"Hati-hati di jalan, Tuan, Nona." Bibi Tsu meremas tangannya sembari mengucapkan salam perpisahan dengan pasangan suami istri yang kini duduk di bagian belakang mobil mereka."Terima kasih, Bi. Jaga diri baik-baik." Suara Aira terdengar serak, kembali menundukkan kepala seperti sebelumnya. Sejak terbangun dan mengingat apa yang terjadi semalam, Aira tidak berani beradu muka dengan Ken. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya.Mobil mewah warna hitam itu mulai meninggalkan pelataran rumah. Ken duduk diam di sebelah kanan, Aira di sampingnya. Tidak ada yang bersuara sampai kendaraan roda empat ini membelah jalanan pusat kota.Ken menikmati perjalanan kali ini, merasa semakin dekat dengan tujuan awalnya untuk menikahi Aira. Mendapatkan seorang putra. Sebaliknya, jemari wanita itu semakin erat bertautan. Bayangan Ken dan Hiro datang silih berganti, mengambil alih akal sehatnya. Sepagi ini tiba-tiba dipaksa pergi ke kediaman Kakek Yamazaki, pastilah ada masalah serius yang tidak bisa di
Aira menundukkan badannya, membentuk sudut 90 derajat di depan sembilan orang yang duduk rapi di atas tatami. Zabuton, sebuah bantal persegi menjadi alas duduk masing-masing orang. Meja kecil berkaki pendek teronggok di depan mereka."Salam, Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Kakek, dan semuanya." Ken membuka suara, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dia harus mempelajari situasi kali ini agar tidak salah langkah. Kakek Subaru ada di tengah. Ayah, Ibu, Paman, dan Bibi Ken ada di sebelah kanan. Kubu keluarga muda, sedangkan keluarga tua ada di sebelah kiri. Keempatnya lelaki, dengan kimono hitam dan katana di tangan. Baru diletakkan setelah Ken mengucapkan salam. Meskipun usianya masih muda, tapi mereka menghormati Ken dan cukup sungkan padanya. Sifat Ken sama persis seperti kakek Subaru. Salah langkah, nyawa taruhannya."Maaf membuat kalian menunggu. Aku membawa istriku kembali. Bukankah ini yang kalian inginkan?" Dengan suara datar, Ken melemparkan tatapan tajam.Aira meremas jemarin
"Ai-chan," panggil Ken sembari menyentuh punggung tangan istrinya yang tampak melamun."Are you okay?" lanjutnya. Dia khawatir melihat wajah Aira yang terus tegang sejak meninggalkan ruang pertemuan dengan para tetua. Pastilah dia tertekan karena tuduhan, juga tuntutan dari mereka."Yamazaki-san, aku ....""Hmm?" Ken menaikkan dagunya, tidak suka dengan panggilan yang Aira ucapkan barusan.Aira menarik diri dari hadapan Ken, membuang muka dan menatap pohon maple yang semakin meranggas daunnya. Separuhnya sudah luruh ke tanah, menandakan musim dingin akan segera datang.Cahaya lampion kuning keemasan menambah keindahan di taman belakang kediaman utama keluarga Yamazaki."Aku takut mereka tahu yang sebenarnya.""Kau lupa perintahku kemarin?" Ken menarik tubuh Aira, memaksanya saling berhadapan. "Berhenti berpikir hal yang membuatmu sakit kepala.""Bagaimana kalau ....""Sstt!" Ken menempatkan jari telunjuknya di depan mulut Aira, meminta wanita itu tidak meneruskan kata apa pun yang aka
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Ken mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen, balik menatap Aira yang sedari tadi terus memaku pandangan ke arahnya. "Apa wajahku begitu tampan sampai membuatmu tak bisa berpaling?"Ken terkekeh mendengar celotehnya sendiri. Dia merasa geli. Aneh rasanya memuji wajahnya yang buruk rupa.Aira tak lantas menjawab, mengembuskan napas berat dari mulutnya."Ada masalah?" Ken tidak bisa tinggal diam, menutup berkas dan memerhatikan Aira sepenuhnya."Sejak dokter membacakan hasilnya, kau tampak tidak puas. Kau curiga aku memalsukan hasilnya?""Kamu bisa melakukan apa saja. Bukan hal yang mustahil jika ....""Aku tidak melakukannya."Aira menahan napas, menunggu penjelasan lain yang lebih masuk akal. Berbagai prasangka seketika memenuhi kepala. Tentang Ken dan Hiro, juga rahasia yang menghubungkan keduanya."Sudah aku katakan, dia putraku. Seharusnya kau percaya. Tidak perlu memikirkan hal lainnya.""Tidak semudah itu. Bagaimanapun juga ....""Aku menipum
"Nona, saya mohon keluarlah. Jika tidak, Tuan Muda akan memenggal kepala saya."Kosuke terpaksa berbohong, membuat Ken membulatkan mata. Dia jelas tidak ada ide sama sekali untuk mengancam Kosuke. Keadaan Aira-lah yang menjadi fokus utamanya saat ini.Dari belakang, muncul Kaori dengan napas terengah-engah. Meskipun dia mengatakan tidak peduli pada Ken, tapi dia ikut mengkhawatirkan Aira juga. Bagaimanapun, kesehatan pasien menjadi tanggung jawabnya."Pergi dari sini," pinta Kaori sambil mengeratkan gigi-giginya. Dia memandang Ken dengan tatapan kesal juga marah."Kaori-chan, aku ....""Pergi atau Aira tidak akan keluar dari sana?! Gunakan akal sehatmu. Dia bisa kedinginan. Kamu mau anak dan istrimu dalam bahaya?" Kaori sampai menaikkan nada bicaranya, mengusir Ken dengan paksa."Kosuke, bawa dia pergi. Sekarang!" Mulai frustrasi, Kaori berteriak sambil menghentakkan kakinya.Mau tak mau Kosuke menyingkir sambil membimbing Ken dari sana. Tentu saja pria itu harus pura-pura duduk di ku
Ken masuk ke dalam kamar saat Aira terlelap di dalam kamarnya. Dengan langkah tanpa suara, pria itu mendekat, berjongkok di depan wanitanya."Sayang, maafkan aku," ucap Ken sembari menyentuh pipi Aira, perlahan mengelusnya dengan penuh penyesalan.Jika saja dia menuruti permintaan Kaori, mengaku sejak awal, tidak akan seperti ini kejadiannya. Dia memiliki waktu untuk menjelaskan kenapa dia harus berbohong, pura-pura cacat demi melindungi identitas aslinya.Ken kembali mengingat setiap detik kebersamaan mereka, di mana dia selalu saja merisak Aira saat berpenampilan sebagai Ken. Sebaliknya, sikapnya akan berubah lembut saat menjadi Hiro.Ken melepas topeng di wajahnya, juga membersihkan luka bohong-bohongan yang menutupi separuh wajahnya. Dia siap menghadapi ini demi Aira, membuka kedoknya yang asli.Perlahan namun pasti, Ken naik ke atas ranjang dan memeluk Aira dari belakang. Punggung ramping wanita itu menempel dengan dada bidang Ken yang tertutup piyama. Tangannya menelusup ke dala
Ken membuka matanya, menatap wajah tidur Aira yang tampak damai. Hatinya buncah oleh rasa bahagia, mensyukuri setiap anugerah yang Tuhan berikan padanya. Rasanya tidak sabar menunggu kelahiran putranya."Sayang, kita akan segera bertemu beberapa bulan ke depan. Sampai saat itu tiba, kau akan melihat ayahmu dengan bangga. Jangan merepotkan ibumu, ya. Tolong jaga dia selagi Ayah tidak bersamanya. Ayah janji tidak akan membuat ibumu terluka lagi. Kita sama-sama membahagiakannya, ya?"Ken mengelus perut Aira dengan sayang. Hatinya penuh oleh bunga, membayangkan bayi merah yang akan mewarnai hari-harinya dengan Aira. Saat masa itu datang, dia sudah bisa menunjukkan wajah yang sebenarnya, termasuk mengungkapkan rahasia besar yang selama ini menjadi ganjalan. Sudah cukup berpura-pura cacat dan buruk rupa. Aira dan putra mereka layak mendapatkan sosok suami dan ayah yang sempurna.Namun, senyum di wajah Ken seketika memudar saat mengingat permintaan Aira beberapa jam lalu, tepat sebelum merek
"Tuan, Nona Aira menghilang," ucap bibi Tsu dengan napas tersekat di tenggorokan. Dadanya naik turun, mengambil oksigen sebanyak mungkin dari udara di sekitar. Tangannya tampak gemetar, coba mengendalikan emosi dan menutupi ketakutannya.Kosuke mengerutkan kening, melirik Ken yang seketika itu juga berhenti menggoreskan pena. "Bibi bercanda?" Ken meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang-kah saat yang tepat untuk memulai rencana besar mereka? Jujur saja, dia belum siap kehilangan Aira, tapi cepat atau lambat pasti masa ini akan terjadi juga, kan?"Bibi sudah memeriksanya di sekitar rumah? Di taman?" Dengan hati dipenuhi oleh gemuruh kekhawatiran, Ken menyempatkan bertanya. Jika semua terjadi sesuai rencana, Aira saat ini sedang menuju ke rumah keluarga Nagasawa. Dia akan ada di sana selama drama ini berlangsung."Tidak ada sama sekali, Tuan. Saya juga sudah mengecek CCTV, Nona pergi membawa kopernya selagi saya pergi ke luar. Nona meminta saya membeli buah apel, tapi saat kem
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua