Widya sejak tadi sibuk mencari perhatian pada Respati yang bahkan sama sekali tak menggubris keberadaannya. "Aduh, Mas. Tolong aku, sepertinya kaki aku keseleo!" pekik Widya yang langsung terduduk di lantai.Beberapa orang mendekat dan mulai menolong wanita hamil itu. Sementara Respati hanya melirik malas ke arahnya. "Kalian ngapain, sih? Aku maunya ditolong sama Mas Pati!" pekik Widya protes. Seketika, kerumunan itu bubar dan mencibir pelan. Widya ini kentara sekali jika sedang mencari perhatian. Hanifa yang melihatnya saja hanya bisa menghela napas. "Mas, ayo tolong aku!" pinta Widya manja. "Nanti kalau ada apa-apa sama kandunganku bagaimana? Mas mau tanggung jawab?" lanjut Widya yang masih terus menerus mengoceh. Hanifa mendekat dan mengulurkan tangan. Dia tentu saja tak akan pernah memberikan celah pada wanita sialan itu. Apalagi Hanifa sudah belajar dari masa lalu yang begitu menyedihkan. Jangan sampai hanya karena Widya lagi, rumah tangganya kembali bubar. "Ngapain?" pek
Widya panas sendiri ketika melihat Respati dan Hanifa bermesraan di belakang sana. Harusnya dia bisa berada di posisi Hanifa, tapi ini justru dia kepanasan sendiri. "Ini mobil nggak ada AC-nya atau gimana, sih? Panas sekali!" gerutu Widya kesal bukan main. Hanifa mengulum senyum. Dia tau betul jika Widya ini sedang dalam mode cemburu buta. Astaga, padahal dulunya Widya bisa dengan leluasa mengambil apa yang dia punya. Sayangnya, sekarang ini Hanifa tak akan pernah mau bila harus mundur. "Perasaan pakaian Mbak terbuka, deh! Kok, masih merasa panas?" timpal Pak sopir menyerngit keheranan.Widya tentu saja langsung melotot horor. Dia kesal bukan main dan tak mau bila harus terus menerus ada di dalam mobil."Diam kamu! Kalau nyetir cepat dong. Saya mau segera pulang nih!" gerutu Widya yang sama sekali tak punya sopan santun. Respati yang sejak tadi menyimak hanya bisa memutar bola mata dengan malas. Terserah wanita itu saja mau mengoceh apa.Lelaki itu lebih memilih merengkuh sang ist
"Wid. Jangan bikin ulah lagi. Ayo masuk!" ajak Abimana yang sudah keluar dari ruang tamu. Widya menghela napas. Dia tak mau berdebat dengan Abimana. Alhasil, wanita itu berjalan gontai mendekati sang pujaan hati. Berbagai hinaan dan cibiran terus berdatangan. Bahkan, Widya sudah menangis sesenggukan. Santi yang merasa bosan dengan ocehan para tetangga pun gegas menarik masuk sosok Widya hingga ketiganya langsung menutup pintu.Tubuh Widya luruh ke lantai. Sebenarnya, Santi merasa iba. Hanya saja, ketika mengingat Widya yang sudah bermain serong di belakang Abimana, rasanya wanita paruh baya itu ingin menggampar Widya. "Mas Abi. Aku capek banget, Mas. Bisa tidak sih kalau kita ngekost saja atau pindah rumah?" rengek Widya yang sudah tak sanggup bila harus menjalani hari demi hari yang menyesakkan seperti ini. "Ck, kamu pikir biaya kost murah, Wid? Kalau kamu atau bahkan Abi yang ikut ngekost, siapa yang mau bayarin? Saya? Untuk makan sehari-hari saja kalian masih numpang. Wajar ka
Pagi-pagi sekali Nenek Laksmi menyambangi kontrakan milik Respati. Wanita tua itu ingin melihat sosok penghuni baru salah satu unit kontrakan milik sang cucu. Sesampainya di sana, ia gegas bertanya pada salah satu dari mereka yang tinggal di kontrakan itu. Semua yang ditanya mengatakan jika penghuni baru itu tinggal di samping unit kontrakan yang dikhususkan untuk Hanifa. Bahkan, para tetangga kontrakan banyak menceritakan keluh kesalnya selama bertetangga dengan Delina. "Ibu Laksmi harus tau kalau si Delina itu genitnya minta ampun. Apalagi kalau Mas Pati datang ke sini. Sudah pasti itu perempuan gatal sekali!" "Bukan hanya ke Mas Pati, tapi ke satpam yang menjaga kontrakan ini saja juga genit. Makanya, kita suka was-was kalau si Delina ketemu sama suami-suami kita, Bu!" Nenek Laksmi menghela napas. Dia semakin penasaran seperti apa sosok Delina yang bahkan belum ada satu bulan tinggal di sini saja sudah membuat banyak orang resah. "Minta tolong sekali, ya, Bu. Kalau bisa, Bu
Respati telah sampai di area kontrakan miliknya bersama dengan Pak tukang. Delina yang memang sejak tadi menunggu kedatangan pemilik kontrakan pun sontak saja langsung memasang wajah sedih seraya mendekat ke arah Respati."Mas Pati. Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Mas!" lirih Delina hingga membuat Respati menyerngit keheranan. "Mau bilang apa, Mbak?" tanya lelaki itu sembari mempersilakan Pak tukang masuk ke dalam rumah kontrakan yang di huni oleh Delina.Respati terlalu fokus pada tukang yang dia bawa ketimbang memperhatikan wajah sendu Delina. Hal ini tentu saja membuat sang empu kesal bukan main, tapi masih berusaha keras untuk mempertahankan raut wajah sendu. "Neneknya Mas Pati labrak aku, Mas. Aku takut sekali. Aku di ancam ini dan itu sama Neneknya Mas!" Ketika mendengar penuturan Delina yang satu ini, barulah Respati menatap terkejut ke arah wanita itu. "Maksudnya bagaimana?" tanya lelaki itu penasaran."Neneknya Mas Pati loh ke sini bikin ulah. Ngatain aku ini dan itu sa
Sudah dua hari ini Hanifa mendiami Respati. Tidur pun dia mengungsi di kamar Nenek Laksmi. Bukannya kekanakan, tapi dia hanya ingin memberi pelajaran pada sang suami yang seolah terlalu menyepelekan perasaannya. Walau begitu, Hanifa masih tetap melayani Respati dengan baik. Seperti pagi ini, dia masih mengisi piring sang suami walau tanpa mengucap sepatah dua patah kata pada lelaki itu. "Dek. Habis sarapan, Mas mau bicara sama kamu!" ujar Respati memelas, tapi sayangnya sama sekali tak digubris oleh sang empu. "Mampus kamu!" sinis Nenek Laksmi yang seperti memiliki dendam kesumat pada Respati. Handoko maupun Anisa sama sekali tak menegur kelakuan sang mantu maupun Nenek Laksmi. Keduanya pun juga sama jengkelnya pada sang anak."Sini, duduk samping Nenek saja!" pinta Nenek Laksmi seraya menepuk kursi di sampingnya.Ketika Hanifa hendak beranjak pergi, Respati pun lekas menahan tangan sang istri hingga membuat sang empu menoleh seraya menatap penuh keheranan kepada sang suami."Dudu
Widya telah sampai di kediaman keluarga Handoko dengan tampilan luar biasa yang begitu ngejreng. Bahkan, untuk penampilan saja sudah di atur oleh Abimana. Wanita itu hanya tinggal menurut saja. Persis seperti menjadi boneka Abimana yang mau di atur sana sini. "Maaf, Mbak. Ada keperluan apa, ya?" tanya Pak Satpam yang seketika membuat langkah Widya terhenti."Ini saya mau bertamu. Masa Bapak lupa sama saya? Saya sering ke sini loh, temannya Hanifa!" ujar Widya meyakinkan.Pak satpam menyerngit keheranan. Dia ingin tidak percaya, tapi melihat tampilan wanita di hadapannya ini sedang hamil, alhasil, Pak satpam itu membuka pintu gerbang. Widya tersenyum sumringah dan bahkan mengerlingkan mata dengan genit pada satpam rumah mewah itu. Sang empu hanya bisa menghela napas. Semoga saja si wanita hamil ini tidak membuat ulah hingga mengakibatkan dirinya ditegur oleh sang tuan rumah.Widya berjalan lenggak lenggok menuju teras rumah mewah itu. Ia mengetuk pintu dan beberapa saat kemudian pi
Di berbagai percobaan ketika mendekati Respati selalu gagal. Widya sampai stress sendiri dan ingin menyerah. Namun, ketika hendak menyerah, tapi Abimana akan selalu menyemangati dirinya. .Seperti malam ini, Widya menangis di pangkuan Abimana seraya memeluk erat tubuh lelaki itu. ."Aku capek, Mas Abi. Semua orang anggap aku sebagai pelakor!" rengek Widya seolah mengadukan keluh kesalnya kepada Abimana. Sang empu hanya menghela napas. Sedikit menggelikan juga ketika mendengar rengekan dari Widya. Bukannya wanita satu ini memang seorang pelakor?"Kamu yang sabar, dong, Wid. Kita ini lagi berjuang. Masa begitu saja langsung nyerah, sih?" kompor Respati yang seketika membuat tangisan Widya semakin menjadi. "Tapi, aku capek. Mau nyerah saja apa boleh?""Aku bakal coba temui pengacaranya Almarhum Kakek. Kalau memang syaratnya harus balikan sama Hanifa bagaimana? Kalau kamu nyerah bikin rumah tangga mereka bubar, berarti kita putus, dong? Kamu juga nggak akan mau nikah sama lelaki kere se
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s
Ada yang aneh di kediaman Respati dan Hanifa pagi hari ini. Pasalnya, mereka mendapati kotak di depan pintu yang terbalut pita di atasnya. "Ini apa, Mas? Kok, bisa-bisanya ada beginian?" heran Hanifa. Pasangan suami istri itu terpaksa menunda keberangkatannya yang hendak pergi ke tempat fitness lantaran masih penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut."Harusnya kalau ada paket, dititip dulu sama Pak Satpam!" gumam Respati yang juga merasa aneh dengan semua itu. "Coba buka saja, Mas. Aku kok ya penasaran sama isinya!" Hanifa hendak mengambil kotak tersebut, tapi langsung di tahan oleh Respati. Lelaki itu menggeleng pelan untuk memperingati sang istri supaya tidak membuka kotak tersebut. Ia gegas menatap ke arah pos satpam yang tak jauh dari teras rumahnya."Pak Satpam. Tolong ke sini sebentar, Pak!" panggil Respati dengan nada sopan, tapi penuh akan perintah. Dua satpam yang berjaga di pos keamanan pun lekas mendekati kedua majikannya yang berada di teras rumah. "Iya
Sekitar pukul sembilan pagi, pasutri itu baru saja keluar dari kamar. Nenek Laksmi dan Anisa yang melihat itu sontak saja menghela napas. Kedua wanita itu seolah tak tega ketika melihat wajah letih Hanifa."Mau ingin segera punya anak, boleh. Tapi, juga ingat jaga kesehatan. Kalian sudah melewatkan sarapan, loh!" Anisa terlalu gemas dan langsung menegur keduanya, terutama Respati, si biang keroknya. "Mas Pati itu loh, Ma," gerutu Hanifa yang kini sudah duduk menghadap ke arah meja makan. Nenek Laksmi sampai meringis ketika tak sengaja melihat area leher cucu menantunya yang terlihat. Banyak sekali tanda kemerahan di sana. Sudah pasti semua itu adalah ulah dari Respati. "Pati, jangan sampai kamu buat cucu mantunya Nenek sakit. Awas saja nanti!" Respati hanya bisa menghela napas seraya mengangguk. Percuma juga jika dia membuat pembelaan, sudah pasti akan kalah. Tiga lawan satu. Dia bisa apa?"Sudah, intinya jangan terlalu over. Berusaha boleh, tapi ingat juga kesehatan. Kalian ber
Tiga hari setelahnya, kehidupan rumah tangga antara Hanifa dan Respati sudah berjalan dengan semestinya. Sudah tidak ada perang dingin atau pertengkaran lagi seperti yang sudah-sudah.Bahkan, keduanya kembali lengket seperti sedia kala. Hanifa sudah tak pernah lagi membahas kejadian yang lalu. Toh juga Respati sudah kapok dan sudah berjanji tak akan minum-minum lagi. "Sayang!"Hanifa yang kini sedang sibuk memasak pun hanya bisa menghela napas gusar ketika mendengar panggilan dari sang suami. Ada apa lagi dengan lelaki itu? Perasaan tadi masih tidur dengan nyenyak, tapi sekarang sudah ribut sekali."Kamu di mana, Yang?""Di dapur, Mas. Aku lagi masak. Pagi-pagi jangan berisik, ish!" balas Hanifa yang juga ikut berteriak. Sudah tidak ada sahutan lagi dan Hanifa hanya bisa mengedikkan bahu dengan acuh. Wanita itu kembali sibuk memasak. Sekitar dua menit kemudian, Respati datang ke dapur dengan wajah yang masih mengantuk.Grep!Lihatlah betapa manjanya lelaki ini jika sudah bersama d
Meskipun marah pada sang suami, tapi Hanifa sama sekali tidak menolak untuk memberikan jatah pada suaminya. Seperti sekarang ini. Ia baru selesai keramas dengan wajah juteknya. Sementara itu, Respati justru sudah tersenyum sumringah. Cup!Satu kecupan mendarat di bibir manis Hanifa yang justru semakin monyong ke depan lantaran kesal bukan main. Walau begitu, dia tidak mengeluarkan protes sama sekali. "Terima kasih, Sayang. Mas cinta sama kamu!" bisik Respati sangat mesra.Memang dasar lelaki. Sudah diberi jatah, langsung semangat seperti itu. Dia seperti sangat bahagia dan lekas memeluk erat tubuh istrinya. "Jangan lupa senyum, Sayang. Masa sama suami cemberut begitu?" goda Respati. Mau tak mau, Hanifa langsung tersenyum teduh pada lelaki itu. "Aku capek mau tidur sebentar sampai teman kamu datang,"Pada akhirnya, Respati mengalah. Ia membiarkan istri cantiknya mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu. Sekaligus menenangkan pikiran. Harusnya kemarin teman yang di maksud oleh Respa