Setelah mandi dan salat asar, Willy duduk di sebelah Yana yang tersenyum-senyum ke arahnya."Tampak bahagia banget hari ini? Apa jadi dapat promosi kenaikan pangkat?" tanya Willy."Bukan. Ini lebih dari itu?"Willy mengernyit penasaran. Yana berdiri dan mengambil test pack yang di bungkus tisu di atas nakas. Lantas menunjukkan pada suaminya."Aku hamil.""Alhamdulillah," ucap pria itu sambil memandang test pack. Kemudian memeluk istrinya erat-erat."Antarkan periksa ke dokter, ya!"Willy mengangguk cepat. "Iya, habis Maghrib kita ke dokter."Kedua orang tua Willy tidak kalah bahagia saat dikabari kalau menantunya hamil. Mereka langsung menyarankan agar Yana resign dari kerjaannya.Demi calon anaknya, Yana rela berhenti kerja. Meski kariernya sedang menanjak naik.The end Willy's Side Story🌷🌷🌷Mita's Side StoryDokter Nasir yang baru pulang dari rumah sakit sore itu langsung mandi. Mita menyiapkan baju ganti dan perlengkapan untuk salat asar suaminya. Kemudian wanita itu menunggu d
"Bapaknya Amara tahu hukum Islam, kan? Dia tampak religius begitu, mana mungkin ngasih syarat sama kamu tidak masuk akal," kata Dev menanggapi cerita Ben.Malam itu, dua kakak beradik duduk di balkon rumah mamanya setelah tadi siang acara pertunangan Ben."Aku enggak janji sama beliau. Kujawab sambil senyum saja. Lagian beliau mana tahu aku nyentuh anaknya apa enggak."Dev mengalihkan perhatian pada langit malam yang kelam. Ia tidak bisa membayangkan adiknya harus bertahan selama itu, sedangkan dirinya saja tiga bulan menahan diri seperti hampir gila. Padahal waktu itu hubungannya dengan Kamalia tidak sebaik hubungan Ben dan Amara. Sedangkan dua orang itu jelas saling mencintai. Mana mungkin tahan untuk berdiam diri.Namun Dev tetap bertahan untuk tidak menceritakan kisahnya pada sang adik.Kepribadian mereka sedikit berbeda. Dev lebih pendiam, apalagi mengenai urusan pribadi. Sementara Ben lebih humoris dan terbuka. Meski untuk syarat yang diajukan calon mertuanya hanya kakak lelakin
Hubungan itu ditutupi dari rekan-rekan mereka, tapi terbuka pada orang tua masing-masing. Hingga keseriusan Ben membawa Amara ke jenjang pernikahan.Orang tua Amara tidak mempermasalahkan putrinya yang baru semester dua itu dipersunting Ben. Asal dengan syarat, jangan di sentuh dulu. Ben yang tertantang menyetujui, meski ia tidak yakin bisa bertahan selama itu. Melihat cara bapaknya Amara bicara, rasanya larangan itu hanya sebuah gurauan. Ben tidak peduli, baginya yang penting mereka menikah dulu.🌷🌷🌷Rumah Bu Rahma sangat ramai pagi itu. Anak, menantu, dan dua cucunya berkumpul dan bersiap hendak mengantar Ben ke rumah Amara. Di sana pernikahan sederhana itu akan berlangsung. Beberapa kerabat dekat juga hadir. Mereka telah sampai kemarin siang.Meski tidak sabar, tapi Ben nervous juga. Peluh membasahi pelipisnya. Berulang kali Kamalia menggodanya. Sama seperti Ben menggodanya waktu ia akan menikah dengan Dev."Masa preman nervous?" bisik Kamalia pelan."Apakah ini lebih mendeba
Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, ketika Ben masuk kamar setelah ngobrol dengan Bapak mertua dan kedua iparnya di ruang tamu.Amara yang duduk di meja rias tersenyum memandangnya. Wanita muda itu telah melepas hijabnya. Rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Gamisnya telah berganti piyama bergambar hello kitty.Ben terpana sesaat. Setelah melepas hijab, Amara tampak makin imut. Pria itu duduk di tepi ranjang yang berhadapan langsung dengan istrinya."Kamu cantik," puji Ben sambil menyelipkan rambut Amara ke belakang telinga. Wanitanya tersipu malu dan refleks tubuhnya mundur ke belakang. Ben satu-satunya pria -kecuali muhrimnya- yang melihat tubuhnya tanpa baju muslimah. Juga pria pertama yang akan menyentuhnya."Kenapa enggak make baju tidur kado dari Mbak Mita?"Amara menggeleng pelan. "Malu.""Sama suami sendiri malu?""Akan kupakai nanti. Aku takut kalau tiba-tiba keponakanku mengetuk pintu. Si Dina kalau ke sini suka tidur ikut aku." Dina, anak kedua dari kakak s
Amara melipat mukena setelah salat asar berjamaah dengan suaminya dan meletakkan di rak sudut kamar. Kemudian ia duduk di depan meja rias untuk menyisir rambut.Ben mengambil ponsel untuk melihat beberapa pesan masuk.Kamar Ben cukup besar daripada kamar Amara. Ditambah cat warna putih tulang yang menambah kesan luas pada ruangan.Ranjang king size diletakkan mepet ke dinding. Tidak diletakkan tepat di tengah seperti di kamar lainnya. Sepreinya baru dan wangi, warna biru terang dengan bordir bunga di tepinya. "Kapan ujian oral test, Mas?" tanya Amara sambil memandang Ben yang duduk di tepi ranjang."Malam ini kita mulai duluan," jawab Ben santai sambil menatap istrinya.Amara bisa menangkap maksud dari jawaban suaminya dan itu melenceng jauh dari maksud pertanyaan yang sebenarnya.Oral test mewajibkan mahasiswa mengerjakan ujian dengan melakukan tanya jawab langsung dengan dosen.Test itu akan dilakukan secara one by one. Dan ini menjadi ujian yang menegangkan bagi sebagian mahasiswa
"Hai, Ben," sapa Nindy sambil tersenyum ramah.Ben makin erat menggenggam tangan istrinya. Ia melangkah mendekat setelah gemuruh di dadanya mereda."Hai, juga.""Ayo, salim sama Om dan Tante." Nindy menyuruh putrinya untuk menyalami Ben dan Amara.Pria itu menunduk ketika tangan kecil terulur. Amara juga melakukan hal yang sama. Senyumnya merekah saat menyentuh pipi tembam anak Nindy. "Siapa namamu, cantik?""Chika, Tante." Ben memandang Nindy. "Umur berapa?""3,5 tahun.""Sebentar lagi masuk PAUD.""Ya.""Kenalin ini Amara, istriku."Nindy terkejut juga, meski tadi sudah mengira kalau wanita berhijab itu kekasih atau istri Ben.Amara menyalami wanita tinggi semampai di depannya. Ia sebenarnya heran karena sejak tadi wanita itu memperhatikannya."Aku Nindy."Amara mengangguk."Kapan menikah? Kenapa enggak ngundang?""Kami menikah Sabtu kemarin. Belum ada pesta, mungkin nanti setelah Amara wisuda.""Wisuda?""Iya, Mbak. Saya masih kuliah semester tiga." Amara yang menjawab.Nindy menj
Sabtu pagi Ben dan Amara berangkat ke rumah kedua kakaknya. Pria itu akan mengajak istrinya ke rumah Mita dan sorenya akan ke vila dan menginap di sana.Bu Rahma yang sebenarnya sangat kangen dengan kedua cucunya menolak ikut saat Ben mengajak. Beliau tidak ingin mengganggu kebersamaan pengantin baru. Beliau bisa pergi lain hari."Kita akan sampai berapa jam perjalanan, Mas?" tanya Amara."Kurang lebih dua jam.""Lumayan jauh, ya?""Nanti kalau sudah terbiasa ke sana, dua jam enggak akan lama."Mereka menikmati perjalanan sambil berbincang. Mengenai apa saja. Tentang kampus, saat keduanya dihadapkan sebagai dosen dan mahasiswi. Banyak yang akhirnya tergali tentang diri masing-masing. Jam sembilan mereka sampai di rumah Mita. Kebetulan dokter Nasir juga ada di rumah. Kedua suami istri itu sedang berkebun di pekarangan belakang ketika Ben dan Amara datang.Segera saja Mita belanja dan masak. Rencana awalnya siang nanti mereka akan kulineran ke luar. Berhubung adik dan iparnya datang, w
Setelah Kamalia beranjak ke belakang membawa mangkuk bekas makan Thisa, Ben berdiri lantas mendekati istrinya. "Ayo, kita ke kota untuk periksa," ajak Ben."Enggak usah, kayaknya aku hanya masuk angin," jawab Amara pelan."Sejak kita menikah, kamu belum haid, 'kan?" Ben jadi mengingat itu. Sebab selama sebulan ini mereka berhubungan tanpa halangan."Selama ini haidku memang enggak teratur." Pria itu mengangguk pelan kemudian kembali berdiri dan melangkah keluar vila. Amara termenung sambil memperhatikan Thisa bermain. Ia jadi teringat pil KB yang diminumnya. Padahal ia meminumnya hampir habis, tapi kenapa ia tidak datang bulan juga?"Ra, sini!" panggil Kamalia setelah turun dari mengambil sesuatu di kamarnya. Amara mendekat, Thisa ditinggal bersama Sawitri."Coba kamu test, kebetulan aku masih punya persediaan test pack."Kamalia memberikan test pack yang masih berbungkus utuh beserta cawan yang biasa dia gunakan untuk menampung urine.Amara memperhatikan cara penggunaannya."Ini