Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan kopi itu. Rasanya masih sama seperti kopi buatan Leo biasanya. Hanya saja rasanya sangat berbeda dengan buatan Bunga tadi pagi. Kopinya tetap sama tapi bagaimana bisa rasanya begitu berbeda? Takaran apa yang digunakan oleh Bunga, kenapa kopi buatannya bisa seenak itu?
Pagi ini Bunga dibuat kecewa Alvaro tidak mau memakan masakannya pagi ini, padahal dia sudah terlanjur membuat dua porsi. Karena tidak mau membuang-buang makanan, maka dia pun membawa makanan itu untuk dia makan di kantor siang ini, lagi pula di kantornya juga ada microwave, dia bisa memanaskan bekal makanannya nanti.Bukan tanpa sebab Alvaro tak memakan makanan istrinya, ia ada meeting penting pagi ini, dirinya tak sempat untuk sarapan.Karena ketika pindahan kemarin Bunga tidak membawa mobil dari rumahnya, maka terpaksa hari ini dia menggunakan busway untuk pergi ke kantor. Sebenarnya tidak buruk juga, dia suka menggunakan angkutan umum. Apalagi apartemAcara makan siang bersama para karyawan di divisi yang sama selalu terasa menyenangkan. Aditia selalu berusaha mencarikan suasana. Selepas makan siang mereka semua kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa.Manajemen organisasi pada kantor Moonstone Group memang cukup baik. Lingkungan kerja yang mendukung membuat semua karyawan selalu bersemangat ketika bekerja. Kecuali Bunga dan perasaannya hari ini.“Ada apa?” tanya Nabila ketika melihat mendung menggantung di wajah Bunga.“Hanya merasa sedikit sedih,” jawab Bunga. Dia menarik nafas panjang memundurkan kursi kerjanya.“Sedih? Kenapa lagi? Tadi galau, lalu kesal, sekarang sedih,” seloroh Nabila. Dia memang sengaja membuat reaksi yang lucu. Tidak ingin kesedihan di hati sahabatnya itu bertambah.Bunga hanya menggelengkan kepalanya. Kata-katanya tertahan. Bunga tidak mungkin mengatakan pada Nabila kalau dia sudah menikah. Dia tidak ingin mengatakan itu pada Nabila, setidaknya bukan sekarang.“Tidak apa-apa,” sahut Bunga mencoba menga
Sebenarnya Alvaro merasa gemas melihat Bunga yang masih berdiri dengan wajah geram atas jawaban Alvaro. Bibir Bunga yang dimajukan justru membuat pipinya menjadi chubby sehingga dia tampak semakin manis.“Bunga, sapa suamimu dulu. Cium tangannya dulu, duduk dulu, baru kemudian menyapa,” tegur Satria. Satria memang selalu mengajarkan kesopanan kepada Bunga sejak dulu. Apalagi terhadap suami, tentu Bunga harus bersikap hormat.Tanpa membantah, Bunga segera melakukan semua yang dikatakan ayahnya itu. Dia menyalami Alvaro dan menaruh di depan hidungnya.“Ini, Mama bawakan satu cangkir teh lagi untukmu,” kata Joana sambil memberikan secangkir teh hangat pada Bunga. Alvaro hanya tersenyum menyaksikan semua itu.Kedatangan Alvaro sebenarnya tidak bertujuan buruk, apalagi mengancam seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Alvaro hanya ingin melakukan penyesuaian diri dengan keluarga Bunga yang sudah resmi menjadi istrinya.Alvaro paham kalau dulu, ketika meminga Bunga menikah dengannya, mu
Sampai di rumah, Bunga sudah turun lebih dulu di depan pintu utama. Alvaro masih mengendarai mobil itu sampai masuk ke garasi. Alvaro tidak bisa berhenti tersenyum geli karena mengingat perkataan Bunga kalau Tuan Besar di kantor pusat mungkin saja orang tua.Ketika Alvaro turun dari mobil, ternyata Bunga sudah menunggunya, Bunga lupa mengambil tasnya di dalam mobil. Dia menatap pada Alvaro yang masih mengukir senyum di bibir. “Kenapa kamu masih tersenyum?” tanya Bunga dengan kening berkerut. Heran melihat Alvaro yang tampak terlalu girang.“Ah? Tidak, tidak apa-apa,” jawab Alvaro. Dia berusaha mengatur mimik wajahnya. Bunga meminta Alvaro untuk mengambilkan tasnya yang tertinggal. Lelaki itu tentu saja melakukannya dengan senang.“Aku akan mandi dulu,” ujar Bunga lirih. Alvaro mengangguk, dia masuk ke kamar bersama Bunga. Di kamar, Alvaro langsung membuka seluruh bajunya. Tidak ada ragu sedikitpun di dalam sikap Alvaro. Sebaliknya, Bunga selalu panik setiap kali Alvaro bersikap sepert
Membuka mata di pagi hari membuat Bunga bingung. Dia sudah berada di kamar. Bunga duduk dan menggosok matanya. Terakhir kali, Bunga mengingat kalau dia menonton televisi bersama Alvaro. “Apa aku tadi malam ketiduran?” gumam Bunga pelan.“Benar sekali, Nyonya Al. Tadi malam kau ketiduran,” sahut Alvaro. Bunga hampir terlompat karena terkejut. Alvaro sudah berpakaian rapi. Dia sedang mengenakan jasnya.“Kau membuatku terkejut!” seru Bunga. Alvaro terkekeh pelan. Dia melihat Bunga terlonjak mendengar suaranya tadi. Di mata Alvaro, tentu Bunga terlihat lucu.“Bagaimana aku bisa berada di kamar?” tanya Bunga. Dia masih bingung dengan kejadian lanjutan tadi malam.“Aku menaikkanmu ke atas kuda pacu,” canda Alvaro, menyindir kelakuan Bunga malam tadi. Bunga mengerutkan wajahnya. Kesal dengan candaan Alvaro. Dia berdiri acuh dan langsung berjalan menuju kamar mandi.“Hey, berterimakasih pada kuda pacu yang menggendongmu ke kamar tadi malam!” teriak Alvaro. Dia masih mentertawakan Bunga.“Teri
Mata Bunga terbelalak. “Al?” ujarnya ragu-ragu. Dia segera masuk dan menutup pintu ruang kerja CEO. Ruang kerja dari bos barunya, sepanjang pengetahuan Bunga tadi.“Apa maksudnya semua ini?” tanya Bunga lagi. Dia tak percaya dengan semua yang dilihatnya di depan mata.“Leo, kau bisa tinggalkan kami sekarang,” perintah Alvaro pada Leo. Leo mengukir senyum kecil kemudian menunduk hormat dan berjalan menuju pintu.Bunga hanya bisa memandang semua perilaku Leo terhadap Alvaro , dan Alvaro pada Leo. Jelas sekali kalau Leo memang sudah mengenal Alvaro dengan baik.“Jelaskan padaku, Al,” desak Bunga. Penasarannya tidak bisa ditahan. Ada sedikit perasaan sedang dipermainkan dalam diri Bunga.Alvaro membaca gelagat tak suka dari Bunga. Dia mempersiapkan kata-kata untuk meredakan kekesalan Bunga yang mulai tampak di wajahnya. Wajah manis itu mulai mengerut menatap Alvaro .“Sabar, jangan marah dulu. Aku ingin kau bekerja disini,” ucap Alvaro mengakui. Sejujurnya saja, Alvaro tidak mempers
Bunga sedikit gontai ketika berjalan keluar ruang kerja Alvaro, ruang kerja CEO yang ternyata adalah suaminya sendiri. Dia menjatuhkan tubuh di kursi yang terdapat di depan meja kerjanya. Bunga memandang semua yang ada di meja itu, komputer, alat tulis, juga tas miliknya sendiri.‘Astaga, rasanya benar-benar tidak karuan,’ pikir Bunga. Bunga meraih tas yang masih ada di atas meja kemudian memasukkan ke dalam rak di samping meja kerjanya.Sejak Bunga keluar dari kantor CEO, Leo sudah memperhatikan gerak gerik Bunga. Ketika Bunga duduk, Leo lebih memperhatikan wajahnya. Leo membaca dari raut wajahnya kalau Bunga tampak tidak bersemangat.Bunga baru menyadari kalau Leo sedang menatap pada dirinya. “Jadi kau sudah tahu sejak tadi?” tanya Bunga lirih.Leo tampak segan menjawab pertanyaan itu. Dia merasa sedikit tak nyaman sudah menutupi kenyataan dari Bunga sebelumnya.“Maafkan aku, kau tahu sendiri, bos besar harus di-“KLEK!Pintu ruang CEO terbuka. Alvaro berdiri di depan pintu itu. “Le
“Cepat!” seru Alvaro sekali lagi. Itu sudah untuk yang ketiga kalinya. Dia berdiri di antara meja kerja Leo dan meja kerja Bunga.Pasal dari kekesalannya sekarang adalah salinan dokumen kontrak kerjasama antara perusahaannya dengan perusahaan mitra kerjasama. Bunga meringis, dia belum bisa memahami tugas sekretaris secara keseluruhan. Kalau Alvaro menuntutnya untuk bekerja dengan kecepatan super, maka Bunga pasti kelimpungan.“Biar aku saja yang membantu, kalau kau butuh cepat,” ujar Leo yang mendadak kasihan melihat Bunga yang tampak bekerja dengan tegang.“Apa itu bagian dari tugasmu?” tanya Alvaro dengan wajah dingin pada Leo. Lelaki itu terpaksa kembali surut. Dia hanya kasihan pada Bunga. Kalau urusan bagian tugas, memang yang diminta Alvaro tersebut sekarang sudah menjadi bagian dari pekerjaan Bunga.Bunga hanya melirik pada Alvaro di sela-sela merapikan dan mencetak file yang diminta oleh Alvaro.“Tidak usah melirik, kau bisa bekerja lebih lama kalau melirik seperti itu terus.”
Bunga masih terpaku, duduk di kursi kerjanya. Leo sesekali menatapnya. Perasaannya kasihan pada perempuan itu.Leo tahu persis bagaimana Alvaro ketika dia bekerja. Dia juga tahu kalau Alvaro dingin dan kelihatan angkuh di mata para bawahan, juga karyawannya. Leo mengerti kalau Bunga pasti tak menyangka akan menemui semua itu.Di setengah hari pertama bekerja di kantor baru saja, Bunga sudah berulang kali mendapatkan perintah bernada tinggi. Entah berapa kali dia panik dari tadi pagi.“Hey, ini sudah jam makan siang. Apa kau tidak mau makan siang?” tanya Leo. Dia melihat Bunga yang masih saja sibuk dengan komputer di hadapannya.Bunga mengangkat wajahnya. Mata coklat terangnya yang bulat menatap Leo. “Aku masih mempelajari sistem file yang kau berikan tadi, mencoba memahaminya,” jawab Bunga.“Kau bisa mengerjakan itu nanti, pergilah makan siang lebih dulu,” ulang Leo sekali lagi.Bunga menatap nanar memandang pintu ruang CEO. Suaminya itu masih saja di dalam ruang kerjanya. Sebenarnya
Bunga berjalan keluarrumah mengikuti Alvaro. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang. Bunga melihatAlvaro seolah kurang menyukai idenya untuk membawa Sarah ke rumah mereka.“Apa kali ini kaubersedia naik mobilku saja? Aku ingin bicara,” ujar Alvaro ketika mereka sampaidi depan rumah. Bunga lekas menganggukkan kepalanya. Kekhawatiran merasukipikiran Bunga. Tak mungkin lagi Bunga menolak keinginan Alvaro.Alvaro membuka pintumobilnya, dia menanti Bunga masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alvaro bergegasmasuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesinnya. Bunga melihat ketegangandi wajah suaminya. Dia merasa takut sekali.“Sayang, apa akusalah?” tanya Bunga memberanikan diri bertanya pada Alvaro. Mobil yangdikemudikan Alvaro baru saja keluar dari gerbang mansion.Alvaro menarik nafaspanjang begitu Bunga mengajukan pertanyaan. “Aku tidak mengerti, Sayang. Tapi,bagaimana mungkin kau memutuskan mengajak Ibu tinggal bersama kita dalamsekejap mata? Kau bahkan tidak membicarakannya denganku
Bunga mengajak Alvaro ke ruang keluarga. Dia sedikit tidak nyaman membicarakan itu di depan pelayan mereka. “Tidak apa, Sayang. Coba kita lihat nanti. Mereka akan memberikan detail biaya untuk pembayarannya kan?” ujar Bunga.Bunga mencoba membesarkan hati Alvaro. Dia tak mau Alvaro banyak berpikir mengenai biaya perawatan Sarah. Alvaro duduk di sofa bersama Bunga. Dia tahu kalau di antara ego yang dimiliki Bunga pada soal pekerjaan, namun di sisi lain Bunga selalu memiliki toleransi yang besar, terutama kepada keluarga Alvaro.“Kalau begitu, besok kita sekalian menjemput Ibu saat makan siang,” ujar Alvaro. Bunga mengangguk, sebenarnya ini kesempatan bagi Bunga untuk mengatakan tentang pengumuman pernikahan mereka. Namun, Bunga merasa ini saat yang kurang tepat. Alvaro sedang berpikir keras mengenai Sarah.‘Sepertinya lebih baik menunggu saat yang lebih tepat. Apa lagi nanti yang akan dikatakan Al kalau aku tiba-tiba Bunga meminta pengumuman pernikahan?’ Sebagai CEO, Alvaro tentu tak b
Sudah beberapa hari Alvaro membisu. Perlahan kekesalannya pada Bunga sedikit berkurang. Namun tetap saja, sekarang Alvaro memilih untuk tidak banyak berbicara di kantor kepada Bunga. Dia tak pernah mendatangi ruang kantor Bunga kalau sedang tidak benar-benar ada perlunya. Alvaro juga tak pernah lagi berbicara bahkan mencoba menyapa Bunga ketika berada di area parkir.Setiap pagi, Alvaro pergi lebih awal untuk membesuk Sarah. Sore harinya, Alvaro juga mampir ke rumah sakit terlebih dulu sebelum pulang. Dia membebaskan Bunga, Bunga bisa ikut ke rumah sakit sepulang kerja ataupun pagi. Tentu saja dengan mobil yang berbeda. Alvaro tak pernah bertanya ataupun komplain kepada Bunga mengenai pergi dan pulang dari kantor pada mobil yang berbeda lagi. Selebihnya? Sikap Alvaro sudah mulai kembali lembut pada Bunga ketika berada di rumah.“Sayang, apa kau masih marah padaku?” tanya Bunga seusai makan malam. Mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, memandang televisi namun sebenarnya mereka
Tok! Tok! Tok!Bunga terkejut mendengar ketukan. Di pintu ruangan kantornya. Bunga secepatnya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia tidak tahu siapa yang ada di depan pintunya.Sebelum Bunga berkata ‘masuk’ pintu sudah membuka. Alvaro muncul di pintu membawa kotak makanan yang tadi dibelikan Bunga. “Boleh menumpang makan?” tanya Alvaro. Bunga hanya bisa mengangguk pasrah.Alvaro masuk ke dalam ruangan Bunga. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat mata Bunga yang tampak sembab. “Kenapa, Sayang?” tanya Alvaro tidak tega dengan sang istri yang tampak bersedih.“Kenapa kau makan disini? Itu hanya akan memperparah keadaan,” ujar Bunga. Alvaro duduk di sofa dan menaruh makanannya di meja.“Apa kau mau aku makan bersama Flora di ruanganku sementara mau disini? Ada Leo yang sedang menemaninya makan sekarang.” Alvaro berjalan ke depan meja Bunga. Sekali lagi memperhatikan dengan cermat wajah cantik Bunga yang tampak begitu bersedih.“Apa yang terjadi padamu, Sayang?” tanya Alvaro.
Gosip beredarBunga terperangah, rasa hatinya ingin sekali keluar dari mobil dan berlari mengejar mobil Alvaro. Bunga melihat mobil Alvaro keluar menuju pintu gerbang rumah sakit. Sekarang Bunga menjadi salah tingkah. Apakah dia harus keluar dan tetap membesuk Sarah, atau Bunga harus pergi ke kantor saja dan menenangkan diri?Rasanya tak mungkin Bunga mengejar mobil Alvaro. Itu hanya akan membuatnya malu. “Kemana dia bersama gadis itu?” desah Bunga. Sekali lagi Bunga merasa sangat membutuhkan Nabila.Bunga melirik ke jam yang ada di dashboard mobil. Perasaannya terasa hampa, benar-benar hampa. “Mungkin Nabila sedang di jalan, aku tidak mau mengganggunya,” gumam Bunga sekali lagi.Bunga kemudian memutuskan untuk langsung pergi menuju kantor. Dia tidak jadi membesuk Sarah. Bunga tidak ingin Sarah bertanya macam-macam kepadanya nanti kalau tahu dia datang sendiri tanpa Alvaro.Sampai di tempat parkir di kantor, Bunga kembali melihat jam. Jam kerja belum dimulai, dia masih datang terlalu
Nasehat SahabatAlvaro membelakangi Bunga, dia mematikan lampu duduk di atas nakas. Bunga tahu kalau tak ada kesempatan baginya. Di sisi lain, Bunga merasa dirinya ditolak oleh Alvaro. “Sayang kenapa sih?” ujar Bunga. Dia merasa tak nyaman pada penolakan Alvaro. Bunga merasa malu.“Tidak malam ini, Sayang. Itu bukan hal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kau harus mengerti itu. Tidurlah, selamat malam.”Bunga mencelos, dia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Alvaro kembali seperti biasanya. Lama sekali Bunga terbaring dalam diam di samping Alvaro yang membelakanginya. Sesekali dia masih melihat punggung Alvaro. Berjuta perasaan berkecamuk di dalam pikiran Bunga. Perasaan malu, tak nyaman, sedih, juga kesal karena Alvaro tak mau lagi memahami perasaannya.Pagi harinya, Alvaro pun bangun lebih dulu. Dia bersiap dengan pakaian kantor. Ketika Bunga membuka mata, Alvaro sudah rapi. Bunga sampai terkejut, menyangka dia sedang kesiangan. “Oh, jam berapa ini?”“Mas
Setelah Bunga dan Alvaro keluar dari ruangan itu, Sarah dan Alexa bersuka ria. Sarah langsung menarik selang oksigen itu dari hidungnya. “Aku bebas sekarang. Aku senang sekali. Gio memang pintar mengatur strategi. Aku yakin kita akan memenangkan hati Alvaro ,” ujar Sarah.“Apa yang aku bilang, Bu. Gio memang tahu segalanya. Dia cerdas untuk mengurus semua ini.” Alexa ikut bangga karena dialah yang sudah mengenalkan Gio pada Sarah.“Sekarang kita harus menjalankan peran ini sebaik mungkin, Bu. Harus berhasil sampai Ibu bisa dibawa Alvaro ke rumahnya,” lanjut Alexa. Dia membuka semua paper bag yang dibawanya tadi. Sebenarnya bukan hanya buah yang ada di dalamnya, namun juga makanan dan minuman kesukaan Sarah. Alexa tahu kalau Sarah tak akan betah dengan treatment dari rumah sakit itu.Suka ria yang dirasakan oleh Sarah dan Alexa berbeda jauh dengan yang dialami oleh Alvaro dan Bunga di dalam mobil menuju tempat tinggal mereka. Alvaro masih sedih atas sikap Bunga. Walaupun dia senang
Bunga terpaksa diam, dia tak bisa menjawab apapun lagi. Bahkan sampai di rumah sakit, Bunga masih juga terdiam. Alvaro pun tidak mencoba mengajaknya berbicara lagi. Ketika turun dari mobil, Alvaro segera membukakan pintu untuk Bunga. Dia kemudian berjalan setelah Bunga keluar dari mobil.Bunga terpaksa mengikuti Alvaro saja, mencari kamar tempat perawatan Sarah. Di hati Bunga, dia masih saja ketakutan kalau sakit Sarah akan bertambah parah karena kesal melihatnya.“Sayang, apa aku menunggu di luar saja?” tanya Bunga. Alvaro langsung berhenti berjalan. Dia memandang pada Bunga.“Kenapa selalu mendampingiku setengah hati, Bunga?” tanya Alvaro . Wajah Alvaro memelas, dia merasa sepanjang pernikahan terlalu banyak memohon pada Bunga. Sementara Bunga, di mana Alvaro tak pernah mengerti perasaannya.Bunga menganga, dia tahu Alvaro salah paham. Baru saja Bunga hendak membuka mulutnya, namun Alvaro lagi-lagi berbicara lebih dulu. “Sudahlah. Tidak apa, terserah padamu saja,” ujarnya.A
Di depan ruang kantor Alvaro, Leo masih duduk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Vanessa sudah bersiap untuk kembali pulang. Jam kerja memang sudah usai.“Aku mau menemui Pak Alvaro,” ujar Bunga pada Leo dan Vanessa. Vanessa hanya meliriknya sinis, tak peduli pada apa yang dikatakan Bunga. Baginya, jam kerja sudah selesai. Dia tak ada alasan lagi untuk menambah waktu kerja walaupun hanya sedetik. Apalagi hanya karena Bunga.“Silahkan masuk saja, Bunga.” Leo langsung saja mempersilahkan Bunga. Dia sudah tahu kalau Bunga ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius dengan Alvaro. Itu semua terlihat dari wajah Bunga yang tampak sedikit tegang.Bunga langsung mengetuk pintu Alvaro, setelah hitungan ketiga, dia membukanya dan masuk. Vanessa melirik ke arah Bunga, masih dengan tatapan sinisnya. Leo yang berada di belakang layar komputer memperhatikan gerak laku Vanessa. Dalam hati, Leo tahu kalau Vanessa tidak menyukai Bunga. Tapi dia tak akan bertanya apa-apa. Leo akan mengamatinya