Baim menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Sudahlah. Semoga nanti dia memilih jalan yang lebih baik. Anak zaman sekarang benar-benar mengkhawatirkan," gumamnya pelan.
Namun, meski ia berusaha menepisnya, ada perasaan aneh yang mengendap di dadanya. Entah kenapa, ia merasa ini bukanlah pertemuan terakhirnya dengan gadis itu.
Setelah mendapat jamuan mewah di hotel Baim, Ayu melangkah keluar dengan langkah berat. Aroma parfum mahal masih samar di bajunya, tetapi tak ada lagi yang bisa ia nikmati. Yoga membukakan pintu taksi untuknya.
"Pak, turunkan saya di area pertokoan," katanya lirih.
Supir taksi mengangguk. Ayu menatap kosong ke luar jendela sepanjang perjalanan. Gedung-gedung tinggi berkelebat, jendelanya menyilaukan di bawah terik matahari. Di kaca, ia melihat bayangannya sendiri—mata lelah, wajah kusut, bibir terkatup rapat.
Taksi berhenti di kawasan pertokoan Kebayoran Baru. Ayu menarik napas dalam, menggen
Petugas itu mengecek data di komputernya. "Jika menuju alamat yang tertera di sini, satu juta lima ratus, Bu."Jantung Ayu mencelos.Tiga ratus ribu rupiah. Itu semua yang ia punya sekarang.Tangannya yang menggenggam uang mengepal lebih erat, seolah mencoba menciptakan keajaiban agar jumlahnya bertambah. Tapi tetap sama.Ia menundukkan kepala, kelopak matanya terasa panas. Dadanya naik-turun tak beraturan, lalu—air matanya jatuh.Tanpa suara, tanpa isakan. Hanya tetesan yang mengalir begitu saja, membasahi pipinya.Tangan kirinya naik ke dahi, memijit pelan bagian yang terasa berdenyut. Lelah. Kosong.Ia menghapus air matanya cepat, lalu mengangkat wajah dengan sisa keberanian yang ia punya. "Saya bawa sendiri saja, Pak," suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Petugas menatapnya sejenak, seperti ing
"Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui anak Anda meninggal karena sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari?""Ada yang mengatakan Anda sengaja membiarkan keadaan ini terjadi. Bagaimana Anda membuktikan bahwa Anda bukan ibu yang lalai?""Jika bisa mengulang waktu, apa yang akan Anda lakukan berbeda? Atau Anda memang sejak awal tidak siap menjadi seorang ibu?"Pertanyaan dari wartawan itu menekan Ayu secara emosional. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.Ayu mengeratkan pelukannya pada jenazah Bintang. Tubuh mungil itu terasa semakin ringan di dekapannya, seolah angin bisa saja menerbangkannya kapan saja. Kakinya gemetar, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena amarah yang mulai berdesir di dadanya.Dari mana mereka tahu? Dari mana datangnya semua orang ini? Keluarga Jaka bahkan tak peduli. Tidak ada seorang pun di rumah sakit, tidak ada yang menanyakan keadaannya. Tapi sekarang, di sini, mereka berkumpul seolah mereka peduli.Langkahnya
"Tapi jangan harap, aku akan melupakan apa yang Kak Rani lakukan padaku."Maharani membelalakkan mata, napasnya tersengal. Tangannya terangkat, jemarinya menegang, nyaris menghantam Ayu. Namun, sebelum pukulan itu melayang, Narendra mencengkeram pergelangan tangannya."Jaga sikapmu, sayang." Suaranya rendah, tapi tegas. "Di sini banyak orang."Maharani membeku. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah, tetapi hanya sekejap. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia menarik napas dalam, menurunkan tangannya dengan gerakan terkendali. Seketika, wajahnya kembali seperti semula—tenang, nyaris tanpa cela, seolah ledakan amarah tadi tak pernah ada.Di sudut lain, Sambo menghela napas panjang, lalu berkata cukup lantang, seolah ingin semua orang mendengar, "Jangan terlalu keras pada mereka, Ayu. Kita semua sangat kehilangan hari ini."Ayu berbalik, menatap ayah mertuanya itu."Kita?" tanyanya, dengan nada suara yang nyaris terdengar sep
"Ini terlalu menyakitkan... terlalu menyakitkan." sahut Hayati, sesenggukan.Namun Ayu hanya berdiri diam. Gamis sederhana yang ia kenakan berkibar pelan ditiup angin. Wajahnya kosong, seakan semua rasa sudah habis terkuras bersama kepergian Bintang. Tidak ada air mata. Tidak ada lagi isakan.Tatapannya beralih ke gundukan tanah merah di hadapannya. Jemarinya meremas kain rok yang ia kenakan. Bintang kini telah pergi, dan tak ada yang bisa mengubah itu. Apapun yang keluarga Jaka lakukan hari ini, semua hanya tampak seperti panggung sandiwara di matanya.Setelah pemakaman usai, para pelayat satu persatu meninggalkan area pemakaman.Jaka menelan ludah, matanya terasa perih oleh cairan yang baru saja diteteskan ibunya. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan waktu untuk mengeluh. Kamera wartawan masih terus mengawasi dia dan keluarganya, menunggu momen kesedihan yang bisa dijadikan berita utama.Kini ia mendekati Ayu, agar terlihat seperti suami yang san
"Hidupku sudah nggak ada artinya lagi. Bukankah itu justru menguntungkan kalian? Bisa pasang muka sedih, memancing simpati, dan jadi pusat perhatian. Semakin banyak yang terharu, semakin terhormat, bukan?"Maharani tersentak. Sorot matanya membara, napasnya memburu. Dengan gerakan cepat, ia meraih tas barunya—kulit asli, berlogo mahal—dan mengangkatnya tinggi, siap menghantam Ayu. "Kurang ajar kamu, ya!"Ayu tidak mundur. Tatapannya tajam, menusuk. Bibirnya melengkung sinis. "Itu tas yang Kakak beli setelah menjual aku kemarin, kan?"Gerakan Rani terhenti di udara. Matanya berkedip cepat. Jemarinya mencengkeram tas itu, lalu buru-buru ia sembunyikan di belakang tubuhnya, seolah bisa menghapus jejak dosa yang melekat padanya. "Menjual? Apa maksudmu?" suaranya bergetar, nyaris gugup.Hening sejenak. Semua mata tertuju padanya—termasuk Narendra. Pria itu menyipitkan mata, meneliti wajah Rani. "Sayang... apa yang dibilang barusan?"Ra
Baim mengusap wajahnya, pikirannya kembali kalut. "Jadi, saya harus mencari ibu susu baru?""Itu pilihan terbaik, Pak. Jika Anda bisa mencari ibu susu secara mandiri, kebutuhan ASI si kembar bisa tercukupi lebih baik."Baim mengangguk pelan. Wajahnya kembali dipenuhi kecemasan yang lain. Satu masalah selesai, tapi masalah baru selalu muncul. "Baik, Dok, saya akan mencari ibu susu untuk mereka secepatnya.""Kami juga akan membantu mencarikan dari sini," kata dokter menenangkan."Terima kasih, Dok," ucap Baim, suaranya sedikit melemah.Tak lama kemudian, dokter menyerahkan kedua bayi mungil itu kepadanya. Dengan hati-hati, Baim meletakkan mereka di kereta dorong bersusun. Kedua bayi itu tertidur lelap, wajah mereka begitu damai.Menghela napas panjang, Baim mulai mendorong kereta itu menuju area drop-off.Untuk pertama kalinya sejak bayi itu lahir, ia benar-benar membawa anak-anaknya pulang. Tapi entah kenapa, dadanya terasa semakin ber
"Kamu sudah bahagia, kan? Ibu senang kamu nggak perlu merasakan zalimnya keluarga ayahmu. Ibu senang kamu sudah tinggal di tempat yang nyaman di sana."Ia merebahkan tubuhnya di atas tanah, membiarkan dinginnya meresap ke kulitnya. Tangannya masih mengelus nisan Bintang, seakan berharap bisa merasakan denyut kehidupan yang telah pergi."Nak… Ibu rindu. Ibu kesepian di dunia ini. Bisakah kamu mengajak Ibu ke sana?"Matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Di tempat ini, di bawah langit yang perlahan menggelap, Ayu merasa dirinya bukan siapa-siapa. Hidupnya terasa begitu hampa, seolah ia hanya bayangan yang tersisa dari masa lalu.Setelah lama terisak dalam sunyi, Ayu menggerakkan tangannya ke dalam tas lusuh yang ia bawa. Ditariknya sebotol kecil ASIP yang hanya berisi tak lebih dari 15 ml. Tangannya gemetar saat menatap cairan bening itu.
"Namanya Nindi. Putri ketua Partai Maju Bersama." Hayati memperkenalkan wanita itu dengan bangga.Ayu menatap Jaka, lalu Nindi, lalu kembali ke Jaka. Ia terkekeh pelan, senyum merendahkan terukir di wajahnya. "Hah… Aku gak habis pikir," suaranya bergetar, entah karena marah atau getir."Anakmu baru saja meninggal, Mas. Tapi kamu malah mengumumkan pernikahan?"Maharani, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, mendengus. "Hei, yang mati ya udah mati aja. Apa hubungannya sama pernikahan Jaka?" katanya dengan nada malas, seolah kematian Bintang bukan hal besar.Ayu mengepalkan tangan di pangkuannya, berusaha meredam gejolak yang membakar dadanya."Kamu gak usah berharap lebih dari anakku," Hayati menyusul dengan tatapan tajam."Kami sudah cukup baik menampungmu di rumah ini. Kamu terhormat karena menjadi menantu Gubernur."Ayu terkekeh lagi, kali ini disertai air mata yang jatuh begitu saja. "Terhormat?" suaranya lirih
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,
"Apa kamu minta maaf karena kita bersentuhan?" tanya Baim, dingin.Ia terus menatap Ayu—mata itu dalam, teduh, dan kali ini tak lagi sanggup menyembunyikan perasaan yang selama ini terikat rapat.Ayu menundukkan pandangannya, tapi tubuhnya tetap diam."I-iya... Saya nggak bermaksud lancang sama Mas Baim."Lalu perlahan, dalam diam yang tak diundang, Baim melangkah mendekat. Geraknya kecil, tapi pasti. Ayu bisa merasakan panas tubuhnya kian mendekat."Baru sebulan keadaan memisahkan kita. Sekarang, apa kita kembali menjadi orang asing?"Spontan, Ayu menegakkan pandangannya. Ia menelan ludah. Matanya mulai basah, bibirnya bergetar. Tapi tak satu kata pun berhasil keluar.Mereka saling menatap—dalam diam yang mampu menjelaskan segalanya.Dan tanpa banyak kata, Baim menarik Ayu ke dalam pelukannya.Seketika, dunia di dalam lift mengecil. Yang tersisa hanyalah napas yang menyatu dan detak jantung yang terlal