Lantunan music jazz berjudul The Two of Us milik Seawind menggema di ruang kerja Theo. Pria yang daritadi berkutat dengan beberapa dokumen di meja kerjanya ikut asyik bernyanyi seirama dengan lagu jadul yang terkenal ditahun 80-an.
Sesekali, sambil memutar pena ditangannya Theo menyahuti lagu itu dengan suara merdunya. Tak bisa di pungkiri bahwa pria bersuara husky itu juga memiliki bakat dalam bernyanyi, bermain piano serta memainkan Saxophone.
Mengingat kejadian tadi pagi saat ia berhasil mengerjai Brisia sampai wajah gadis itu memerah seperti kepiting rebus membuat Theo terus mengulang lagu-lagu Seawind selama tiga puluh menit terakhir.
“Tuan, sepertinya mood anda sedang baik, ya?”
“Apa sih, Angga?”
Theo berdalih pada pria yang berdiri di ambang pintu. Sebenarnya Angga sudah mengetuk pintu daritadi untuk mendapatkan ijin masuk, tapi suara lagu jazz membuat Theo menghiraukan ketukan pintu dari Angga.
Theo menekan sebuah tombol di remote hingga volume lagu tersebut mengecil. “Ada apa, Ga?”
“Sudah waktunya makan siang, Tuan mau makan di luar? Atau saya pesankan?” tawar Angga pada Theo yang menyandarkan punggungnya di kursi, melipat tangannya di dada sambil menderlingkan mata.
“Hmm ….”
***
Hari sudah beranjak siang. Seorang gadis dari tadi mengelilingi seluruh ruangan apartement megah yang hanya dihuni oleh dirinya sendiri. Gadis itu sibuk mencari akses keluar, semua pintu dan jendela terkunci, hanya pintu balkon yang terbuka. Namun tak mungkin baginya untuk lompat dari balkon lantai 29, bisa jadi kehilangan nyawa jika dia nekat melakukan itu.
“Hah …,” Brisia menghempaskan nafasnya, ia terduduk di lantai sambil menenangkan pikiran. Ia takut hal-hal buruk terjadi pada ibunya, mengingat ia terkurung di apartement milik Theo tak lupa ponselnya pun dirampas oleh pria itu.
Brisia mendengar pintu utama terbuka, derap langkah pria bersepatu pentofel terdengar mendekatinya. Brisia menunduk sampai ia melihat ujung sepatu berwarna hitam berdiri tak jauh darinya.
“Kamu ngapain?” suara husky milik Theo bertanya, saking kesalnya Brisia memilih untuk mengacuhkannya.
Theo melirik tray yang berisi sarapan untuk Brisia, semuanya masih utuh. Nampaknya gadis itu tak menyentuh sedikit pun makanan lezat yang di siapkan pelayan Theo untuk Brisia.
“Bangun!” titah Theo. Brisia masih membisu dan kini memilih mematung, bisa terlihat jelas bahwa kedua orang di ruangan ini sama-sama keras kepala dan berdiri teguh diatas ego-nya masing-masing.
“Bangun sebelum saya seret kamu ke kursi!” tegas Theo.
“Aku mau keluar!” sahut Brisia sambil mendongkakkan wajahnya.
“Pintunya daritadi terbuka, kenapa kamu ga langsung lari pas saya datang?” hardik Theo dengan wajah sinisnya, membuat Brisia geram.
“Hape!” todong Brisia seraya mengulurkan tangan, sementara Theo secara otomatis memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
“Hapeeee!” rengek Brisia.
“Kamu ga ngabisin sarapan, gimana saya mau balikin ponsel kamu?”
Apaan sih? Emangnya aku anak kecil?
“Abisin makanannya, baru saya kasih pinjam ponselmu, lima menit!” seru Theo membuat Brisia membulatkan matanya.
“Kasih pinjam?! Itu kan hape aku!”
“Makanya, makan!”
Brisia berdiri, emosinya kembali hadir karena merasa kesal dipermainkan pria jail dihadapannya. “Rotinya udah kering! Aku ga mau makan!”
“Oke, kalau gitu kamu harus makan siang,” ujar Theo dan menepuk tangannya seolah memberi aba-aba pada seorang pelayan agar masuk dan mendorong trolly berisikan makanan makan siang.
Apa-apaan nih? Aku ga mau makan, aku maunya cepet pergi dari sini! Aku takut ibu kenapa-napa!
“Makan habis itu kupinjamkan ponselmu, lima menit!”
“Makan terus balikin hape aku dan biarin aku pergi!” tawar Brisia menyolot.
“Makan dan kupinjamkan ponselmu,” balas Theo teguh dengan pendiriannya.
“Kamu apa-apaan sih? Aku ga bisa disini terus dan aku butuh hapeku!”
“Di ponselmu ga ada notifikasi apapun!”
“Bohong! Jonathan pasti ngehubungin aku! Aku perlu bicara sama Jonathan, aku butuh bantuannya sekarang!”
Braaakk.
Theo membanting trolly di sampingnya, membuat trolly itu terjatuh, begitupun dengan sejumlah hidangan di atasnya, makanan lezat itu berhamburan, piring serta gelas pecah. Semuanya luluh lantah di lantai marmer yang indah. Brisia yang terkejut hanya mampu membelalakan mata. Degup jantungnya berdebar cepat, tak sangka Theo melakukan ini dengan wajah datarnya.
“Kalau kamu ga mau makan, ga usah mempersulit saya!” ucap Theo dan berbalik seraya meninggalkan Brisia diruangan itu. Brisia bergegas menyusul Theo, tapi pintu utama apartement kembali tertutup dan terkunci, membuat Brisia hanya mampu meneriaki nama Theo, memintanya agar bisa keluar sambil menendangi pintu kokoh tersebut.
Theo berjalan menuju lift, ia merasa kesal ketika Brisia menyebut-nyebut nama Jonathan dan seakan dia bergantung sekali pada Jonathan. Bersamaan dengan itu ponsel Brisia berbunyi, Theo melihatnya. Banyak chat dan miscall dari pria bernama Jonathan. Theo merasa geram ketika Jonathan menghujani Brisia dengan pesan penuh kekhawatiran.
“Cih, memangnya kamu siapa? Bastard!” umpat Theo. Angga yang mendengar umpatan Tuannya hanya mampu menelan saliva.
“Angga, cari tahu kebenaran tentang pesan dari Jonathan. Kalau perlu kamu langsung cek TKP sekarang, kalau sampai pria itu bohong, ajak dia main-main sebentar!” ujar Theo dan memberikan ponsel milik Brisia. Angga mengangguk, ia tahu betul apa yang dimaksud main-main sebentar oleh Tuannya.
“Kamu urus sampai beres ya Ga, saya mau handle yang lain!” sambung Theo dan ketika mereka sampai di basement, Theo dan Angga segera berpencar menggunakan mobil masing-masing.
Sementara itu di salah satu rumah sakit ternama Jakarta, Jonathan sedang gelisah. Ia tak bisa menghubungi Brisia, yang bisa Jonathan lakukan adalah bernegosiasi dengan pihak rumah sakit.
“Dengan sangat menyesal kami tidak bisa memenuhi permintaan anda, Pak. Nyonya Anne telah meminta kami untuk memblacklist pasien tersebut, sehingga kami tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya mampu memberikan rujukan agar pasien pindah ke rumah sakit lain, di luar negri yang peralatannya memadai, bagaimana Pak?”
Jonathan tertegun, keningnya berkerut dan berpikir keras,
Gimana nih? Brisia ga bisa di hubungi sementara kesehatan ibunya terancam! Kalau ga segera ditangani bisa-bisa … Ah, kenapa keputusan sebesar ini ada padaku? Apa yang harus aku lakukan??
"Bebas dari tempat wanita tua itu, aku malah terkurung disini! Ah, sial!" umpat Brisia ketika melihat pantulan dirinya di jendela. Brisia memandangi senja dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat karena perutnya tak terisi apapun sejak pagi. Setelah Theo pergi siang tadi, ia hanya duduk di sofa, memeluk kedua kakinya sambil menatap langit dengan berbagai pikiran negatif silih berganti. “Gimana kabar ibu, ya? Gimana caranya aku bisa keluar dari sini? Kalau aku buat ruangan ini kebakaran, apa pemadam kebakaran bisa nyelametin aku?” gumamnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, merasa sesuatu yang basah di sofa membuat Brisia menoleh. “Ah… sial!” keluhnya ketika melihat noda darah disana. Dia sampai lupa bahwa siklus bulanannya mulai hari ini. Tak betah dengan dirinya yang kotor, Brisia memutuskan mandi, membersihkan dirinya sebersih mungkin. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan kali ini, “Si Tuan Muda Parson itu … ga punya pakaian dalam wanita apa ya?
Malu rasanya ketika membelikan pembalut dan pakaian dalam wanita sampai hujan-hujanan dan terpegoki ibu sendiri. Theo yang berada di posisi itu hanya mampu pasrah dan bersikap tenang agar ia tak gegabah.“Sial, kenapa Mama malah berkunjung sekarang?” keluh Theo sambil membilas diri dan memakai pakaian hangat, setelah ini ia harus segera menemui Mamanya dan menjelaskan keberadaan Brisia dengan benar.“Kamu mencintai gadis itu? Sungguh?” suara sopran wanita paruh baya dihadapannya mengintrogasi setelah Theo berhasil menyelesaikan penjelasannya tentang dia dan Brisia.Theo berdehem, berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mamanya dengan baik, “Menurut Mama?”“Coba kamu ceritakan sekali lagi,” pinta Nyonya Vivian dengan suara lembut membuat anak tunggalnya tersenyum kecut.Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras, bahkan kini sudah hampir larut malam. Nyonya Vivian duduk di sofa ruang tamu,
“Dia baik-baik saja, hanya serangan panik ringan dan sepertinya dia juga belum sarapan jadi dia pingsan. Tunggu saja sampai dia siuman, Tuan. Anda bisa membawanya pergi setelah cairan infusnya habis,” jelas seorang dokter pria sebaya dengan Theo. Ya, dia adalah dokter Garra yang telah cukup lama mengenal Brisia. “Sekedar saran, Brisia kadang sulit mengontrol emosinya jadi jangan terlalu ‘mengagetkannya’, Anda paham kan maksud saya?” tanya dokter Garra seraya tersenyum, membuat Theo mengangguk. Dokter Garra ikut mengangguk dan berpamitan keluar ruangan, menyisakan Theo dan Brisia yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Mengetahui bahwa Brisia tiba-tiba pingsan karena tak menemukan sosok ibunya, membuat Theo bergegas menyusul Brisia dan meninggalkan aktivitas kerjaannya sejenak. Theo berdiri di samping Brisia, ia melipat tangan didada sambil memerhatikan wajah gadis di hadapannya yang pucat tanpa riasan. Perlahan kedua bola mata Brisia bergerak dibalik kel
Setelah semua kekacauan di dapur berhenti, Theo segera bangun, kedua netranya bak mesin scanning memindai seluruh kekacauan di sekelilingnya. Ia menghempaskan nafas dan kini mata tajam itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya dengan ekspresi terkejut. Kedua bola mata itu seperti hampir keluar, bibirnya sedikit bergetar dengan tangan yang meremas ujung bajunya kuat-kuat, jelas sekali kalau gadis itu sedang ketakutan karena sudah membuat dapur milik Theo luluh lantah layaknya kapal pecah.Bagaimana tidak? Popcorn gosong, biji jagung yang bertebaran dimana-mana, kentang yang berhamburan, cipratan minyak yang membuat perabot dan lantai menjadi kotor, tak lupa bubuk minuman vanilla latte yang tumpah sehingga meja dan lantai menjadi lengket dan sangat kotor.“Bisa gak kamu gak ceroboh? Mau bakar apartement saya ya?!” bentak Theo membuat Brisia terperanjat. Theo memijat pelipisnya sebentar ketika memedarkan tatapan tajamnya untuk mengamati keadaan dapur leb
“Apa kamu serius?”“Apa saya terlihat sedang main-main?”Suara husky milik Theo membuat semburat merah muncul dikedua pipi gadis itu. Brisia hanya menunduk sambil mengkatupkan mulutnya, berusaha menyembunyikan senyuman yang kerap muncul diwajah cantiknya. Theo hanya membalasnya dengan senyuman seraya menyambar kemeja yang ada di balik punggung Brisia. Setelah mendapatkan apa yang ia ambil, Theo segera mengenakan kemeja itu dan pergi begitu saja meninggalkan Brisia yang masih terpaku dengan perasaan campur aduknya setelah beberapa saat lalu Theo meninggalkan pesan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.***“Brengsek! Gadis sial!” umpatan melengking keluar dari mulut seorang wanita tua. Beberapa lembar berkas berhamburan di meja kerjanya, pikirannya kalut ketika mendapat undangan pernikahan resmi dari rival terberatnya.Jovan yang melihat kekacauan di ruang kerja ibunya, hanya mampu mematung
“Terimakasih karena sudah meluangkan waktu Anda untuk pertemuan ini, saya sangat beruntung karena mendapatkan restu Anda untuk meminang putri bungsu Anda, Tuan Renand Atmadja.”Theo menyeringai sambil menjabat tangan lelaki tua yang berdiri gagah di hadapannya. Tak banyak bicara, Tuan Renand hanya menatap tajam pria muda dihadapannya lalu beralih menjabat tangan pria yang sebaya dengannya.“Setelah acara pernikahan besok lusa, aku berjanji akan memperlakukan putrimu seperti anakku sendiri. Setidaknya aku bisa memegang janjiku untuk merawat putri bungsumu lebih baik dari keluarganya sendiri.”“Cih,” Tuan Renand mendengus mendengar perkataan Christian Parson. Kedua orang ini memang sudah seperti kucing dan anjing jika dipertemukan. Namun bukan Theo namanya jika tidak bisa mendominasi suasana dan mengarahkan kedua orangtua tersebut agar mengikuti alur permainan yang ia buat.Setelah percakapannya dengan Jovan semalam, akhi
“Brisia … kamu belum tidur kan?” bisik Theo. Brisia merasa sensasi geli ditelinganya ketika pria bersuara husky itu memanggil namanya dengan lembut.Dia ini kenapa ga pergi sih? Sebenarnya apa yang akan dia lakukan?"Kamu mau apa?" tanya Brisia sambil menoleh, ia membulatkan matanya ketika wajah pria itu hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya.Theo juga sama kagetnya ketika menyadari gadis itu merespon ucapannya. Dia tercekat, tangannya tiba-tiba membatu ketika gadis itu menatapnya.Theo tersenyum, wajah tampannya mengukir seringai indah namun ia tetap menatap lembut gadis yang berada dalam dekapannya. hampir saja Theo tersihir oleh bibir ranum gadis itu, untungnya getaran ponsel di saku celananya membuat ia tersadar dan membuatnya berdiri tegak.ia mengecek layar handphone, entah ada kabar apa namun ekspresinya berubah menjadi dingin dan menakutkan bagi Brisia."Tidak apa-apa, saya cuma memastikan kalau kamu
“Bunga lily-nya cantik.”Ucapan yang terdengar dari sisi kanan Brisia membuat ia menoleh dan membulatkan matanya. Sosok sang ayah dengan balutan tuxedo hitam membuat ia tampak gagah di mata putrinya. Kehadiran Renand Atmadja tentu saja salah satu doa mustahil Brisia yang tiba-tiba saja terkabulkan.“Pa … Papa …?” ucap Brisia dengan lirih, masih menatap pria itu tanpa berkedip.“Mau sampai kapan kamu melihatku seperti melihat hantu begitu? Pintu akan segera terbuka, jadi biarkan aku menunaikan tugasku.” Tuan Renand mengambil tangan putrinya, membuat Brisia mengandeng tangan miliknya dan berdiri tegap, mempersiapkan diri ketika pintu terbuka.“Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa–”“Tanyakan saja pada suamimu nanti. Sekarang sebaiknya kamu lihat kedepan! Tegakkan punggungmu, kamu membawa citra baik keluarga Atmadja sekarang!” ucapan Tuan Renand membuat Brisia terse
“Aku hamil ….”Dengan tangan gemetar wanita itu menunjukkan tiga buah alat tes kehamilan yang sudah ia gunakan beberapa hari terakhir. Hasilnya? Tetap sama, dua garis merah tercetak jelas pertanda bahwa ada nyawa lain yang bersemayam dalam tubuh kecil miliknya.Layaknya pasangan lain, pria itu tersenyum tetapi bukan sneyum tulus maupun senyum bahagia, senyuman yang dibingkai dengan lesung pipi itu menunjukkan rasa puas karena aksi liciknya akan segera dimulai.“Kamu mau cek ke dokter, atau langsung kerumah barumu?” tawar pria bersuara baritone lembut, sementara gadis dihadapannya tetap bergeming.Tak!Pria itu melempar sebuah kartu creadit, menghempas keras pada paha gadisnya, seraya bangkit dan membenarkan jasnya dia berujar,“Sesuai kesepakatan kita, itu bayaranmu dan mulai sekarang pergilah pada kekasihmu, nikmatilah hidup mewah serta tempat yang seharusnya menjadi milikmu, kamu sudah menantinya, bukan
“Elena hamil? Kamu serius?”Mata tajam Theo menatap lekat manik cokelat milik Brisia, semenjak Theo menjemputnya dengan mobil sport miliknya, Brisia tak tahan lagi untuk berbagi informasi dengan suaminya.“Tapi Elena ga mau bilang usia kehamilannya, tapi sepertinya sudah menginjak bulan ketiga, melihat perutnya yang mulai membuncit. Bagi super model sekelas Elena, tentu saja dia akan menjaga bentuk tubuh, bukan?”Theo tak menanggapi, ia hanya fokus pada jalanan yang ada di hadapannya tetapi pikirannya kini menjadi bercabang.Apa benar anak yang dikandung Elena milik Elios? Apakah ini salah satu alasan kuat mengapa mereka menikah dengan cepat? Jika memang itu benar-benar anak Elios, keturunan parson generasi ke empat, maka akan mengancam posisi itu! Ck, dasar Elios si bedebah!***Senyum Brisia merekah saat Theo membawanya pulang ke apartement milik Theo, tempat yang mengurung Brisia sebelum ia sah menjadi ist
Sebuah pesawat maskapai ternama akhirnya tiba di negara tujuan. Sinar matahari yang terik seperti membakar lapisan kulit Brisia yang seputih susu. Syukurlah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dapat menyelamatkan kedua mata indahnya dari teriknya intensitas cahaya yang ia terima.Sebuah mobil classic Roll Royce Sweptail kepunyaan Theo telah bertengger, salah satu pintunya terbuka dengan seorang pengawal berdiri di sisinya, siap untuk mengantar Tuannya kembali ke kediaman mereka.Dingin dan hening, inilah hal yang membuat Theo nyaman. Kedua mata tajam itu terpejam untuk sesaat, membuang rasa lelah selama di perjalanan atau sekedar mempersiapkan diri untuk sesuatu hal yang baru.“Theo, hp-mu sepertinya ada panggilan masuk!” ujar Brisia, suara sopran itu mengusiknya. Theo tahu ada panggilan masuk ke ponselnya, ia berusaha tak mempedulikannya tetapi Brisia malah menyadarkannya.Diambilnya benda persegi panjang pipih itu dari saku celana, s
Dia mau apa sih? Dia mau cium? Di tengah kerumunan kaya gini? Apa Brisia gak waras?Pertanyaan Theo terjawab detik berikutnya saat Brisia mendekatkan mulutnya ke daun telinga Theo.“Aku haus!” jawab Brisia, ia menarik diri sembari menunjukkan senyum tiga jari.“Jadi?” Theo seolah tak peka dengan permintaan istrinya, dia mulai kesal karena kegerahan dan merasa sumpek berada di tengah keramaian, belum lagi tingkah aneh istrinya yang hampir saja membuat dia salah tingkah.“Kamu tunggu di sini, aku mau beli minum sebentar!” ucap Brisia seraya berdiri.Secepat kilat Theo menyambar tangan Brisia, membuat gadis itu tertahan dan menoleh ke arahnya. “Apa?”“Kamu tunggu di sini, saya saja yang beli. Ingat, jangan kemana-mana sampai saya kembali!” titah Theo seraya bangkit dan meninggalkan Brisia.Kedua mata Brisia masih saja mengekor pria itu, sampai Theo berada di sebuah boot
“Hwaaa …!”Teriakan Brisia seolah mewakili seluruh kepenatan yang ia timbun selama ini. Kedua tangannya diangkat keatas, sesekali matanya terpejam saat roller coaster yang dia naiki menukik tajam. Sementara beberapa helai rambut miliknya melambai-lambai mengganggu wajah tampan seorang Theodore, memasang wajah datar tanpa ekspresi ketakutan atau antusias seperti pengunjung lain. Bagi Theo, tugasnya adalah mendampingi dan menjaga Brisia, suami yang harus rela bersabar mengikuti semua keinginan sang istri untuk mencoba hampir seluruh wahana di taman hiburan.Padahal satu jam yang lalu ketika insiden rambut Brisia menyangkut di kancing celana Theo tepat saat itu pula kedua orangtuanya melakukan video call, panik? Tentu saja! Tapi bukan Theo namanya jika tak pandai mengontrol ekspresi dan berkilah. Dengan mengorbankan memotong rambut Brisia agar rambut istrinya bisa terlepas dari lilitan kancing celana Theo, kini wanita itu terkesan imut karena memiliki p
Malam masih panjang, tetapi seorang gadis masih terjaga. Dia tak bisa terlelap sedikit pun, yang mampu ia lakukan kali ini hanya duduk di pembaringan, menatap kosong langit kelam yang membentang di balik jendela dan sesekali menoleh pada pria yang terlelap di sampingnya. Tidur dengan nyenyak tanpa busana, hanya selimut tebal tanpa corak yang menutupi tubuh mereka.Pergolakan hati gadis itu semakin menjadi-jadi, diambilnya sebuah ponsel butut dan mengirimi pesan tak henti pada seseorang, mencoba mencari pelampiasan tapi orang yang ia hubungi tak pernah meresponnya, tentu saja hal itu semakin membuat gadis berpipi tembam itu kecewa. Bulir-bulir bening dari kedua mata sipitnya semakin lama semakin deras, ia hanya mampu menggigit bagian selimut untuk menyembunyikan isak tangisnya.Kak Theo, aku mohon selamatkan aku!***QiqiLand Hotel.Suara pengering rambut terdengar dari bilik kamar mandi, Theo tahu betul bahwa istrinya sudah hampir selesai
“Ini kali terakhir saya meminta, bersediakah kamu mengandung anak saya …?”..Tubuh Brisia bergerak kikuk tak tentu arah menahan diri untuk tak menggeliat maupun sekedar mengeluarkan desahan akibat sentuhan abstrak jari-jari jenjang Theo. Beberapa kali gadis itu menggigit bibirnya sendiri ketika tubuhnya dihujani kecupan panas dari bibir seksi milik suaminya.Deru nafas dan dentuman jantung seakan berlomba-lomba menyeret Brisia dalam jurang kenikmatan. Untuk pertama kalinya, gadis itu tak tahu apa yang harus dia lakukan, dalam pikirannya ia tak mau melakukan ini, dia belum sepenuhnya percaya pada Theo yang pandai bermain peran, pria manipulative dan ambisius, Brisia tak ingin menyerahkan mahkotanya secepat ini.Tetapi, ketika pikirannya sibuk menimbang penilaiannya yang naif, di sisi lain Brisia menginginkan lebih, segala hal yang Theo lakukan padanya kali ini seakan menjadi candu yang memabukkan. Secara naluri Brisia pun menikm
“Aaaaa~ wah, hebat!” ungkap Theo saat istrinya memakan lahap sesendok penuh makanan yang ia suapi. Brisia hampir saja tersedak karena porsi yang Theo berikan sungguh banyak. Setelah Theo berhasil berbohong dengan mulus pada ibunya, Brisia hanya mampu mengiyakan dan meladeni segala permainan Theo.Sampai saat keduanya berpamitan untuk pulang karena jam besuk sudah berakhir, selain itu lambat laun hari pun mulai gelap. Theo kembali tak mengacuhkan istrinya, ia jalan duluan sambil menyeret koper menyusuri trotoar mencari hotel tempat mereka menginap.Sedangkan Brisia? Gadis itu jelas bermuka masam. Theo kembali ke sifat asal, selalu tak acuh dan malah menganggap Brisia transparan, sama sekali tak peduli bahwa gadis itu kesulitan menyeret barang bawaannya.Brisia berhenti, kakinya kesakitan. Dia melepas heels yang membuat kakinya pegal seharian. Dilihatnya lagi punggung suaminya telah menghilang, namun ia tak panik. Jika dia kehilangan jejak Theo, Brisia
“Hah, sialan!” umpat seorang wanita tua di dalam ruang kerjanya. Ada tiga buah botol alhokol berjejer di mejanya, dua di antaranya sudah teguk habis oleh Anne seorang diri.Sudah sejak sore hari Anne menghabiskan waktunya di ruang kerja, berkutat dengan segala masalah yang tertimbun dibenaknya, semakin ia memikirkan segala masalahnya, semakin besar pula Anne membenci putri tirinya. Andai saja anak itu tidak bertemu keluarga Parson, tentu saja perusahaan tidak akan drop seperti ini.Pernikahan Brisia dengan Tuan Muda Parson itu berdampak besar bagi perusahaan, semakin hari semakin sulit untuk mendapat relasi dan investor, beberapa kali tim audit datang dan memeriksa keuangan perusahaan, hanya karena Anne menyembunyikan putri tirinya maka spekulasi tentang penggelapan uang yang di lakukan Anne pun bermunculan.“Hah!”Anne mendorong ketiga botol minuman alcohol itu, suara pecahan botol terdengar nyaring sampai ke luar ruangan. Tepat s