Malam di kediaman Mansion Dirgantara terasa sunyi, tetapi tidak dengan hati Zora.Ia duduk di ruang kerja pribadinya, jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan gelisah. Sejak kepulangan Noah dari Bulgarion, ia mulai merasakan perubahan.Noah menjadi lebih perhatian pada Jasmine.Zora melihatnya di setiap gestur kecil cara Noah menatap Jasmine, bagaimana ia berbicara lebih lembut padanya, bahkan bagaimana ia memilih menemaninya ke rumah sakit setelah pemeriksaan kehamilan.Hal itu membuatnya muak. ”Jasmine seharusnya hanya ibu pengganti, bukan lebih dari itu!”Dengan mata berkilat penuh rencana, Zora menekan nomor seseorang. Begitu panggilannya tersambung, senyum licik tersungging di bibirnya."Aku butuh bantuanmu," katanya pelan. "Aku ingin memastikan Noah kembali ke sisiku. Jasmine harus tahu tempatnya."”Tenang saja, apapun yang kamu inginkan akan ku lakukan sayang. Akan kususun rencana se baik mungkin.” Suara di seberang memberi jawaban yang membuat Zora semakin puas.Malam
Jasmine duduk di dalam mobil bersama Pram, kedua tangannya mengepal erat di pangkuannya. Napasnya tersengal, bukan hanya karena kecemasan tentang kondisi neneknya, tetapi juga karena kekacauan yang baru saja terjadi di acara kantor."Kau baik-baik saja?" tanya Pram, melirik ke arah Jasmine yang masih diam sejak mereka keluar dari gedung.Jasmine mengangguk, meski Pram tahu itu hanya jawaban formal."Kau tidak harus menahan diri, Jasmine. Jika ingin menangis, menangislah."Jasmine menggigit bibirnya. Ia bukan tipe orang yang mudah menangis di depan orang lain. Tetapi kali ini, semuanya terasa begitu berat."Aku hanya ingin segera sampai di rumah sakit," gumamnya akhirnya.Pram mengangguk dan mempercepat laju mobil.Di Rumah SakitBegitu tiba di rumah sakit, Jasmine langsung berlari ke meja resepsionis."Nenek Cahaya... bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan napas memburu.Perawat yang bertugas melihat data pasien sebelum menjawab. "Beliau masih di ICU. Dokter sudah menunggu keluarga un
Jasmine duduk di depan ruang ICU, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. Matanya sembab, tetapi tak ada air mata lagi yang bisa ia keluarkan. Perasaannya kosong.Di dalam ruangan itu, Nenek Cahaya masih berjuang bertahan hidup. Tubuh rentanya terhubung dengan berbagai alat medis, dan setiap suara monitor yang berbunyi hanya semakin mempertegas betapa tipisnya batas antara hidup dan mati.Pram duduk di sampingnya, diam, tetapi tetap memberikan kehadiran yang menenangkan. Ia tahu Jasmine sedang berada di titik terberatnya."Kau ingin minum sesuatu?" tanyanya akhirnya, berusaha mencairkan suasana.Jasmine menggeleng. "Aku tidak butuh apa pun sekarang, Pram."Pram menghela napas dan menepuk pundaknya perlahan. "Kalau begitu, aku akan tetap di sini."Jasmine menoleh, menatap sahabatnya dengan mata yang masih basah. "Terima kasih karena selalu ada.
Suara monitor di ruang ICU yang sebelumnya berdetak stabil kini berubah menjadi nada panjang yang menusuk telinga. Lampu indikator merah berkedip, dan suara panik para perawat yang bergegas ke dalam ruangan membuat Jasmine membeku di tempat."Nenek...?" Suaranya bergetar, matanya melebar penuh ketakutan.Dokter segera datang, memberi instruksi cepat kepada tim medis. Namun, di dalam hati kecilnya, Jasmine tahu. ia tahu segalanya sudah terlambat.Dari balik kaca ICU, ia melihat tubuh Nenek Cahaya yang terbaring diam. Tubuh renta itu tak lagi bergerak, wajahnya yang damai seolah telah pergi ke tempat yang lebih baik."Nenek!" Jasmine berlari masuk, tetapi seorang perawat segera menahannya."Maaf, Nona Jasmine... Beliau sudah pergi." Dunia Jasmine seakan berhenti.Dadanya terasa sesak, nafasnya tersengal, tetapi tidak ada air mata yang langsung jatuh. Ia terlalu syok. Terlalu hancur untuk bisa merasakan sakitnya kehilangan.Pram berdiri di belakangnya, wajahnya tegang melihat Jasmine yan
Suasana pemakaman dipenuhi isak tangis pelan dan doa-doa yang dipanjatkan. Jasmine berdiri di depan pusara Nenek Cahaya, tubuhnya lemah tetapi tetap berusaha tegak. Matanya sembab, wajahnya pucat, tetapi ia tidak menangis lagi. Tidak ada air mata yang tersisa.Orang-orang yang hadir perlahan mulai meninggalkan area pemakaman, meninggalkan Jasmine yang masih berdiri diam di tempat. Hanya Pram yang tetap berada di sampingnya, memberikan kehangatan tanpa kata-kata.Angin sore berembus lembut, membawa suara-suara samar dari dedaunan yang berguguran. Jasmine menghela napas panjang, mencoba menguatkan dirinya sendiri."Aku harus kuat, Nek..." bisiknya pelan, meskipun ia tahu hatinya masih belum siap menerima kenyataan ini.Pram menoleh ke arahnya. "Kita pulang sekarang?"Jasmine tidak langsung menjawab. Ia masih menatap nisan itu lama, seolah berharap neneknya bisa kembali memberinya nasihat seperti dulu.Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Ya, kita pulang."Jasmine yang Berusaha Bangkit Beberap
Noah duduk di kursi ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan Dirgantara Group. Angka-angka merah memenuhi grafik, menunjukkan kemerosotan saham yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir.Noah mengusap wajahnya, merasa semakin terbebani. Masalah kantor ini datang di saat yang tidak tepat. Di tengah semua kekacauan emosinya terhadap Jasmine, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa perusahaannya juga dalam keadaan genting.Tetapi sejujurnya, ada satu hal lain yang terus mengganggu pikirannya. ’Jasmine.’Semenjak pemakaman Nenek Cahaya, ia menjaga jarak. Tetapi, semakin ia menjauh, semakin besar keinginannya untuk kembali mendekat.Noah tidak bisa menyangkal lagi. ”Aku merindukanmu, Jasmine,” lirihnya berbisik lebih pada diri sendiri.Merindukan cara Jasmine berbicara dengan lembut, senyumnya yang tulus, bahkan cara Jasmine selalu menjaga dirinya sendiri tanpa bergantung pada siapa pun.Namun, ia terikat janji dengan Zora. Ia tidak bisa mengubah kenyataa
Jasmine masih berbaring di ranjang pemeriksaan, tatapannya kosong menatap langit-langit ruangan. Gel dingin dari USG sudah dibersihkan dari perutnya, tetapi rasa tidak nyaman yang menggelayuti pikirannya masih belum hilang.Di ruangan sebelah, kebohongan masih terus berlanjut. Dokter yang berpihak pada Zora menyampaikan laporan palsu kepada Oma Dursilla, sementara Noah hanya diam dan mengikuti permainan ini.Jasmine menggigit bibirnya, ia lelah. Selama ini, ia sudah banyak mengorbankan perasaannya demi kontrak, tetapi seberapa lama lagi ia harus tetap berdiam diri dalam kebohongan ini?Sebuah ketukan di pintu mengalihkan pikirannya. "Nona Jasmine, Anda bisa keluar sekarang.""Apa mereka masih di sana?" tanya JAsmine menunjuk ruangan sebelah.Perawat itu tersenyum, dia kemudian mengatakan sesuatu yang membuat JAsm ine sedikit lega . " Kalau begitu sampai Nona merasa nyaman saja. Mereka sudah keluar sejak tadi."Jasmine menghela napas dan perlahan turun dari ranjang. Namun, sebelum ia
Mansion Dirgantara dipenuhi cahaya temaram dari lampu-lampu gantung yang menggantung di sekitar halaman luas. Meja-meja panjang dengan taplak putih dihiasi rangkaian bunga segar, sementara para pelayan mondar-mandir membawa nampan berisi minuman dan hidangan mewah.Di sudut taman, para tamu berbincang dengan santai, mengenakan busana formal yang mencerminkan status mereka sebagai bagian dari keluarga besar Dirgantara. Namun, di balik senyum ramah mereka, ada ketegangan yang terasa di udara.Malam ini bukan sekadar pesta perayaan kehamilan Zora. Malam ini adalah ajang penegasan posisi Noah sebagai pewaris utama Dirgantara Group.Dan beberapa orang tidak menyukai kenyataan itu. Keluarga Besar yang Menuntut WarisanNoah berdiri di tengah pesta dengan ekspresi tenang, meskipun ia tahu apa yang sedang terjadi.Beberapa pamannya,Pradipta, Hanan, dan Vino berdiri tak jauh darinya, berbincang dengan nada rendah yang jelas ditujukan untuk menyinggungnya."Tentu saja, Noah harus memiliki keturu
Noah duduk di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan rahang mengatup. Serangkaian dokumen tentang perusahaan terpampang jelas di layar. Ancaman dari keluarga Bulharm bukan hanya rumor belaka—mereka benar-benar berusaha mengambil alih Dirgantara Group secara diam-diam.Namun, kali ini, dia merasa lebih tenang. Tidak ada lagi tekanan dari Zora, tidak ada lagi permainan licik yang harus dia hadapi darinya. Perceraian mereka sudah final, dan Zora kini menjalani hukuman 15 tahun penjara bersama Leonard Wijaya. Semuanya terasa lebih ringan, tetapi ancaman belum benar-benar berakhir.Pintu ruangannya diketuk. Jasmine masuk dengan ekspresi tenang tetapi penuh perhatian. “Ada masalah baru?”Noah menghela napas. “Bulharm mencoba mengambil saham mayoritas dari tangan investor kecil. Mereka ingin menguasai Dirgantara Group.”Jasmine duduk di hadapannya, matanya menatap Noah dengan serius. “Apa yang bisa kita lakukan?”
"Kau yakin ingin melakukan ini?"Jasmine menatap Noah dengan sorot mata penuh pertimbangan. Mereka berdiri di tepi pantai, pasir putih lembut di bawah kaki mereka, sementara ombak berkejaran menuju bibir pantai. Angin laut menerpa wajah mereka dengan lembut, membawa aroma asin yang khas.Noah menatapnya dalam, menggenggam tangannya erat. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini, Jasmine. Kita sudah terlalu jauh untuk kembali. Ini hidup yang kita pilih, dan aku ingin menjalaninya bersamamu."Jasmine menghela napas, membiarkan dirinya tenggelam dalam tatapan pria itu. "Aku juga ingin itu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita tidak akan menyesal."Noah tersenyum kecil, mengangkat tangan Jasmine dan mengecup punggung tangannya lembut. "Tidak ada penyesalan. Hanya masa depan yang akan kita bangun bersama."Jasmine mengangguk, hatinya dipenuhi kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar merasa berada di tempa
"Kau yakin ingin melakukan ini?"Jasmine menatap Noah dengan sorot mata penuh keyakinan. Mereka berdiri di depan teras rumah kayu mereka, angin laut bertiup lembut membawa aroma asin yang menenangkan. Langit mulai berubah jingga, menandakan sore akan segera berganti malam.Noah tersenyum kecil, menatap mata Jasmine yang penuh dengan harapan. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini, Jasmine. Kita sudah terlalu jauh untuk kembali. Ini adalah awal baru kita."Jasmine mengangguk pelan, menggenggam tangan Noah erat. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kita benar-benar meninggalkan masa lalu. Aku ingin hidup kita dipenuhi kebahagiaan, tanpa gangguan."Noah mengusap punggung tangannya lembut. "Dan itu yang akan kita lakukan. Tidak ada lagi yang bisa mengusik kita. Kita memilih jalan kita sendiri."Jasmine menarik napas panjang, menikmati ketenangan yang selama ini sulit mereka dapatkan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa sepenuhnya bebas.
"Apa kau yakin ingin melakukan ini?"Jasmine menatap Noah dengan sorot mata penuh pertimbangan. Mereka berdiri di depan meja makan kecil di rumah kayu mereka, lilin yang menyala lembut di tengah meja menciptakan suasana hangat. Di luar, suara deburan ombak terdengar tenang, seolah dunia akhirnya memberikan mereka kedamaian setelah sekian lama berjuang.Noah menaruh sendoknya, lalu menatap Jasmine dalam. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini, Jasmine. Aku ingin hidupku bersamamu, tanpa ada gangguan dari siapa pun."Jasmine menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepala. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kita benar-benar siap. Aku tidak ingin ada lagi yang mengganggu kita."Noah tersenyum, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Jasmine dengan lembut. "Tak ada yang bisa mengganggu kita lagi. Ini adalah awal baru kita."Jasmine menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita jalani bersama."Di tempat lain, dalam d
"Apa kau benar-benar ingin melakukan ini?"Jasmine menatap Noah dengan serius, mencoba mencari keraguan di matanya. Mereka berdiri di depan sebuah rumah kayu kecil yang berada di atas bukit, menghadap ke laut biru yang berkilauan. Angin menerpa wajah mereka dengan lembut, membawa aroma asin khas pantai.Noah tersenyum, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini, Jasmine. Aku ingin tempat ini menjadi awal baru bagi kita."Jasmine menghela napas, matanya kembali menatap rumah sederhana yang berdiri kokoh di hadapan mereka. "Aku tidak menyangka kau ingin menetap di sini. Aku pikir kau lebih suka kehidupan kota."Noah melangkah mendekat, meraih tangan Jasmine dan menggenggamnya erat. "Kota hanya penuh dengan ingatan tentang masa lalu. Aku ingin sesuatu yang segar, yang benar-benar milik kita. Di sini, kita bisa membangun sesuatu tanpa ada yang mengusik."Jasmine mengangguk pelan, merasakan ketulusan dalam ka
"Kau yakin dengan keputusan ini?"Jasmine menatap Noah dengan mata penuh keyakinan. Mereka berdiri di balkon vila yang menghadap ke laut biru jernih, angin sepoi-sepoi mengibarkan helaian rambutnya. Suasana di tempat itu begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota yang selama ini membebani mereka.Noah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap hamparan air yang tenang. "Aku tidak pernah lebih yakin dari ini. Kita sudah melewati terlalu banyak hal untuk terus melihat ke belakang. Ini waktunya untuk benar-benar melangkah maju."Jasmine mengangguk pelan. "Aku setuju. Tapi aku juga ingin memastikan bahwa kita tidak terburu-buru. Aku ingin semua ini nyata, bukan sekadar pelarian dari masa lalu."Noah berbalik, meraih tangan Jasmine dan menggenggamnya erat. "Jasmine, aku tidak akan pernah menjadikan ini sebagai pelarian. Aku ingin kita membangun sesuatu yang baru. Bersama."Jasmine menatap matanya dalam-dalam, mencari ketulusan di sana, dan
"Akhirnya, kita bisa benar-benar bernapas lega."Jasmine menatap ke luar jendela apartemen mereka, mengamati pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar bulan. Lampu-lampu jalan bersinar lembut, menciptakan bayangan samar di permukaan kaca. Udara malam yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membawa aroma hujan yang tersisa di aspal.Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, uap tipis mengepul, menebarkan aroma melati yang menenangkan. Pikirannya masih mencoba mencerna kenyataan bahwa semua ini telah berakhir. Tidak ada lagi ancaman dari Zora, tidak ada lagi bayang-bayang Leonard yang menghantui kehidupan mereka. Untuk pertama kalinya, dunia terasa lebih damai.Langkah kaki terdengar mendekat. Lalu, Noah melingkarkan lengannya di pinggang Jasmine, menariknya ke dalam dekapan hangatnya. Tubuhnya kokoh, dan aroma khasnya—maskulin dengan sedikit wangi sandalwood—begitu familiar, membuat Jasmine tanpa sadar menghela napas pelan."Ap
"Hari ini, semuanya benar-benar berakhir."Noah berdiri di depan jendela ruang kantornya, menatap langit yang cerah di luar. Tangan kanannya masih menggenggam secangkir kopi yang sudah mulai dingin, tapi pikirannya melayang ke hari-hari penuh ketegangan yang akhirnya bisa mereka lewati.Jasmine melangkah masuk ke ruangan, membawa beberapa dokumen yang baru saja ia terima dari tim hukum mereka. "Aku baru saja mendapat konfirmasi bahwa putusan hakim sudah final. Zora dan Leonard benar-benar tak punya celah untuk mengajukan banding. Mereka akan menghabiskan waktu lama di balik jeruji besi."Noah menoleh, menatap wajah Jasmine yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. "Akhirnya, ya?"Jasmine tersenyum tipis, lalu meletakkan dokumen di meja. "Ya, akhirnya. Kita menang. Dan yang lebih penting, kita bisa benar-benar melanjutkan hidup kita tanpa mereka."Noah meletakkan cangkir kopinya, berjalan mendekati Jasmine dan menggenggam tangannya erat. "Ini semua
"Semuanya berjalan sesuai rencana."Noah menutup laptopnya dan menatap Jasmine yang masih sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tenang, tapi dia bisa merasakan kegelisahan yang tersirat dalam tatapan Jasmine."Berita tentang penangkapan mereka sudah menyebar luas," ujar Jasmine pelan. "Media mulai menggali lebih dalam tentang semua kebohongan yang mereka buat. Publik sudah mulai membenci Zora dan Leonard."Noah mengangguk pelan. "Itu yang kita inginkan. Tapi kita belum selesai. Kita harus memastikan mereka tidak bisa keluar dari jerat hukum begitu saja."Jasmine menarik napas dalam, lalu menatap Noah. "Kita harus memastikan bukti kejahatan mereka benar-benar tak terbantahkan di pengadilan. Jika ada celah sedikit saja, mereka bisa berbalik menyerang."Noah menyentuh tangannya dengan lembut. "Aku tahu, Jasmine. Dan kita akan memastikan semuanya berakhir di sini."Di dalam sel tahanan, Zora duduk di sudut ruangan sempit dengan wajah kosong. Dia masi