Malam pengantin
Alvaro mencoba menepis hasratnya mencoba membuyarkan khayalannya, namun pemikiran gilanya berkata lain.Lelaki itu membayangkan bagaimana jika saat ini, dirinya langsung datang mendekat pada Bunga dan menghampiri tubuhnya, memeluk wanita itu dari belakang dengan erat serta memberikan beberapa kecupan ringan.Ia mengecup di area bahu dan lehernya, mungkin dengan meninggalkan beberapa kissmark sebagai bentuk tanda kepemilikan.Lalu kecupannya menjalar ke atas kebagian cuping telinganya bermain-main di daerah itu untuk meninggalkan rasa geli membangkitkan hasrat kewanitaannya.Alvaro membalikkan tubuh Bunga memberi kecupan di seluruh wajahnya, tangan Bunga refleks melingkar di leher Alvaro.Alvaro begitu bersemangat kala mendapat respon dari Bunga, ia lantas mencium bibir ranum Gadis itu yang sedari tadi sudah menggodanya.Lelaki itu melumat dalam bibir ranum Bunga membelit lidahnya semakin dalam dan panas. Tangannya tak tinggal diam , mulai menjalar melepas handuk putih yang di kenakan Bunga.Tangannya menjalar ke perut mulus Bunga dan mengusapnya dengan lembut, lalu naik ke atas menuju dua buah gundukan kembar Bunga yang begitu kenyal, padat dan berisi.‘Agrrr ... Shit!!! Bagaimana mungkin aku membayangkan sejauh itu dengannya? Aku harus segera keluar dari kamar ini, sebelum aku benar-benar menyerangnya, karena aku tahu kemungkinan dia belum siap untuk melayaniku dan melakukan kewajibannya, sebagai seorang istri kepadaku.’Bunga sedang menunggu Alvaro saat ini di kamar itu. Entah sudah berapa lama ia menunggu, tapi Alvaro tak kunjung kembali juga.Membuat Bunga merasa khawatir cemas sekaligus lega, khawatir dan cemas jika lelaki itu benar-benar marah padanya, dan lega karena ia sedikit terbebas dari kewajibannya sebagai seorang istri, walaupun ia lolos hanya untuk malam ini saja.“Apakah mungkin dia marah gara-gara kejadian di kamar mandi tadi? Aku sungguh tak sengaja berkata keras padanya.”Bunga yang masih menunggu akhirnya memutuskan untuk tidur terlebih dahulu, ia sungguh sudah sangat lelah seharian ini, akibat proses pernikahan mendadak yang tentunya menguras tenaga.Hampir pukul 03.00 dini hari, Alvaro kembali ke kamarnya. Ia melihat Bunga sudah tertidur dengan lelap, ia pun tidak terlalu mengharapkan Bunga akan menunggu ia kembali kekamarnya.Perlahan Alvaro membenarkan posisi tidur Bunga, ia menaikkan selimut untuk dikenakan oleh wanita tersebut.Selimut itu ia tarik sampai ke dagu Bunga, membungkus seluruh tubuhnya, sebelum ia tidur di samping wanita itu.Alvaro sengaja melakukan itu agar ia tak melakukan hal lebih pada wanita itu sebelum i benar-benar menerima pernikahan mereka.Mengistirahatkan sejenak tubuhnya sebelum besok pagi, ia bersiap untuk membawa Bunga pulang kerumahnya, ia pun tak bisa meninggalkan rapat yang akan di lakukannya besok.‘Aku tahu kamu belum menerima pernikahan ini, tapi semoga saja kamu segera dapat menerima kenyataan ini, aku tak ingin Kakek ku kecewa, semoga pilihannya kali ini benar, aku pun akan berusaha sebaik mungkin untuk jadi suamimu.’Alvaro mengucapkan doa sebelum ia tertidur lelap di samping Bunga.Pagi hari Bunga bangun dari tidurnya, ia sedikit terkejut melihat seorang laki-laki tidur di sampingnya, untung saja dia tak berteriak, dan langsung mengingat bahwa mereka telah menikah kemarin.Bunga lantas bangun dari tempat tidur, berdiri lalu melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi, tak lupa ia mengunci pintu kamar mandi.Gadis itu tak ingin hal kemarin terulang kembali, ia pun segera bergegas mandi dan membersihkan dirinya.Alvaro membuka matanya saat Bunga sudah berada di kamar mandi, ia lantas tersenyum tipis melihat tingkah istrinya.Sebenarnya dia sudah bangun saat Bunga terbangun dan mulai bergerak dari tempat tidur, ia tipe lelaki yang sensitif akan gerakan, sekecil apapun gerakan yang di lakukan gadis itu, ia akan langsung terbangun, sekalipun ia tertidur lelap.Bunga sudah selesai dan ia keluar dari kamar mandi, Alvaro kembali berpura-pura tidur memejamkan kedua matanya.Bunga melirik ke arah ranjang, ia melihat suaminya masih terlelap dalam tidurnya, ia bingung haruskah dia membangunkan suaminya atau dia biarkan saja.‘aku harus apa, bagaimana aku membangunkannya, tapi jika aku tidak membangunkannya ini sudah terlalu siang pasti semua keluarga sudah menunggu di bawah untuk sarapan.’Sedangkan Alvaro ia sengaja tak bangun, lelaki itu ingin melihat sejauh mana tindakan wanita itu, dengan ragu Bunga mendekat kearah Alvaro, melihat wajah polos lelaki itu saat terlelap.‘tampan.’ Satu kata itu berhasil lolos dari bibir mungilnya.Alvaro mendengar itu, ia ingin tertawa namun ditahannya, lelaki itu merasa senang karena Bunga diam-diam memperhatikannya.“Hey ... Bangun! Ini sudah siang,” ucap Bunga namun tak sadar respon dari lelaki itu, ia kesal sudah berkali-kali membangunkannya tak juga lelaki itu bangun.Bunga memberanikan diri untuk memegang pergelangan tangan Alvaro lalu menggoyang-goyangkan lengannya mencoba membangunkan kembali lelaki itu.Alvaro pura-pura membuka matanya, mengucek kedua matanya dan menguap.“Sudah jam berapa ini?” tanya lelaki itu sambil melihat ke arah Bunga.“Jam 8 pagi,” jawab gadis itu sambil menundukkan kepalanya, ia tak ingin menatap wajah Alvaro.Alvaro lalu bangun dan beranjak dari tempat tidur berjalan ke arah kamar mandi, ia segera membersihkan diri, sedangkan Bunga, menyiapkan pakaian untuk suaminya itu.Tak lama kemudian Alvaro keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang melilit di bagian pinggang dengan mengusap rambut basahnya menggunakan handuk kecil.Bunga sempat terpesona melihat pemandangan di depan matanya, tubuh sixpack, dengan perut bak roti sobek, begitu menggoda, lelaki itu berjalan mendekat ke arah Bunga.Bunga mulai gugup saat Alvaro sudah berada di dekatnya, ia lantas menundukkan kepalanya, Alvaro gemas sekali melihat tingkah Bunga, ia pun tersenyum.Bunga lantas berdiri mencoba menjaga jarak dari Alvaro, ia seolah tak ingin berdekatan dengan lelaki itu.Alvaro yang tau itu, hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar, ia sendiri tak tahu harus mulai dari mana, ia tak begitu mahir dalam mendekatkan diri pada perempuan.Biasanya dia yang selalu di kejar-kejar, ia tak perlu mendekatkan diri, tapi perempuanlah yang mendekat padanya karena ketampanannya yang mampu meluluhkan hati setiap wanita, namun berbeda dengan Bunga.Alvaro tahu betul, Bunga terpaksa, sebuah pernikahan yang mulai atas dasar perjodohan, akan lebih banyak dilakukan dengan keterpaksaan.Cerita perjodohan ini memang sungguh sangat tidak masuk akal, Alvaro bahkan tidak menolak saat sang Kakek memintanya menikah dengan cucu sahabatnya.Begitu juga Bunga, ia juga sadar gadis itu terpaksa menerima perjodohan ini mungkin karena ancamannya, karena Bunga tipe anak yang berbakti pada kedua orang tuanya. Ia akan menurut saja dan tak ingin orang tuanya kesusahan.Mungkin egois cara yang ia lakukan, namun Alvaro tak mau mengecewakan sang kakek, tak jauh beda dengan Bunga, Alvaro begitu menyayangi sang kakek, dan berusaha memberikan yang terbaik untuk Kakeknya.Mereka berdua melangkah keluar kamar, menuju ke restoran hotel yang ada di bawah, untuk sarapan, keluarga mereka pasti sudah menunggu dari tadi.Benar saja sesampainya di bawah seluruh keluarga besarnya sudah selesai sarapan pagi.“Maaf Pah, Mah, kami terlambat,” ucap Alvaro seraya menarik kursi, lalu duduk ikut bergabung bersama yang lainnya, di ikuti oleh Bunga disampingnya.“Tidak apa-apa Nak, kami maklum karena kalian pengantin baru, pasti bangunnya akan kesiangan,” ujar Joana melirik ke arah anaknya menggoda Bunga.Bunga tertunduk malu semburat merah muncul di wajahnya, sedang Alvaro hanya tersenyum menanggapi ucapan sang Ibu mertua.Alvaro dan Bunga pun mulai memakan makanan mereka, setelah selesai makan mereka mengobrol bersama.Alvaro meminta izin membawa Bunga untuk pulang ke mansionnya, kedua orang tua Bunga pun memberikan izin padanya walaupun mereka begitu berat melepas Putri semata wayang mereka.Mereka sadar bahwa kelak mereka akan kehilangan Bunga, dan melepas Bunga agar hidup bahagia bersama lelaki yang ia sayangi.Bram meminta agar Bunga dibawa pulang ke kediaman Moonstone, namun Alvaro beralasan ingin mandiri
Sore hari tiba, Bunga masih tidur dengan lelapnya, Alvaro tengah bersiap ia baru saja selesai mandi, di lihatnya gadis itu masih tidur.Alvaro mulai mendekati istrinya memperhatikan wajahnya entah kenapa dia lebih senang jika melihat wajah istrinya sedang tertidur seperti ini.Sedikit ada pergerakan dari Bunga sepertinya ia akan segera bangun, Alvaro lantas berdiri dan mulai menjauh dari ranjang, lelaki itu berpura-pura membenarkan kancing kemejanya.Bunga membuka matanya, kemudian melihat suaminya telah rapi di depan meja rias, gadis itu melihat jam di atas nakas sudah jam 05.00 sore.‘Kenapa aku bisa tidur sepulas ini,’ ucapnya dalam hati.“Cepatlah bangun dan bersiap kita akan turun, apa kau hanya ingin di dalam kamar saja tidak berniat untuk pergi keluar?” Alvaro memasang kancing di lengan bajunya sambil melihat ke arah Bunga yang sedang melamun.Lagi-lagi gadis itu mengabaikan Alvaro ia tak menjawab dan langsung sa
Buru-buru ia menepis pikiran kotornya, belum saatnya ia melakukan itu terhadap Bunga. Ia tak ingin memaksakan kehendaknya, ia akan bersabar menunggu sampai Bunga mau menerimanya.“Maaf, aku tidak tahu kalau kamu selesai mandi,” ucapnya seraya berlalu pergi dan kembali menutup pintu kamarnya.Bunga tertegun, ia tersadar dari lamunannya dia begitu malu saat Alvaro melihat keadaannya yang seperti itu, ia buru-buru memakai baju dan turun kebawah.Alvaro sedang berada di ruang tamu, ia menunggu Bunga, wanita itu pun duduk di sofa sebelah Alvaro.“Aku akan keluar sebentar untuk meeting, kamu tidak apa-apa jika aku tinggal keluar sebentar? Aku tidak akan lama, hanya dua jam saja,” ucap lelaki itu berpamitan sekaligus menjelaskan pada Bunga.Bunga menatap heran ke arahnya, ‘meeting tapi pakai baju santai seperti itu?’ ucapnya dalam hati.Namun ia tak mengutarakannya langsung didepan Alvaro, ia hanya bisa bergumam saja dalam hatinya.Alvaro yang tak mendapat sautan dari Bunga lantas melangkahk
“Kalo gitu aku siapin air panas untukmu ya? Jadi setelah mandi nanti kita bisa langsung makan,” ucap Bunga dia hendak beranjak meninggalkan ruang makan.Baru saja ia melangkah Alvaro mulai berkata, “Jika berbicara padaku lihat kearahku, jangan kau berbicara namun pandanganmu ketempat lain, belajarlah menghargaiku, aku ini suamimu.” Ungkap Alvaro begitu dingin, ia kesal karena Bunga terus terusan berusaha menghindar terlebih lagi saat berbicara padanya gadis itu enggan melihat ke arahnya.Setelah berbicara seperti itu Alvaro langsung meninggalkan Bunga sendirian di ruang makan, Bunga menyesali perbuatannya tak seharusnya ia mengabaikan lelaki itu, biar bagaimanapun Alvaro adalah suaminya,Namun egonya sebagai wanita begitu tinggi, “Kenapa dia harus marah seperti itu, aku sudah memasakkan makanan untuknya, iss ... menyebalkan sekali, sudah ku bilang aku butuh waktu,” gumam wanita itu, ia langsung berjalan menuju kamarnya menyusul Alvaro.Saat memasu
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan kopi itu. Rasanya masih sama seperti kopi buatan Leo biasanya. Hanya saja rasanya sangat berbeda dengan buatan Bunga tadi pagi. Kopinya tetap sama tapi bagaimana bisa rasanya begitu berbeda? Takaran apa yang digunakan oleh Bunga, kenapa kopi buatannya bisa seenak itu?Pagi ini Bunga dibuat kecewa Alvaro tidak mau memakan masakannya pagi ini, padahal dia sudah terlanjur membuat dua porsi. Karena tidak mau membuang-buang makanan, maka dia pun membawa makanan itu untuk dia makan di kantor siang ini, lagi pula di kantornya juga ada microwave, dia bisa memanaskan bekal makanannya nanti.Bukan tanpa sebab Alvaro tak memakan makanan istrinya, ia ada meeting penting pagi ini, dirinya tak sempat untuk sarapan.Karena ketika pindahan kemarin Bunga tidak membawa mobil dari rumahnya, maka terpaksa hari ini dia menggunakan busway untuk pergi ke kantor. Sebenarnya tidak buruk juga, dia suka menggunakan angkutan umum. Apalagi apartem
Acara makan siang bersama para karyawan di divisi yang sama selalu terasa menyenangkan. Aditia selalu berusaha mencarikan suasana. Selepas makan siang mereka semua kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa.Manajemen organisasi pada kantor Moonstone Group memang cukup baik. Lingkungan kerja yang mendukung membuat semua karyawan selalu bersemangat ketika bekerja. Kecuali Bunga dan perasaannya hari ini.“Ada apa?” tanya Nabila ketika melihat mendung menggantung di wajah Bunga.“Hanya merasa sedikit sedih,” jawab Bunga. Dia menarik nafas panjang memundurkan kursi kerjanya.“Sedih? Kenapa lagi? Tadi galau, lalu kesal, sekarang sedih,” seloroh Nabila. Dia memang sengaja membuat reaksi yang lucu. Tidak ingin kesedihan di hati sahabatnya itu bertambah.Bunga hanya menggelengkan kepalanya. Kata-katanya tertahan. Bunga tidak mungkin mengatakan pada Nabila kalau dia sudah menikah. Dia tidak ingin mengatakan itu pada Nabila, setidaknya bukan sekarang.“Tidak apa-apa,” sahut Bunga mencoba menga
Sebenarnya Alvaro merasa gemas melihat Bunga yang masih berdiri dengan wajah geram atas jawaban Alvaro. Bibir Bunga yang dimajukan justru membuat pipinya menjadi chubby sehingga dia tampak semakin manis.“Bunga, sapa suamimu dulu. Cium tangannya dulu, duduk dulu, baru kemudian menyapa,” tegur Satria. Satria memang selalu mengajarkan kesopanan kepada Bunga sejak dulu. Apalagi terhadap suami, tentu Bunga harus bersikap hormat.Tanpa membantah, Bunga segera melakukan semua yang dikatakan ayahnya itu. Dia menyalami Alvaro dan menaruh di depan hidungnya.“Ini, Mama bawakan satu cangkir teh lagi untukmu,” kata Joana sambil memberikan secangkir teh hangat pada Bunga. Alvaro hanya tersenyum menyaksikan semua itu.Kedatangan Alvaro sebenarnya tidak bertujuan buruk, apalagi mengancam seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Alvaro hanya ingin melakukan penyesuaian diri dengan keluarga Bunga yang sudah resmi menjadi istrinya.Alvaro paham kalau dulu, ketika meminga Bunga menikah dengannya, mu
Sampai di rumah, Bunga sudah turun lebih dulu di depan pintu utama. Alvaro masih mengendarai mobil itu sampai masuk ke garasi. Alvaro tidak bisa berhenti tersenyum geli karena mengingat perkataan Bunga kalau Tuan Besar di kantor pusat mungkin saja orang tua.Ketika Alvaro turun dari mobil, ternyata Bunga sudah menunggunya, Bunga lupa mengambil tasnya di dalam mobil. Dia menatap pada Alvaro yang masih mengukir senyum di bibir. “Kenapa kamu masih tersenyum?” tanya Bunga dengan kening berkerut. Heran melihat Alvaro yang tampak terlalu girang.“Ah? Tidak, tidak apa-apa,” jawab Alvaro. Dia berusaha mengatur mimik wajahnya. Bunga meminta Alvaro untuk mengambilkan tasnya yang tertinggal. Lelaki itu tentu saja melakukannya dengan senang.“Aku akan mandi dulu,” ujar Bunga lirih. Alvaro mengangguk, dia masuk ke kamar bersama Bunga. Di kamar, Alvaro langsung membuka seluruh bajunya. Tidak ada ragu sedikitpun di dalam sikap Alvaro. Sebaliknya, Bunga selalu panik setiap kali Alvaro bersikap sepert
Bunga berjalan keluarrumah mengikuti Alvaro. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang. Bunga melihatAlvaro seolah kurang menyukai idenya untuk membawa Sarah ke rumah mereka.“Apa kali ini kaubersedia naik mobilku saja? Aku ingin bicara,” ujar Alvaro ketika mereka sampaidi depan rumah. Bunga lekas menganggukkan kepalanya. Kekhawatiran merasukipikiran Bunga. Tak mungkin lagi Bunga menolak keinginan Alvaro.Alvaro membuka pintumobilnya, dia menanti Bunga masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alvaro bergegasmasuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesinnya. Bunga melihat ketegangandi wajah suaminya. Dia merasa takut sekali.“Sayang, apa akusalah?” tanya Bunga memberanikan diri bertanya pada Alvaro. Mobil yangdikemudikan Alvaro baru saja keluar dari gerbang mansion.Alvaro menarik nafaspanjang begitu Bunga mengajukan pertanyaan. “Aku tidak mengerti, Sayang. Tapi,bagaimana mungkin kau memutuskan mengajak Ibu tinggal bersama kita dalamsekejap mata? Kau bahkan tidak membicarakannya denganku
Bunga mengajak Alvaro ke ruang keluarga. Dia sedikit tidak nyaman membicarakan itu di depan pelayan mereka. “Tidak apa, Sayang. Coba kita lihat nanti. Mereka akan memberikan detail biaya untuk pembayarannya kan?” ujar Bunga.Bunga mencoba membesarkan hati Alvaro. Dia tak mau Alvaro banyak berpikir mengenai biaya perawatan Sarah. Alvaro duduk di sofa bersama Bunga. Dia tahu kalau di antara ego yang dimiliki Bunga pada soal pekerjaan, namun di sisi lain Bunga selalu memiliki toleransi yang besar, terutama kepada keluarga Alvaro.“Kalau begitu, besok kita sekalian menjemput Ibu saat makan siang,” ujar Alvaro. Bunga mengangguk, sebenarnya ini kesempatan bagi Bunga untuk mengatakan tentang pengumuman pernikahan mereka. Namun, Bunga merasa ini saat yang kurang tepat. Alvaro sedang berpikir keras mengenai Sarah.‘Sepertinya lebih baik menunggu saat yang lebih tepat. Apa lagi nanti yang akan dikatakan Al kalau aku tiba-tiba Bunga meminta pengumuman pernikahan?’ Sebagai CEO, Alvaro tentu tak b
Sudah beberapa hari Alvaro membisu. Perlahan kekesalannya pada Bunga sedikit berkurang. Namun tetap saja, sekarang Alvaro memilih untuk tidak banyak berbicara di kantor kepada Bunga. Dia tak pernah mendatangi ruang kantor Bunga kalau sedang tidak benar-benar ada perlunya. Alvaro juga tak pernah lagi berbicara bahkan mencoba menyapa Bunga ketika berada di area parkir.Setiap pagi, Alvaro pergi lebih awal untuk membesuk Sarah. Sore harinya, Alvaro juga mampir ke rumah sakit terlebih dulu sebelum pulang. Dia membebaskan Bunga, Bunga bisa ikut ke rumah sakit sepulang kerja ataupun pagi. Tentu saja dengan mobil yang berbeda. Alvaro tak pernah bertanya ataupun komplain kepada Bunga mengenai pergi dan pulang dari kantor pada mobil yang berbeda lagi. Selebihnya? Sikap Alvaro sudah mulai kembali lembut pada Bunga ketika berada di rumah.“Sayang, apa kau masih marah padaku?” tanya Bunga seusai makan malam. Mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, memandang televisi namun sebenarnya mereka
Tok! Tok! Tok!Bunga terkejut mendengar ketukan. Di pintu ruangan kantornya. Bunga secepatnya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia tidak tahu siapa yang ada di depan pintunya.Sebelum Bunga berkata ‘masuk’ pintu sudah membuka. Alvaro muncul di pintu membawa kotak makanan yang tadi dibelikan Bunga. “Boleh menumpang makan?” tanya Alvaro. Bunga hanya bisa mengangguk pasrah.Alvaro masuk ke dalam ruangan Bunga. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat mata Bunga yang tampak sembab. “Kenapa, Sayang?” tanya Alvaro tidak tega dengan sang istri yang tampak bersedih.“Kenapa kau makan disini? Itu hanya akan memperparah keadaan,” ujar Bunga. Alvaro duduk di sofa dan menaruh makanannya di meja.“Apa kau mau aku makan bersama Flora di ruanganku sementara mau disini? Ada Leo yang sedang menemaninya makan sekarang.” Alvaro berjalan ke depan meja Bunga. Sekali lagi memperhatikan dengan cermat wajah cantik Bunga yang tampak begitu bersedih.“Apa yang terjadi padamu, Sayang?” tanya Alvaro.
Gosip beredarBunga terperangah, rasa hatinya ingin sekali keluar dari mobil dan berlari mengejar mobil Alvaro. Bunga melihat mobil Alvaro keluar menuju pintu gerbang rumah sakit. Sekarang Bunga menjadi salah tingkah. Apakah dia harus keluar dan tetap membesuk Sarah, atau Bunga harus pergi ke kantor saja dan menenangkan diri?Rasanya tak mungkin Bunga mengejar mobil Alvaro. Itu hanya akan membuatnya malu. “Kemana dia bersama gadis itu?” desah Bunga. Sekali lagi Bunga merasa sangat membutuhkan Nabila.Bunga melirik ke jam yang ada di dashboard mobil. Perasaannya terasa hampa, benar-benar hampa. “Mungkin Nabila sedang di jalan, aku tidak mau mengganggunya,” gumam Bunga sekali lagi.Bunga kemudian memutuskan untuk langsung pergi menuju kantor. Dia tidak jadi membesuk Sarah. Bunga tidak ingin Sarah bertanya macam-macam kepadanya nanti kalau tahu dia datang sendiri tanpa Alvaro.Sampai di tempat parkir di kantor, Bunga kembali melihat jam. Jam kerja belum dimulai, dia masih datang terlalu
Nasehat SahabatAlvaro membelakangi Bunga, dia mematikan lampu duduk di atas nakas. Bunga tahu kalau tak ada kesempatan baginya. Di sisi lain, Bunga merasa dirinya ditolak oleh Alvaro. “Sayang kenapa sih?” ujar Bunga. Dia merasa tak nyaman pada penolakan Alvaro. Bunga merasa malu.“Tidak malam ini, Sayang. Itu bukan hal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kau harus mengerti itu. Tidurlah, selamat malam.”Bunga mencelos, dia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Alvaro kembali seperti biasanya. Lama sekali Bunga terbaring dalam diam di samping Alvaro yang membelakanginya. Sesekali dia masih melihat punggung Alvaro. Berjuta perasaan berkecamuk di dalam pikiran Bunga. Perasaan malu, tak nyaman, sedih, juga kesal karena Alvaro tak mau lagi memahami perasaannya.Pagi harinya, Alvaro pun bangun lebih dulu. Dia bersiap dengan pakaian kantor. Ketika Bunga membuka mata, Alvaro sudah rapi. Bunga sampai terkejut, menyangka dia sedang kesiangan. “Oh, jam berapa ini?”“Mas
Setelah Bunga dan Alvaro keluar dari ruangan itu, Sarah dan Alexa bersuka ria. Sarah langsung menarik selang oksigen itu dari hidungnya. “Aku bebas sekarang. Aku senang sekali. Gio memang pintar mengatur strategi. Aku yakin kita akan memenangkan hati Alvaro ,” ujar Sarah.“Apa yang aku bilang, Bu. Gio memang tahu segalanya. Dia cerdas untuk mengurus semua ini.” Alexa ikut bangga karena dialah yang sudah mengenalkan Gio pada Sarah.“Sekarang kita harus menjalankan peran ini sebaik mungkin, Bu. Harus berhasil sampai Ibu bisa dibawa Alvaro ke rumahnya,” lanjut Alexa. Dia membuka semua paper bag yang dibawanya tadi. Sebenarnya bukan hanya buah yang ada di dalamnya, namun juga makanan dan minuman kesukaan Sarah. Alexa tahu kalau Sarah tak akan betah dengan treatment dari rumah sakit itu.Suka ria yang dirasakan oleh Sarah dan Alexa berbeda jauh dengan yang dialami oleh Alvaro dan Bunga di dalam mobil menuju tempat tinggal mereka. Alvaro masih sedih atas sikap Bunga. Walaupun dia senang
Bunga terpaksa diam, dia tak bisa menjawab apapun lagi. Bahkan sampai di rumah sakit, Bunga masih juga terdiam. Alvaro pun tidak mencoba mengajaknya berbicara lagi. Ketika turun dari mobil, Alvaro segera membukakan pintu untuk Bunga. Dia kemudian berjalan setelah Bunga keluar dari mobil.Bunga terpaksa mengikuti Alvaro saja, mencari kamar tempat perawatan Sarah. Di hati Bunga, dia masih saja ketakutan kalau sakit Sarah akan bertambah parah karena kesal melihatnya.“Sayang, apa aku menunggu di luar saja?” tanya Bunga. Alvaro langsung berhenti berjalan. Dia memandang pada Bunga.“Kenapa selalu mendampingiku setengah hati, Bunga?” tanya Alvaro . Wajah Alvaro memelas, dia merasa sepanjang pernikahan terlalu banyak memohon pada Bunga. Sementara Bunga, di mana Alvaro tak pernah mengerti perasaannya.Bunga menganga, dia tahu Alvaro salah paham. Baru saja Bunga hendak membuka mulutnya, namun Alvaro lagi-lagi berbicara lebih dulu. “Sudahlah. Tidak apa, terserah padamu saja,” ujarnya.A
Di depan ruang kantor Alvaro, Leo masih duduk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Vanessa sudah bersiap untuk kembali pulang. Jam kerja memang sudah usai.“Aku mau menemui Pak Alvaro,” ujar Bunga pada Leo dan Vanessa. Vanessa hanya meliriknya sinis, tak peduli pada apa yang dikatakan Bunga. Baginya, jam kerja sudah selesai. Dia tak ada alasan lagi untuk menambah waktu kerja walaupun hanya sedetik. Apalagi hanya karena Bunga.“Silahkan masuk saja, Bunga.” Leo langsung saja mempersilahkan Bunga. Dia sudah tahu kalau Bunga ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius dengan Alvaro. Itu semua terlihat dari wajah Bunga yang tampak sedikit tegang.Bunga langsung mengetuk pintu Alvaro, setelah hitungan ketiga, dia membukanya dan masuk. Vanessa melirik ke arah Bunga, masih dengan tatapan sinisnya. Leo yang berada di belakang layar komputer memperhatikan gerak laku Vanessa. Dalam hati, Leo tahu kalau Vanessa tidak menyukai Bunga. Tapi dia tak akan bertanya apa-apa. Leo akan mengamatinya