Di sebuah ruangan yang astetik, mata Anita membulat melihat pemandangan sekelilingnya. Dia takjub dengan ruangan sang direktur. Banyak barang antik yang tersusun rapi di sisi ruangan beserta tembok yang sengaja dibalut dengan emas.
"Hei! Apa yang kau lihat? Apa kau masih terpukau disaat anakku barusaja kau racuni?" ucap direktur dengan nada suara yang arogan.
"Aku santai begini karena tidak merasa bersalah. Aku tidak meracuni anak kecil itu." balas Anita dengan suara tegas.
"Benarkah? Apa aku harus percaya denganmu? Lihat saja apa yang terjadi padamu, jika Jaya tidak sadarkan diri. Aku buat hidupmu hancur, lebih hancur diriku." ucapnya dengan tegas.
"Kau sudah selesai mengancam? Apa boleh aku pergi?" tanya Anita sambil bangkit. Sebelum direktur menjawab, salah satu asisten pribadinya datang dan langsung berbisik padanya.
"Jaya sudah sadarkan diri. Mari kita pergi melihatnya bersama!" titahnya sambil berjalan lebih dulu sebelum mendapat persetujuan dari Anita.
"Aku banyak pekerjaan, aku tidak bisa mengikuti kemauanmu hari ini. Sampai jumpa dan jangan bertemu kembali!" ujar Anita yang berlari keluar dengan terburu-buru. Dia menarik ponselnya segera dan menghubungi temannya dengan wajah panik.
Sesampai di kafe, Anita segera masuk dan berlari kecil menuju ruangan khusus pemilik kafe. Rani Fatma, salah satu anak konglomerat, rekan sekaligus sahabat baik Anita. Rani tersenyum saat temannya langsung masuk menemuinya.
"Bagaimana hasil wawancaranya? Kau diterima? Kau harus berterima kasih padaku karena aku yang membantumu sampai bisa mendapat pekerjaan itu. Aku dengar, direktur disana wajahnya sangat tampan melebihi tampannya sang malaikat." Goda Rani sambil berjalan menghampiri Anita.
"Kau serius? Tidak ada wawancara disana. Darimana kau dapat informasi itu? Aku malah mendapat kesialan di tempat itu." Jelas Anita yang kesal. Dia membuang dirinya di sofa empuk milik Rani.
"Benarkah? Aku tidak mungkin salah. Biar aku cek dulu. Seharusnya wawancaranya hari ini. Apa kau tidak dapat email baru? Bisa saja mereka mengubah tempatnya atau waktunya?" ucap Rani yang kebingungan. Anita menepuk kepalanya melihat tingkah sahabatnya.
"Oh, aku rupanya salah. Seharusnya jadwalnya sudah usai. Ini jadwal lama. Aku salah mengira, maklum sudah tua tetapi masih perawan." ucap Rani sambil tertawa seorang diri. Anita bangkit, memukul kepala Rani lalu bergegas keluar dengan wajah memerah. Dirinya dipermainkan seperti boneka.
"Sial. Dia pikir siapa, berani mengejekku. perawan tua? Kata itu lebih cocok untuknya." Umpat Anita yang menunggu taksi di depan kafe Rani.
Ting..
Ponselnya berdering tandanya mendapat pesan masuk. Tangan Anita bergerak cepat membuka pesan. Matanya memutar malas membaca pesan yang tidak penting menurutnya.
[Kau, dimana? Pulang lebih awal hari ini. Nenek sudah mengatur jadwal kencanmu. Kali ini, kau harus datang dan mencoba membuka hati untuk laki-laki. Nenek tidak kuat melihatmu terus berjalan seorang diri tanpa pasangan.]
"Nenek! Nenek! Kenapa semua orang semakin menyebalkan hari ini. Apa hari ini adalah hari terburukku?" tanya Anita yang berteriak di pinggir jalan membuat orang lewat menoleh ke arahnya.
**
****Malam semakin larut, Anita baru pulang setelah menduga neneknya sudah tidur lebih awal. Lampu padam di ruang tamu, semakin terukir senyum manis Anita. Baru beberapa langkah menaiki tangga, lampu yang tadinya mati mendadak menyala dengan terang. Anita berhenti berjalan dan menoleh ke belakang dimana seseorang yang tengah dihindari, sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya dan menatap Anita tajam.
"Oh, nenek! Nenek membuatku jantungan. Kenapa belum tidur? Ini sudah lewat larut malam. Seharusnya nenek tidur lebih awal. Tidak baik dengan kondisi kesehatan nenek." Omel Anita dengan wajah frustasi.
"Kau mengkhawatirkan nenekmu? Kau seharusnya mengikuti saran nenekmu ini. Sebentar lagi, keluarga kita akan berkumpul. Para sepupumu datang dan membawa pasangan mereka. Lalu, kau? Apa yang kau bawa? Sampai sekarang belum menikah ataupun mendapat pacar." Kata nenek Anita yang menampilkan wajah sedihnya.
"Aku tidak akan datang sendiri." jawab Anita dengan santai.
"Benarkah? Kau sudah punya pacar? Itu bagus, kenalkan pada nenek lebih dulu. Biar nenek nilai, dia orang seperti apa." ucap nenek Anita yang mengubah raut wajahnya dengan senyum senang.
"Aku tidak mengatakan jika aku punya pacar. Aku bisa pergi ke sana bersama nenek kan?" jelas Anita yang sekilas kembali memunculkan amarah neneknya. Anak itu berlari cepat menaiki tangga sebelum mendengar teriakan jahannam neneknya.
"Anita!!!!"
Di dalam kamar, Anita masih mendengar teriakan neneknya meski sudah menutup pintu dengan rapat. Neneknya sudah tua, tetapi teriakannya tidak berubah sama sekali. Dengan menghela nafas kasar, Anita membuang dirinya ke tempat tidur. Dirinya lelah hari ini dan sangat lelah sampai tidak bisa bangun. Matanya terpejam sempurna hingga pagi mendatang.
Ting.. Ting.. Ting..
Alarm ponsel Anita berdering membuat gadis perawan itu bangun dengan mata masih tertutup. Setelah menghentikan alarmnya, dia kembali berbaring, berniat melanjutkan tidurnya. Namun keponakan manisnya yang berusia sembilan tahun, mengejutkan Anita.
"Aunty, antar aku ke sekolah!" ucapnya sambil menarik tangan Anita. Saat Anita tidak bangun, dia malah menarik kaki Anita membuat Anita terjatuh ke lantai.
"Hei! Kau!!" tunjuk Anita yang menghentikan mulutnya berbicara kasar pada anak kecil. Dia mengelus dadanya, menenangkan amarahnya yang hampir mencapai ubun-ubun.
"Aunty sangat lelah, bisakah kau menyuruh nenek saja yang mengantarmu?" ucap Anita dengan suara lemah lembut dan tersenyum manis.
"No! Aku maunya aunty yang melakukannya." ucapnya sambil mengibas rambut panjangnya yang sengaja dikuncir dua.
"Baiklah! Tunggu beberapa menit!" Hela Anita yang tidak bisa mengalah ketika dirinya melihat wajah cemberut sang keponakan.
"Hore! Hore!" teriaknya dengan senang.
Setelah mengantar keponakannya ke sekolah, Anita singgah ke rumah sakit dimana temannya sedang dirawat disana. Dia menghubungi Rani di tengah perjalanan. Namun, tanpa sengaja Anita bertemu lagi dengan anak kecil yang memeluknya kemarin.
"Loh, anak itu, kenapa bisa ada disini. Apa dia terluka parah atau benar-benar keracunan?" tanya Anita yang berhenti berjalan ketika melihat Jaya dibawa suster dengan kursi roda. Wajah Jaya tampak pucak dan dirinya terus saja menunduk seolah tak bersemangat.
"Hei! Anak kecil! Apa yang kau..." Anita berteriak memanggilnya sambil berjalan menghampiri Jaya, namun anak itu langsung berlari ke arahnya setelah mendengar teriakan Anita. Jaya bahkan bisa berlari cepat memeluk Anita, padahal kondisi tubuhnya sedang lemah.
"Mama! Mama! Kau akhirnya datang!" ucap Jaya yang menangis memeluk Anita.
"Mama? Kenapa kau selalu memanggilku dengan sebutan mama? Apa aku benar mirip dengan mama mu?" tanya Anita yang berjongkok melepas pelukan Jaya.
"Mama, tolong Jaya. Apa mama tidak kasihan melihat Jaya menangis memanggil mama?" ucap Jaya yang terisak di depan Anita.
Suster yang merawat Jaya, berdiri mematung dibelakang Jaya sambil menatap tajam ke arah Anita. Dia memeriksa penampilan Anita dari atas sampai bawah.
"Anda benar istri sang direktur?" tanya suster sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Bu.. Bukan. Sejujurnya, aku hanya kenal.." Kata Anita terhenti ketika Jaya tiba-tiba menyahut.
"Dia benar, mamaku. Kau tidak lihat, wajah kami sangat mirip?" balas Jaya yang kini tersenyum bahagia. Anita dibuat pusing, bagaimana bisa wajahnya tampak mirip dengan Jaya. Menurutnya, sangat berbeda dan jauh berbeda.
Anita sibuk bermain dengan Jaya hingga tidak sadar, orang yang membuatnya kesal setelah melihatnya sudah datang. Alis Anita sempat tertaut ketika melihat orang menyebalkan itu tersenyum ke arahnya."Kau salah makan? Apa barusaja kau keracunan?" Tanya Anita sambil bangkit. Jaya yang berada di sampingnya ikut berdiri dengan senyum manisnya."Papa sudah tiba? Mama dan aku dari tadi menunggu disini." Adu Jaya dengan wajah riang."Aku sudah bilang, berhenti memanggilku dengan sebutan mama. Aku benar-benar bukan mama mu!" Teriak Anita sambil menekan perkataannya."Ah, mama tidak perlu malu-malu didepan papa. Jaya tahu kok, hati mama selalu merindukan papa." Ujar Jaya sambil menyenggol tubuh Anita. Mata Anita membulat, dia menunjuk dirinya sendiri. Tidak percaya dengan perkataan anak kecil yang barusaja ditolongnya."Aku? Merindukan orang menyebalkan ini? Apa tidak ada pria lain di dunia ini?" Sahut Anita sambil melipat kedua tangannya."Wah, wajah mama semakin manis. Sama waktu itu." Ucap J
Belum juga Anita bangun, dia sudah mendapat pesan dari Wira untuk mengantar Jaya ke sekolah. Jaya tidak mau pergi, jika bukan Anita yang mengantarnya. Hal ini membuat Anita pusing berkeping-keping. Mana dia juga punya keponakan cantik yang harus diantar tiap pagi."Ya ampun, beban bertambah lagi." Umpat Anita yang merenungkan nasibnya.Setelah selesai sarapan pagi bersama Lilis, Anita berangkat membawa Lilis ke sekolah. Namun dia singgah ke rumah Jaya terlebih dahulu untuk membawa anak itu juga. Lilis yang melihat aunty nya melewati jalan berbeda, mulai berkomentar."Aunty! Kau salah jalan!" Teriak Lilis dengan keras."Tidak, ini jalan yang benar." Balas Anita."Benarkah?" Lilis kebingungan dan semakin bingung setelah Anita berhenti di depan sebuah rumah megah. Anita turun dan membuka pagar sambil menarik Lilis."Aunty, kita mau merampok di rumah orang?" Tanya Lilis yang tidak mau berhenti berbicara."Aunty mau memperkenalkan kamu dengan teman baru." Ujar Anita tersenyum ramah. Kebetu
Di ruang tamu, Nenek Anita menatap tiga orang di depannya dengan tatapan menusuk, termasuk Anita. Cucu yang selama ini dijaga baik malah pulang membawa anak."Berapa usiamu?" Tanya nenek Anita menunjuk Jaya."Sepuluh tahun," jawab Jaya singkat sambil mengibas senyum manisnya."Ayahmu?""Aku tidak punya ayah, hanya papa yang menjagaku selama ini." "Umur papamu!" Teriak nenek Anita yang masih kesal dengan Anita. Amarahnya belum mereda."Papaku berumur sekitar empat puluh tahunan. Apa nenek mau bicara dengan papaku? Aku bisa menghubunginya," ujar Jaya menarik ponselnya dari saku celana."Tidak perlu, aku tidak tertarik. Papamu jauh lebih tua dari cucuku, bagaimana bisa.." Nenek Anita memegang kepalanya yang terasa nyut-nyut menyelesaikan masalah cucu kesayangannya. Dengan menghela nafas perlahan, nenek Anita berusaha menenangkan dirinya."Ayahmu rupanya sudah tua," sahut nenek Anita dengan suara ditekan. Hatinya tidak bisa menerima, cucunya yang masih lajang dekat dengan seorang duda me
Satu keluarga besar berkumpul di rumah nenek Anita. Kakak Anita, Yuni ikut pulang menemui sepupu dan bibinya. Mereka memang selalu membuat acara berkumpul setelah tiga bulan."Bu, cucu tersayang ibu belum juga nikah? Apa takut menikah karena akan seperti kakaknya?" sahut Umi, menantu kedua nenek Rani yang angkuh dan sombong. Suaminya bekerja sebagai asisten kantor hingga mendapat gaji yang tinggi membuat harga dirinya juga tinggi."Apa maksud kamu? Kalau punya mulut dijaga dengan baik!" titah Nenek Anita melirik dengan tatapan sinis. Selalu saja berkata seperti itu ketika datang ke rumah mertuanya."Kau harus punya sopan santun ketika bertemu mertua. Bukan karena Anita trauma dengan kerusakan rumah tangga kakaknya, tetapi dia tidak laku. Tidak ada lelaki yang minat dengannya." ejek Sulis, bibi Anita yang selalu membanggakan dirinya."lihat anakku, dia sudah cantik, punya suami polisi lagi. Aduh, kalau dibandingkan dengan Anita, mana bisa mengalahkan anakku?" ucap Sulis menunjuk anakny
Setelah membawa Jaya ke rumah Wira untuk sementara, kini Anita dihakimi sepupu dan bibinya ketika kembali. Mereka dengan sengaja menunggu Anita di depan ruang tamu dan langsung menyinggung Anita terang-terangan."Ya ampun, sudah lelah cari uang, sudah lelah merepotkan keluarga, kini bermimpi jadi isteri sang dudu yang kaya. Kalau aku, jelas tidak mau beda usia kan mereka?!" tanya Anjar, sepupu Anita yang paling cerewet."Itu bukan cinta yang tumbuh, mata yang bersinar ketika melihat uang. Dari dulu, Anita itu mirip banget sama kakaknya. Mau juga berhubungan dengan orang lebih tua darinya, setelah diceraikan nanti, baru sadar diri!" tambah Umi yang sengaja mengeraskan suaranya.Anita membanting pintu, lalu masuk dengan tatapan tajam mengarah pada semua orang yang duduk di sofa. Tangan Anita pun terlipat di depan dada dengan angkuh."Lagi nggak ada pekerjaan, emak-emak?" tanya Anita menaikkan kakinya di atas meja membuat para bibinya terkejut."Kamu selalu kurang ajar, tidak punya sopan
Pagi sekali, Lilis selesai bersiap dengan pakaian olahraga. Dia ingin ikut dengan Anita dan Yuni yang akan pergi ke pusat olahraga. Hari ini, Anita libur bekerja. Anita hanya mengirim pesan pada Wira jika dirinya akan sibuk hari ini."Tante! Jaya ikut nggak?" tanya Lilis sambil berbisik. Lilis tahu, neneknya tidak suka jika nama Jaya di ucap."Nggak, nenek bisa jantungan nanti kalau kau terus membahas Jaya. Sudah, biarkan saja Jaya menghabiskan waktu bersama papa nya!" jawab Anita yang mengambil air minum di kulkas.Wajah Lilis langsung murung, kepalanya menunduk membuat Yuni heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa sayang?" tanya Yuni sambil berjongkok menyetarakan tinggi tubuh Lilis. Wajah sedih anaknya semakin terlihat jelas."Anak tante nggak ikut kita olahraga, nanti Lilis main sama siapa disana?" ucap Lilis membuat Yuni tercengang."Lilis tahu nggak? nenek tidak suka jika kita bahas Jaya. Kemarin saja, Anita ketahuan habis dari rumah Jaya, hari ini dilarang keluar. Andai bukan
Air mata Anita tidak hentinya mengalir, hatinya semakin sakit di usir oleh neneknya. Bahkan Anita belum menjelaskan pun, Neneknya sudah masuk dan mengunci pintu. Yuni masih setia menemani adiknya di depan rumah nenek Anita."Aku akan bicara dengan nenek, kamu tetap disini. Aku yakin, nenek hanya kesal saja!" ucap Yuni yang berniat masuk ke dalam rumah, namun tangannya di tahan oleh Anita."Nggak apa-apa, Kak. Lebih baik kakak tidak perlu ikut campur atau kakak juga bisa di usir. Apalagi, si setan masih ada di dalam rumah. Mereka pasti akan memanas-manasi nenek lagi." ujar Anita yang mengusap air matanya."Lalu, kau sekarang mau kemana?" tanya Yuni."Aku tidak punya tempat lain selain tinggal dengan Jaya." jawab Anita. Mata Yuni membulat, setelah adiknya di usir, Anita semakin menjadi-jadi."Kalau nenek tahu, dia akan semakin marah. Dia melarang kami berhubungan dengan keluarga Jaya!" teriak Yuni tidak percaya dengan pengakuan Anita. Tetapi Anita malah tersenyum."Aku akan buktikan, ap
Malam hari yang panjang, semuanya tampan berbeda bagi Wira. Pemandangan lain yang belum pernah terjadi, malah dilihatnya malam ini. Senyum Jaya tidak hentinya bersinar ketika bermain dengan Lilis dan Anita. Wira diam-diam memperhatikan mereka dari kamera cctv yang dia pasang di kamar Jaya."Mereka tampak seperti keluarga!" ucap Wira tersenyum sambil fokus memperhatikan laptopnya dimana wajah Anita dan Jaya tidak hentinya membuat matanya takjub."Lilis senang punya sepupu kaya Jaya. Lilis juga mau, Jaya selalu jadi anak aunty!" ucap Lilis yang melompat di kasur super king Jaya."Tentu saja, aku sudah bilang diriku ini akan selalu menjadi anak mama, benarkan Ma?" tanya Jaya menoleh ke arah Anita. Tatapan dua anak itu terlihat polos membuat Anita terpaksa menyetujuinya."Jadi, kapan aunty ku punya hubungan dengan papa tua itu? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya selama ini?" tanya Lilis dengan mulut ceplosnya."Sebelum aku lahir tentu saja, karena itu aku jadi lahir kan? kalau tid
"Jaya! Jaya!" Panggil Anita di bawah. Jaya langsung menoleh dan menghentikan langkahnya menuju papanya. Buru-buru Wira menyembunyikan laptop itu di dalam kamar Lilis."Selamat!" ucap Wira dengan lega. Hal menakutkan di dunia ini tidak jadi datang.Setelah memastikan Jaya sudah tidak ada diluar, Wira segera pergi darisana sambil membawa laptop Jaya. Dia memperhatikan laptop Jaya yang sudah rusak."Ini tidak bisa di perbaiki lagi. Apa aku harus membeli yang baru? Tetapi, Jaya akan tahu jika laptopnya rusak," guman Wira yang di penuhi rasa bersalah."Pak Wira! Bagaimana keadaan sekarang, sudah aman?!" tanya Rafael yang masuk ke ruang kerja Wira setelah bersembunyi tadi."Dasar kamu!" Wira melempar buku ke arah Rafael, begitu kesal anak itu baru muncul sekarang setelah membuat kekacauan."Maaf, bukan aku yang salah." bela Rafael."Iya, bereskan masalah ini cepat sebelum Jaya menyadarinya. Dia selalu memeriksa barang-barangnya sebelum tidur." kata Wira yang khawatir."Bagaimana caranya? In
Ah.. Ah.. Ah..Teriakan Yuni dari dalam kamar membuat Anita dan Wira tampak ragu membuka pintu. Mereka takut melihat adegan yang terlarang."Ya, sepupumu rupanya mesum juga. Apa dia menggoda kakakku hingga mengambilnya?!" tanya Anita sambil melirik Wira dengan tatapan merendahkan."Sepupuku yang salah? Bukannya suara kurang mengenakkan itu dari mulut kakakmu? Berarti dia sangat menikmati permainan sepupuku!" ucap Wira membalas."Ya, kakakku janda yang harga dirinya lebih tinggi dari yang kau duga. Bukan hanya itu, selama ini kakakku sangat menjaga dirinya, pasti sepupumu itu yang menggoda kakakku lebih dulu!" tunjuk Anita dengan tajam."Kakakmu yang salah, kenapa membawa sepupuku. Aku yakin sekali dan menjamin Rafael bukan sembarang lelaki. Dia itu masih perjaka selama ini!" jelas Wira yang emosi."Apa?! Kau yakin Rafael masih perjaka? Tadi saja dia membawa bra wanita, sekarang mulai bertingkah pada kakakku. Dia juga sudah melepas status perjaka nya itu!" umpat Anita dengan keras.Wir
Jaya berlari menuruni tangga mencari Wira. Anak itu tampak memutar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari wajah tampan Wira."Papa! Gawat! Darurat!" Jaya berteriak keras agar Wira segera memunculkan dirinya di hadapan anaknya.Tidak butuh waktu lima menit, Wira datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik melihat keadaan anaknya."Jaya! Kau kenapa nak? Apa sesuatu terjadi padamu?!" tanya Wira sambil memeriksa tubuh Jaya."Baik saja, tetapi hati Jaya yang sakit, Pah!" rengek Jaya."Hati Jaya?!" Alis Wira terangkat, terheran-heran mendengar jawaban Jaya."Iya benar. Mama akan pergi berkencan, dia sampai berdandan sangat cantik. Bagaimana jika mama mendapat calon papa baru yang tajir dan tampan, lalu punya anak juga yang lebih menggemaskan dari Jaya? Jaya sangat khawatir karena itu, Papa harus menahan mama agar tidak berkencan dengan duda lain." Jelas Jaya mengutarakan isi hatinya."Apa yang kau bicarakan?!" "Papa mau kehilangan Jaya? Tidak kan, kalau begitu turuti perka
Baru pagi hari, dua pasang mata saling melotot. Terlebih, Anita melipat kedua tangannya tidak mau kalah dari Wira."Mungkin wajahmu tampak menyeramkan, tetapi aku tidak takut denganmu sama sekali!" ucap Anita penuh percaya diri."Cihh, dasar perawan tua! Apa kau tidak tahu kesalahan mu padaku, ha? Kau mengajari anakku hal yang tidak seharusnya dia lakukan!" Bentak Wira dengan suara lebih keras lagi dari Anita."Siapa yang mengajarinya!" Sifat emak-emak Anita mendadak muncul. Tangannya berpindah posisi ke pinggangnya."Aku dari tadi memberitahumu, aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin malam. Aku tidur nyenyak di dalam kamar. Mana aku tahu, Jaya membuat ulah!" teriak Anita lebih keras lagi membuat Wira segera menutup telinganya."Suaramu terlalu keras, telingaku terasa mau pecah!" balas Wira yang menjauh sedikit dari Anita."Iya, kamu jangan terus menyalahkan aku. Bukan aku yang menyuruh Jaya untuk melakukannya. Aku ini orang baik dan selalu mengajari Jaya hal yang baik seperti seoran
Dua orang memasang mata mereka di depan layar komputer Wira. Anita menepuk meja sambil menghela nafas panjang, belum bisa memecahkan kode yang dibuat Jaya."Kenapa ini sangat sulit?!" ucap Anita mengeluh."Iya, kau sendiri yang mengajari Jaya. Dulu, dia lebih nakal dari ini, sekarang masih bertambah. Ajari yang benar sebagai ibu angkat, kau bisa tidak mendapat gaji!" ucap Rafael mengancam Anita."Aku?!" Anita menunjuk dirinya sendiri."Iya, siapa lagi." jawab Rafael dengan suara meninggi. Wajah Jaya memerah, tidak suka mamanya di bentak. Jaya langsung menendang buaya darat Rafael membuat Rafael merintih kesakitan sambil memegang buayanya."Paman, berhenti memarahi mamaku. Aku bisa menghilangkan buaya mu nanti agar kau tidak bisa punya anak dan tidak bisa menikah!" balas Jaya mengejutkan Anita dan Wira."Jaya! Bersikap sopan!" sahut Wira menatap tajam anaknya."Sopan? Hei! Kau tidak memberi anakmu hukuman? Dia memukulku dan hampir merusak keturunanku!" teriak Rafael menunjuk Wira."Ka
"Ayah Lilis?!" Yuni kaget setengah mati, tubuhnya langsung membeku di tempatnya."Kalian tidak bercanda?!" Kini Anita maju dan memastikan ucapan Jaya."Jaya tidak mungkin bercanda, Ma. Orang itu sendiri mengaku jika dia, ayahnya lilis!" jelas Jaya.Pagi ini, kondisi di rumah Wira begitu ramai. Pasalnya, Jaya dan Lilis tidak ke sekolah karena hari libur membuat mereka banyak bermain di rumah. Namun, Jaya tiba-tiba menghampiri Anita yang sedang berbicara dengan Yuni dan memberitahu kejadian kemarin. Tentu saja, dua bersaudara itu syok setengah mati."Kenapa wajah kalian terkejut begitu? Apa dia bukan ayahnya Lilis?!" tanya Jaya memasang wajah polosnya."Jaya! Kemari sebentar!" panggil Wira yang baru bangun. Dia melambaikan tangan pada anaknya yang tidak jauh darinya."Ma, aku ke papa dulu. Setelah itu, Jaya akan kembali melapor, Oke?!" ucap Jaya dengan senyum manis sebelum berlari ke pelukan Wira.Setelah mereka berdua pergi, Yuni mulai memperlihatkan ketakutannya. Dia tidak menutupnya
"To too!" tunjuk Jaya memberi kode rahasia pada Lilis. Akhir ini, Jaya dan Lilis membuat bahasa baru jika mereka dalam keadaan tidak aman.Sama dengan hari ini, tiba-tiba seseorang datang dan mengaku sebagai ayah Lilis."To too?! (Siapa dia)" tanya Jaya kembali mengulang perkataannya. "Non too! (Aku juga tidak tahu!)" balas Lilis sambil menggeleng kepalanya."Lilis, kamu baik-baik saja, Nak? Apa keadaan kamu selama ini tidak aman? Katakan pada ayah, karena ayah akan membawamu pergi jauh dari sini!" ucap Lelaki yang berdiri di depan Lilis. Masker diwajahnya dia lepas demi menyakinkan anaknya."Paman, aku tidak boleh sembarang pergi dengan seseorang. Mamaku memberitahu aku hal itu." ucap Jaya sambil mendorong orang tak di kenal itu menjauhi Lilis."Benar, akhir ini banyak kasus penculikan anak di bawah umur." ujar Lilis menambahkan."Tunggu sebentar, aku akan beri bukti jika diriku ini benar ayah kamu!" ucapnya yang mencari sesuatu di sakunya.Namun, seorang guru melihat kejadian itu d
Keadaan Jaya sudah membaik total, Jaya pun mendapat izin kembali ke sekolah. Pagi itu, Rafael yang di utus untuk mengantar Jaya dan Lilis. Awalnya, Jaya tidak mau dan memberontak. Dia ingin Anita ikut mengantarnya. Dengan lembut, Anita membujuknya."Jaya sayang, jangan seperti ini. Dengarkan kata mama, kau tidak boleh memasang wajah cemberut. Berangkat bersama paman Rafael saja!" ujar Anita sambil mengusap dengan lembut rambut Jaya."Kenapa mama tidak mau mengantarku?!" tanya Jaya semakin marah."Ya, kau tidak boleh marah dengan aunty ku. Kalau aku mengambil aunty ku kembali, kau tidak akan punya mama lagi!" sahut Lilis yang jengkel melihat sikap manja Jaya."Mama ada urusan sebentar, setelah pulang nanti baru mama bisa jemput!" ucap Anita dengan ramah."Baiklah, tetapi janji!" Jaya mengajukan jari kelingkingnya, Anita segera menautkannya. Keadaan menjadi aman. Setelah mobil Jaya pergi, Anita buru-buru memesan taksi lalu pergi tanpa mengatakan apapun. Wira sedari tadi memperhatikan
"Kondisi Jaya sudah semakin membaik, tetapi dia tidak berhenti memanggil mamanya! Aku sarankan, Jaya segera bertemu dengan mamanya!" Pinta Dokter pribadi keluarga Wiratman.Wira bernafas lega, anaknya sudah baik-baik saja. Jaya juga sudah sadar. Wira masuk menemui Jaya dengan senyum mengembang. Tetapi anak lelaki itu memurungkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya menandakan dirinya sedang kesal. "Jaya! Kau...""Sebaiknya papa keluar! Jaya nggak suka papa yang selalu bentak Mama! Apa papa tahu, Jaya begitu senang mama kembali menemui Jaya. Tetapi, malam itu papa memarahi mama membuat Jaya jadi marah! Jaya benci papa!" Teriak Jaya dengan suara keras mengagetkan Wira."Jaya, waktu itu..." Saat Wira berniat menjelaskan pada anak yang lebih pintar darinya, kedua telinga Jaya di tutup rapat membuat Wira menghela nafas kasar. "Baiklah, istirahat saja disini. Papa akan belikan kamu makanan yang enak!" ujar Wira sambil menepuk kaki anaknya sebelum bangkit. Jaya buru-buru membersihkan be