“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau mati, hm?!” suara baritone tiba-tiba terdengar membuat Brisia terperanjat, matanya membulat ketika melihat sosok kakak tirinya berdiri di ambang pintu.
“Kak Jovan?!” pekik Brisia, tangannya meremas ujung bajunya. Ia takut kakaknya akan melakukan kekerasan padanya.
“Ke-kenapa Kakak ada disini? Dan kenapa ga tekan bel dulu sih?” Brisia berusaha bersikap wajar, ia tak ingin rencana pembelotannya di ketahui kakak tirinya.
Pria bernama Jovan itu hanya menyungingkan senyum seraya mendekati Brisia, “Memangnya aku perlu ijinmu untuk keluar masuk tempat ini? Lagipula aku cuma mau mengecek kondisimu. Mama lagi kesel, orang suruhannya kerja ga becus, padahal cuma buat ngikutin kamu doang,” jelas Jovan yang ikut duduk di sofa beludru di samping Brisia, sementara Brisia berusaha menggeser layar laptopnya agar email yang dihendak dikirim Brisia pada Parson Group tak diketahui Jovan.
Jovan, pria tinggi berkulit tan, memiliki karakter wajah yang tegas persis seperti Tuan Renand namun lebih murah senyum dan ramah. Tapi siapa sangka bahwa dia juga sama liciknya seperti ibunya.
“Jadi kamu udah bosan hidup, ya?” pertanyaan Jovan membuat Brisia menelan saliva dengan paksa.
Jovan menarik laptop Brisia, jari-jari jenjangnya mengetik sebuah rangkaian kalimat. Entah apa yang di lakukannya, yang pasti Brisia hanya mampu berdoa agar dia selamat dan dimaafkan karena telah berani mengambil flashdisk milik perusahaan Atmadja.
Mata bulat Brisia bahkan terasa sulit untuk berkedip, dalam hati dia sudah sibuk mencaci maki perbuatan kakak tirinya yang selalu seenaknya saja masuk ke dalam apartementnya. Hanya karena mentang-mentang apartement ini pemberian ibu tirinya maka kedua saudara tirinya pun secara otomatis mendapat akses untuk keluar masuk apartement yang di tempati Brisia seenaknya. Mengingat hal itu saja membuat Brisia geram karena tidak memiliki ruang privasi bagi dirinya sendiri, sebab ibu dan saudara tirinya terlalu mengontrol kehidupan Brisia. Kali ini pun Brisia bahkan tak bisa mencegah perbuatan Jovan atau setidaknya menyuruh Jovan pulang.
“Dengar, kalau kamu meminta bantuan dari Tuan Muda Parson itu maka kamu harus memberikan hal yang lebih daripada apa yang kamu dapatkan darinya. Sekarang coba kamu pikirkan punya apa kamu agar dia mau membantumu, hm?”
“Aku ga mau dengar omongan Kakak, Kakak dan dia sama saja kan?” sungut Brisia membuat Jovan terkekeh.
“Aku memang sama seperti ibuku, tapi aku punya tujuan yang sama denganmu.”
Apa dia bercanda? Dia kira aku mudah ditipu?
Brisia mengkerutkan keningnya. Setelah selesai ia mengambil flashdisk itu dan kembali menatap adik tirinya yang sedari tadi dibuat bingung.
“Aku ga akan bilang kalau kamu diam-diam menyelinap kerumah dan mengambil ini. Sebagai gantinya buatlah Tuan Muda Parson itu berada di pihakmu,” ujar Jovan lalu mengeluarkan sebuah kartu nama.
“Jangan hubungi perusahaannya, hubungi orangnya langsung. Kudengar dia sedang menyusun rencana agar bisa naik jabatan menggantikan posisi ayahnya.”
Brisia menaikkan sebelah alisnya, “Kamu mungkin bisa membantunya mencapai kemauannya itu. Sedikit informasi, Tuan Muda Parson adalah orang yang tamak dan pemilih, jadi buatlah penawaran menarik!” sambung Jovan lalu mengedipkan sebelah matanya. Brisia mencerna maksud Jovan, ia terdiam hingga tak sadar kalau kakaknya sudah pergi dari apartement itu.
Ide gila yang terlintas siang hari kembali hadir di otaknya, ia mengambil secarik kertas kecil yang ditinggalkan Jovan lalu membulatkan tekadnya untuk menghubungi pria bernama Theodore Maxmillan Parson, satu-satunya putra tunggal Christian Parson, Vice Komisaris Parson Group yang memiliki kemauan menggeser posisi ayahnya untuk menjadi Chairman dan memegang kekuasaan penuh Parson Group.
***
Sebuah lantunan lagu jazz terdengar menggema di kamar utama. Seiringan dengan irama jazz yang lembut seorang pria keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basah membuat tetesan air jatuh dari ujung rambutnya. Tubuh atletisnya terbungkus baju handuk berwarna putih dan tebal. Dengan santai ia duduk di sebuah sofa, menselonjorkan kakinya dan mengambil buah anggur yang tertata rapi dengan makanan lain di mini trolly.
Sesekali pria itu ikut bernyanyi sesuai lagu yang diputar. Perhatiannya teralihkan ketika layar ponselnya menyala dan mendapat email atas nama pengirim Brisia Atmadja.
Siapa orang ini? Kenapa mengirim email sembarangan?
Karena moodnya yang sedang bagus, Theo membuka email tersebut dan membacanya dengan cermat. Matanya terbelalak melihat isi lampiran file serta sebuah tawaran yang menggiurkan sampai dia tersedak. Tangan jenjangnya segera meraih segelas susu strawberry dan meminumnya. Kemudian ia menelpon Angga, asisten pribadi sekaligus informannya yang lihai.
“Ya Tuan?” sahut Angga begitu menerima telpon dari Tuannya.
“Angga, cari tahu tentang Brisia Atmadja!”
“Brisia … Atmadja? Maksudnya keluarga Atamdja rival kita kan? Bukannya putrinya bernama Jessika?”
“Jangan banyak omong Angga! Cari saja informasi orang itu, saya butuh secepatnya!” titah Theo dan mengakhiri percakapan mereka.
Theo menyandarkan punggungnya di sofa, menimbang jika informasi yang diberikan Brisia adalah benar maka dewi fortuna sedang berada di pihaknya. Belum lagi jika tawaran dari Brisia itu bisa dipertanggungjawabkan maka tujuannya menjadi Chairman Parson Group akan segera tercapai.
“Apa ini semacam pemberontakan? Atau malah jebakan?” gumamnya.
Ping!
Sebuah chat masuk dari Angga membuat Theo bergegas menaruh perhatian pada ponselnya.
Nona Brisia bersih dari kasus kriminal, maupun campur tangan perusahaan. Selama ini identitas Nona Brisia sengaja dirahasiakan oleh Nyonya Anne. Saya akan melampirkan informasi detailnya lewat email – Angga
Senyum tersungging diwajah tampan milik Theo. Pria yang berjiwa kompetitif dan tamak akan kekuasaan itu memutuskan untuk menerima tawaran Brisia dan bertemu dengannya esok hari. Apalagi ketika ia mendapat kiriman foto Brisia yang menarik perhatiannya, membuat sebuah senyuman merekah di wajah Theo. Kebiasaan seakan mengunyah permen karet di mulutnya yang kosong secara otomatis kembali saat memperhatikan foto Brisia.
“Begitu, ya? Hmm … menarik juga. Apakah ini waktunya bersenang-senang? Kalau begitu, aku terima tawaranmu, Nona.”
***
Seorang pria bersetelan navy blue semiformal membubuhkan tandatangan miliknya di secarik kertas perjanjian konyol yang ia buat dengan seorang gadis yang baru pertama kali ia jumpai.
Keduanya saling melempar senyum seringai setelah mereka deal dengan kontrak tersebut. Bisa di bilang itu adalah kontrak tergila yang pernah Theo tandatangani seumur hidupnya. Angga sang asisten tak mampu mencegahnya, ia hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu apa isi kepala Tuannya sehingga mau menandatangani kontrak itu.
“Oke, kita simpan masing-masing salinannya. Bersiaplah untuk malam ini, kita buat semua orang terkejut!” titah seorang gadis dengan wajah datar sambil merapikan beberapa kertas di hadapannya.
“Oke!” sahut Theo memperhatikan gadis di hadapannya dengan baik. Netranya bak mesin scanner yang dengan cermat merekam fisik Brisia. Tubuh yang tinggi semampai dengan kaki jenjang, kulit putih susu dibalut gaya pakaian feminism elegan. Rambut bergelombang hitam kecokelatan senada dengan warna dua bola mata yang memiliki bulu mata lentik. Tak lupa tahi lalat dibawah mata kiri menjadi pemanis tambahan selain hidungnya yang mancung dengan batang ramping.
Lebih indah daripada difoto. Gadis ini hanya mengenakan polesan sederhana, kalau dia berada ditangan yang tepat, keindahan parasnya bisa mengalahkan berlian,
Theo menyeringai lalu memalingkan pandangannya yang sudah terlalu lama terhipnotis oleh kecantikan Brisia.
“Kalau begitu aku pamit dulu, selamat siang Mr. Parson!” ucap gadis itu berpamitan. Setelah ia keluar dari kafe, Angga segera bertanya, tak kuat membendung rasa penasaran kenapa Tuannya bersedia menandatangani kontrak tersebut.
“Tuan, saya tahu saya lancang. Tapi kenapa Tuan mau menandatangi kontrak itu? Menikah dengan gadis yang di asingkan keluarganya sendiri, apa anda yakin?”
Angga, pria yang sudah mengabdi sepuluh tahun dari saat Tuannya remaja sampai usianya matang, merasa terbebani dengan keputusan Tuannya yang sepihak.
“Saya tahu, Angga.Tapi dia tetap putri bungsu keluarga Atmadja kan, rival utama perusahaan kita?”
“Dan anda tetap menerimanya? Apa yang Tuan rencanakan?”
***
Theo menyeringai dan menyeruput susu strawberrynya setelah mendengar nada khawatir dari pertanyaan Angga.“Saya menerimanya, karena dia satu-satunya anak yang sengaja di sembunyikan keluarga Atmadja. Pasti ada alasan kuat kenapa mereka menyembunyikan identitas gadis itu, dan jika dia ada di tangan saya maka itu sebuah keuntungan bukan?”Angga mengernyitkan keningnya, entah mengapa Tuannya berfikir terlalu positif untuk hal sekrusial ini.“Tapi bagaimana kalau gadis itu adalah senjata Atmadja untuk menghancurkan kita?”Sebuah senyuman tulus tercetak di wajah tampan milik Theo ketika ia menatap pintu kafe, mengingat saat beberapa detik yang lalu gadis itu pergi dari tempatnya.“Hmm … saya ga yakin, lagipula orangtua saya juga sudah mendesak saya supaya cepet menikah dan punya keturunan, bukankah ini perjanjian yang saling menguntungkan?”Sementara itu, Brisia Atmadja selaku satu-satunya orang yang lan
Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekej
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel
Setelah semua kekacauan di dapur berhenti, Theo segera bangun, kedua netranya bak mesin scanning memindai seluruh kekacauan di sekelilingnya. Ia menghempaskan nafas dan kini mata tajam itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut. Kedua bola mata itu seperti hampir keluar, bibirnya sedikit bergetar dengan tangan yang meremas ujung bajunya kuat-kuat, jelas sekali kalau gadis itu sedang ketakutan karena sudah membuat dapur milik Theo luluh lantah layaknya kapal pecah.Bagaimana tidak? Popcorn gosong, biji jagung yang bertebaran dimana-mana, kentang yang berhamburan, cipratan minyak yang membuat perabot dan lantai menjadi kotor, tak lupa bubuk minuman vanilla latte yang tumpah sehingga meja dan lantai menjadi lengket dan sangat kotor.“Bisa gak kamu gak ceroboh? Mau bakar apartement saya ya?!” bentak Theo membuat Brisia terperanjat. Theo memijat pelipisnya sebentar ketika memedarkan tatapan tajamnya untuk mengamati keadaan dapur leb
“Aku hamil ….”Dengan tangan gemetar wanita itu menunjukkan tiga buah alat tes kehamilan yang sudah ia gunakan beberapa hari terakhir. Hasilnya? Tetap sama, dua garis merah tercetak jelas pertanda bahwa ada nyawa lain yang bersemayam dalam tubuh kecil miliknya.Layaknya pasangan lain, pria itu tersenyum tetapi bukan sneyum tulus maupun senyum bahagia, senyuman yang dibingkai dengan lesung pipi itu menunjukkan rasa puas karena aksi liciknya akan segera dimulai.“Kamu mau cek ke dokter, atau langsung kerumah barumu?” tawar pria bersuara baritone lembut, sementara gadis dihadapannya tetap bergeming.Tak!Pria itu melempar sebuah kartu creadit, menghempas keras pada paha gadisnya, seraya bangkit dan membenarkan jasnya dia berujar,“Sesuai kesepakatan kita, itu bayaranmu dan mulai sekarang pergilah pada kekasihmu, nikmatilah hidup mewah serta tempat yang seharusnya menjadi milikmu, kamu sudah menantinya, bukan
“Elena hamil? Kamu serius?”Mata tajam Theo menatap lekat manik cokelat milik Brisia, semenjak Theo menjemputnya dengan mobil sport miliknya, Brisia tak tahan lagi untuk berbagi informasi dengan suaminya.“Tapi Elena ga mau bilang usia kehamilannya, tapi sepertinya sudah menginjak bulan ketiga, melihat perutnya yang mulai membuncit. Bagi super model sekelas Elena, tentu saja dia akan menjaga bentuk tubuh, bukan?”Theo tak menanggapi, ia hanya fokus pada jalanan yang ada di hadapannya tetapi pikirannya kini menjadi bercabang.Apa benar anak yang dikandung Elena milik Elios? Apakah ini salah satu alasan kuat mengapa mereka menikah dengan cepat? Jika memang itu benar-benar anak Elios, keturunan parson generasi ke empat, maka akan mengancam posisi itu! Ck, dasar Elios si bedebah!***Senyum Brisia merekah saat Theo membawanya pulang ke apartement milik Theo, tempat yang mengurung Brisia sebelum ia sah menjadi ist
Sebuah pesawat maskapai ternama akhirnya tiba di negara tujuan. Sinar matahari yang terik seperti membakar lapisan kulit Brisia yang seputih susu. Syukurlah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dapat menyelamatkan kedua mata indahnya dari teriknya intensitas cahaya yang ia terima.Sebuah mobil classic Roll Royce Sweptail kepunyaan Theo telah bertengger, salah satu pintunya terbuka dengan seorang pengawal berdiri di sisinya, siap untuk mengantar Tuannya kembali ke kediaman mereka.Dingin dan hening, inilah hal yang membuat Theo nyaman. Kedua mata tajam itu terpejam untuk sesaat, membuang rasa lelah selama di perjalanan atau sekedar mempersiapkan diri untuk sesuatu hal yang baru.“Theo, hp-mu sepertinya ada panggilan masuk!” ujar Brisia, suara sopran itu mengusiknya. Theo tahu ada panggilan masuk ke ponselnya, ia berusaha tak mempedulikannya tetapi Brisia malah menyadarkannya.Diambilnya benda persegi panjang pipih itu dari saku celana, s
Dia mau apa sih? Dia mau cium? Di tengah kerumunan kaya gini? Apa Brisia gak waras?Pertanyaan Theo terjawab detik berikutnya saat Brisia mendekatkan mulutnya ke daun telinga Theo.“Aku haus!” jawab Brisia, ia menarik diri sembari menunjukkan senyum tiga jari.“Jadi?” Theo seolah tak peka dengan permintaan istrinya, dia mulai kesal karena kegerahan dan merasa sumpek berada di tengah keramaian, belum lagi tingkah aneh istrinya yang hampir saja membuat dia salah tingkah.“Kamu tunggu di sini, aku mau beli minum sebentar!” ucap Brisia seraya berdiri.Secepat kilat Theo menyambar tangan Brisia, membuat gadis itu tertahan dan menoleh ke arahnya. “Apa?”“Kamu tunggu di sini, saya saja yang beli. Ingat, jangan kemana-mana sampai saya kembali!” titah Theo seraya bangkit dan meninggalkan Brisia.Kedua mata Brisia masih saja mengekor pria itu, sampai Theo berada di sebuah boot
“Hwaaa …!”Teriakan Brisia seolah mewakili seluruh kepenatan yang ia timbun selama ini. Kedua tangannya diangkat keatas, sesekali matanya terpejam saat roller coaster yang dia naiki menukik tajam. Sementara beberapa helai rambut miliknya melambai-lambai mengganggu wajah tampan seorang Theodore, memasang wajah datar tanpa ekspresi ketakutan atau antusias seperti pengunjung lain. Bagi Theo, tugasnya adalah mendampingi dan menjaga Brisia, suami yang harus rela bersabar mengikuti semua keinginan sang istri untuk mencoba hampir seluruh wahana di taman hiburan.Padahal satu jam yang lalu ketika insiden rambut Brisia menyangkut di kancing celana Theo tepat saat itu pula kedua orangtuanya melakukan video call, panik? Tentu saja! Tapi bukan Theo namanya jika tak pandai mengontrol ekspresi dan berkilah. Dengan mengorbankan memotong rambut Brisia agar rambut istrinya bisa terlepas dari lilitan kancing celana Theo, kini wanita itu terkesan imut karena memiliki p
Malam masih panjang, tetapi seorang gadis masih terjaga. Dia tak bisa terlelap sedikit pun, yang mampu ia lakukan kali ini hanya duduk di pembaringan, menatap kosong langit kelam yang membentang di balik jendela dan sesekali menoleh pada pria yang terlelap di sampingnya. Tidur dengan nyenyak tanpa busana, hanya selimut tebal tanpa corak yang menutupi tubuh mereka.Pergolakan hati gadis itu semakin menjadi-jadi, diambilnya sebuah ponsel butut dan mengirimi pesan tak henti pada seseorang, mencoba mencari pelampiasan tapi orang yang ia hubungi tak pernah meresponnya, tentu saja hal itu semakin membuat gadis berpipi tembam itu kecewa. Bulir-bulir bening dari kedua mata sipitnya semakin lama semakin deras, ia hanya mampu menggigit bagian selimut untuk menyembunyikan isak tangisnya.Kak Theo, aku mohon selamatkan aku!***QiqiLand Hotel.Suara pengering rambut terdengar dari bilik kamar mandi, Theo tahu betul bahwa istrinya sudah hampir selesai
“Ini kali terakhir saya meminta, bersediakah kamu mengandung anak saya …?”..Tubuh Brisia bergerak kikuk tak tentu arah menahan diri untuk tak menggeliat maupun sekedar mengeluarkan desahan akibat sentuhan abstrak jari-jari jenjang Theo. Beberapa kali gadis itu menggigit bibirnya sendiri ketika tubuhnya dihujani kecupan panas dari bibir seksi milik suaminya.Deru nafas dan dentuman jantung seakan berlomba-lomba menyeret Brisia dalam jurang kenikmatan. Untuk pertama kalinya, gadis itu tak tahu apa yang harus dia lakukan, dalam pikirannya ia tak mau melakukan ini, dia belum sepenuhnya percaya pada Theo yang pandai bermain peran, pria manipulative dan ambisius, Brisia tak ingin menyerahkan mahkotanya secepat ini.Tetapi, ketika pikirannya sibuk menimbang penilaiannya yang naif, di sisi lain Brisia menginginkan lebih, segala hal yang Theo lakukan padanya kali ini seakan menjadi candu yang memabukkan. Secara naluri Brisia pun menikm
“Aaaaa~ wah, hebat!” ungkap Theo saat istrinya memakan lahap sesendok penuh makanan yang ia suapi. Brisia hampir saja tersedak karena porsi yang Theo berikan sungguh banyak. Setelah Theo berhasil berbohong dengan mulus pada ibunya, Brisia hanya mampu mengiyakan dan meladeni segala permainan Theo.Sampai saat keduanya berpamitan untuk pulang karena jam besuk sudah berakhir, selain itu lambat laun hari pun mulai gelap. Theo kembali tak mengacuhkan istrinya, ia jalan duluan sambil menyeret koper menyusuri trotoar mencari hotel tempat mereka menginap.Sedangkan Brisia? Gadis itu jelas bermuka masam. Theo kembali ke sifat asal, selalu tak acuh dan malah menganggap Brisia transparan, sama sekali tak peduli bahwa gadis itu kesulitan menyeret barang bawaannya.Brisia berhenti, kakinya kesakitan. Dia melepas heels yang membuat kakinya pegal seharian. Dilihatnya lagi punggung suaminya telah menghilang, namun ia tak panik. Jika dia kehilangan jejak Theo, Brisia
“Hah, sialan!” umpat seorang wanita tua di dalam ruang kerjanya. Ada tiga buah botol alhokol berjejer di mejanya, dua di antaranya sudah teguk habis oleh Anne seorang diri.Sudah sejak sore hari Anne menghabiskan waktunya di ruang kerja, berkutat dengan segala masalah yang tertimbun dibenaknya, semakin ia memikirkan segala masalahnya, semakin besar pula Anne membenci putri tirinya. Andai saja anak itu tidak bertemu keluarga Parson, tentu saja perusahaan tidak akan drop seperti ini.Pernikahan Brisia dengan Tuan Muda Parson itu berdampak besar bagi perusahaan, semakin hari semakin sulit untuk mendapat relasi dan investor, beberapa kali tim audit datang dan memeriksa keuangan perusahaan, hanya karena Anne menyembunyikan putri tirinya maka spekulasi tentang penggelapan uang yang di lakukan Anne pun bermunculan.“Hah!”Anne mendorong ketiga botol minuman alcohol itu, suara pecahan botol terdengar nyaring sampai ke luar ruangan. Tepat s