Tepat hampir tengah malam Brisia sampai di gedung apartement sederhana miliknya. Begitu ia masuk matanya membulat ketika melihat sosok ibu tirinya yang sedang duduk di sofa.
“Sudah selesai main peran jadi Cinderella-nya?” tanya Anne membuat Brisia menaikkan sebelah alisnya. Anne menghempaskan nafasnya dengan kasar karena ia tak mau lagi membuang-buang waktu.
“Katakan padaku kenapa kamu berani melakukan itu?” tanya Anne menatap tajam gadis yang tengah berdiri di depannya, gadis yang sangat ia benci dalam hidupnya.
“Karena aku ingin menikah,” jawab Brisia dengan enteng seolah mempermainkan lawan bicaranya.
“Hah! Yang benar saja! Kamu fikir aku gak tahu apa yang ada di otakmu?! Gadis licik sepertimu ga mungkin ingin menikah tiba-tiba dengan orang macam itu! Apalagi Parson Group itu kompetitor terberat kita!”
Emosi Anne mulai naik, bentakannya pada Brisia menggema sampai gadis itu memejamkan matanya sekejap.
“Katakan padaku, apa maksud sebenarnya kamu mau menikahi pria itu?!”
“Karena aku juga ingin bebas!” jawab Brisia dengan tegas, membuat Anne menurunkan salah satu kakinya yang tengah bersilang. Anne mulai duduk dengan tegap dan menatap Brisia dengan tatapan mengintimidasi.
“Benar-benar gak tahu diri, ibu sama anak sama aja. Sama-sama nyusahin! Memangnya aku gak tahu apa yang kamu rencanain setelah menikahinya?! Awas saja kalau kamu malah jadi bumerang buat Atmadja!”
Brisia menyunggingkan senyum tipis diwajahnya, membuat Anne geram dan berdiri untuk mendekatinya. “Kalau kamu fikir kamu bisa menghancurkan aku dengan cara meminta bantuan pada Parson, kamu salah besar! Akan ku pastikan Parson hancur begitu kamu menjadi bagian dari mereka!”
“Begitu ya? Coba saja kalau bisa!” ucap Brisia membalikkan ancaman Anne beberapa waktu lalu. Merasa tersulut emosi, Anne menampar pipi Brisia dengan sekuat tenaga, membuat gadis itu sedikit terhuyung. Rasa panas dan perih datang mendominasi, bahkan sudut bibirnya pun sampai berdarah.
“Harusnya aku tak pernah mengijinkanmu memiliki nyawa, itu kesalahan terbesarku. Sekali lagi kamu bertingkah mempermalukanku di depan umum, kamu akan menangis dibawah nisanmu sendiri!” ucap Anne menyenggol bahu Brisia lalu pergi keluar dari apartement Brisia.
“Jessika, ayo pergi!” ujar Anne membuat Brisia membelalakan matanya. Dia berbalik dan menemukan sosok Jessy, saudari tirinya yang mematung di ambang pintu dengan wajah kecewa.
“Jadi lo beneran mau nikah sama Tuan mudanya Parson itu? Terus Jonathan gimana, Bi?” tersirat ketidakpercayaan dari wajah Jessy. Wanita dengan rambut pirang sepunggung itu segera mendekati Brisia.
“Bi! Jonathan gimana?” ulang Jessy sambil mengguncang tubuh Brisia membuat Brisia tergagap. “A-aku udah putus dua minggu yang lalu, Jess!” bohong Brisia. Jessy terperangah mendengar jawaban Brisia, tapi Jessy percaya saja karena Brisia selalu berkata jujur padanya. Setahu Jessy, sudah hampir satu tahun Jonathan, pria yang dicintainya berpacaran bersama saudari tirinya Brisia, meski sampai hari ini Jessy masih memendam cintanya pada Jonathan tapi tak pernah sekalipun Jessy mengusik hubungan Brisia dan Jonathan, karena Jessy tahu Jonathan sangat mencintai Brisia.
“Sumpah lo keterlaluan banget Bi! Kalau tahu akhirnya lo buang Jonathan kaya gini, mending waktu itu gue gak ngalah buat lo! Lo tahu sendiri kalau gue juga suka sama Jonathan kan? Tapi lo malah kaya gini? Lo ga ngehargain perasaan orang banget!”
Brisia menunduk, kedua matanya berkaca-kaca mendengar penuturan dari saudarinya. Sebenarnya Brisia ingin menjelaskan bahwa selama ini dia tak memiliki hubungan apa-apa dengan Jonathan. Brisia hanya membantu Jonathan berpura-pura menjadi kekasihnya agar Jonathan terlepas dari sifat Jessy yang posesif padahal diantara mereka berdua tak ada hubungan special.
“Enak ya bisa maenin perasaan orang seenaknya? Sekarang gue ngerti perasaan Mama, kenapa dia benci banget sama lo dan nyokap lo!”
“Jessy!” suara baritone seorang pria membuat Jessy terbungkam. “Jessy, sebaiknya kita pulang, nanti baru bicara lagi sama Brisia,” ucap seorang pria dengan nada lembut untuk memisahkan kedua adiknya
“Gue gak mau bicara lagi sama dia! Kak Jovan aja tuh yang keramasin dia! Biar otaknya seger, heran gue jadi cewek kok ga ada manfaatnya! Bisanya ngancurin hati orang aja!”
“Ssstthh Jessy!” potong Jovan sambil menarik Jessy, tak ingin kedua adiknya terlibat pertengkaran lebih lama, Jovan membawa Jessy keluar dari apartement Brisia, meninggalkan Brisia sendiri disana.
***
Berita tentang pernikahan Theo yang diperbincangkan semalam kini menjadi topik hangat di berbagai perusahaan, untungnya Theo tidak mempublikasikan dirinya ke media televisi, sehingga wajahnya tak dikenal orang awam. Berbeda dengan sepupunya, Elios yang kerap gonta-ganti kekasih dan menggaet kalangan selebriti sehingga ia memiliki popularitas sampai ke kalangan masyarakat menengah kebawah.
Hampir disetiap ruang divisi di kantor miliknya, Theo mendengar desas-desus tentang acara pernikahannya itu membuat kupingnya panas dan mudah terdistraksi.
Theo memutuskan untuk keluar dari ruangannya namun diperjalanannya ia malah bertemu sepupunya yang sedang mencari muka pada dewan direksi.
“Oh, ini dia actor utamanya! Tuan Muda Theo yang terhormat, bisa bergabung sebentar?” Elios si pria berkulit putih susu itu tanpa sungkan menarik tangan Theo dihadapan dewan direksi.
“Apa yang kamu lakukan?” bisik Theo, namun Elios pura-pura tak mendengarnya.
“Tuan Marquiss, apa sekarang saatnya kunjungan dewan direksi ke kantor pusat?” sapa Theo berbasa-basi pada salah satu pria di hadapannya yang menatapnya dengan wajah datar.
“Aaaa~ Theodore, jangan berkilah. Kami semua datang karena ingin menanyakan kebenaran gossip yang beredar!” jawab Elios tiba-tiba membuat Theo mengeraskan rahangnya.
“Gosip?” Theo menaikkan sebelah alisnya.
“Apakah pernikahanmu dengan … gadis yatim itu benar? Kalau iya, bisa ga malam ini kamu ajak dia makan malam bersama kami?”
Theo menyeringai mendengar perkataan Elios yang mencoba menyerangnya.
‘Bocah ini, harus di beri pelajaran!’
***
“Terimakasih atas kunjungannya, semoga kembali lagi~”
Brisia tersenyum ketika pelayan butik itu membukakan pintu untuknya. Gadis dengan midi dress floral itu keluar dari butik dan menatap sebuah jas yang sudah dipasang dibalik jendela show butik.
Tiiinnn!!
Brisia terperanjat ketika mendengar klakson nyaring tiba-tiba berbunyi. Dia menoleh dan melihat sebuah supercar berwarna kuning di tepi trotoar.
“Hey! Kamu ngejual jas saya?!”
Brisia beringsut mundur ketika mendengar suara husky itu membentaknya di depan umum, ia memilih tak mempedulikan pria itu dan segera kabur, namun Theo mengejar dengan mobilnya.
“Hey! Kenapa kamu kabur?!”
Brisia mempercepat jalannya, kini menjadi berlari menyusuri trotoar dan membuat Theo menginjak gas lebih dalam.
“Hey, jangan lari! Nona! Nona!!!”
Brisia lari makin kencang, ia bahkan sampai menabrak beberapa pejalan kaki yang menghalanginya.
“Hey! Jangan kabur!”
Theo memilih menekan klaksonnya yang berbunyi nyaring sehingga semua orang menoleh kearahnya dan membuat Brisia mematung. Ditengah kecanggungan ini, Theo berbicara lantang dengan suara lembutnya pada Brisia.
“Istriku, bisakah kamu masuk ke dalam mobil … please?”
Braakk!
Entah ini yang keberapa kalinya Theo menghempaskan nafas beratnya setelah ia melakukan hal yang memalukan. Akhirnya Brisia bersedia masuk kedalam mobilnya, dan menutup atap mobilnya sehingga perbincangannya mereka tak bisa di dengar oleh orang lain.
“Maaf aku menjual jas punyamu. Aku jual supaya bisa bayar gaji dan pesangon para pegawaiku gara-gara masalah restoranku yang harus ditutup paksa. Lagipula kan kamu bilang sudah tidak membutuhkannya, tapi kalau kamu mau uang hasil penjualannya bakal ku transfer kok!” jelas Brisia dengan wajah panik, entah mengapa dia bicara begitu jujur pada Theo yang mengamatinya dengan wajah datar.
Apaan sih? Emangnya muka gue kaya debtcollector gitu?
“Sudahlah, saya bukannya mau membicarakan itu, hanya kebetulan saja kita bertemu di tempat itu!” jawab Theo sambil mengendarai supercarnya, beberapa kali ia mencuri pandang pada Brisia dan mengkerutkan keningnya ketika melihat tanda memar di sudut mulut Brisia.
‘Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya semalam.’
“Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?”
“Malam ini, saya butuh bantuanmu.”
“Hm?”
***
Gila. Mungkin itu adalah kata yang tepat menggambarkan karakter Theo yang mudah membuat keputusan tapi selalu menepatinya. Seperti malam ini ketika Brisia menggandeng lengan Theo yang membawanya bertemu beberapa dewan direksi perusahaan Parson Group.Ini adalah kali pertama bagi Brisia menghadiri acara makan malam khusus para pebisnis hebat. Untungnya Brisia memiliki kepribadian supel hingga ia tak kesulitan beradaptasi dengan situasi seperti malam ini.“Hallo, maaf saya datang terlambat!”Brisia membeku ketika mendengar suara pria yang familiar di telinganya, sementara itu orang-orang menyambut kehadirannya dengan ramah.“Hai Pak Jonathan! Saya kira ga bakalan datang, padahal malam ini special banget loh Pak!”Mendengar Elios menyebut nama Jonathan membuat Brisia membulatkan matanya, ia bahkan sampai berhenti mengunyah potongan daging di dalam mulutnya.“Kenapa, El? Special apanya nih?” Jonathan nampak se
Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”“Apa sih, Angga?”Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.Theo menekan se
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel
Setelah semua kekacauan di dapur berhenti, Theo segera bangun, kedua netranya bak mesin scanning memindai seluruh kekacauan di sekelilingnya. Ia menghempaskan nafas dan kini mata tajam itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut. Kedua bola mata itu seperti hampir keluar, bibirnya sedikit bergetar dengan tangan yang meremas ujung bajunya kuat-kuat, jelas sekali kalau gadis itu sedang ketakutan karena sudah membuat dapur milik Theo luluh lantah layaknya kapal pecah.Bagaimana tidak? Popcorn gosong, biji jagung yang bertebaran dimana-mana, kentang yang berhamburan, cipratan minyak yang membuat perabot dan lantai menjadi kotor, tak lupa bubuk minuman vanilla latte yang tumpah sehingga meja dan lantai menjadi lengket dan sangat kotor.“Bisa gak kamu gak ceroboh? Mau bakar apartement saya ya?!” bentak Theo membuat Brisia terperanjat. Theo memijat pelipisnya sebentar ketika memedarkan tatapan tajamnya untuk mengamati keadaan dapur leb
“Apa kamu serius?”“Apa saya terlihat sedang main-main?”Suara husky milik Theo membuat semburat merah muncul dikedua pipi gadis itu. Brisia hanya menunduk sambil mengkatupkan mulutnya, berusaha menyembunyikan senyuman yang kerap muncul diwajah cantiknya. Theo hanya membalasnya dengan senyuman seraya menyambar kemeja yang ada di balik punggung Brisia. Setelah mendapatkan apa yang ia ambil, Theo segera mengenakan kemeja itu dan pergi begitu saja meninggalkan Brisia yang masih terpaku dengan perasaan campur aduknya setelah beberapa saat lalu Theo meninggalkan pesan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.***“Brengsek! Gadis sial!” umpatan melengking keluar dari mulut seorang wanita tua. Beberapa lembar berkas berhamburan di meja kerjanya, pikirannya kalut ketika mendapat undangan pernikahan resmi dari rival terberatnya.Jovan yang melihat kekacauan di ruang kerja ibunya, hanya mampu mematung
“Terimakasih karena sudah meluangkan waktu Anda untuk pertemuan ini, saya sangat beruntung karena mendapatkan restu Anda untuk meminang putri bungsu Anda, Tuan Renand Atmadja.”Theo menyeringai sambil menjabat tangan lelaki tua yang berdiri gagah di hadapannya. Tak banyak bicara, Tuan Renand hanya menatap tajam pria muda dihadapannya lalu beralih menjabat tangan pria yang sebaya dengannya.“Setelah acara pernikahan besok lusa, aku berjanji akan memperlakukan putrimu seperti anakku sendiri. Setidaknya aku bisa memegang janjiku untuk merawat putri bungsumu lebih baik dari keluarganya sendiri.”“Cih,” Tuan Renand mendengus mendengar perkataan Christian Parson. Kedua orang ini memang sudah seperti kucing dan anjing jika dipertemukan. Namun bukan Theo namanya jika tidak bisa mendominasi suasana dan mengarahkan kedua orangtua tersebut agar mengikuti alur permainan yang ia buat.Setelah percakapannya dengan Jovan semalam, akhi
“Aku hamil ….”Dengan tangan gemetar wanita itu menunjukkan tiga buah alat tes kehamilan yang sudah ia gunakan beberapa hari terakhir. Hasilnya? Tetap sama, dua garis merah tercetak jelas pertanda bahwa ada nyawa lain yang bersemayam dalam tubuh kecil miliknya.Layaknya pasangan lain, pria itu tersenyum tetapi bukan sneyum tulus maupun senyum bahagia, senyuman yang dibingkai dengan lesung pipi itu menunjukkan rasa puas karena aksi liciknya akan segera dimulai.“Kamu mau cek ke dokter, atau langsung kerumah barumu?” tawar pria bersuara baritone lembut, sementara gadis dihadapannya tetap bergeming.Tak!Pria itu melempar sebuah kartu creadit, menghempas keras pada paha gadisnya, seraya bangkit dan membenarkan jasnya dia berujar,“Sesuai kesepakatan kita, itu bayaranmu dan mulai sekarang pergilah pada kekasihmu, nikmatilah hidup mewah serta tempat yang seharusnya menjadi milikmu, kamu sudah menantinya, bukan
“Elena hamil? Kamu serius?”Mata tajam Theo menatap lekat manik cokelat milik Brisia, semenjak Theo menjemputnya dengan mobil sport miliknya, Brisia tak tahan lagi untuk berbagi informasi dengan suaminya.“Tapi Elena ga mau bilang usia kehamilannya, tapi sepertinya sudah menginjak bulan ketiga, melihat perutnya yang mulai membuncit. Bagi super model sekelas Elena, tentu saja dia akan menjaga bentuk tubuh, bukan?”Theo tak menanggapi, ia hanya fokus pada jalanan yang ada di hadapannya tetapi pikirannya kini menjadi bercabang.Apa benar anak yang dikandung Elena milik Elios? Apakah ini salah satu alasan kuat mengapa mereka menikah dengan cepat? Jika memang itu benar-benar anak Elios, keturunan parson generasi ke empat, maka akan mengancam posisi itu! Ck, dasar Elios si bedebah!***Senyum Brisia merekah saat Theo membawanya pulang ke apartement milik Theo, tempat yang mengurung Brisia sebelum ia sah menjadi ist
Sebuah pesawat maskapai ternama akhirnya tiba di negara tujuan. Sinar matahari yang terik seperti membakar lapisan kulit Brisia yang seputih susu. Syukurlah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dapat menyelamatkan kedua mata indahnya dari teriknya intensitas cahaya yang ia terima.Sebuah mobil classic Roll Royce Sweptail kepunyaan Theo telah bertengger, salah satu pintunya terbuka dengan seorang pengawal berdiri di sisinya, siap untuk mengantar Tuannya kembali ke kediaman mereka.Dingin dan hening, inilah hal yang membuat Theo nyaman. Kedua mata tajam itu terpejam untuk sesaat, membuang rasa lelah selama di perjalanan atau sekedar mempersiapkan diri untuk sesuatu hal yang baru.“Theo, hp-mu sepertinya ada panggilan masuk!” ujar Brisia, suara sopran itu mengusiknya. Theo tahu ada panggilan masuk ke ponselnya, ia berusaha tak mempedulikannya tetapi Brisia malah menyadarkannya.Diambilnya benda persegi panjang pipih itu dari saku celana, s
Dia mau apa sih? Dia mau cium? Di tengah kerumunan kaya gini? Apa Brisia gak waras?Pertanyaan Theo terjawab detik berikutnya saat Brisia mendekatkan mulutnya ke daun telinga Theo.“Aku haus!” jawab Brisia, ia menarik diri sembari menunjukkan senyum tiga jari.“Jadi?” Theo seolah tak peka dengan permintaan istrinya, dia mulai kesal karena kegerahan dan merasa sumpek berada di tengah keramaian, belum lagi tingkah aneh istrinya yang hampir saja membuat dia salah tingkah.“Kamu tunggu di sini, aku mau beli minum sebentar!” ucap Brisia seraya berdiri.Secepat kilat Theo menyambar tangan Brisia, membuat gadis itu tertahan dan menoleh ke arahnya. “Apa?”“Kamu tunggu di sini, saya saja yang beli. Ingat, jangan kemana-mana sampai saya kembali!” titah Theo seraya bangkit dan meninggalkan Brisia.Kedua mata Brisia masih saja mengekor pria itu, sampai Theo berada di sebuah boot
“Hwaaa …!”Teriakan Brisia seolah mewakili seluruh kepenatan yang ia timbun selama ini. Kedua tangannya diangkat keatas, sesekali matanya terpejam saat roller coaster yang dia naiki menukik tajam. Sementara beberapa helai rambut miliknya melambai-lambai mengganggu wajah tampan seorang Theodore, memasang wajah datar tanpa ekspresi ketakutan atau antusias seperti pengunjung lain. Bagi Theo, tugasnya adalah mendampingi dan menjaga Brisia, suami yang harus rela bersabar mengikuti semua keinginan sang istri untuk mencoba hampir seluruh wahana di taman hiburan.Padahal satu jam yang lalu ketika insiden rambut Brisia menyangkut di kancing celana Theo tepat saat itu pula kedua orangtuanya melakukan video call, panik? Tentu saja! Tapi bukan Theo namanya jika tak pandai mengontrol ekspresi dan berkilah. Dengan mengorbankan memotong rambut Brisia agar rambut istrinya bisa terlepas dari lilitan kancing celana Theo, kini wanita itu terkesan imut karena memiliki p
Malam masih panjang, tetapi seorang gadis masih terjaga. Dia tak bisa terlelap sedikit pun, yang mampu ia lakukan kali ini hanya duduk di pembaringan, menatap kosong langit kelam yang membentang di balik jendela dan sesekali menoleh pada pria yang terlelap di sampingnya. Tidur dengan nyenyak tanpa busana, hanya selimut tebal tanpa corak yang menutupi tubuh mereka.Pergolakan hati gadis itu semakin menjadi-jadi, diambilnya sebuah ponsel butut dan mengirimi pesan tak henti pada seseorang, mencoba mencari pelampiasan tapi orang yang ia hubungi tak pernah meresponnya, tentu saja hal itu semakin membuat gadis berpipi tembam itu kecewa. Bulir-bulir bening dari kedua mata sipitnya semakin lama semakin deras, ia hanya mampu menggigit bagian selimut untuk menyembunyikan isak tangisnya.Kak Theo, aku mohon selamatkan aku!***QiqiLand Hotel.Suara pengering rambut terdengar dari bilik kamar mandi, Theo tahu betul bahwa istrinya sudah hampir selesai
“Ini kali terakhir saya meminta, bersediakah kamu mengandung anak saya …?”..Tubuh Brisia bergerak kikuk tak tentu arah menahan diri untuk tak menggeliat maupun sekedar mengeluarkan desahan akibat sentuhan abstrak jari-jari jenjang Theo. Beberapa kali gadis itu menggigit bibirnya sendiri ketika tubuhnya dihujani kecupan panas dari bibir seksi milik suaminya.Deru nafas dan dentuman jantung seakan berlomba-lomba menyeret Brisia dalam jurang kenikmatan. Untuk pertama kalinya, gadis itu tak tahu apa yang harus dia lakukan, dalam pikirannya ia tak mau melakukan ini, dia belum sepenuhnya percaya pada Theo yang pandai bermain peran, pria manipulative dan ambisius, Brisia tak ingin menyerahkan mahkotanya secepat ini.Tetapi, ketika pikirannya sibuk menimbang penilaiannya yang naif, di sisi lain Brisia menginginkan lebih, segala hal yang Theo lakukan padanya kali ini seakan menjadi candu yang memabukkan. Secara naluri Brisia pun menikm
“Aaaaa~ wah, hebat!” ungkap Theo saat istrinya memakan lahap sesendok penuh makanan yang ia suapi. Brisia hampir saja tersedak karena porsi yang Theo berikan sungguh banyak. Setelah Theo berhasil berbohong dengan mulus pada ibunya, Brisia hanya mampu mengiyakan dan meladeni segala permainan Theo.Sampai saat keduanya berpamitan untuk pulang karena jam besuk sudah berakhir, selain itu lambat laun hari pun mulai gelap. Theo kembali tak mengacuhkan istrinya, ia jalan duluan sambil menyeret koper menyusuri trotoar mencari hotel tempat mereka menginap.Sedangkan Brisia? Gadis itu jelas bermuka masam. Theo kembali ke sifat asal, selalu tak acuh dan malah menganggap Brisia transparan, sama sekali tak peduli bahwa gadis itu kesulitan menyeret barang bawaannya.Brisia berhenti, kakinya kesakitan. Dia melepas heels yang membuat kakinya pegal seharian. Dilihatnya lagi punggung suaminya telah menghilang, namun ia tak panik. Jika dia kehilangan jejak Theo, Brisia
“Hah, sialan!” umpat seorang wanita tua di dalam ruang kerjanya. Ada tiga buah botol alhokol berjejer di mejanya, dua di antaranya sudah teguk habis oleh Anne seorang diri.Sudah sejak sore hari Anne menghabiskan waktunya di ruang kerja, berkutat dengan segala masalah yang tertimbun dibenaknya, semakin ia memikirkan segala masalahnya, semakin besar pula Anne membenci putri tirinya. Andai saja anak itu tidak bertemu keluarga Parson, tentu saja perusahaan tidak akan drop seperti ini.Pernikahan Brisia dengan Tuan Muda Parson itu berdampak besar bagi perusahaan, semakin hari semakin sulit untuk mendapat relasi dan investor, beberapa kali tim audit datang dan memeriksa keuangan perusahaan, hanya karena Anne menyembunyikan putri tirinya maka spekulasi tentang penggelapan uang yang di lakukan Anne pun bermunculan.“Hah!”Anne mendorong ketiga botol minuman alcohol itu, suara pecahan botol terdengar nyaring sampai ke luar ruangan. Tepat s