“Pergi!” Untuk ke sekian kali Ken mengusir Aira. Namun, wanita itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dia justru memeluk Ken sekuat tenaga, seperti seorang ibu yang berusaha melindungi putranya.“Maaf, tapi aku tidak akan pergi.”Ken berhenti meronta, mulai mendengarkan detak jantung Aira dengan telinga kanan yang menempel ke dada wanita itu. Aira bersimpuh menggunakan lutut, sedang Ken duduk di lantai karena gagal berdiri untuk ke sekian kali.“Aku mengaku salah. Aku benar-benar minta maaf, Yamazaki-san.” Suara Aira kembali terdengar, bahkan kali ini agak sedikit bergetar. Rasa bersalahnya semakin menjadi, tidak bisa disembunyikan lagi.“Aku tidak bisa memercayaimu, berpikir kalau mungkin saja kamu membohongiku.”Demi memuluskan drama yang dimainkannya, Ken mendorong tubuh Aira dan berbalik badan setelahnya.“Pergi. Tinggalkan aku sendiri,” pintanya lirih, tak lagi dikuasai emosi seperti sebelumnya. “Aku tidak butuh belas kasihan darimu!” tegasnya sambil mengepalkan tangan.A
Aira terdiam di posisinya, menatap ponsel yang sudah redup layarnya. Ingatannya kembali pada setiap penjelasan yang disampaikan oleh Kosuke yang memberikan alasan logis kenapa Ken bisa berubah demikian.“Meskipun selama ini Tuan Muda terlihat seolah begitu berkuasa, tetap saja Tuan Besar masih berdiri menjadi bayang-bayang di belakangnya. Beliau tidak akan tinggal diam jika keadaan perusahaan belum stabil. Bahkan jika ada investor nakal, beliau juga akan turun tangan meskipun Tuan Muda tidak meminta bantuan.”Aira meneguk ludahnya dengan paksa, membasahi kerongkongannya yang terasa kering seketika. Dia pikir Ken memiliki otoritas sendiri atas perusahaan yang dia pimpin. Ternyata, hidupnya saja masih diatur oleh kakek Subaru. Ini fakta mengejutkan yang baru diketahui olehnya.“Sepuluh tahun lalu, hubungan nona Erina dan Tuan Muda baik-baik saja. Sama seperti muda mudi lain yang kasmaran. Namun, saat kondisi fisik Tuan Muda jadi seperti itu, nona Erina mulai menjauh. Sebenarnya, itu ju
Aira bergegas keluar dari kamarnya sambil menutup mulut. Wanita itu berlari begitu saja, menghindari Ken yang hampir melewati batasannya.“Mana boleh seperti ini!” Aira menggeleng tegas, mengenyahkan bayangan saat Ken mulai menekuri lehernya. “Aku tidak boleh mengkhianati Hiro,” lanjutnya sambil memegangi perut, merasa bersalah pada pria yang telah menanam benih di dalam rahimnya. Satu tangan yang lain mencengekeram liontin kalung yang tertaut di leher.“Maafkan aku, Hiro-kun,” ucapnya lirih sambil bersandar pada kepala ranjang.Di saat yang sama, Hiro tidur terlentang di atas ranjang dengan selimut berantakan di belakang tubuhnya. Pria itu tekekeh tanpa suara, menyembunyikan tawa bahagia yang seolah ingin meledak.“Menggemaskan sekali,” ujarnya sambil mengingat wajah Aira yang memerah saat diberikan rangsangan di titik sensitif tubuhnya. Jelas sekali wanita itu menikmati permainan mereka. Sayang sekali, logikanya kembali saat Ken memanggil wanita itu dengan sebutan Ai-chan dan mening
"Selamat datang, Nona."Tampak Kosuke tergesa, menyambut Aira yang kini sampai di depan pintu. Ekor matanya menangkap sosok Erina yang baru keluar dari dalam lift, berjarak beberapa meter darinya.Wajah Kosuke menegang, kehabisan kata untuk menghadapi dua wanita di poros yang berbeda itu. Tentu saja dia lebih condong di pihak Aira. Selain karena dia wanita pendamping tuannya yang resmi, juga karena sifat dan tabiat wanita ini yang jauh lebih baik dibanding nona Sawaguchi."Nona, Anda ....""Aku sudah tahu siapa dia." Aira lebih dulu bersuara, berbisik seperti yang Kosuke lakukan barusan. Dia bisa menangkap pertanyaan yang akan diucapkan oleh asisten suaminya."Apa dia tidak tahu tentang pernikahan kami?" To the point Aira bertanya. Tidak ada kesempatan untuk berbasa-basi. Waktu mereka terbatas sebelum Erina sampai di dekat mereka. Lima detik yang sangat berharga."Tidak tahu, Nona. Dia baru kembali beberapa hari yang lalu. Tuan Besar juga menyembunyikan identitas Anda.""Syukurlah. Ja
"Kamu yakin dia suka pakaian seperti ini?" Erina mengerutkan kening, merasa sangsi dengan saran yang diberikan Aira. Selama ini, dia tahu kalau Ken jijik dengan gadis yang memakai pakaian warna-warna mencolok dengan riasan wajah yang tebal. Namun, Aira justru memberikan saran tidak masuk akal."Benar. Kalau Nona tidak percaya, tanyakan saja pada Kosuke. Dia yang lihat sendiri pakaian seperti apa yang dikenakan dan make up tebal nyonya muda Yamazaki." "Jangan mengada-ada. Kenapa aku pikir kamu seperti sengaja menyesatkanku?"Aira segera menggeleng tegas, menyilangkan tangan di depan dada. "Mana mungkin saya berani!"Atensi Aira beralih pada Kosuke."Kosuke, aku tidak berbohong, kan? Kamu memang lihat penampilan istri Ken waktu itu? Lipstiknya merah merona seperti darah." Aira berapi-api membicarakan dirinya sendiri, melirik asisten pribadi suaminya yang seketika membola matanya."Kamu memanggil Ken dan Kosuke dengan nama mereka? Kalian sedekat itu?" Erina gagal fokus, mengerutkan kenin
"Kenapa aku harus menjawab?" tanya Kaori, menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Erina. "Kamu bukan pasienku. Dan lagi, pertanyaanmu tidak tergolong konsultasi kesehatan. Buang-buang waktu saja. Keluar sana."Kaori menunjuk pintu keluar, meminta gadis dengan parfum menyengat ini untuk menghilang dari pandangannya. Namun bukan Erina namanya kalau tidak keras kepala."Aku juga membayarmu, sama seperti pasien yang lain. Kamu harus menjawab pertanyaanku.""Gila!" Kaori melepas kacamata dan meletakkannya di meja. "Aku bukan konsultan cinta. Bagaimana mungkin aku bisa memberikan saran untukmu? Kalau Ken menolak kehadiranmu, ya sudah biarkan saja. Jangan mengganggunya. Dia sudah bahagia dengan istrinya!""Tidak mungkin!" Erina masih tidak percaya. "Kami sudah berjanji akan menikah. Dia tidak mungkin mencari wanita lain.""Kenapa tidak mungkin? Dia bisa mendapatkan wanitanya mana pun yang dia inginkan. Dan asal ku tahu saja, istri Ken berbeda jauh denganmu. Sebaiknya kamu tidak perlu mencar
"Kita sudah sampai, Nona." Suara supir taksi menyadarkan Aira dari lamunan panjang yang mengambil atensinya.Wanita itu segera keluar dan melangkahkan kakinya menuju rumah. Halaman dengan deretan bonsai tertata rapi kini dilewatinya dengan langkah berat."Ayah, haruskah aku jujur padamu?" Aira menatap paving blok di bawah kaki. Pijakannya teratur, berbanding terbalik dengan perasaannya yang bercampur-campur.Meski raganya tampak tenang, tapi berbagai kekhawatiran jelas menghantui. Apa yang dia lakukan tidak membuatnya bahagia. Bahkan, ada rasa hampa di hatinya.Sejak siuman di rumah sakit, dia belum melihat Hiro sekali pun. Pria itu benar-benar menghilang, tidak meninggalkan jejak sama sekali. Bahkan dia juga tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."Mungkin aku harus bertanya pada Ken."Langkah Aira terasa sedikit lebih mantap setelah membuat keputusan itu. Dia segera masuk ke dalam rumah, meninggalkan sepatunya di rak depan."Tadaima ....""Okaeri," jawab Asami dari dapur yang bersi
"Berhenti mengucapkan omong kosong." Aira membuang pandangan, menatap taman belakang berbentuk persegi di hadapannya. Beberapa bunga tertata rapi, terawat, dan indah. "Sejak awal, pernikahan kita tidak pernah nyata. Kamu yang paling tahu di sini, keberadaanku hanya sebagai properti. Aku juga tahu diri, tidak seharusnya mengharapkan sebuah ikatan yang lebih. Kita hanya dua orang asing yang beberapa waktu ke depan akan berpisah." Aira memasang wajah datar, mengenyahkan semua perasaan yang ada.Ken menatap wajah Aira dari samping, merasa bersalah karena membuat wanita itu jadi tak berperasaan."Kalau saja aku jujur sejak awal, dia tidak akan bersikap sedingin ini padaku," gumam Ken dalam hati."Apa kamu tahu?" Aira melirik Ken sekilas sebelum menengadahkan kepala, menatap langit biru di atas sana. "Dulu mimpiku amat sederhana, bisa menikah dengan pria biasa, seperti ibu yang menikahi ayah. Mereka bahagia, meski tidak bergelimang harta. Di tahun ke dua, kami sudah memiliki buah hati yang
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua