"Hanya pengasuh, Umi. Saya masih berusaha mencari ibu susu untuk mereka."
Umi Euis menatap bayi-bayi itu dengan sayang, jemarinya mengusap dahi mungil mereka. "Ya Allah… kasihan cucu-cucu Umi ini." Suaranya lirih, seperti doa. "Semoga kalian tumbuh menjadi anak-anak yang saleh dan salehah."
"Aamiin." Baim menjawab cepat.
Umi Euis mengangkat wajah, menatapnya dengan bangga. "Tentu saja mereka akan menjadi anak yang kuat, seperti papanya. Kamu sudah membuktikan itu, Nak. Yatim piatu sejak remaja, tapi lihatlah sekarang… kamu sukses."
Baim tersenyum kecil. "Alhamdulillah, Umi. Semua ini juga berkat doa Umi dan adik-adik di panti ini."
Umi Euis mengusap lengan Baim yang kekar. Matanya basah. "Umi bangga padamu, Nak. Meski sudah sukses, kamu nggak pernah melupakan kami di sini."
Baim menatapnya lembut. "Bagaimana mungkin saya melupakan Umi yang pernah merawat saya di sini?"
Umi menggeleng, suaranya sedikit bergetar. "Ah&helli
"Iya, Neng," jawab si nenek. "Laki-laki dan perempuan. Mereka tampan dan cantik, seperti papanya."Ayu tidak lagi mendengar suara nenek itu. Pikirannya melayang ke dua bayi mungil yang pernah ada dalam dekapannya di rumah sakit—anak susunya.Tangannya mengepal pelan di atas meja.Dada Ayu bergetar hebat, seakan ada tarikan tak terlihat yang membuat jantungnya berdegup kencang."Nek… apa Nenek tahu siapa nama ayah bayi itu?" suaranya lirih, tapi ada desakan di dalamnya.Kedua nenek itu saling berpandangan. Salah satunya mengernyit, mencoba mengingat. "Emm… kalau nggak salah, namanya Baim."Nenek satunya mengangguk mantap. "Iya, benar. Baim namanya. Badannya tinggi, bahunya bidang. Hidungnya mancung, ada sedikit brewok."Ayu terdiam. Nama itu menggema di kepalanya. Sosok pria yang ia temui di rumah sakit, meski sekilas, ia mengingat ciri-ciri itu dengan jelas.Tangan Ayu mencengkeram sisi meja. "Nek… di
Wajah Baim menegang. Sekali lagi, ia menatap Ayu, kali ini lebih dalam, seakan mencari kepastian di matanya."Apa? Ayu? Kamu ibu susu si kembar?"Ayu mengangguk pelan."Nggak mungkin. Ayu yang dokter bilang, berumur 19 tahun. Sedang kamu, bukankah kamu masih bersekolah?"Tawa kecil lolos dari bibir Ayu. "Saya sudah 19 tahun, Pak. Dan saya sudah pernah melahirkan."Baim tercenung. Pikirannya berputar cepat. Berhari-hari ia bingung bagaimana cara mencari ibu susu yang telah menyusui anak-anaknya, dan ternyata orang yang dicarinya selama ini sudah di depan mata.Mereka bertemu beberapa kali tanpa saling mengenal. Bahkan, Ayu pernah ditolong olehnya. Berada begitu dekat dengannya."Serius?" tanyanya, masih sulit mempercayai fakta yang baru saja ia dengar."Iya, Pak," jawab Ayu mantap. "Berkat makanan sehat dari Bapak, ASI saya selalu banyak. Saya juga sudah mencari si kembar beberapa hari ini. Saya rindu mereka, Pak…" Matany
Ayu menoleh, alisnya bertaut. "Salah paham kenapa, Pak?"Baim menghela napas, jemarinya menggenggam kemudi lebih erat. "Waktu kejadian di hotel. Aku pikir kamu—" ia ragu sejenak, "—wanita nakal. Tapi, kenapa kamu diam saja waktu itu?"Ayu tertawa kecil, tapi bukan karena lucu. Lebih seperti tawa yang tertahan di tenggorokan, sarat dengan sesuatu yang tak terucap. "Karena saya sangat bahagia," katanya akhirnya. "Jadi saya nggak mampu menjelaskan apa pun."Baim menoleh sekilas, matanya menyipit, bingung. "Bahagia? Di tengah kejadian itu?"Ayu mengangguk pelan, jemarinya saling meremas di pangkuannya. "Hari itu, mungkin adalah hari terburuk dalam hidup saya. Tapi, Bapak adalah orang pertama yang mengkhawatirkan saya dengan tulus."Mereka saling berpandangan. Sejenak, dunia luar terasa menghilang. Mata Ayu menelusuri wajah Baim—garis rahangnya yang tega
Ayu membeku. Seketika, dadanya berdesir tanpa bisa ia kendalikan. Ia tak tahu apa yang membuatnya begitu gugup, tapi tatapan Baim terasa berbeda—hangat, dalam, dan entah kenapa, menelusup hingga ke relung hatinya.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berdiri, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ayo, Pak! Kita pulang. Saya sudah nggak sabar bertemu si kembar."Baim tersenyum tipis, menangkap kegelisahan Ayu, tapi tak berkomentar. Ia hanya menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Baiklah."Mereka kembali ke mobil. Selama perjalanan, tak banyak kata yang terucap. Hanya suara kendaraan yang berlalu lalang dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin.Ayu bersandar di kursi, matanya mulai sayu. Kelelahan akhirnya menyergapnya setelah seharian melalui begitu banyak emosi.Tak lama, napasnya melambat. Matanya terpejam.Baim menoleh sekilas. Ia terse
"Apakah mereka sudah tidur?" tanya Baim."Belum, Pak. Mereka harus menyusu. Pengasuh Kandi sedang mengambil stok ASIP di kulkas," jawab perempuan itu dengan sopan.Baim mengangguk, lalu berkata tegas, "Bilang padanya nggak usah. Mulai hari ini, si kembar akan disusui langsung oleh ibu susunya." Ia menoleh ke Ayu, lalu memperkenalkannya. "Kenalkan, namanya Ayu."Ayu tersenyum dan melangkah maju. Ia meraih tangan perempuan itu, menggenggamnya dengan hangat. "Halo Mbak, saya Ayu," sapanya lembut.Perempuan itu membalas senyumannya. "Iya, Mbak. Saya Fatma, pengasuh Juna. Kalau yang sedang ambil ASIP namanya Sari, pengasuh Kandi."Ayu mengangguk pelan, menyimpan informasi itu dalam ingatannya. Matanya beralih ke dua boks bayi yang berayun pelan, lalu berbisik, "Jadi... nama mereka adalah Juna dan Kandi ?""Oh iya, aku lupa bilang," jawab Baim sambil m
Ayu menyeka pipinya dengan punggung tangan, lalu terkekeh pelan. "Saya cuma senang banget bisa ketemu mereka lagi, Mbak."Fatma tersenyum, ikut merasakan ketulusan yang terpancar dari Ayu. "Saya juga sangat senang. Akhirnya, si kembar menemukan ibu susu tetap." Ia menatap Arjuna yang masih nyaman menyusu."Selama ini, Pak Baim selalu sibuk mencari ASIP untuk mereka."Ayu mengangguk pelan, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Meski luas dan mewah, ada sesuatu yang terasa hampa di dalamnya. Sepi."Kalau boleh tahu... kenapa rumah sebesar ini sepi banget, Mbak?" tanyanya hati-hati.Fatma menoleh, lalu menghela napas pelan. "Itu karena memang gak ada orang, Mbak. Yang tinggal di sini cuma Pak Baim dan si kembar."Ayu mengernyit. "Apa Mbak Fatma tahu di mana ibu mereka?"Fatma menelan ludah, ragu sejenak sebelum menggeleng. "Saya nggak tahu, Mbak. Saya juga gak berani tanya," ujarnya dengan suara pelan, lalu menyeringai kecil. "K
Ayu menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Mbak Sari. Saya turun dulu, ya."Sari membalas dengan anggukan, sementara tangannya terus menepuk pelan punggung Srikandi yang mulai menggumam pelan.Tanpa menunggu lebih lama, Ayu dan Fatma melangkah menuju lift, derap kaki mereka berpadu dengan suara halus pendingin ruangan yang berdengung di latar belakang.Fatma menekan tombol panah ke bawah, jarinya menempel sesaat sebelum ia menunjuk ke arahnya. "Kalau mau turun, kamu pencet yang ini ya, Yu."Ayu mengangguk, memperhatikan deretan tombol di panel lift."Rumah ini ada tiga lantai," lanjut Fatma. "Kamar si kembar ada di lantai tiga, paling atas. Kamar aku dan Sari juga di sana, biar lebih gampang kalau mereka butuh sesuatu."Sebuah bunyi lembut terdengar, lalu pintu lift terbuka. Ayu melangkah masuk bersama Fatma, matanya menyapu ruangan kecil den
Ayu terperanjat. "Ih, Mbak Fatma ada-ada saja. Pak Baim kan sudah punya istri.""Tapi istrinya nggak pernah ada buat dia," Fatma menghela napas, suaranya terdengar lebih serius. "Kasihan, loh. Pak Baim selalu sendirian. Apalagi dia juga anak yatim, nggak punya keluarga. Makanya, dia sangat baik sama kita. Dia menganggap kita semua keluarganya."Ayu mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. "Saya sudah mengira, Pak Baim orang baik."Fatma menatapnya lekat-lekat. "Apa kamu pernah bertemu dengan Bapak sebelumnya?"Ayu menelan ludah. Ada bayangan kelam yang seketika muncul di benaknya. "Iya," suaranya terdengar lebih pelan. "Dia menolong saya... saat hampir diperkosa oleh pria tua."Fatma terbelalak, napasnya tercekat. "Astaghfirullah... Ayu."Ayu menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Andai waktu itu Pak Baim nggak membuka pintu l
"Itu... suara mobil Pak Baim?" kata Indri lirih, lalu melesat ke pintu.Daun pintu terayun lebar, dan sinar matahari siang langsung menusuk matanya. Panas aspal memantulkan cahaya menyilaukan. Indri menyipit, menelusuri jalan dengan pandangan gelisah."Biar aku lihat... jangan-jangan itu memang dia."Laura melipat tangan di dada, satu alis terangkat. "Benar, kan? Kamu sengaja mengulur waktu biar Mas Baim datang mencegah kamu pergi."Ayu membuka mulut, tapi tak sempat bicara. Indri masuk kembali sambil menutup pintu dengan gerakan cepat. "Bukan. Ternyata cuma taksi online," ujarnya menyeringai.Ayu menatap Laura, matanya sempit seperti bilah silet. Sebuah senyum tipis, penuh ejekan, muncul di wajahnya."Andai saya mau, saya bisa minta Mas Baim datang sekarang juga. Tapi saya cukup tahu diri."Laura mendengus. "Baguslah. Kalau begitu, cepat pergi!"Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjal
Laura menoleh cepat ke arah tangga. Matanya menyipit, napasnya tercekat. Ia menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur—seolah berharap langkah kaki itu bukan pertanda bencana."Awas aja kalau kamu berani bicara pada orang lain," ancamnya.Ayu terdiam. Wajahnya datar, matanya tak lepas dari arah tangga. Alisnya mengernyit, mencoba mengenali siapa yang akan muncul.Langkah pelan terdengar, dan sesaat kemudian, Sari muncul dari ujung tangga.Laura menarik napas tajam, lalu melempar tatapan dingin pada Ayu. "Ingat ya, jangan bicara macam-macam.""Bu Laura... Ayu. Ada apa?"Laura menyilangkan tangan di dada, dagunya terangkat sedikit. "Kamu juga. Kepo banget sama urusan orang. Udah sana!"Sari tersenyum masam. Matanya bergerak cepat dari Laura ke Ayu. "Maaf, Bu, kalau saya mengganggu. Ayu... Aku nanti balik lagi ya."Ayu hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lebih seperti isyarat terima kasih yang tidak terdengar.
"Apa kamu juga melihat pesan itu?" tanya Sari, matanya memburu wajah Fatma.Fatma mengangguk pelan. Sorot matanya berguncang, menyimpan sisa-sisa kepanikan yang belum reda.Para karyawan saling pandang, gugup, setelah mengecek ponsel masing-masing."Itu kamu, kan, Indri?" Sari menatap tajam."Aku? Kenapa harus aku?" Indri mengangkat alis, suaranya meninggi."Pesan ini dikirim ke grup karyawan rumah. Dan cuma kamu yang selama ini paling suka menguliti hubungan Pak Baim dan Ayu. Jadi... itu pasti kamu, kan?" nada Sari tajam, tak menyisakan ruang untuk menyangkal."Yeh... jangan asal nuduh, dong." Indri mengibaskan tangan. "Aku mana punya akses ke rekaman CCTV rumah." Ia terdiam sejenak, lalu mendongak, matanya menyipit. "Apa jangan-jangan... Bu Laura udah lama punya bukti perselingkuhan mereka?"Mak Ti, yang sejak tadi hanya menunduk menatap lantai, akhirnya mengangkat wajah. Guratan kekhawatiran mengukir garis di keningny
"Yu... kamu udah lihat berita hari ini?" Suara Fatma gemetar, nyaris berbisik tapi sarat tekanan.Ia melangkah cepat dari balik pintu, beberapa detik setelah Baim pergi. Napasnya memburu, matanya membelalak saat ia memasuki ruang bayi. Seolah ada sesuatu yang besar—mendesak—yang harus segera disampaikan.Ayu yang tengah hendak meletakkan Arjuna menoleh. Langkahnya terhenti."Berita apa, Mbak? Aku belum buka handphone."Tanpa menjawab, Fatma langsung meraih Arjuna dari pelukan Ayu dan memindahkannya ke boks bayi. Gerakannya terburu-buru, seperti ingin segera menyelesaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Ayu spontan mengangkat Srikandi dan menempatkannya ke boks satunya.Fatma mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video YouTube, lalu menyodorkannya pada Ayu. "Lihat ini."Di layar, wajah Baim muncul, disandingkan dengan judul besar dan mencolok:"Skandal Cinta CEO Gran Mahakam dan Menantu Gubernur: Perselingkuhan, Kehancu
Ayu perlahan mengangkat wajahnya. "Apa maksud pertanyaan itu, Mas?""Aku hanya ingin memastikan—yang tidur denganku semalam adalah kamu," jawab Baim dingin.Sorot mata Ayu berubah—tidak lagi lembut seperti saat menyusui, tapi tajam, terluka. Mulutnya terbuka sedikit. Pikirannya berpacu, berusaha menjahit ulang setiap detik semalam."Apa maksud Mas Baim?" batinnya bergemuruh. "Dia lupa siapa yang tidur dengannya semalam?"Tatapannya memaku wajah Baim. Ada sinis yang terselip di balik tenangnya."Semudah itukah, Mas Baim melupakan kejadian semalam?"Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tajam namun terkendali:"Apa mungkin saya bisa tidur dengan Mas Baim, sementara Bu Laura terbungkus hangat dalam dekapanmu?"Baim menunduk sebentar, lalu menatap Ayu kembali—kali ini lebih dalam, seolah mencoba menggali kebenaran yang terkubur."Aku tidak sedang mabuk malam itu, Ayu. Aku sadar... setiap detiknya
"Kok kamu kaget gitu sih, Mas?" Laura menyipitkan mata. Seolah mencium sesuatu yang tak wajar dari suaminya."Aku cuma kaget aja. Lihat kamu tidur di sebelahku.""Jadi seharusnya bukan aku? Kamu berharap Ayu yang tidur di sini?"Baim terdiam. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Ia mengalihkan pandangan, seolah mencari lubang di lantai tempat ia bisa menghilang."Nggak... Bukan begitu."Laura mendengus pelan. "Apa jangan-jangan... Ayu yang tidur di sini semalam, Mas?"Mata Baim terbelalak. Ia berusaha keras mencari jawaban yang tepat."Kok kamu bisa mikir begitu? Memangnya semalam kamu nggak di kamar ini? Kamu tidur di mana?"Laura menoleh spontan. Senyumnya tipis—ada getir yang nyaris tak bisa disembunyikan di sana. Tatapannya menari gelisah di mata Baim, lalu berpindah ke bibir, ke dagu, dan kembali lagi. Jemarinya meremas ujung selimut, seolah ingin menyembunyikan sesuatu di balik tenang wajahnya.
"Bu Laura baru datang? Syukurlah... berarti dia nggak lihat aku sama Mas Baim semalam.""Leon... aku punya keluarga di sini. Tentu saja aku harus pulang," bisik Laura sambil berjalan perlahan.Suara itu membuat dahi Ayu berkerut. Wajah Laura yang sebelumnya tampak acuh, kini terlihat gelisah."Leon lagi? Sebenarnya, apa hubungan Bu Laura dengan Leon itu?" gumam Ayu."Aku datang ke Indonesia cuma buat kamu. Apa kamu nggak hargai itu?" Suara Leon kembali terdengar.Laura mendengus pelan, menahan suara. "Oke, oke... nanti aku balik lagi ke sana.""Nah... gitu dong. Kali ini, kamu mau gaya apa?"Langkah Laura melambat. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Leon... aku masih sakit gara-gara semalam. Kamu cambuk aku terlalu keras. Sekarang badanku remuk semua.""Ayolah, Laura... kamu kan suka itu. Tapi oke, kali ini kita 'vanilla' aja. Gak ada cambuk, gak ada ikat. Cuma kamu dan aku... seperti orang jatuh cinta."
"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Mbak," jawab Ayu spontan, suaranya terdengar panik.Fatma dan Sari saling pandang."Nggak ngapa-ngapain gimana maksudnya?"Ayu salah tingkah. Perkataannya sendiri seolah menjebaknya."Ya maksudnya... saya cuma tidur sama si kembar. Terus, pas main, mereka... ngacak-ngacak rambut saya. Iya, gitu aja, Mbak.""Padahal kami pikir kamu nggak bisa tidur karena sibuk jagain mereka berdua. Eh, ternyata kamu nyenyak tidur?" kata Sari, sedikit menggoda.Ayu menggaruk kepalanya yang tak gatal."Iya. Nyenyak, kok, Mbak.""Oh... syukurlah kalau begitu. Soalnya biasanya kamu selalu tampil rapi dan cantik," jelas Sari."Iya, aku sampai mikir kamu punya aura alami gitu, lho," timpal Fatma sambil tersenyum kecil. "Tapi hari ini... kamu kelihatan capek banget. Udah, deh, besok-besok jangan ajak si kembar tidur di sini lagi. Kamu juga butuh istirahat."Ayu tertawa—cepat dan singkat.
"Nggak ada orang lewat, kan?" bisik Ayu, memastikan situasi benar-benar aman.Pandangan matanya menyapu lorong panjang. Saat merasa cukup yakin, ia menyelinap keluar, menutup pintu di belakangnya sepelan mungkin.Ayu berlari kecil, berjinjit di atas lantai dingin. Napasnya terengah, pendek-pendek. Ia berdoa dalam hati, berharap tak seorang pun memergokinya keluar dari kamar Baim.Setibanya di kamarnya, Ayu menutup pintu dengan cepat. Tubuhnya langsung bersandar di daun pintu. Bahunya naik-turun menahan napas yang tercekat. Jantungnya masih berdetak kencang, seolah baru saja lolos dari kejaran binatang buas."Apa yang sudah kamu lakukan, Ayu? Ya Allah..."Matanya terpejam. Ia mencoba mencerna kesalahan yang baru saja terjadi—lalu menenangkan dirinya sendiri. Berharap bayangan semalam segera sirna dari pelupuk mata.Pandangannya beralih ke ranjang. Dua bayi mungil terbaring di sana, kaki-kaki kecil mereka menendang-nendang selimut,