“Iih ... nggak mau! Nggak kenal,” tutur Karina sambil mengerutkan wajahnya. “Makanya, kenalan!” “Kamu kenal sama mereka, nggak?” “Nggak,” jawab Nanda sambil terkekeh. “Iih ... ogah, ah! Kalau mau carikan aku jodoh tuh yang kamu kenal. Biar tahu bibit, bebet dan bobotnya. Pas gitu, mereka cowok penipu gimana? Zaman sekarang, banyak cowok yang pura-pura kaya biar bisa gaet mertua kaya!” sahut Karina. Nanda terkekeh sambil menatap wajah Karina. “Aku serius!? Nggak usah bercanda, deh!” pinta Karina sambil menepuk paha Nanda. “Jodohin aku sama salah satu temen yang kamu kenal aja.” “Aku nggak punya teman.” “Bohong!” “Serius. Temen-temenku bangsat semua, Rin. Nggak cocok buat kamu.” “Termasuk kamu?” tanya Karina sambil melirik ke arah Nanda yang duduk di sebelahnya. Nanda terkekeh sambil menganggukkan kepala. “Aku ketua geng-nya. Kalau anak buahnya brengsek, berarti ketuanya lebih brengsek dari mereka.” “Hmm ... kalo ketua geng ganteng kayak kamu, aku mau ... kayak Dilan.” “Di
Nanda melangkahkan kakinya bersama Karina sembari memegang konsep bisnis yang ada di tangannya. Ia tahu, tanpa bantuan dari Karina, ia tidak akan bisa melakukan hal seperti ini. Andai saja Roro Ayu tidak mendapatkan hukuman, ia pasti lebih memilih wanita itu untuk berada di sisinya dalam keadaan apa pun. “Ay, hari ini hukumanmu selesai. Kamu pasti baik-baik aja di sana. Tunggu aku seminggu lagi! Aku akan datang menjemputmu,” batin Nanda sembari tersenyum manis mengingat wajah manis Ayu yang selalu mengisi hari-harinya. “Nan ...!” panggil Karina sambil menjentikkan jemarinya di hadapan Nanda. “Eh!?” Lamunan Nanda terbuyar begitu Karina memanggil namanya. “Ngelamunin apaan, si?” tanya Karina sambil menatap wajah Nanda. “Dari tadi dipanggilin nggak denger.” Nanda tersenyum sambil menatap wajah Karina. “Lagi mikir aja,” jawabnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh lantai mall tersebut. Galaxy Mall adalah salah satu property dan usaha milik sahabat papanya. Jika ia mau, ia bisa
“Sarangheo ...!” ucap Karina sembari membentuk jari tangannya menyerupai simbol cinta. “Sebagai sahabat. Ingat! Harus carikan aku jodoh yang jauh lebih baik dari kamu. Supaya aku punya alasan yang tepat buat batalin perjodohan kita.” “Kamu mau jodoh yang gimana?” tanya Nanda sambil menatap wajah Karina. Ia sudah menganggap Karina seperti adiknya sendiri dan ia lebih nyaman bersamanya dengan cara seperti ini. “Mmh ... yang ganteng, pinter, dewasa dan sayang sama aku,” jawab Karina sambil tersenyum lebar. “Gampanglah. Di mall ini juga banyak. Lihat, tuh!” ucap Nanda sambil menunjuk ke arah salah satu staff toko tersebut. Karina langsung mengerutkan wajahnya. “Nggak SPB juga kali, Nan.” “Kamu nggak cari yang kaya ‘kan?” “Nggak. Tapi nggak di bawah standar juga!” seru Karina kesal. “Hahaha.” Nanda tergelak. Ia dan Karina terus bercanda dan segera keluar dari toko tersebut untuk mengurus bisnis mereka. Di sudut lain ... air mata Ayu jatuh berderai ketika melihat Nanda terlihat mes
Nanda menghela napas lega sembari menutup laptop begitu ia menyelesaikan proposal bisnisnya. “Akhirnya, kelar juga!” seru Karina sembari meliukkan tubuhnya. “Thank’s, Rin ...! Kamu udah bersedia bantu aku. Malam ini aku traktir kamu makan sebagai rasa terima kasihku. Mau atau nggak?” Karina terkekeh mendengar tawaran dari Nanda. “Kamu belum dapet apa-apa, Nan. Kamu mau traktir aku makan dengan uang hasil utangmu ke aku?” “Hehehe.” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu. “Kamu traktir aku setelah proposal bisnis kamu ini goal. Gimana? Sementara, biar aku yang traktir kamu dulu dan aku masukin ke daftar utang,” ucap Karina sambil mengusap layar ponselnya. Nanda tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Eh, mau reservasi tempat atau order makanannya ke sini?” tanya Karina. “Order aja, Rin. Aku sembari ngecek ulang MBC yang dikerjain sama tim,” jawab Nanda. Karina menghela napas. “Kamu udah tutup laptop. Mau buka laptop lagi? Mending istirahat,
-Keraton Kesultanan Surakarta- Hampir seminggu pelayan di istana dibuat ketar-ketir karena Roro Ayu tiba-tiba mengurung diri di dalam ruang perpustakaan selama dua puluh empat jam. Mereka tidak berani melapor pada orang tua Ayu atau pun pada Sri Sultan karena takut dianggap tidak becus melayani puteri mahkota mereka. Tidak tahu apa yang terjadi dengan Roro Ayu hingga membuat para pelayannya kewalahan. “Ndoro Puteri ...! Sudah waktunya makan malam,” ucap salah satu pelayan sambil mengetuk pintu perpustakaan yang tertutup rapat. Ayu menghela napas sembari menatap pintu perpustakaan yang tiba-tiba diketuk. Ia menoleh ke arah jam dinding ruangan tersebut yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Setiap berada di depan buku, ia merasa waktunya terasa sangat singkat. Ayu bangkit dari tempat duduk dan melangkah perlahan menuju pintu. Ia segera membuka pintu tersebut dan menatap Sri yang sudah berdiri di depannya. “Aku nggak mau makan yang lain. Bawakan air mineral dan dua buah pir saja!”
“NANDA ...! KAMU BERHASIL ...!” seru Karina sambil melompat kegirangan saat sudah mendapatkan pengumuman kalau konsep bisnis Nanda diterima dan mendapatkan pendanaan dari Dinas Penanaman Modal dan Investasi. “KITA BERHASIL ...!” seru Nanda sambil merangkul Karina dan lima orang timnya. Mereka melompat dan tertawa bahagia karena akan segera mendapatkan modal untuk menjalankan operasional pabrik dan bisnis mereka. “Aku bilang juga apa ... kamu pasti bisa!” ucap Karina sambil tersenyum lebar. Nanda tersenyum sambil menatap semua orang yang ada di ruangan itu. Ia mundur beberapa langkah dan membungkukkan tubuhnya. “Terima kasih untuk kalian semua! Terima kasih sudah membantuku memulai semuanya dari nol ...!” ucapnya. Karina tersenyum sambil merangkul lima orang yang bersamanya. “Kalau gitu, jangan kecewakan kami dan harus buat perusahaan kamu berjaya!” Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih untuk Karina yang sudah bersedia meminjamkan uang tabungannya untuk modal bisnis ini
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari kota Surabaya, Nanda dan Karina akhirnya sampai di depan halaman Keraton Kesultanan Surakarta. “Wow ...! Aku baru pertama kali lihat langsung keraton ini,” ucap Karina sambil mengedarkan pandangannya dan mengagumi arsitektur bangunan yang terlihat begitu khas. “Papa sering cerita soal bangsawan-bangsawan keraton yang menguasai beberapa bisnis di pulau ini. Tapi, aku sendiri belum pernah datang ke keraton ini.” “Papamu punya bisnis dengan para bangsawan keraton?” tanya Nanda. Karina mengangguk. Ia membuka pintu mobil dan segera keluar dari sana. Nanda menarik napas dalam-dalam dan ikut keluar dari dalam mobil tersebut. Ia melangkah perlahan memasuki halaman keraton tersebut dan menghampiri dua penjaga pintu yang berdiri di sana. “Permisi ...! Saya suaminya Raden Roro Ayu Rizky Prameswari. Bisa ketemu dengan beliau?” sapa Nanda sambil tersenyum manis. Dua penjaga itu langsung saling pandang. “Sebentar, Mas! Kami laporan dulu!
“Ay, kamu kenapa?” seru Nanda saat Ayu malah masuk ke dalam keraton tersebut dan menutup rapat pintu megah yang ada di hadapannya. “Maaf, Mas! Ndoro Puteri tidak ingin bertemu dengan sampeyan. Silakan pergi dari sini!” pinta salah satu penjaga sambil menghunuskan pedang ke leher Nanda. “Dia memberi izin pada kami untuk membunuh Anda jika tetap memaksa masuk ke keraton kami.” Nanda memundurkan kepalanya saat mata pedang itu berada tepat beberapa senti dari lehernya. “Nan, istri kamu kenapa? Kenapa anak buahnya nyerang kamu?” Karina langsung menarik tubuh Nanda agar tidak terkena hunusan pedang dari pengawal keraton tersebut. Nanda menggelengkan kepala. “Nggak tahu, Rin.” “Apa karena aku?” tanya Karina. Nanda menggelengkan kepala. “Dia bukan perempuan yang seperti itu,” ucapnya sambil mengedarkan pandangannya dan melangkah menyusuri pagar istana yang berdiri kokoh dan megah. “Mbak ...! Mbak ...!” Nanda langsung berlari menghampiri pelayan keraton yang baru saja keluar dari dalam
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani