“Ay, dengan atau tanpa restu papa, aku akan tetap menikahimu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ayu menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku ingin menikah dengan restu orang tua. Kalau kamu bisa meyakinkan kakekku, maka aku akan berusaha meyakinkan papamu.” Nanda tersenyum haru menatap Ayu. Ia langsung memeluk erat tubuh wanita itu. “Ay, maafin aku karena sudah banyak menyakitimu dan membuatmu berkorban banyak. Kali ini, biarkan aku yang berusaha meyakinkan papa.” Ayu mengangguk. Ia merasa sangat bahagia karena Nanda memilih untuk memperjuangkan cinta mereka. Drrt ... drrt ... drrt ...! Nanda langsung merogoh ponselnya yang tiba-tiba berdering. “Halo ...!” sapa Nanda saat panggilan telepon dari Karina tersambung. “Ada apa, Rin?” “Kamu di mana, Nan?” tanya Karina dari seberang telepon. “Aku di rooftop Galaxy Hotel,” jawab Nanda. “Galaxy Hotel mana? Surabaya, Semarang atau Solo? Jangan-jangan malah di Jakarta, ya?” cerocos Karina. “Surabaya, Rin. Ngapain jauh-jauh ke Jakart
“Kalau Nanda bisa buktikan bisa hidupi Mama dan Roro Ayu tanpa bantuan Papa. Maka Papa harus bisa merestui hubunganku dengan Roro Ayu!” pinta Nanda. “Oke. Papa tidak akan menghalangi kalian kalau memang kamu bisa membuktikannya. Bayar biaya rumah sakit mama kamu ini! Buktikan!” perintah Andre sambil melangkah pergi dari ruangan tersebut. Nia menghela napas melihat sikap keras kepala suaminya, sama saja dengan puteranya juga. Ia harap, Nanda bisa lebih mengalah menyikapi keegoisan papanya. “Nan, kamu nggak usah ambil hati sikap papa kamu, ya! Mama masih punya uang tabungan untuk biaya berobat Mama. Nggak perlu pakai uang kamu. Kamu lebih butuh. Perusahaanmu masih baru. Jangan boros, ya! Buktikan ke papamu kalau kamu bisa sukses tanpa dia!” pintanya. “Ma, Nanda mana bis—” “Sst ...! Dengerin Mama, ya! Kalau Nanda sayang sama Mama, dengerin Mama!” Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang berdiri di sampingnya. “Ayu, maafin Mama Nia dan Nanda di masa lalu. Nanda sudah menebus semua k
“Nan, sibuk banget?” tanya Ayu sambil menyodorkan secangkir moccacino hangat ke atas meja kerja Nanda. “Nggak terlalu. Lagi ngecek ulang laporan produk yang mau diluncurkan aja,” jawab Nanda. “Ini produk baru kamu?” tanya Ayu sambil menatap beberapa botol yang ada di hadapan Nanda. Nanda mengangguk. “Mau coba?” “Aku baru aja mandi, Nan.” “Mandi lagi, biar makin glowing!” pinta Nanda sambil menahan tawa. Ayu mengerutkan hidungnya. Ia menarik kursi dan duduk di samping Nanda. “Dari semua produk yang ada di dunia ini, kenapa pilih sabun mandi?” Nanda langsung menoleh ke arah Ayu. “Kamu lagi ngetes aku buat pitching?” “Kamu mau menargetkan aku buat nanam saham di perusahaanmu?” tanya Ayu balik. “Janganlah! Kalau bisa, aku aja yang tanam saham buat kamu,” jawab Nanda sambil melirik perut Ayu. Ayu mendelik ke arah Nanda sambil memegangi perutnya. “Kamu lagi menyimpan niat buruk?” “Nggak, Sayang. Masa aku berniat buruk sama istri sendiri?” sahut Nanda sambil merangkul tubuh Ayu.
Nanda tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Buruan lamar aku lagi!” pinta Ayu sambil meletakkan cincin itu di atas telapak tangan Nanda. Nanda tersenyum kecil sambil menatap wajah Ayu. “Masa lamar di sini sih, Ay?” “Jadi, mau lamar di bawah menara Eiffel biar kayak orang-orang itu?” tanya Ayu sambil tersenyum menatap Nanda. Nanda menggeleng. “Tapi aku ingin melamar kamu di depan orang paling penting dalam hidupku,” jawabnya. Ia bangkit dari kursi dan menarik lengan Ayu. “Kita mau ke mana? Udah malam, Nan.” “Ke rumah sakit, Ay. Aku mau lamar kamu di depan Mama Nia,” jawab Nanda. Ayu langsung menghentikan langkah dan mengerutkan wajahnya ke arah Nanda. “Ini sudah jam sebelas malam. Waktu besuk udah habis, Nan. Mau ngajak berantem satpam rumah sakit?” “Boleh juga,” jawab Nanda. “NANDA! Aku nggak lagi bercanda. Masih mau berantem sama orang?” seru Ayu. “Hehehe. Jadi, gimana?” “Besok pagi aja lamarannya, oke?” “Subuh?” “Ya nggak subuh juga, Nanda!” sahut Ayu menaha
Karina melangkan kaki memasuki lobi kantor Amora Internasional penuh percaya diri. Di belakangnya, sudah ada Enggar, Ayu dan Nanda. “Saya mau ketemu sama Oom Andre ...!” ucap Karina pada petugas resepsionis. Ia hanya menepuk meja resepsionis itu sekilas, kemudian bergegas pergi menuju lift yang ada di sana. “Pagi, Pak Nanda ...!” sapa seorang satpam dan beberapa karyawan yang sudah sangat mengenal Nanda. “Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis, kemudian ia masuk ke dalam lift bersama dengan yang lainnya. Beberapa saat kemudian, empat orang itu sudah berada di depan pintu ruang Presdir Amora Internasional. “Selamat pagi, Oom ...!” sapa Karina sambil tersenyum manis saat sekretaris membukakan pintu untuknya. “Pagi ...! Karina? Tumben main ke sini?” balas Andre sambil bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Karina. Belum sampai di hadapan Karina, langkahnya terhenti ketika melihat Nanda dan Ayu juga ada di sana. “Ada apa ini?” Karina tersenyum sambil menatap wajah Andr
Andre tersenyum menanggapi sikap Nanda dan balas memeluknya. “Maafin Papa, ya! Papa terlalu takut untuk jatuh lagi. Takut kalau kamu tidak bisa hidup bahagia di masa depan,” ucapnya. Nanda menganggukkan kepala dan menatap wajah papanya. “Iya, Pa. Aku ngerti. Tapi ... aku juga nggak akan bahagia di masa depan kalau hatiku selalu kosong. Dari sekian banyak wanita, hanya Ayu satu-satunya wanita yang berhasil membuat mengacaukan hidupku dan ... aku jatuh cinta sama wanita ini.” Andre tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Ayu, maafkan Oom Andre, ya! Oom akan merestui hubungan kalian. Ayu janji satu hal sama Oom! Seburuk apa pun anak Oom, kesalahan apa pun yang dia lakukan di masa depan nanti. Tolong ... jangan penjarakan dia lagi!” Ayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ayu janji, Oom ...! Ayu akan menerima dia apa adanya. Asalkan, dia mau menghargai keberadaanku.” Nanda tersenyum lebar dan menghampur ke pelukan Ayu. “Aku menghargai kamu. Mahal banget!” ucapnya sembari mengecup ken
Nanda menghampiri tubuh Nia yang masih duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan dari luar jendela kamar rawatnya. “Mama, I have something for you,” bisiknya sembari memeluk tubuh Nia dari belakang dan mengulurkan bucket bunga untuk wanita istimewa yang telah memberinya hidup dan menghidupkannya itu. Nia langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. Ia tersenyum saat puteranya itu begitu romantis. Membuatnya teringat akan masa-masa mudanya saat bersama Andre. “Kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini ke Mama?” tanyanya. “Nggak boleh?” tanya Nanda sambil tersenyum manis. “Boleh banget. Kalau perlu, kamu setiap hari seperti ini. Mama pasti bahagia banget,” ucap Nia sambil menyentuh lembut pipi Nanda. “Dalam satu bulan, Mama udah bisa buka toko bunga,” ucap Nanda sambil tertawa kecil. Nia ikut tertawa menanggapi ucapan Nanda. “Boleh juga. Mama jualan bunga untuk ngisi waktu luang di hari tua biar nggak bosan.” “Hmm ... katanya mau main sama cucu? Kalau sibuk sama bunga,
Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Nanda merogoh cincin berlian yang ia selipkan di kantong celananya dan menekuk lututnya di hadapan Ay. “Ay, maukah ...” TING! Cincin yang dipegang Nanda tiba-tiba merosot jatuh membentur lantai, kemudian menggelinding cepat tak tentu arah hingga berhenti di bawah lemari nakas yang sempit. “Astaga ...!” seru Nanda kesal saat cincin itu tak mau bersahabat dengannya. “Kamu gimana sih megangnya?” Ayu langsung membungkukkan tubuhnya, mencari di mana cincin berlian itu berada. “Aku nervous, Ay! Aku nggak pernah ngelamar cewek. Tanganku gemetaran,” sahut Nanda sambil merayap di lantai, mencari cincin berlian yang masih belum tertangkap oleh matanya. Nia dan Andre tertawa melihat kekacauan lamaran yang terjadi. Terlebih, Nanda masih terus merayap mencari keberadaan cincin berlian yang akan digunakan untuk melamar Ayu. “Pa, jangan ketawa! Bantuin cari cincinnya!” pinta Nanda sambil menggeser sofa dan semua perabotan yang ada di dalam ruangan ters
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani