Dua jam sebelum pergi ke pesta ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya, mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota Surabaya.
“Mbak, teman saya ini lagi hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!” pinta Nadine saat ia dan Ayu sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.
“Oh ya? Tapi, harga untuk make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak.”
“Kami nggak permasalahkan harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang susah?” sambar Nadine dengan cepat.
Karyawan itu menggeleng. “Baik, Mbak.” Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.
Nadine menghela napas sambil melipat kedua tangan di dadanya. “Emangnya kita kelihatan kayak orang susah, ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.
Ayu tertawa kecil. “Sabar! Jangan emosi gitu, dong!” ucapnya sambi
Nadine langsung memeluk tubuh Ayu. “Yang kuat, ya! Yang kuat, yang sabar, Ay! Aku percaya kamu kuat. Nggak boleh benci anak ini. Seperti apa pun papanya, dia sudah hidup dalam dirimu. Dia hidup dari darahmu, dari hatimu dan dari cintamu, Ay. Jangan benci anak ini! Dia nggak salah,” bisik Nadine tanpa bisa menahan air matanya untuk menetes. “Hiks ... hiks ... hiks ...!” Ayu semakin menangis sesenggukan saat Nadine memeluknya. Semua sesak di dadanya selama ini, rasanya bisa terlepas saat air mata itu bisa tumpah di dalam dekapan Nadine. Nadine mengusap lembut punggung Ayu. Ini pertama kalinya ia melihat Ayu menangis sesenggukan dalam pelukannya. Ia rasa, beban yang sedang ditanggung Ayu memang sungguh berat. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain memeluk Ayu. Sebab, kata-kata bijak tidak akan bisa membuat masalah Ayu selesai begitu saja. “Kamu kuat, Yu! Kamu kuat. Jangan sedih lagi, ya!” bisik Nadine. “Hiks ... hiks ... hiks ... Aku pengen balik ke Sonny, Na
Rocky langsung melangkah masuk ke dalam salon tempat Nadine dan Roro Ayu merias dirinya. Ia menghampiri Nadine yang sedang berdiri di depan cermin sambil memperhatikan hasil make-up di wajahnya. “Udah selesai make-up?” tanya Rocky. Ia langsung merangkul pinggang Nadine tanpa meminta izin terlebih dahulu. “Udah,” jawab Nadine sambil melepas lengan Rocky perlahan dari pinggangnya. “Gimana, cantik atau nggak?” tanyanya sembari memutar tubuh menghadap Rocky. “Cantik banget,” jawab Rocky sambil tersenyum. “Temen kamu mana?” “Lagi ke toilet. Katanya kebelet,” jawab Nadine sambil menoleh ke arah Nanda yang berdiri tak jauh di belakang Rocky. Ia tidak menyapa pria itu, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Rocky jika mengetahui kalau Nanda adalah suami Roro Ayu. Tidak tahu mengapa, mereka berdua bisa datang bersamaan. “Oh ya ... kenalin, ini Nanda. Anaknya Oom Andre.” Rocky menunjuk Nanda yang tak jauh darinya. “Kebetulan, dia mau jemput istrinya juga
“Kamu beneran sewain mobil? Aku pikir, cuma guyon, Nad. Kamu nggak punya uang sampai sewain mobilmu?” “Punya. Tapi mobilku disewa sama orang buat bikin konten,” jawab Nadine sambil melangkahkan kakinya bersama Rocky. Sementara, Ayu dan Nanda sudah ada di belakang mereka. “Konten apaan pake Lambo? Film gitu?” tanya Rocky. Nadine menggeleng. “Buat bikin konten video gitu, loh. Apa sih namanya? Aku nggak begitu paham. Konten pura-pura jadi orang kaya.” Rocky menahan tawa mendengar ucapan Nadine. “Serius!? Ada yang begitu?” Nadine mengangguk. “Ada. Roro tahu tuh orangnya.” Rocky langsung menoleh ke arah Ayu. “Iya, Ro?” tanyanya. Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Videonya sering sliweran di media sosial pakai Lambo punya Nadine.” “Terus, diakui kalau mobil itu punya dia?” tanya Rocky sambil menahan tawa. “Parah!” “Iya. Buat konten gitu,” jawab Nadine. “Kamu sendiri nggak pernah pamerin mobil kamu
Roro Ayu melangkah masuk ke dalam mansion keluarga besar Hadikusuma sambil menggandeng lengan Nanda. Mereka langsung menghampiri Nyonya Ye yang menyambut semua tamu undangannya dengan ramah. Di sana, sudah ada papa dan mama mertua Roro Ayu yang datang lebih dulu. "Selamat ulang tahun, Oom, Tante ...!" ucap Roro Ayu sambil menyodorkan hadiah yang sudah ia siapkan. "Ini menantunya Andre?" tanya Yuna sambil tersenyum manis. "Cantik banget!" Ayu tersenyum menatap wajah Yuna. "Biasa aja, Tante." "Nggak usah panggil Tante! Panggil Bunda Yuna aja, ya!" pinta Yuna sambil menyerahkan hadiah yang diberikan Ayu kepada salah satu pelayan di rumahnya. "Harusnya nggak usah kasih hadiah segala. Kami ini bukan anak kecil lagi." Ayu hanya tersenyum mendengar ucapan Yuna. "Nggak papa Tante. Eh, Bunda," ralatnya. "Anggap saja ini tanda perkenalan dari saya." Yuna tersenyum sambil menatap wajah Ayu. "Ayo, duduk!" Ayu tersenyum sambil menganggukkan
“Bunda, maunya punya menantu yang centil atau kalem?” tanya Rocky sambil menoleh ke arah Yuna. “Yang kalem dan elegan kalau di luar, tapi sayang dan peduli sama kamu,” jawab Yuna. Rocky terkekeh sambil menyandarkan lengannya ke punggung kursi yang diduduki Nadine. “Kamu sayang sama aku, nggak?” “Apaan sih?” sahut Nadine sambil menyubit perut Rocky. “Aw ...! Sakit, Nad!” bisik Rocky sambil mengelus perutnya yang terasa memanas. “Kalian berdua udah balikan?” tanya Yuna sambil menatap Nadine dan Rocky yang terlihat mesra. “Nggak, Bunda,” jawab Nadine sambil tertawa kecil. “Nggak mau dipacarin, Bunda. Dia maunya langsung dilamar. Kapan bunda lamarkan Nadine buat aku?” sahut Rocky sambil memainkan alisnya. “Heleh, kemarin kamu masih jalan sama cewek lain. Kok, mau minta lamarkan Nadine. Nadine terlalu baik buat kamu.” Rocky mendelik ke arah Yuna yang tidak mendukung dirinya sedikit pun. Nadine menjulurk
Nanda menghentikan mobilnya di tepi pantai Kenjeran usai ia dan Ayu keluar dari pesta ulang tahun Nyonya Besar keluarga Hadikusuma. “Kenapa kita ke sini?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela mobil. Nanda tersenyum. Ia segera keluar dan membukakan pintu untuk Ayu. “Kita santai di sini dulu. Lagipula, ini masih jam sepuluh.” “Oh.” Ayu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam mobil tersebut. Nanda dengan cepat menyambar pinggang Ayu dan meletakkan tubuh wanita itu ke atas kap mobilnya. “Ayu, kita bisa bicara dari hati ke hati?” tanyanya. Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum manis. Kedua telapak tangannya bertumpu pada kap mobil dan mengunci tubuh Ayu di tengahnya. “Apa aku masih kurang ganteng, Ay?” “Kenapa kamu tanya begitu?” “Karena kamu selalu dingin sama aku,” jawab Nanda. “Masa, sih? Mungkin perasaanmu aja karena sudah ada orang lain yang lebih menghangatkanmu,” sahut
“Oh ya? Tapi ... banyak aja temen-temenku yang hamil di luar nikah dan mereka tetap lakukan acara tujuh bulanan,” ucap Nanda. “Setiap keluarga punya aturan. Di keluargaku, wanita yang hamil di luar nikah dilarang melakukan upacara sakral. Aku juga dilarang menginjakkan kakiku ke keraton sampai anak ini lahir.” DEG! Kalimat terakhir Ayu, seolah menghujam jantung Nanda. “Ma-maksudnya ...? Keluargamu nggak menerima kehadiran anakku ini?” Ayu mengangguk tanpa ragu. Nanda menghela napas. Ia terduduk lemas di hadapan Ayu. “Apa anakku juga tidak akan diperbolehkan memasuki keratonmu itu?” “Boleh. Setelah melahirkan, kami harus melakukan upacara suci supaya kami bisa memasuki keraton.” “Ribet amat, sih?” gumam Nanda. Ayu hanya melirik sekilas, kemudian bangkit dari sofa. “Mau mandi? Aku siapin air hangat untukmu.” Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia menghela napas lega karena Ayu tak lagi mengurusi peke
Nanda mengintip wajah Ayu yang sudah tertidur pulas. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia beringsut perlahan dan turun dari ranjang tidurnya. Dengan cepat, ia mengganti pakaiannya dan turun dari kamar. Nanda berjalan mengendap-ngendap agar tidak menimbulkan suara hingga ia keluar dari gerbang rumahnya. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menyusuri jalan perumahan miliknya sembari memainkan ponsel untuk memesan taksi online. Beberapa menit kemudian, taksi yang dipesan Nanda sudah tiba di depan pintu masuk perumahannya. Ia segera masuk ke dalam taksi tersebut dan langsung menuju ke Galaxy Hotel. Begitu sampai di Galaxy Hotel, ia langsung melangkah memasuki lift, menuju ke lantai kamar yang sudah ia pesan sebelumnya. “Aku sudah sampai,” ucap Nanda lewat pesan singkat saat ia sudah sampai ke lantai yang ia tuju dan berdiri di depan nomor kamar yang ia pesan. Setelah memastikan kalau pesannya terbaca, ia langsung membersihkan
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani