perlu apa, Mas?" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup untuk membuat Baim kembali menegang.Baim terdiam sejenak, mengatur napas sebelum menjawab. "Aku mau pamit sama si kembar sebelum ke kantor."Perlahan, Ayu melepas bibir mungil Arjuna dari dadanya, lalu menarik kain untuk menutup tubuhnya. Dadanya masih naik-turun, bukan karena kelelahan, tapi karena jantungnya yang berdetak tak karuan."Iya
Ayu semakin panik. Situasi ini terasa menjeratnya dalam jebakan tanpa jalan keluar."Ngapain sih Mas Baim tanya terus?" batinnya resah. "Aku nggak mungkin jujur kalau aku jatuh cinta sama dia, kan? Di kontrak itu sudah jelas tertulis... kita nggak boleh terlibat secara emosi."Ia menggigit bibirnya, tetap enggan menatap Baim.Baim hanya tersenyum kecil, seakan sudah memahami semuanya.Perlahan, ia semakin mendekat. Ayu menahan napas, jantungnya semakin tak menentu.Tapi ternyata—Baim menunduk, bukan ke arahnya, melainkan ke bayi mungil dalam pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup kening Srikandi."Sayang..." bisiknya penuh kasih, "Papa berangkat kerja dulu, ya. Kamu jangan rewel, oke?"Ayu menatapnya dalam diam. Cara Baim memperlakukan si kembar, kehangatan yang selalu ia tunjukkan pada anak-anak i
Langkah Baim terhenti. Bahunya menegang, namun ia tetap membelakangi Laura."Laura…" Suaranya rendah, nyaris hanya desiran di udara. "Aku mengerti alasan kepergianmu… tapi itu tidak berarti aku sudah memaafkan. Rumah tangga kita sudah terlanjur retak, dan itu kesalahanmu sendiri."Tanpa menunggu jawaban, Baim melanjutkan langkahnya."Mas! Aku masih istrimu, Mas!" teriak Laura.Namun hanya keheningan yang menjawab. Baim terus berlalu, menuruni tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang baru saja keluar dari lift.Kepalanya tertunduk, langkahnya lunglai, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk dipikul. Cahaya lampu koridor memantulkan bayangan sendu di wajahnya, membuat dada Baim semakin sesak."Ayu..." panggilnya, suaranya lirih namun penuh penyesalan.Langkah Ayu terhenti. Perlahan, ia menoleh. Matanya yang basah bertemu dengan tatapan Baim—ada luka di sana,
Ayu tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, seolah Indri tak lebih dari bayangan yang tak layak dipedulikan. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Di dalam kamar, ia dengan hati-hati mengangkat si kembar dari stroller, lalu mendekap mereka erat-erat, seakan ingin menyembunyikan mereka dari dunia."Arjuna... Srikandi..." suaranya lirih, hampir serupa bisikan. "Jangan pernah tinggalin Ibu, ya..."Bibirnya bergetar, dan setetes air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Dada Ayu terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya erat.Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang ingin pecah. Tapi tetap saja, lengannya semakin erat melingkupi bayi-bayinya.Seakan mereka adalah satu-satunya yang masih bisa ia genggam.Sedetik kemudian, langkah tergesa-gesa menggema di ambang pintu. Laura muncul dengan napa
Baim membeku. Napasnya tertahan, pikirannya berputar tak percaya. Laura... wanita yang selama ini menghilang dari hidupnya, kini berdiri nyata di hadapannya."Mas Baim!" suara Laura memecah kebisuan. Tanpa ragu, ia melompat ke tubuh Baim, melingkarkan lengannya erat-erat di sekeliling pria itu.Pegangan Baim pada Ayu seketika terlepas.Ayu menatap mereka, sorot matanya dipenuhi tanda tanya. Tapi di dalam dadanya, sesuatu bergemuruh liar. Ia mungkin belum pernah bertemu Laura sebelumnya, tetapi ia mengenali wajah itu—wajah yang pernah ia lihat dalam foto pernikahan yang tersimpan di gudang."Mas... Aku kangen banget," suara Laura terdengar bergetar di antara dekapan yang tak kunjung ia lepaskan.Baim menghela napas panjang sebelum perlahan melepas pelukan itu. Tangannya turun dari bahu Laura, sementara rahangnya mengatup rapat. "Apa yang kamu lakukan di sini, Laura?" suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Laura menatap matanya. Dulu
Ayu menggigit bibirnya, menahan senyum yang perlahan merekah di wajahnya. "Mas Baim..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah hanya untuk dirinya sendiri."Sebentar lagi, Mas!" serunya, kali ini dengan nada lebih ceria.Tangannya kembali bergerak, merapikan helai terakhir rambutnya sebelum meletakkan catokan. Ia berdiri, menatap bayangannya di cermin. Gaun selutut berwarna merah muda membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya tanpa berlebihan. Ia berputar pelan, ujung gaunnya melayang ringan seiring gerakannya.Dengan cepat, ia meraih tas di atas ranjang, menarik napas panjang, lalu melangkah menuju pintu.Gagang pintu berputar. Saat pintu terbuka, sinar matahari pagi menyelinap masuk, memperjelas rona bahagia yang terpancar di wajahnya."Mas..." ucapnya pelan, lalu tatapannya jatuh pada si kembar yang duduk manis di dalam stroller. Kaki-kaki mungil
Hayati mengangguk, jemarinya meremas ujung gaunnya dengan kuat. "Aku akan mencoba mencarinya di rumah Jaka. Mungkin saja dia tidak membawanya."Sambo tak berkata lagi. Ia hanya mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya dengan langkah berat.Di sisi lain, Ayu duduk di atas tempat tidurnya, ponsel tergenggam erat di tangannya. Cahaya layar menyorot wajahnya yang penuh kepuasan.Berita yang bertebaran di media sosial benar-benar menguntungkannya. Setiap komentar yang mendukungnya terasa seperti angin segar yang membebaskannya dari cengkeraman keluarga Jaka.Senyumnya mengembang. Matanya berbinar."Alhamdulillah…" bisiknya pelan, penuh rasa syukur. "Akhirnya. Aku akan segera lepas dari keluarga iblis itu."Jarinya kembali menggulir layar, membaca seruan masyarakat yang memintanya untuk menceraikan Jaka. Dukungan itu membanjiri kolom komentar, membuat hatinya semakin mantap."Ini berarti kei
Sambo meremas ponselnya, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya menajam saat membaca komentar-komentar yang membanjiri berita daring. Ia melangkah cepat mendekati Hayati yang baru saja melempar gelas, jemarinya masih menggenggam remote televisi."Apa yang terjadi, Ma?" suaranya terdengar berat. "Masyarakat justru menyerangku. Kalau begini, reputasiku bisa hancur."Hayati mengangkat wajahnya. Matanya memerah, napasnya tertahan sesaat sebelum ia menghembuskannya perlahan. Bibirnya melengkung tipis, nyaris seperti sebuah senyum."Tenang aja, Pa," katanya, suaranya rendah, terukur. "Kita cuma perlu membalik pendapat mereka."Tiba-tiba, suara langkah cepat menggema dari koridor. Maharani muncul dengan wajah panik, ponsel tergenggam erat di tangannya."Ma… kacau!" suaranya meninggi, hampir histeris. "Akun sosmedku penuh hinaan. Kalau kayak gini, followers-ku bisa turun!"Hayati tak langsung menjawab. Mat
Ayu menyeringai sinis, lalu berbalik. Tanpa kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan pesta dengan kepuasan yang berpendar di matanya.Setelah usai melakukan misi di pesta itu, Ayu bergegas keluar ballroom. Ia bertemu dengan Baim yang mengawasinya sedari tadi. Ayu mengangguk memberi kode, Baim membalasnya dengan anggukan yang sama. Ayu kemudian berlalu dari pesta itu, kembali masuk ke dalam Limosin yang menjadi sorotan awak media. Kilatan lampu kamera masih berusaha menembus kaca gelapnya, tapi Ayu sudah tak peduli. Ia menyandarkan kepala, menatap langit-langit mobil dengan napas masih memburu.Tangannya menggenggam erat gaunnya yang sedikit kusut. "Ya Allah… akhirnya aku bisa melewati ini. Aku gak percaya bisa seberani itu di depan umum," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Bagus, Ayu."Suara itu datang dari belakang
Maharani mengangkat tangan, gelagapan. "Aduh… Rani lupa mau kasih tahu Mama! Pokoknya bukan itu intinya!"Ia menarik lengan ibunya, suaranya semakin mendesak."Sekarang apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Ayu bicara aneh-aneh ke wartawan?!"Hayati terdiam sesaat, napasnya mulai memburu.Di luar ballroom, kilatan kamera dan suara sorakan masih terdengar.Ayu ada di sini.Dan itu hanya bisa berarti satu hal—badai akan segera datang.Mata Hayati membesar, nyaris keluar dari rongganya. Rahangnya mengatup rapat, garis-garis kemarahan terukir jelas di wajahnya. "Kamu gak diundang," suaranya tajam seperti pisau. "Rakyat jelata dilarang ikut pesta orang kaya."Tawa Ayu meledak, nyaring dan penuh ejekan. Ia melangkah santai, tubuhnya condong ke depan, mendekati Hayati. "Mama… Mama…
"Ke mana Anda selama ini?"Suara-suara itu bertubi-tubi, menusuk gendang telinga Ayu dari segala arah. Dadanya mulai sesak, napasnya tersendat. Jemarinya yang menggenggam tas mulai bergetar.Kerumunan terasa semakin mendekat, seperti dinding yang siap meremukkannya kapan saja. Lututnya lemas, instingnya berteriak untuk kabur.Namun, di antara sorotan kamera yang menyilaukan, matanya menangkap sosok yang familiar.Baim.Berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan jas hitam yang elegan, tangannya diselipkan ke dalam saku.Ia tidak berkata apa-apa.Hanya sebuah senyum tipis yang menghiasi wajahnya, tatapan matanya tenang, penuh keyakinan.Seakan-akan ia sedang berbisik tanpa suara, "Semuanya akan baik-baik saja."Ayu menelan ludah. Jemarinya yang gemetar perlahan mengendur. I