Atas saran Melanie, Joana akhirnya tetap bertahan melanjutkan sekolah, tapi hanya sampai ujian tengah semester. Setelah itu, dia akan kembali ke rumah orang tuanya agar bisa benar-benar hidup dengan tenang dan nyaman tanpa bayang-bayang Andreas. Melanie hanya bisa mengiyakan karena percuma juga melarang, Joana akan tetap keukeuh dengan pendirian.
"Lama banget sumpah, Mel, nunggu semesteran tiba!" keluh Joana pada suatu malam ketika mereka berdua baru saja mengerjakan tugas sekolah.
"Lusa, Jo. Lusa!" balas Melanie penuh penekanan.
"Tapi aku sudah enggak tahan, Mel! Semakin ke sini, sikap dia, tuh, kayak ...."
"Semakin ke sana, gitu maksud kamu, Jo," sahut Melanie seraya terkekeh.
Joana melemparkan ballpoint miliknya ke arah sang sahabat. "Orang lagi benar-benar kesal malah diledekin!"
"Terus maunya, aku sayang-sayang, gitu?"
"Ish, ogah! Meski patah hati dan hampir jadi janda, aku masih waras kali, Mel! Masak iya, disayang-sayang sama k
Kini, Joana sudah duduk di sofa ruang tamu apartemennya, di antara Sabeum Alan dan kedua orang tuanya. Melanie dengan setia menemani karena tidak mau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada sahabatnya. Joana nampak canggung. Berbeda dengan pelatih bela diri yang memiliki tatapan tajam tersebut, Sabeum Alan terlihat begitu tenang. "Jo. Beliau ini papa dan mamaku." Suara berat Sabeum Alan, memecah kesunyian yang sejenak tercipta di sana. Joana mengangguk lalu tersenyum pada dua orang paruh baya yang tadi sudah dia salami. Papanya Alan bersikap biasa saja. Sementara sang mama nampak tersenyum bahagia pada Joana. "Seperti apa yang aku katakan kemarin, Jo. Aku pasti datang ke tempatmu untuk melamar kamu," lanjut pelatih beladiri tersebut, penuh percaya diri. "Tapi, Sabeum. Di antara kita ...." "Aku datang untuk menunjukkan keseriusanku padamu, Jo! Apa itu belum cukup bagimu?" sergah pria muda di hadapan Joana dengan tatapan mengintimidasi. Pria paruh baya berkacamata yang datang b
Joana merasa lega sekarang, setelah mengikuti saran sang sahabat untuk melaporkan ancaman Sabeum Alan pada orang kepercayaan sang mama yang selalu mengawasi Joana dari kejauhan. Melanie bilang bahwa apa yang dimiliki oleh pelatih beladiri terhadap Joana itu bukan cinta, melainkan obsesi. Joana pun membenarkan perkataan sahabatnya. Akan tetapi, sekarang Joana justru kepikiran dengan obrolan bersama sahabatnya kemarin malam, setelah Sabeum Alan dan kedua orang tuanya pulang. Mungkinkah, perasaan yang dia miliki untuk Andreas juga obsesi, dan bukannya cinta? Sebab, dia sampai memakai cara gila untuk mendapatkan Andreas. Joana yang saat ini belum dapat memejamkan mata, geleng-geleng kepala sendiri. "Tidak, apa yang aku rasakan bukan ambisi. Aku benar-benar mencintainya saat itu," gumam Joana."Saat itu? Tunggu-tunggu! Apa benar saat ini aku sudah tidak memiliki perasaan apa pun terhadapnya? Jika benar sudah tidak ada, kenapa juga aku mesti merasa tidak nyaman melihat dia berdekatan deng
Di apartemen Andreas, guru berkacamata itu tengah bersiap untuk berangkat. Dia berangkat agak santai hari ini karena Andreas tidak terlibat dalam kegiatan class meeting para siswa. Baru saja dia mengaktifkan ponsel dan hendak melangkah keluar, ponselnya yang masih dalam genggaman tangan berdering.Andreas mengurungkan langkah lalu mendudukkan diri di sofa untuk menerima panggilan tersebut.[Iya, Bu Jannet. Ada apa?][Dari tadi di telepon, kok enggak bisa.]Di seberang sana, suara Jannet terdengar merajuk manja.[Iya, ponselnya baru saya aktifkan.][Pak Andre nanti sepulang sekolah, bisa ngantar saya, kan?][Maaf, Bu Jannet. Sepulang sekolah, saya mau ke rumah ibu.][Ya enggak apa-apa, Pak Andre. Saya ikut ke rumah ibu dulu, baru setelah itu Pak Andre antar saya.][Maaf, Bu Jannet. Saya mau ke rumah ibu bersama seseorang.][Siapa?][Maaf. Saya belum bisa menjelaskan sekarang, Bu Jannet.][Apa seorang wanita?][Benar, Bu Jannet.][Apa dia sangat spesial, sampai Pak Andre menolak permint
"Jaga diri baik-baik, Jo!" seru Melanie dan Joana kembali menoleh ke arah sang sahabat yang netranya nampak berkaca-kaca.Joana mengurungkan langkah lalu merentangkan kedua tangan. Melanie langsung saja menghambur kembali ke dalam pelukan Joana. Melihat ulah kedua sahabat baik tersebut, Ricky geleng-geleng kepala. Sepupu Joana itu kemudian mendekati mereka berdua."Kamu juga harus jaga diri baik-baik. Jangan sampai sepupuku ini bertindak jauh dan kelewat batas padamu." Joana tersenyum seraya menyenggol lengan Ricky yang sedari tadi nampak tidak tenang dengan pandangan yang terus tertuju ke arah luar.Ya. Ricky sejak pertama berangkat, di dalam mobil, dan hingga sampai detik ini memang berharap-harap cemas bahwa Andreas akan menyusul Joana, setelah dia mengirimkan pesan pada Ryan sebelum mereka berangkat ke bandara. Meskipun saat ini Ryan sudah mengabarkan bahwa sang abang langsung meluncur ke bandara, Ricky tetap saja tidak tenang karena di saat genting seperti ini, Andreas belum juga
Atas permintaan Pak Bernardus yang kemudian segera meluncur ke rumah sakit di mana Andreas dirawat, tim dokter segera melakukan tindakan operasi untuk menyelamatkan nyawa korban kecelakaan tersebut. Pihak yayasan yang akan menanggung biayanya dan kabar itu membuat Bu Martha sedikit lega, meskipun rasa khawatir tetap menyelimuti hatinya. Sebagai seorang ibu, tentu Bu Martha sangat takut jika sesuatu hal yang buruk terjadi pada sang putra. Ryan yang senantiasa mendampingi sang ibu, memeluk bahu ibunya yang terus menutupi wajah dengan telapak tangan sembari berdo'a. Do'a untuk keselamatan sang putra yang tengah berjuang di dalam sana. 'Selamatkan putra hamba, Tuhan. Dia belum sempat meminta maaf pada istrinya. Tolong, beri dia kesempatan kedua untuk menebus segala kesalahan pada wanita baik seperti Joana. Izinkan mereka untuk bersama, Tuhan.'Air mata Bu Martha terus mengalir. Bahunya sedikit berguncang karena beliau menahan suara tangis agar tidak keluar. Ryan semakin mengeratkan peluk
Semua orang masih disibukkan dengan mencoba menghubungi Joana. Namun, wanita belia itu tak kunjung dapat dihubungi. Pesan yang dikirimkan oleh Ricky, Melanie, maupun Ryan, masih saja centang satu. Istri Andreas itu benar-benar belum mengaktifkan ponsel sejak tiba di negara orang tuanya, meskipun hari telah berganti malam. "Kamu di mana, sih, Jo?" tanya Ricky pada diri sendiri, setelah menutup ponselnya. "Sampai detik ini, dia juga belum sampai rumah, Bu. Kata Tante Anggie, Joana sebelum berangkat tadi memang sempat meminta izin ingin menenangkan diri dulu," lanjutnya berkata, sambil menatap iba pada Bu Martha. Ya, Ricky baru saja menghubungi kediaman orang tua Joana dan sang sepupu belum menampakkan batang hidungnya di rumah. Bu Martha hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Ricky. Beliau dapat memahami perasaan sang menantu yang pastinya sangat kecewa pada putranya. Bu Martha juga dapat memahami jika Joana butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan dirinya.&n
Mama Anggie dan Sandy, terus menelisik wajah Joana."Bagaimana keputusan kamu, Nak? Mau langsung kembali ke sana untuk melihat kondisi Andre?" tanya sang mama.Joana menggeleng. "Jo belum bisa memutuskan sekarang, Ma."Joana baru akan membuka pesan suara kedua, ketika ada panggilan video masuk dari nomor Andreas. Dia bergeming, sambil menatap layar yang terus berkedip. Membuat sang mama dan sang kakak, gemas sendiri melihat sikapnya."Angkat, Jo! Siapa tahu ada kabar penting tentang suami kamu? Jangan sampai kamu menyesal jika mengabaikan panggilan itu!" Suara sang mama, memaksa Joana untuk menerima panggilan video tersebut.Baru saja Joana menerima panggilan video tersebut, wajah Bu Martha nampak memenuhi layar ponsel dengan netra berembun. "Nak, Jo. Syukurlah, ibu sudah bisa menghubungi kamu," kata Bu Martha, mencoba untuk tersenyum."Maaf, Bu. Ponsel baru saja Jo aktifkan. Bagaimana kondisi Bang Andre, Bu?" balas dan tanya Joana meski ter
Dokter segera memeriksa keadaan Andreas. Suster lalu menambahkan obat cair yang disuntikkan pada botol infus. Tak lama kemudian, Andreas mulai tenang kembali meski tetap belum sadarkan diri.Menurut keterangan dokter barusan, Andreas mengalami demam dan hal itu biasa dialami oleh pasien pasca dioperasi. Meskipun dokter sudah menjelaskan secara detail, sebagai seorang ibu, Bu Martha tetap merasa khawatir. Sepanjang malam itu, wanita kurus tersebut terus berjaga, dan tidak membiarkan sedetik pun netranya terpejam karena khawatir sang putra kenapa-napa."Bu. Ibu masih belum tidur?" tanya Ryan yang terbangun di jam tiga dini hari karena panggilan alam."Ibu tidak berani meninggalkan abangmu sendirian tanpa ada yang menjaganya, Ryan," jawab Bu Martha seraya menatap sang putra sulung dengan tatapan sendu.Ryan menghela napas panjang. Dia tahu kegelisahan dan kekhawatiran sang ibu. Pemuda itu bergegas menuju kamar mandi untuk menuntaskan hasrat buang air kecil y
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan
Joana benar-benar merasa kesepian kini karena sang sahabat sudah memiliki kehidupan baru sekarang. Melanie juga mulai disibukkan dengan mengikuti kursus parenting, di sela-sela dia bekerja, dan rencananya Melanie juga akan mengikuti kelas senam untuk ibu hamil karena kehamilannya sudah mulai membesar. Praktis, Melanie tak lagi memiliki waktu untuk Joana.Hanya Bu Rifah yang masih setia berkunjung, meski Joana tak lagi memperbantukan istri Om Jun itu di unitnya. Joana memberhentikan Bu Rifah sebagai asisten rumah tangga, sejak mengetahui kehamilan ibunya Dino dan Dini. Joana tak ingin sesuatu terjadi pada kandungan istrinya Om Jun, seperti yang terjadi pada Joana kala itu."Kapan, ya, Bu, Jo bisa hamil lagi?"Wajah Joana terlihat murung, padahal di depannya ada Dina, yang biasanya membuat Joana antusias untuk menggoda gadis kecil yang montok itu. Dina sekarang sudah pandai berjalan dan tingkahnya sungguh menggemaska
Joana dan Andreas tak percaya ketika melihat Ryan menggandeng mesra tangan Dini, menghampiri mereka. Begitu pula dengan Ricky yang sedang menanti sang istri, yang tengah dirias oleh MUA. Mereka semua sampai melongo, menatap ke arah Ryan yang tersenyum lebar, sementara Dini tersipu malu."Bang, Kakak Ipar. Ini kekasihku, calon istriku. Ryan akan menikahinya, begitu dia lulus nanti," kata Ryan, sambil menggenggam erat tangan kekasih belianya. Ryan dapat merasakan tangan Dini yang gemetaran, juga berkeringat."Santai aja, Dek. Mereka pasti setuju, kok. Percayalah pada Abang," bisik Ryan, meyakinkan dan Dini mengangguk.Sebenarnya, Dini tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia tahu betul, seperti apa Joana, juga Andreas. Mereka tidak akan mempermasalahkan status sosial seseorang yang dekat dengan salah satu anggota keluarganya. Terbukti, Joana sendiri menikah dengan Andreas. Hari ini, Ricky juga menikahi Melanie y
Ricky dan Melanie memberanikan diri untuk berterus terang kepada orang tua mereka berdua. Tentu saja para orang tua itu murka, meski mereka juga sudah mengetahui sejauh apa hubungan anak-anaknya itu. Pihak orang tua pun akhirnya menyetujui pernikahan Ricky dan Melanie dan mereka juga mempersiapkannya dengan sangat cepat karena tak ingin orang-orang di luar sana tahu kecelakaan yang telah terjadi.Semua orang dibuat sibuk, termasuk Joana, dan Andreas. Joana sempat terkejut mendengar kabar kehamilan sang sahabat. Dia menjadi sedih karena justru Melanie yang notabene belum menginginkan hadirnya anak, justru diberikan amanah untuk mengandung benih Ricky. Sementara dirinya yang sudah sangat siap dan menginginkan agar bisa segera hamil, malah tak kunjung diberikan kepercayaan pasca keguguran tiga tahun silam.Joana pun membantu persiapan pernikahan sang sepupu dan sahabatnya itu dengan raut wajah yang dipenuhi mendung kelabu. Dia terus