Ayu mengerjapkan mata perlahan saat ia mendengar kumandang adzan subuh dari masjid yang berada di komplek perumahannya. Ia membuka mata dan mengangkat tubuhnya perlahan.
“Nan, sholat subuh!” pinta Ayu sambil meraba kasur di sebelahnya. Namun, ia menemukan ranjang itu kosong. Ayu menoleh ke kasur itu sejenak dan mengedarkan pandangannya. Ia langsung turun dari ranjang dan memeriksa suaminya itu ke kamar mandi.
“Dia ke mana pagi-pagi gini? Tumben banget? Nggak ngantor ‘kan?” gumam Ayu. Rasa penasarannya bercampur khawatir, bergelayut di dalam dadanya. Ia bergegas keluar dari kamar sambil terus memanggil nama suaminya itu.
“Hhh ... hhh ... hhh ...” Ayu berusaha menarik napas sambil memegangi pinggangnya yang terasa sangat pegal setelah mengelilingi rumahnya. Ia tidak bisa melihat sosok Nanda di rumah itu. Namun, mobil pribadinya masih terparkir baik di carport dan semua pintu rumah terkunci dengan rapat.
“Kamu ke mana, sih? Nggak diculik orang ‘kan
“Kamu yang ngerebut dia dari aku, Yu! Harusnya aku yang marah!” seru Arlita. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menahan kekesalan di dalam hatinya. Sejak ia diusir keluar dari apartemen Nanda, kebenciannya terhadap Ayu semakin menjadi-jadi. “Aku pasti rebut Nanda lagi dari kamu!” Ayu langsung melangkah menghampiri meja resepsionis yang ada di ruang IGD tersebut. “Mbak, saya istri dari pasien atas nama Ananda Putera Perdanakusuma,” ucap Ayu sambil menyodorkan copy dokumen kartu keluarga dan kartu identitas milik Nanda. “Ananda Putera Perdanakusuma. Pasien yang harus operasi di bagian penisnya ya? Ini tagihannya! Setelah dibayar, barulah bisa dilakukan tindakan oleh dokter,” ucap perawat yang bertugas di meja resepsionis dan kasir. “Operasi apa, Sus?” Mata Ayu nyaris terbelalak mendengar ucapan dari perawat itu. “Operasi penis, Bu. Penisnya hancur karena terlibat perkelahian dengan temannya sendiri. Untuk lebih jelasnya, silakan tanyakan ke polis
Ayu melangkahkan kakinya perlahan memasuki kantor polisi, tempat Sonny ditahan untuk sementara. Setelah melewati pemeriksaan dan mendapatkan izin, Ayu akhirnya bisa bertemu dengan Sonny yang sedang duduk di dalam sel tahanan sementara. Air matanya mengalir seketika melihat pria yang begitu ia cintai, mendekam di dalam sana. “Sonny ...!” panggil Ayu sambil menghampiri pria itu. Sonny langsung mendongakkan kepalanya. “Ayu? Kenapa kamu ke sini?” Tatapannya langsung terfokus pada air mata Ayu yang jatuh ke perutnya yang sudah membesar. Ayu menjatuhkan lututnya ke lantai dan bersimpuh di hadapan Sonny. “Maafin aku, Son! Aku udah bikin kamu jadi kayak gini.” “Ay, kenapa kamu minta maaf sama aku? Nanda yang salah, bukan kamu.” “Hiks ... hiks ... hiks ... aku yang salah karena aku tidak bisa menjaga kesucian cinta kita, Son. Aku yang sudah melukai kamu. Aku sudah mengecewakan kamu. Aku nggak bisa jadi wanita yang baik seperti yang kamu minta,” ucap Ay
Ayu tersenyum menatap wajah Sonny. “Kamu sedang membantuku untuk mendapatkan bahagia sungguhan, Son. Please, kamu juga berjanji untuk melanjutkan mimpi-mimpi kita! Kamu harus jadi dokter terbaik untuk anak-anak yang membutuhkan sentuhan tanganmu. Kamu akan jadi dokter malaikat yang dicintai sama wajah-wajah lucu di luar sana.” “Ay, aku ...” “Aku akan membantumu bebas dari sini. Setelahnya, kamu harus menjalani kehidupanmu dengan baik. I never stop love you. Aku ingin lihat kamu bahagia, meski bahagiamu bukan aku,” ucap Ayu sambil memundurkan langkahnya perlahan. “Ay, jangan pergi ...!” pinta Sonny sambil menatap wajah Ayu. Ayu tersenyum. Ia melirik polisi yang sudah berdiri di belakangnya. Ia tahu, waktu kunjungannya terbatas dan ia harus segera pergi dari sana. “Ayu, kamu di sini?” Ayu menghentikan langkahnya saat ia baru saja ingin keluar dari gedung tersebut. Ia langsung menatap dua orang yang sudah berdiri tepat menghadangnya.
“Braaak ...!” Edi langsung murka begitu ia melihat video rekaman CCTV Ananda yang bersama wanita lain hingga berujung perkelahian dengan Sonny.Semua polisi yang ada di ruangan itu terdiam melihat sikap Edi yang begitu murka karena puteri semata wayangnya dinodai dan dipermainkan oleh Nanda.“Aku sudah tertipu karena mempercayakan puteriku pada keluarga itu!” Suara bariton Edi memenuhi ruangan. Tangannya terus mengepal keras dan rahangnya mengeras hingga urat-urat di lehernya nampak begitu jelas.“Saya akan bawa kasus ini ke meja hijau dan menuntut keluarga Perdanakusuma itu!” tegas Edi.Polisi yang ada di sana mengernyitkan dahi. Ia menoleh ke salah satu pengacara yang sudah dikirim untuk menangani kasus Nanda.“Pak, di sini klien saya yang jadi korban. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan harus menjalani operasi besar dengan biaya yang besar juga. Kenapa malah klien saya yang dituntut?” tanya pengaca
Di rumah sakit, Ayu terus menatap wajah Nanda yang masih belum sadarkan diri pasca operasi. Ia memeras handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat dan menyeka wajah Nanda perlahan. Perasaannya masih saja tak karuan. Ia masih sangat mecintai Sonny, tapi ia juga sangat membutuhkan Nanda untuk masa depan anaknya.“Roro Ayu, bunda pulang dulu, ya! Ayahmu sudah jemput bunda di parkiran depan,” pamit Bunda Rindu sambil menatap wajah puterinya yang masih menunjukkan baktinya sebagai seorang istri.Ayu mengangguk. Ia langsung meletakkan handuk di tangannya ke dalam baskom kecil yang ada di atas nakas dan melangkah mengantarkan sang bunda yang akan keluar dari ruangan tersebut. “Ayah nggak masuk ke sini?” tanyanya lirih.Bunda Rindu menggeleng sambil tersenyum kecil. “Ayahmu nggak mau masuk ke sini. Katanya, buru-buru ada pertemuan dengan kolega bisnisnya.”“Oh.” Ayu mengangguk tanda mengerti. Ia merasa lebih
Seminggu kemudian, Nanda sudah diizinkan pulang ke rumah. Ayu dengan telaten merawat luka bekas operasi suaminya itu. “Nan, karena lukamu udah sembbuh, aku punya hadiah buat kamu,” ucap Ayu sambil tersenyum manis ke arah Nanda. “Sembuh apanya? Barangku nggak bisa bangun gini. Kedutan dikit aja udah sakit,” sahut Nanda sambil merintih menahan bagian inti tubuhnya yang masih terasa nyeri setiap kali ia mencoba untuk memunculkan hasrat kelelakiannya. “Setidaknya, kamu sudah bisa jalan, Nan. Orang lain nggak perlu tahu kalau barangmu nggak bisa bangun,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam tas tangannya dan menyodorkan ke hadapan Nanda. “Apa ini?” tanya Nanda saat manik matanya langsung menangkap logo institusi kepolisian yang sangat khas. “Kasus penganiayaan terhadapku tetep dilanjutkan? Baguslah. Ini nggak seberapa kalau dibandingkan dengan kehancuran masa depanku,” ucapnya. Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “
DEG! Nanda membeku menatap Ayu yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu lembut dan tenang ini menyimpan kebencian yang begitu dalam untuknya. “Ay, aku tahu kamu lagi emosi. Kita baikan, ya! Demi anak kita. Jangan penjarain aku, Ay!” pintanya lirih. Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata saat Nanda memilih menurunkan nada suaranya. Pikirannya semakin tidak karuan karena sikap Nanda yang tidak bisa ia baca ketulusan hatinya. “Ay, please ...! Kita baikan lagi, ya!” pinta Nanda sambil meremas jemari tangan Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu perlahan dan memeluk perut Ayu yang sudah membesar. “Aku sayang dia, Ay. Kamu juga ‘kan?” “Kalau kamu sayang, kamu nggak akan pergi sama wanita lain, Nan. Aku nggak akan kasih dua mama untuk anakku!” “Ay, aku sama Arlita nggak ngapa-ngapain,” tutur Nanda. “Tapi mau ngapa-ngapain ‘kan?” “Ck. Pikiranmu terlalu negatif, Ay!” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak
Andre dan Nia melangkahkan kaki masuk ke rumah mewah milik keluarga Hadikusuma. Dua hari sebelumnya, mereka sudah membuat janji bertemu untuk meminta bantuan dari Yuna dan Yeriko. Yuna dan Yeriko langsung menyambut kedatangan Andre dan istrinya. “Tumben kalian sampai main ke sini. Ada masalah genting banget?” tanyanya saat Andre dan Nia sudah duduk bersama di sofa ruang tamu. “Yun, yang aku ceritain waktu itu. Keluarga Roro Ayu menuntut kami,” jawab Nia sambil dengan mata berkaca-kaca. “Hah!? Nuntut gimana?” Nia menoleh ke arah Andre dengan perasaan tak karuan. “Nanda nggak mau dengarkan kami dan keluarga Roro memaksa kami mengembalikan puterinya. Kalau Roro dan Nanda bercerai. Artinya ...” “Delapan puluh persen kekayaan kalian akan jadi milik keluarga bangsawan itu?” tanya Yuna. Nia mengangguk. “Kenapa bisa seperti ini?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Andre dan Nia bergantian. “Mas Andre sudah menandatangani perjanj
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani