Ayu menguap beberapa kali. Ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu London. Sepertinya, dunia begitu cepat berputar hingga ia tidak menyadari kalau sudah berada di perpustakaan selarut ini.
Ayu segera memilih menu shut down di laptopnya dan membereskan semua buku yang berhambur di sisinya. Ia menoleh ke deretan meja yang ada di sisi kirinya. Biasanya, perpustakaan itu tetap ramai meski sudah tengah malam. Tapi kali ini, hanya ada tiga orang pria yang duduk berjauhan. Mungkin, mereka memang tidak saling mengenal.
Di sisi kirinya, ia mengetahui kalau ada seorang pria yang meminta tanda tangannya dan sedang asyik membaca buku yang ia tulis. Roro Ayu tersenyum menatap pria yang menutup wajahnya dengan buku karyanya itu. Ia tidak tahu itu mahasiswa mana. Mungkin, mahasiswa baru yang sedang belajar tentang ilmu bisnis.
Ayu menghela napas. Ia segera mengambil buku-buku di tangannya dan melangkah menuju rak, mengembalikan buku-buku itu ke tempat
“NANDA ...!?” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda saat ia menyadari kalau pria itu ingin menciumnya. “Kamu pura-pura nggak lihat!? Mau aku semprot lagi, hah!?”“Eits, jangan! Ampun ...! Ampun ...!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa dan menatap wajah Ayu.“Kalau kamu baik-baik aja, keluar dari rumahku!” seru Ayu kesal.“Ay, aku nggak punya tempat tinggal. Aku baru aja sampai di kota ini dan nggak tahu harus tinggal di mana. Aku boleh tinggal di sini? Malam ini aja!” pinta Nanda sambil memasang wajah paling melas yang ia miliki.“Kamu ke sini pasti perjalanan bisnis ‘kan? Banyak hotel di kota ini. Check-in aja! Apa susahnya?” sahut Ayu.Nanda meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bicara dengan wanita cerdas, memang sangat sulit. Ia tidak tahu lagi alasan yang tepat agar Ayu mengizinkannya tetap tinggal di sana.“Aku ditinggal sama asi
Nanda tersenyum sambil mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia yang terbiasa tinggal di negara tropis. “Nan, kamu buat dua porsi?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda. Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan. Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik. “Kamu bilang, cuma mau masakin aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda. “Ay, aku juga laper. Aku seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?” tutur Nanda sambil memasang wajah memelas. “Nggak percaya! Kamu masih kuat masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu. “Serius, Ay.
“Ay ... meski pengadilan telah menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku. Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi. Ayu memejamkan matanya sambil berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun lalu? “Ay, give me one word! Aku masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari tubuh Ayu. Ayu menghela napas lega saat Nanda sudah beranjak dari tubuhnya. Nanda tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku nikahnya. Ayu langsung menatap buku nikah yang dipegang oleh Nanda. Beg
Ayu mengerjapkan mata saat sinar matahari masuk lewat-lewat celah jendela dan menimpa wajahnya. Telapak tangannya menyentuh sofa yang ia tiduri yang terasa sangat nyaman, tak seperti biasanya. Ayu meraba kain di bawahnya yang terasa berbeda dan terasa seperti tubuh seseorang. Ia melebarkan kelopak mata saat menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menengadahkan kepala. Ia menelan saliva dengan susah payah sambil bangkit perlahan dari pangkuan Nanda. “Stupid!” umpat Ayu dalam hati sambil menepuk keningnya sendiri. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuan dia?” Ayu terdiam saat melihat wajah Nanda yang tertidur pulas di hadapannya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya, memperhatikan guratan wajah pria yang sudah tidak pernah ia temui selama tiga tahun belakangan ini. Tapi bayangan wajahnya selalu menjadi kawan menikmati malam-malamnya yang sepi. Ayu menitikan air mata sambil menyentuh lembut pipi Nanda. “Nan, ratusan hari aku mencoba mengusir bayanganmu dan a
Nanda segera berbalik dan melangkah masuk kembali ke dalam kamar Ayu. Ia memperhatikan detail kamar wanita itu. Tidak ada yang aneh dari kamar itu. Meja dan rak di sana dipenuhi dengan buku. Mata Nanda tertuju pada buku diary yang ada di atas meja. Ia meraih buku itu dan membukanya. Halaman pertama buku itu dibuka dengan potret USG yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bawahnya, tertulis jelas kalimat “The New World” yang membuat Nanda menitikan air mata. Halaman berikutnya, ada sebuah ilustrasi foto wajahnya, wajah Ayu dan seorang anak kecil dengan tulisan “Lovely Family”. Di baliknya, ada banyak kata-kata harapan yang ditulis Roro Ayu tiga tahun silam saat ia masih mengandung anaknya. “Jika Tuhan beriku kesempatan ... aku ingin menjadi seorang istri yang dicintai ... menjadi seorang ibu yang dicintai ... menjadi seorang wanita yang dicintai dan berharga.” Nanda terdiam saat membaca kalimat terakhir yang tertulis di buku it
Ayu menghela napas lega ketika Nanda sudah keluar dari dalam flat rumah yang ia tinggali. “Thank you, Blaize! Aku nggak tahu gimana cara mengusir dia dari sini.” “He is your husband?” tanya Blaize sambil tersenyum. Ayu mengangguk. “My ex husband.” “How I say in Bahasa?” “Mantan,” jawab Ayu sambil tertawa. “Owh ... mantan? Itu seperti makanan yang kamu berikan untukku waktu itu ...” “Itu ketan, Blaize,” sahut Ayu meralat. “Oh. Different?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu. “Yeah.” Ayu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan menyiapkan masakannya. “Still love him?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu. Ayu menggeleng. Bukan ingin mengatakan tidak, tapi ingin mengatakan kalau ia juga tidak tahu dengan perasaannya sendiri. “Jika kamu tidak mencintainya, kamu tidak akan terganggu dengan kehadirannya. Sama seperti aku saat ini yang ada di dekatmu,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.
Nadine tertawa mendengar pertanyaan Nanda. “Kenapa ketawa?” “Wanita yang menghabiskan waktunya di perpustakaan sepanjang hari dan sibuk menulis jurnal, punya waktu buat pacaran?” sahut Nadine tanpa bisa menghentikan tawanya. “Dia punya pacar, Nad. Aku baru ketemu sama pacar dia tadi pagi. Ada di rumah Roro Ayu dan mereka masak bareng. Ngeselin banget!” sahut Nanda sambil mendengus kesal. “Pacar? Siapa? Blaize?” tanya Nadine. “Kamu kenal?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine. Nadine tertawa kecil sembari memutar kepalanya ke arah meja counter kafe tersebut. “See that girl!” pintanya sambil menunjuk wanita berambut blonde yang terlihat sedang mengatur karyawan di sana. Nanda mengangguk serius. “Apa hubungannya sama Ayu?” “Dia pemilik kafe ini dan ... calon istrinya Blaize.” “Kamu kenal?” “Nggak kenal. Tapi tahu karena terkadang aku sama Ayu cerita banyak hal saat kami ada waktu luang untuk vid
Nanda langsung menyambar kantong belanja dari tangan Ayu begitu melihat wanita itu sedang berbelanja di salah satu minimarket yang ada di kota tersebut. “Pacarmu yang tadi mana? Nggak temenin kamu belanja?” tanyanya. Ayu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Nanda. “Dia sibuk?” tanya Nanda lagi. “Emangnya, pacar harus ada dua puluh empat jam buat kita?” sahut Ayu sambil berusaha menarik kantong belanja dari tangan Nanda. “Nggak harus, sih. Tapi ... setidaknya dia bisa nemenin kamu karena ada aku di kota ini. Nggak takut kalau aku ngerebut kamu dari dia?” tanya Nanda sambil melangkah santai dan membawa kantong belanja milik Ayu. Ayu menghela napas sambil mengikuti langkah Nanda. “Aku pikir, dia udah balik ke negaranya,” batinnya. “Nan, kamu nggak balik ke Indo?” tanya Ayu sambil mengejar langkah Nanda. “Aku balik kalau kamu mau balik juga ke sana.” “Kalau aku nggak mau?” “Aku bisa pindah ke kota ini. It’s a
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani