Wajah kami kini sangat dekat, aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajahku. Aku berontak agar Bram menyingkir dariku, namun tenaga ku kalah.
"Lepaskan Bram, ku bilang lepaskan ..." teriakku.
"Aku kangen kamu, Win. Sekarang kamu cantik dan sungguh menggodaku. Hatiku selalu terbayang kecantikan mu," ucapnya sembari membelai wajahku.
Huh, aku jijik sungguh jijik melihat kelakuannya. Namun, aku juga takut kalo Bram memperkosaku. Gimana nasib pernikahanku nanti, Sayid pasti akan membenciku.
Kutatap kedua netra Bram dan terlihat disana Bram masih menginginkan diriku kembali. Kucoba melepaskan pelukan Bram, tubuhku yang di tindih tidak bisa bergerak hanya untuk sekedar menggeser. Bram pasti sudah dibutakan nafsu, aku harus segera mencari akal.
"Bram, boleh aku bertanya?" Sengaja ku lembutkan suaraku.
"Hu'um, apa?" katanya terus menatapku. Aku merasakan tidak nyaman karena sepertinya dia terus bergerak di atas
Semenjak pertemuan terakhir dengan Bram di Vila itu, tidak ada kabar darinya lagi. Apa mungkin dia sudah bangkrut dan jatuh miskin, sehingga tidak pernah lagi menghubungiku.Karena terus didera rasa penasaran, aku coba menghubungi sahabatku Nina. Sudah lama juga tidak mengobrol dengannya, anak itu pasti tau yang sebenarnya.Ku scrol gawai kebawah, untung saja aku masih menyimpan nomernya. Tak lama terdengar nada dering dari gawai Nina pertanda aktif."Halo, siapa ni?" tanya suara di ujung telepon."Halo, Nina. Apa kabarmu sekarang?" kataku menahan geli."Aku baik, Winda? Ini benar Lo?" jawabnya tak percaya."Iya, ini aku Winda. Sudah lama kita tak mengobrol lagi ya!""Kamu jahat, Win! Selama ini kamu kemana aja, kupikir kamu udah lupa padaku," Nina merajuk."Semenjak kamu pisah dari Bram, aku coba menghubungi nomer mu tapi gak aktif. Mau ku samperin di kampung tapi gak tau alamat
Kehidupan tenang beberapa waktu bukan berarti aku istirahat, justru aku terus di sibukkan dengan padatnya jadwal kantor. Banyak proyek dan kerjasama berdatangan dari perusahaan lain.Untuk sementara aku tak sempat lagi memikirkan Bram. Bahkan hari pernikahan juga semakin dekat, aku sudah menghubungi Nina. Aku minta tiga hari sebelum hari bahagiaku, dia mesti hadir.Nina sangat senang saat bertemu, di peluknya aku terus. Aku menjemputnya di bandara, bersama Pak Rudi supir pribadi. Lalu ku ajak dia pulang kerumah, berkenalan pada Mama dan Papa."Win, ini rumah Lo?" tanya Nina melongo.Aku cuma terkekeh melihat ekspresi Nina. "Sudah, itu mulut jangan lupa di tutup."Nina merasa malu, menundukkan wajahnya. Aku peluk dia dan menarik tangannya untuk masuk kedalam rumah."Ma ... Kemari, ini Nina sahabat Winda, sewaktu masih tinggal bersama Bram," ucapku memanggil Mama.Mama keluar dari ruangan
Sebulan setelah resepsi pernikahan di Indonesia, Sayid memboyongku dan keluarga ke Abu Dhabi. Sebenarnya bukan juga boyong tapi memang rumah kami ada di Abu Dhabi.Untuk kedua kalinya mengadakan resepsi di sana. Aku dan Sayid tidak berbulan madu karena sekalian saja setelah selesai sana sini baru kami akan bulan madu.Aku masih mengingat jelas, usai pernikahan di malam pertama aku dan Sayid masih malu-malu kucing. Walaupun aku sudah pernah menikah tapi bila menatap wajahnya, aku merasa tersipu.Ketampanan Sayid telah membius, apalagi jika dia sudah menatapku pasti aku jadi grogi. Sayid masuk ke kamar saat aku mau membuka pakaian, aku terkejut cepat-cepat ku pakai lagi."Kenapa? Kok malu, kan kita sudah jadi suami istri!" katanya dengan menautkan alis kemudian tersenyum."Nggak apa-apa, Mas. Aku masih malu," ucapku dengan wajah memerah."Humairo ku ternyata malu di malam pertama, gimana apa kita mau bertempur sek
Rencana seusai sarapan, Sayid akan mengajakku jalan-jalan. Aku bahagia banget, baru kali ini aku di ajak jalan cuma berdua bareng suami. Dulu saat bersuamikan Bram, ibunya akan selalu minta ikut kemanapun kami pergi. Aku tidak bisa melarang, karena Bram juga sehati dengan ibunya."Ma, kami pergi dulu ya! Cari angin sebentar, Mama mau ikut nggak?" kataku sambil bersiap."Nggak ah, Mama nggak mau mengganggu. Masa iya nanti Mama lihat kalian berciuman," seloroh Mama yang membuat kami tertawa."Ish, ya nggak gitu kali Ma. Masa' di tempat umum berciuman, kan Winda juga malu," ujarku cengengesan."Kalo Mama nggak mau, apa Mbok mau ikut," tanyaku beralih ke Mbok."Aduh, tiba-tiba perut Mbok mules. Mbok kebelakang dulu, ya!" sahut Mbok berlari kecil menuju dapur.Kami semua lagi-lagi tertawa melihat tingkah Mbok, aku mengerti mereka tidak ingin ikut. Begitulah indahnya kalo hidup saling pengertian, tidak ingin men
Sebuah foto di pantai dengan Sayid dan seorang penguntit yang berdiri tidak jauh dari kami, telah membuat aku penasaran. Siapa dia dan apa maunya.Lalu tanpa sepengetahuan Sayid yang sudah tertidur, aku keluar kamar dan menuju pantai seorang diri. Mungkin kalo aku sendiri, penguntit itu akan menunjukkan dirinya.Bau pasir basah begitu khas, dengan deburan ombak. Malam juga begitu dingin, aku merapatkan jaket yang ku kenakan. Berjalan menyusuri pinggir pantai dengan kaki telanjang.Setelah capek aku duduk, dan menatap pantai ke depan. Tidak banyak orang berlalu lalang selarut ini. Hanya ada beberapa pasangan yang berdiri agak jauh dariku.Saat asyik melamun, bahuku di tepuk dari belakang. Aku menoleh, dan refleks mundur kebelakang setelah tau siapa yang menepuk tadi.Penguntit itu kini berdiri di depanku. "Jangan takut, Win," katanya.Aku terkesiap, dia tau namaku. Tunggu, aku mengenal suara itu. Bukankah d
Semburat merah menghiasi langit pagi ini, selesai salat Subuh aku segera berkemas. Memasukkan semua baju ke dalam koper, begitu juga baju suamiku, Syaid. Setelah tiga hari berlibur di hotel pantai, kami berencana pulang.Aku sudah tak sabar untuk menyampaikan kabar gembira pada Mama dan Papa juga Mbok. Mereka pasti sangat gembira karena ini merupakan cucu pertama. Aku terus tersenyum sepanjang perjalanan pulang."Win, kamu terus tersenyum. Kamu bahagia kan, humairo!" kata Sayid sembari menggenggam jari tanganku."Aku bahagia, Mas. Sudah lama aku mendambakan kehadiran anak, kini buah hati kita sudah ada dalam rahimku. Makasih ya, sayang!" ujarku sambil mengecup tangannya.Kulihat wajah Sayid juga memancarkan aura, tak dipungkiri lagi dia pasti lebih bahagia. Walaupun senyum juga menghias bibirnya, Sayid tetap konsentrasi menyetir."Mas, apa Mama dan Papa kamu sudah di kabari perihal kehamilanku?" tanyaku penasaran. 
Untuk sementara aku melupakan soal mantan pacar Sayid. Mungkin karena kami masih tinggal di Indonesia jadi aku pun tak perlu mengkhawatirkan itu.Namun, justru saat ini aku kembali dekat pada mantan suamiku, Bram. Ya, aku sudah berjanji padanya akan membantunya keluar dari penjara apabila dia menyerahkan diri.Siang itu, saat lagi santai aku dan Sayid berada di kamar untuk istirahat. Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat di layar Bram memanggil. Aku cemas Sayid akan marah bila ku angkat, tapi bila tak di angkat penasaran karena ponsel itu terus berdering."Win, ponselnya bunyi terus. Diangkat dung, bising," keluh Sayid dengan mata masih terpejam."Iya, aku angkat. Maaf kalo sudah mengganggu," sahutku bergegas bangun dan berjalan menuju balkon kamar."Halo, ada apa Bram?" tanya ku pelan hampir berbisik."Win, sesuai janji aku sudah menyerahkan diri ke polisi. Sekarang aku sudah berada di tahanan, kemari lah
Selesai belanja dan membelikan makanan untuk Mama, kamipun pulang. Namun, saat naik eskalator di sisi sebelah aku seperti mengenal wajah wanita itu. Bergandengan tangan dengan seorang pria.Laras??Sengaja aku tidak memanggil namanya, bahkan saat kami berjalan bersebelahan di eskalator Laras juga terkejut melihatku. Namun, aku pura-pura tidak melihatnya, aku tak mau kejadian buruk yang dulu terulang lagi.Sayid lalu mengajakku bicara karena aku diam saja. "Humairo, besok nggak usah mengantar Mas ke bandara. Jaga anak kita baik-baik di kandungan mu.""Iya, Mas. Aku akan selalu menjaganya dengan baik," jawabku sambil menoleh ke arah Laras yang masih belum terlalu jauh dariku.Kemudian tanpa menoleh lagi aku meneruskan langkah keluar dari Mall. Sampai di rumah sudah malam, untung saja Mama belum tidur karena kami membelikan makanan kesukaannya.Setelah pamit pada Mama untuk masuk ke kamar, Sayid segera masukk
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung
"Dikamar Winda ada hantu, Ma! Winda takut!" kataku gemetar memeluk Mama."Apa? Hantu?" kata Mama terkejut."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Papa begitu tiba di samping Mama. Haris juga keluar kamar dan mendekati kami."Kata Winda dikamarnya ada hantu, Pa!" jawab Mama sambil mengerinyitkan dahinya.Papa tertawa. "Mana mungkin ada hantu, selama ini rumah ini baik-baik aja kok. Ya kan Haris?" kata Papa beralih pada Haris."Bener, Mbak! Nanti Mbak cuma mimpi dan menginggau," sahut Haris setuju pada Papa."Ta-tapi tadi memang bener, Mbak udah bangun lalu mendengar suara cakaran di jendela loh," kataku tetap kukuh kalo aku tidak mimpi."Baiklah, kita lihat sekarang ke kamarmu!" seru Papa sambil berjalan masuk kamarku.Haris mengikuti langkah Papa, kemudian aku dan Mama dibelakang. Sambil memeluk Mama, mataku terus mengamati sekeliling kamar. Suara itu tak terdengar lagi."N
Beberapa kali panggilan ku tak dijawab. Lalu saat diangkat terdengar suara wanita diseberang sana."Halo, siapa ini?" tanyanya.Mengapa dia tanya, apakah di ponsel Sayid tak tertulis siapa yang memanggil. Sambil menggerutu aku pun mematikan panggilan dan membanting ponsel ke ranjang.Huh, dari tadi kenapa selalu terdengar suara perempuan. Siapa dia? Ah lebih baik aku tanya Sayid saja daripada terus menduga. Namun, tiap aku telepon Sayid entah keman dan lagi-lagi wanita yang sama.Lebih baik aku mandi saja, setelah itu turun kebawah untuk makan bersama Papa. Aku pun menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Saat mandi entah mengapa terus terpikir Sayid, teringat akan mantan pacar Sayid.Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, takut bila Sayid terpikat mantan pacarnya. Lamunanku tersentak kala mendengar ponsel berdering, gegas mengenakan handuk.Langsung menyambar ponsel setelah melihat dilayar siapa yang memanggi
Mobil yang disupiri Pak Rudi berhenti didepan gang. Untuk masuk kedalam mesti berjalan kaki karena gang terlalu sempit.Begitu kami turun dari mobil, banyak orang sekitar yang memperhatikan. Sambil mengangguk dan tersenyum, aku dibantu Mbok dan pak Rudi menurunkan barang.Sekitar lima rumah kami lewati, menyapa beberapa ibu-ibu yang sedang duduk santai. Aku mencoba ramah dan senyum, dibalas dengan senyuman mereka.Sampai di rumah kontrakan ibu terlihat sepi. Pintu rumah tertutup rapat. Kami menurunkan barang di lantai. Seorang ibu mendekat, sambil beramah tamah."Oh, ada tamunya Bu Bram ya! Kenalkan saya Bu Ani, tetangga sebelah kanan," katanya sambil menunjuk rumah."Iya, Bu Ani. Ibu ada dirumah?" tanyaku.Ibu itu menghela napas, menatap kami satu persatu. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan diucapkannya."Semenjak menempati kontrakan ini, ibu Bram jarang sekali keluar. Bahkan kami nggak