Setelah berbicara serius dengan Johan dan Sintia, Kasih dan Xavier mulai membersihkan diri. Sintia mengizinkan kedua tamunya itu untuk beristirahat di rumahnya."Maaf mengganggu, Mbak. Tapi kami berdua butuh waktu satu minggu sebelum kembali," ucap Kasih merasa tak enak hati. Gadis cantik dengan rambut panjang yang digelung itu terlihat segar setelah selesai mandi. Kini gantian Xavier yang sedang membersihkan diri.Dengan tatapan matanya, Sintia seolah memindai gadis remaja yang berdiri di hadapannya. "Nggak masalah, sih. Asalkan Mas Jo nggak disakiti lagi," sahutnya.Kasih tersenyum. "Tentu saja, Mbak. Bagaimana pun juga Kak Johan kan temannya Xavi."Sintia menaikkan sebelah alisnya. "Tapi masa kamu manggil suami kamu langsung dengan namanya? Sepertinya dia seusia dengan Mas Jo. Apa nggak masalah kalau nanti Tuan Xavier sudah mendapatkan ingatannya kembali dan kamu manggil dia begitu?" tanya gadis itu.Kasih terperangah. Ia setuju dengan ucapan Sintia. "Tapi ... Aku pernah memanggil
Mendengar kabar yang cukup mengejutkan itu, Kasih segera meninggalkan warung dan masuk ke ruangan lain. Sintia memilih untuk membiarkannya, mengingat situasi ini sangat pelik dan mungkin memerlukan waktu.Gegas saja Kasih mulai menggali informasi tentang Zeen Corporation melalui internet. Dugaannya terbukti benar, kabar tentang kebangkrutan perusahaan itu sudah tersebar luas di media maya. Berita demi berita, artikel demi artikel, semua mengungkapkan kesulitan finansial yang dihadapi oleh Zeen Corporation."Kenapa seperti ini, ya Tuhan ...?" gumam gadis itu seolah tak percaya dengan apa yang telah ia temukan."Bagaimana ini bisa terjadi? Berita ini baru beberapa hari yang lalu tapi sudah sangat heboh. Apa ...." Gadis itu mengepalkan tangannya. Ia marah. Marah pada orang-orang yang dengan tega menjatuhkan orang lain demi keuntungan sendiri.Saat gadis cantik berambut panjang itu sedang memikirkan rencananya untuk membalas kejahatan, Xavier membuka pintu kamar dan mendapati Kasih yang m
Pandangan mata Kasih ikut tertuju ke depan di mana banyak orang berkumpul di depan pintu gerbang. "Ada apa ini sebenarnya?" tanya Kasih.Taksi semakin mendekat dan sang sopir membunyikan klakson agar orang-orang itu menyingkir. Dan saat ada jalan, sang sopir membawa penumpangnya mendekati pintu gerbang."Biar aku saja yang turun. Kalian tetaplah di sini. Dan Xavi," ucap Kasih sembari menoekh menatap suaminya. "Kamu tutupi wajahmu. Sepertinya mereka ingin bertemu kamu," ucap gadis itu sembari menutupi wajah Xavier dengan penutup kepala.Pintu taksi terbuka perlahan. Kasih pun turun dan bertemu dengan para penjaga yang langsung mengenalinya."N-Nona ... Bagaimana bisa?" tanya pria itu terlihat terkejut.Kasih heran dengan tatapan tak biasa tersebut. Namun ia harus meminta dua penjaga itu untuk membukakan pintu gerbang."Jika kalian ingin mendengarkan hal yang sebenarnya, jagalah rahasia ini dan izinkan kami masuk," ucap gadis itu sembari mendekati salah satu dari penjaga dan berbisik.
Malam itu Kasih terdiam di kamarnya seorang diri. Sementara suami bocahnya sedang berada di ruang kerja bersama Johan. Gadis itu memilih menunggu sembari membaca beberapa dokumen yang ia dapatkan. Rasa khawatir terus saja mengganggunya.Membaca dokumen itu seakan menjadi pelarian singkat daripada menghadapi ketakutan akan apa yang nanti terjadi saat Xavier menghadapi para musuhnya. Namun, rasa penasaran itu tetap saja menggerogoti hati. Setiap detik yang berlalu, rasa khawatir Kasih semakin memuncak.CklekSaat jarum jam di dinding menunjukkan pukul dua belas malam, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kasih yang sedang duduk di kursi kerja suaminya langsung menoleh dengan refleks."Xavi ...." panggilnya lembut, sambil beranjak dari duduknya.Xavier melangkah masuk, kemudian menutup kembali pintu kamar. Tampak kerutan di dahinya mulai mengendur, menandakan bahwa ia agak lega. Dengan langkah pelan, pria tampan itu berjalan mendekati Kasih dan melihat wajahnya yang tampak lelah."Sisi, kenapa
Beberapa hari sebelum Xavier kembali ke rumahnya, terjadi suatu hal yang cukup serius. Di dalam sebuah ruangan, terlihat beberapa orang dengan jabatan penting di perusahaan sedang duduk saling berhadapan. Telihat jelas mereka sedang membahas hal yang sangat serius."Jadi bagaimana ini? Pak Xavier sudah lama absen dari tanggung jawabnya." Seorang pria bertubuh gemuk mulai menyuarakan pendapatnya."Ya, benar. Meski beliau merupakan seorang direktur sekaligus pewaris perusahaan, seharusnya tetap memimpin perusahaan dan menjadi contoh yang baik bagi bawahannya!"Suara keributan mulai terdengar, menunjukkan ketidak puasan mereka atas absennya sang pemimpin. Mereka bahkan mulai membicarakan soal kesewenang-wenangan Xavier dalam memanfaatkan jabatannya.Meski keadaan mulai kacau, namun ada juga beberapa orang yang memilih diam, menahan diri maupun memang tak memiliki masalah dengan direktur mereka."Kalian tenanglah!" Suara tegas itu terdengar, menghentikan perdebatan yang sedang berlangsung
Wibowo yang dibawa ke rumah sakit segera mendapatkan perawatan intensif. Pria tua berusia tujuh puluh tahunan itu kini terbaring di atas ranjang rumah sakit sembari menatap salah satu cucunya dan juga seorang pria paruh baya yang bersamanya."Bagaimana keadaan Papah?" tanya pria paruh baya itu sembari mendekati Wibowo. Dia merupakan putra pertama Wibowo dan juga ayah kandung dari Jeremy."Haris ...." gumam Wibowo sembari menatap lemah putranya."Tenanglah, Pah. Papah harus banyak beristirahat," ucap Haris sembari meraih tangan keriput sang ayah.Tatapan Wibowo beralih pada cucunya. Jeremy juga menatap pria tua itu. "Jer ... Bagaimana kabar Xavier? Dia masih hidup, kan?" tanya pria itu dengan tatapan penuh harap.Jeremy tersenyum simpul. Pria tampan itu mendekati kakeknya. "Sabar, Kek. Maafkan aku karena nggak bisa menjaga adikku," ucapnya lembut namun penuh kebohongan.Wibowo terlihat sedih. "Tapi dia nggak mungkin meninggal, kan, Jer?" tanya pria itu lagi. Terlihat jelas jika Wibowo
Langkah panjang Xavier memasuki ruang rapat. Semua orang langsung fokus menatap kehadirannya. Atmosfer seketika berubah dari tenang menjadi menegangkan secara tiba-tiba.'Bagaimana dia bisa sampai di sini? Bukankah mereka sudah membereskannya?' geram Jeremy dalam hati. Namun pria itu harus tetap bersikap tenang di hadapan orang penting."Pak Xavier," sapa perwakilan dari investor yang mengenali sang direktur.Xavier tersenyum tipis. Lalu Kasih dengan sigap menarik kursi untuknya."Terima kasih," ucap Xavier sebelum duduk dan pria itu juga menarikkan kursi untuk istrinya. Sementara Johan kini duduk di sisi lain sang bos."Selamat pagi, Pak Xavier," sapa pria tersebut dengan ramah. Sementara telihat jelas tiga orang lainnya tengah kaget karena kehadiran sang direktur secara tiba-tiba. Bahkan tak terlihat bahwa direktur itu amnesia."Pagi, Pak Gerald," jawab Xavier dengan senyuman tipisnya."Senang bertemu dengan Anda, Pak. Perwakilan Anda juga sangat baik dalam menyambut saya," ucap Ger
Kembalinya sang direktur yang dikabarkan dengan berita miring kini membuat para petinggi perusahaan mulai khawatir. Pasalnya ada Johan, seorang asisten yang kompeten dan bisa diandalkan kembali dengan membawa kabar baik.Pasangan atasan dan bawahan itu merupakan pasangan yang ditakuti. Lalu di antara mereka ada Kasih, istri kecil sang direktur yang menjadi penasihat bagi Xavier."Jadi ... Kapan kita akan mengunjungi Kakek?" tanya Kasih.Xavier menggerak-gerakkan bibirnya dengan tingkah yang lucu. "Emmm. Xavi pengen ketemu Kakek, tapi kan masalah ini belum selesai," jawabnya.Kasih menghela napas. "Apa kamu nggak kangen sama Kakek? Kemarin kan katanya mau ketemu Kakek.""Iya, sih. Cuma di sana pasti ada Jerry. Kan Jerry jahat. Apa lagi kita nggak tahu Kakek dirawat di mana ...." cicit Xavier dengan bibir mengerucut.Kasih memeluk suaminya. Ia sadar pria itu pasti terpukul karena kakak sepupunya yang diduga sengaja ingin mencelakai dirinya."Sabar, Xavi. Kita akan segera menangkap penja
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d