Seisi ruangan hening, sebelum akhirnya kasak-kusuk pecah lagi, bahkan lebih riuh dari sebelumnya. a Ketika suasana makin tak terkendali, anggota yang paling senior akhirnya buka mulut.
"Sebaiknya kita tunggu saja sepuluh menit lagi. Kalau sampai saat itu Mr David tak muncul juga, maka wacana untuk mengganti direktur utama, dianulir saja." Beberapa peserta rapat langsung protes, sebagian setuju, tetapi mayoritas memilih diam. Jadi pengamat selalu lebih baik. Ketika ruang rapat kembali gaduh untuk memutuskan, anggota senior tadi bicara lagi. "Dari pada ribut seperti bocah, kenapa tidak voting saja?" Perundingan berlangsung beberapa saat lagi, sebelum semua akhirnya setuju. Sejurus kemudian, hasil pemungutan suara pun keluar. Mayoritas peserta setuju membatalkan wacana penggantian direktur utama apabila David tak muncul sepuluh menit lagi. Detik demi detik berlalu sangat lambat, terutama bagi para pendukung WJhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
"Tante, mau nggak jadi Mama kami?"Julia Hernandez yang sejak tadi menunduk, terlampau serius menyusun kue-kue kecil yang cantik di etalase, sontak menengadah. Matanya mengerjap menatap dua bocah menggemaskan di depannya. Duo kembar bernama Jim dan Jill adalah pelanggan cilik yang kerap membeli cupcake di tokonya. Gara-gara sering ketemu, mereka jadi akrab. "Hush, dasar cowok vulgar. Seharusnya, kau tidak usah blak-blakan." Jill yang rambut pirangnya dikepang dua, memarahi sang kakakTergelak kecil, Julia mengelus kepala si sulung Jim. "Maaf dear, Aunty cuma penjual cupcake. Tak cukup baik jadi mama buat siapapun." "Tapi Aunty... ."Mulut Jim langsung dibekap adiknya. Setelahnya, gadis kecil berlagak dewasa tersebut minta maaf. "Maafkan Kakak saya Aunty, sejak lahir dia memang bodoh. Kalau begitu kami pergi dulu."Julia nyaris tertawa keras melihat upaya gadis kecil itu menyeret Jim yang tubuhnya lebih besar. "Hei, bagaimana dengan cupcake? Kalian tak membelinya hari ini?"Keduany
Baik Julia maupun pria tersebut, bicara nyaris bersamaan. Jill yang sedang menggandeng ayahnya, berseru takjub. "Kalian saling kenal?" Melihat situasi pelik ini, Julia langsung balik badan, buru-buru membungkus beberapa cookies non-gluten untuk anak yang tantrum tadi, lalu menghampiri trio ayah dan anak, yang kini sedang duduk dengan nyaman di kursi minimalis. "Maaf, ada perlu apa Anda menemui saya?" Pria tersebut menatap Julia dengan pandangan meremehkan. "Saya ayah mereka dan bukan pria tua gendut berperut buncit dengan muka berminyak." "Oh?" Julia kaget sesaat sebelum akhirnya tertawa keras. "Cuma gara-gara itu, Anda datang kemari?" Pria itu menoleh pada kedua anaknya, yang dengan patuh beranjak ke etalase, melihat-lihat kue yang mereka mau. "Jadi, selain untuk klarifikasi bahwa Anda bukan pria gendut dengan muka berminyak, hal apa lagi yang perlu saya ketahui?" Julia memperjelas fakta yang masih kabur. Pria itu memberikan kartu namanya. Di sana tertera firma hukum 'West
Jose buru-buru melepas rambut Julia lalu mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu dia melenggang, melewati wanita itu dan asistennya, seolah tak terjadi apa-apa. Wanita yang baru masuk itu mendekat perlahan, dan ketika melihat situasi Julia dia kembali berseru, "Astaga! Ada apa denganmu? Siapa bajingan tadi? Apa perlu kulapor polisi?" "Tidak apa-apa, Ma'am. Aku baik-baik saja. Ada perlu apa Anda kemari?" Julia buru-buru bangkit seraya merapikan baju dan rambutnya yang berantakan. "Hmmm, mau menginformasikan kalau sewa toko akan kunaikkan untuk kontrak berikutnya. Seperti yang kau tahu... harga-harga sedang naik, tentu saja pemeliharaan gedung pun ikut naik." Julia nyaris tak percaya. Mukanya masih berantakan sesudah dihajar Jose, namun pemilik gedung sudah langsung mencecarnya dengan uang sewa. Sepertinya, empati adalah barang langka di zaman modern. "Hello Ms. Julia, still here?" Wanita berambut keperakan itu mulai gerah melihat sikap diam penyewanya. "Ehm, ya m
Ada senyum tipis di bibir Jhon.Seharusnya, terlihat indah di wajah maskulinnya yang agung. Akan tetapi, Julia tak bisa menikmati sebab di matanya senyum itu lebih mirip ejekan. Memutar gelas wine-nya perlahan, Jhon bertanya lagi. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya... kau sangat benci padaku?Memang! Hampir saja Julia meneriakkan kata ini. Untunglah otaknya lebih cepat bertindak dari pada mulutnya. "Seperti yang Anda tahu, hati manusia gampang berubah.""Aku tidak begitu," sambar JhonSebab kau bukan manusia! Lagi-lagi pikiran Julia mendebat si sombong Westwood. "Jadi, apa tawaran Anda kemarin masih berlaku?" tanya Julia pasrah. Berdebat dengan Jhon tak akan ada ujungnya, terlebih ketika dia pihak yang kalah. "Boleh, akan tetapi kontrak yang bisa kutawarkan jauh lebih rendah dari yang seharusnya."Julia yang sedang memainkan ujung jarinya terkesiap. "Maaf?"Jhon tak menyahut, melainkan meletakkan sebuah dokumen di depan wanita cantik bergaun biru itu. Demi memuaskan rasa penasaran, Ju
Baik Julia maupun sang mantan sama-sama terkesiap, bahkan pegangan Jose pada rambutnya sampai terlepas. "Bedebah sialan! Kau siapa, hah? Berani mengatur-atur hidupku?" Sorot mata Jhon dingin, penuh ancaman. "Kau tuli? Sudah kubilang dia istriku." Ternyata, bahasa tubuh Jhon tak membuat bocah Ramirez ciut. Dengan berani dia mendatangi pria yang berdiri tegak beberapa meter dari tempatnya. "Istrimu? Kalau kau tak bisa menunjukkan sertifikat perkawinan, jangan membual. Lagipula, apa peduliku kalau dia istrimu?" Mata Jhon menyipit, memindai muka Ramirez dengan seksama. Tato kecil di bagian kiri leher menunjukkan bahwa ini anggota geng mafia kecil di wilayah pantai timur. Penuh penekanan, Jhon bertanya sekali lagi. "Apa kau yakin ingin cari masalah denganku?" Bukannya bersurut langkah, Jose malah makin menjadi. Tangannya yang kekar menyentuh pipi Jhon, menepuk-nepuknya seperti memperlakukan seorang bocah. "Tentu saja. Bocah manja yang takut sinar matahari sepertimu tida
Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya. "Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipanda
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja
Seisi ruangan hening, sebelum akhirnya kasak-kusuk pecah lagi, bahkan lebih riuh dari sebelumnya. a Ketika suasana makin tak terkendali, anggota yang paling senior akhirnya buka mulut. "Sebaiknya kita tunggu saja sepuluh menit lagi. Kalau sampai saat itu Mr David tak muncul juga, maka wacana untuk mengganti direktur utama, dianulir saja." Beberapa peserta rapat langsung protes, sebagian setuju, tetapi mayoritas memilih diam. Jadi pengamat selalu lebih baik. Ketika ruang rapat kembali gaduh untuk memutuskan, anggota senior tadi bicara lagi. "Dari pada ribut seperti bocah, kenapa tidak voting saja?" Perundingan berlangsung beberapa saat lagi, sebelum semua akhirnya setuju. Sejurus kemudian, hasil pemungutan suara pun keluar. Mayoritas peserta setuju membatalkan wacana penggantian direktur utama apabila David tak muncul sepuluh menit lagi. Detik demi detik berlalu sangat lambat, terutama bagi para pendukung W
Belum sempat George beranjak, pintu ruangan sudah terbuka lebar. Julia berdiri disana dengan pesona tak tertandingi. Biasanya, dia suka memakai outfit berwarna pastel, tetapi dalam kesempatan ini, wrap dress merah membungkus tubuhnya dengan sempurna. Dan meski perutnya membuncit, bagian-bagian lain juga membesar dengan sendirinya. Daripada perempuan bertubuh gembrot, dia lebih cocok jadi wanita hamil yang seksi. "Sayang, kenapa kemari?"Suara Jhon terdengar parau, bahkan di telinganya sendiri. Perilaku istrinya memang selalu di luar dugaan. "Aku tak bisa membiarkanmu berperang sendirian. Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama."Jhon langsung berdiri, lalu meraih istrinya dalam dekapan. Kemesraan pasangan suami istri ini bikin situasi George makin canggung. Sebab itu, dia langsung pamit untuk memanggil David. "Apa George tak punya istri?" selidik Julia setelah supir mereka berlalu. "Aku tak mencampuri u
Setelah pertemuan singkat dengan teman lama, Julia sampai di mansion dengan perasaan kacau. Akibatnya, makanan yang dia buat kurang maksimal, hingga juru masak di kediaman Westwood harus membantu. Ketika waktu nyaris pukul delapan malam, barulah Jhon sampai di rumah. Keningnya agak mengernyit tatkala melihat anak istrinya baru bersiap di meja makan. "Kenapa kalian belum makan? Ini sudah terlalu malam."Jim langsung menyambut teguran sang ayah. "Makanya jangan pulang kelamaan."Kalau jadwal kerjanya sudah dibawa-bawa, Jhon tak berani lagi berkutik. Dalam hal ini, dia memang kalah telak dibanding ayah lain. Sebab itu, dia duduk dengan patuh di hadapan Julia, dan mulai menyendok beberapa menu ke piringnya. "Kau yang masak, Sayang?" tanyanya"Ya, kenapa bisa tahu?""Hanya kau yang suka membuat makanan pedas."Julia tersenyum penuh makna. Suaminya memang bukan orang yang suka makan pedas. Sebaliknya, lahir dan bes
Mendadak suara seorang pria terdengar dari seberang. Sepertinya, hakim Stewart sedang menceramahi sang istri. Tak lama, panggilan pun diputus begitu saja. "Merusak mood saja," gumam Julia sebal. Buru-buru dia menghapus foto lunch buffet mewah di atas kapal pesiar, gambar norak yang baru saja dikirim Saoirse. Setelah episode perdebatan dengan ibunya usai, dia kembali fokus pada naskah yang sedang ditulisnya. Saat kehabisan ide, dia berjalan-jalan sejenak di sekitar rumah, kadang mendiamkan naskah yang ditulisnya berhari-hari sebelum menggarapnya lagi. Biasanya, gagasan baru bisa muncul begitu saja. Tiga minggu berselang, naskah pun selesai. Dengan penuh semangat, dia menghadiri undangan Rebecca di kediaman keluarga Wilson. "Wah, penulis hebat kita akhirnya datang," gurau Rebecca sambil lalu. "Aku salut kau bisa menyelesaikannya lebih cepat dari tenggat waktu padahal sedang hamil.""Ah, kau bisa saja, Bec. Aku cuma
Atas desakan Julia, besoknya mereka pergi ke rumah tahanan. Vivienne yang dulu nampak glamor, sekarang tak ubahnya daun layu. Meski mukanya masih cantik, tapi aura sang bintang lenyap sudah. Tanpa riasan dan baju karya desainer, Vivienne hanyalah perempuan biasa. "Kenapa kau kemari? Mana Jhon?" ujarnya saat melihat kedatangan Julia. "Jhon pergi ke sekolah, melihat pertandingan Baseball anak-anak."Sebenarnya alasan ini dibuat-buat sebab pada kenyataannya Jhon tengah duduk di mobil sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Akan tetapi, apalah gunanya menambah garam pada luka orang? "Katakan saja mau ngapain kemari? Aku tak punya waktu meladeni manusia sepertimu."Mengabaikan sarkasme dalam suaranya, Julia meletakkan satu kotak kecil di depan Vivienne. "Silakan membukanya nanti. Kalau tak suka, buang saja."Rasa penasaran membuat Vivienne jadi bertanya. "Kau bawa apa memangnya? Pikirmu aku tak bisa membeli apa ya
Julia terperanjat. Pegangannya mengetat pada lengan suaminya. Matanya memohon agar mereka segera pergi, tetapi Jhon tetap bergeming. Dia menatap si aktor papan atas penuh permusuhan. Kirby juga makin terpancing. "Apa maksudnya seperti bajingan? Kau mau cari gara-gara?""Kau berani jalan-jalan dengan perempuan lain saat pacarmu mendekam dalam tahanan, bukan bajingan namanya?"Tawa keras meledak di mulut Richard. "Kau masih suka Vivienne?" Setelahnya dia bicara pada Julia penuh provokasi. "Bagaimana nyonya Westwood baru? Kau tak sakit hati?"Jhon menggeram. "Tutup mulutmu! Tak usah membelokkan pembicaraan.""Jadi kalau bukan cinta, apa lagi namanya? Seharusnya, apapun yang terjadi pada Vivienne, bukan lagi urusanmu."Mengabaikan kemarahan Jhon, sang aktor pergi begitu saja diikuti perempuan kasar yang tadi memarahi Julia. Setelah kepergian mereka, suasana canggung langsung terasa. Julia yang sesaat tadi sibuk memikirkan
"Aku tak habis pikir dengan anak-anak. Ada saja perdebatan mereka." Ketika si kembar sudah pergi ke sekolah, Jhon memulai pembicaraan. Saat ini, dia dan Julia tengah bersantai di gazebo yang letaknya di taman belakang. Kecipak air ditambah tiupan angin semilir, membuat suasana jadi nyaman dan santai. "Biasalah Jhon, namanya juga bocah. Sebagai orang tua, kita harus lebih banyak sabar. Tak selamanya juga mereka jadi anak-anak."Meski tak menyahut kata-kata sang istri, Jhon nampak setuju. Diam-diam dia menyesap jus buah yang disiapkan untuk menemani bincang-bincang mereka. "Kau tak ke kantor, Jhon? Sepertinya beberapa hari kemarin, kesibukanmu tak habis-habis."Jhon menatap wajah istrinya penuh rasa bersalah. Sepertinya, dia memang ditakdirkan jadi suami yang tak bisa diandalkan. Dulu, saat Vivienne hamil, dia juga sibuk dengan segala urusan pekerjaan. Begitu pula sekarang, saat Julia mengalami hal serupa. "Hari ini,