Senyum Dania mengembang ketika dinding kaca ruangan Dewa sudah terlihat. Ia mempercepat langkahnya tapi harus berhenti ketika melihat seseorang di ruangan Dewa. Seorang wanita dengan rambut bergelombang hitam, tengah berdiri didepan meja Dewa. Sepertinya mereka sedang terlibat pembicaraan yang serius. Dania memundurkan langkahnya, menyembunyikan diri dari jangkauan pandangan Dewa.Menunggu di kursi sepertinya hanya akan membuatnya canggung, Dania pun memilih berbalik dan berjalan kembali ke arah lift di sebelah utara. “Kenapa kau kembali, Dan?”Dania menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh dan melihat Raka bersandar di pinggiran pintu ruangan pria itu. Ya, jarak ruangan Dewa dan Raka memang hanya terpisah oleh ruang meeting di tengah, dan lift yang di terletak di sebelah utara. Dengan ruangan Dewa yang ada di sebelah selatan, tentu Raka bisa melihat kedatangannya yang melintasi ruangan pria itu saat menuju ruangan Dewa dan kembali hanya dalam hitungan detik.Dania memaksa satu sen
Dewa menepuk pelan pipi Dania. Menunggu respon dengan panik. “Dan? Dania,” panggilnya dengan lembut.Bulu mata Dania bergerak, matanya perlahan membuka dengan pusing ringan di kepala menyambut kesadarannya. Dania meringis, menyentuh kepalanya dan menggumamkan erangan lirih.“Minumlah.” Dewa mengangkat sedikit kepala Dania dan menyodorkan secangkir teh hangat ke bibir Dania.Dania menyesapnya dua kali dan kehangatan yang melewati tengorokannya seketika melenyapkan rasa pusing di kepalanya. “Kau benar-benar membuatku khawatir, Dan. Apa kau merasa pusing? Atau sesak?”Dania mengangkat badannya dan duduk mencari posisi yang nyaman. “Wajahmu.” Dania mengangkat tangannya dan menyentuh lebam di bawah mata kiri Dewa serta sudut bibir yang pecah dengan darah yang sudah mengering.“Aku baik-baik saja.” Dewa menurunkan tangan Dania dari wajahnya.“Lukamu harus diobati, Dewa. Katakan pada sekretarismu untuk membawa kotak obat kemari.”“Aku akan ....”“Sekarang,” tegas Dania dan hendak berdiri d
Dania mematikan keran air dan terpaku ketika suara tawa Dewa dan Mikha samar-samar terdengar dari dalam kamar mandi. Dania mendekati pintu, mengintip di antara celah pintu yang kecil tapi cukup memberinya pemandangan Dewa dan Mikha. Mikha, wanita itu tengah berdiri menutupi tubuh Dewa yang duduk di sofa dan tengah mempertontonkan bentuk tubuhnya yang seketika membuat Dania minder.Tak tahan dengan cubitan yang semakin nyata di dadanya jika memilih melihat kemesraan itu lebih jauh lagi. Dania menarik pintu kamar mandi hingga tertutup rapat ketika tubuh Mikha membungkuk di depan wajah Dewa yang duduk di sofa. Ia pun kembali mendekati wastafel, menyiram wajahnya dengan air dingin. Bahkan Dewa tak pernah tersenyum selebar itu ketika dengannya.Dania menunggu, menenangkan gemuruh kecil di hatinya sebelum kembali menuju pintu. Menghela napas sekali dan memutar gagang pintu dan keluar. Mikha sudah tak ada di ruangan ini, sedikit melegakan napas Dania. “Apakah ini cemburu?” Benak Dania berta
Dewa terbangun ketika Dania mengurai pelukannya, dengan matanya yang masih mengantuk, ia ikut bangkit dan turun dari ranjang. Mengikuti langkah Dania menuju kamar mandi. Ya, morning sickness Dania sudah menggantikan alarm paginya.Seperti biasa, Dania memuntahkan seluruh isi perutnya ke lubang toilet, dan Dewa selalu dengan sigap menguncir rambut Dania di belakang dan menggosok punggung istrinya. Berharap bantuan kecil itu bisa meredakan kerja keras Dania menghadapi gangguan-gangguan kehamilan tersebut. Ada rasa ngeri melihat keringat yang selalu membasahi wajah Dania. Menegaskan seberapa besar tenaga yang dihabiskan wanita itu untuk mengosongkan isi perut yang memang sudah kosong.“Apa kakakmu mengatakan kapan hal seperti ini akan berakhir?”Dania menggeleng. Mengambil tisu yang dipegang Dewa dan mengusap bibirnya. “Yang pasti akan berhenti setelah anak ini lahir.”Mata Dewa melotot. “Tujuh bulan lagi?”Dania mengangguk, mengusap bibirnya lagi dengan punggung tangan.“Kau bilang kaka
“Apa Mama yang menyuruhmu menjadi sekretarisku?” sergah Dewa begitu ia berhenti di tengah lorong yang tengah mereka lintasi. Menghadap Mikha yang mengekor di belakangnya penuh tuduhan.Mikha menggeleng dengan cepat. “Ini hanya kebetulan, Dewa. Aku kebetulan sedang butuh kegiatan.”“Kau bisa bekerja di perusahaan papamu.”Mikha menghela napas pendek. “Kau tahu aku sama sekali tak tertarik bekerja di perusahaan papaku. Aku hanya ingin memulai karirku dengan usahaku sendiri.”Dewa diam. Mengamati lekat-lekat wajah Mikha. Mikha memang wanita mandiri dan berjiwa bebas. Tak suka kekangan dalam pencapaian yang ingin di raih. Terbukti beberapa salon kecantikan yang dipegang wanita itu sudah memiliki cabang di beberapa kota besar. Dan semua pencapaian itu tanpa ikut campur koneksi atau kekuasaan orang tua Mikha.Bekerja sebagai sekretaris? Dewa tahu itu hanya untuk kesenangan Mikha saja, sebelum Dewa benar-benar menemukan kriteria sekretaris yang memenuhi syarat dan ketentuan-ketentuan yang ia
Esok harinya, Dewa memeriksa seluruh pakaiannya sebelum turun dari mobil. Mengumpat keras menemukan noda merah itu menghiasi kerah jasnya lagi. Ia bahkan tak ingat darimana noda itu tertinggal di sana. Kemarin di kemeja dan sekarang bahkan di jas. Dewa mengumpat keras sambil melepas jasnya dan melempar ke jok belakang.Bertekad akan mencari tahu siapa pelaku yang sepertinya memiliki niat busuk. Dua kali bukanlah kebetulan, dan ia bahkan tak pernah mendapatkan noda sialan itu sebelum-sebelumnya. Sekarang, ia hanya berharap Dania tak curiga atau bersikap aneh karena pulang tanpa mengenakan jas seperti biasa.Harapannya ternyata tak berjalan semulus yang ia perhitungkan. Mata Dania yang mengamati dirinya dengan kernyitan tersamar di dahi membuat Dewa merasa seperti berdiri di kaca rapuh. Yang sewaktu-waktu bisa pecah dan menjatuhkan tubuhnya di antara pecahan yang tajam."Aku meninggalkan jasku di mobil." Dewa menyesal kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut sialannya. "Ac mobilku
Dania mengangguk. Menangkap keterkejutan di wajah Dewa. Entah karena kebohongan pria itu terungkap atau karena terkejut menemukan dia menyembunyikan hal tersebut. Dania tak cukup memahami Dewa sedalam itu.Dewa menggeram keras. Tangannya yang terkepal terasa sangat gatal ingin meninju sesuatu demi meluapkan kemarahan pada dirinya sendiri. Menyangkal atau menjelaskan ketidaktahuannya hanya akan seperti membuat alasan dan tidak mau mengakui kesalahan. Kata maaf pun tak akan membuat Dania merasa lebih baik. "Kauingin aku melakukan apa agar kau memercayai kata-kataku, Dan?" bisiknya dengan lemah.Dania memejamkam mata dan menghela napas. Ia tak ingin Dewa melakukan apa pun. Mungkin sedikit waktu untuk dirinya sendiri? Dania juga tak yakin. "Terakhir kalinya kita berada di persimpangan, aku merasa mendapatkan pilihan yang benar dengan berada tetap berada di sisimu, Dewa. Tetapi, sekarang aku tak yakin keputusan itu benar atau tidak."Napas Dewa tersekat. Dengan gerakan tergesa, ia mendekat
Dewa mengamati beberapa alat kecantikan Dania yang Dania yang berjajar rapi di meja rias. Sedikit yang ia kenali namanya seperti bedak, lotion, lipstik, sisir, hairdryer, serta beberapa botol yang entah isinya apa. Sepertinya produk untuk perawatan kulit wajah dan tubuh seperti yang ia miliki tapi dengan merk yang berbeda. Juga ada beberapa benda yang berbentuk seperti pensil, penjepit atau entah apa namanya yang terasa asing bagi mata Dewa."Dewa, sarapanmu sudah siap." Dania muncul dengan kepala melongok di antara celah pintu.Langsung saja Dewa menegakkan punggung dan menoleh ke belakang. Tersentak kaget seolah ketahuan mencuri barang milik istrinya. Sambil berpura-pura menyentuh dasi untuk memperbaiki simpulnya yang sudah rapi, Dewa berkata, "Aku ... sedikit lagi.""Apa kau perlu bantuan?"Dewa menggeleng. Cara mengikat dasi Dania tak akan lebih rapi dari caranya. Tetapi bukan itu alasannya menolak tawaran Dania kali ini. Terkadang, meski ia harus mengulang memperbaiki ikatan dasi
"Bayinya lahir dengan selamat. Karena bayi lahir prematur dan memiliki berat badan di bawah normal, kami membawanya ke ruang NICU di lantai empat. Anda bisa melihatnya di jam-jam tertentu.""Bagaimana keadaan istri saya, Dok?""Istri Anda masih belum sadar dan sedang berada di ruang pemulihan. Setelah sadar, kami akan memeriksanya sekali lagi sebelum membawanya ke ruang perawatan. Keadaannya masih sangat rentan."Rasanya Dewa bisa kembali bernapas. Tubuhnya jauh di kursi dengan kelegaan yang luar biasa. Karena keadaan Dania yang belum boleh dilihat, Dewa pun pergi ke lantai empat, untuk melihat bayinya.Tak ada sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan perasaan Dewa. Pertama kali Dewa menatap bayi mungilnya, dan ia langsung jatuh cinta. Hanya itu satu-satunya perasaan yang bisa ia telaah. Setetes air mata jatuh, kebahagiaan dan rasa pedih bercampur aduk memenuhi dada Dewa. Melihat bayi mungilnya yang rapuh, tak berdaya, dan sangat kecil dan harus berjuang hidup di sana sendirian. Dewa
Sepertinya Raka tak bisa lagi memasang senyum palsu di bibir kepada para tamu yang diperkenalkan mamanya. Dengan alasan hendak ke kamar mandi sebentar, Raka melepas lengan Alra yang melingkari lengannya. Berjalan ke dalam rumah. Entah kenapa, firasat buruk menyergap dadanya hanya dengan memikirkan Dania yang tak berhenti memenuhi kepalanya. Ditambah ia pun tak melihat Dania sejak Zaffya entah pergi ke mana dengan Nadia Farick sedangkan Dewa terjebak dengan teman-temannya tak jauh dari tempatnya.Seorang pelayan berlari ke arahnya dan menyenggol pundaknya. Pelayan itu berhenti sejenak untuk meminta maaf dengan wajah pucat. Lalu berlari ke dalam pesta. Raka hanya mengerutkan kening dan mengabaikannya. Melanjutkan langkahnya. Teapi kemudian jantung Raka berdebar keras, melihat beberapa pelayan berlari ke arah ruang tengah dengan terburu-buru, dan bukan ke arah taman belakang. Raka tak tahu apa yang begitu menarik perhatian para pelayan itu, tapi kakinya ikut bereaksi dan berlari menngiku
Suara musik yang mengalun indah dan pelan, dengan berbagai jenis bunga menghiasi sepanjang jalan masuk ke taman belakang kediaman Sagara. Dengan konsep pesta kebun, yang terlihat santai dan elegan."Kau gugup? Kauingin kembali? Jangan membuatku salah paham, Dan," bisik Dewa mendekatkan bibirnya di telinga Dania saat mereka melintasi halaman samping rumah menuju halaman belakang, tempat pernikahan akan berlangsung. Genggaman tangan Dania di tangannya semakin mengetat, dan kegugupan tergaris jelas di sepanjang bibir wanita itu yang menipis. Menandakan bahwa Dania menggigit bibir bagian dalam. "Kau hanya boleh gugup karenaku."Dania memutar bola matanya jengah. Sempat-sempatnya pria itu mengurusi kecemburuan di saat kegugupan mendera dirinya sekuat ini. Gaun yang ia pakai adalah pilihan terbaik dengan harga fantastis, Dania tak akan bertanya darimana uang Dewa karena suaminya sudah melarang dan mewanti-wanti bahwa ia hanya perlu memilih gaun yang membuatnya terpesona. Dan tanpa sengaja p
Dengan perut besar, Dania tampak begitu riang menatap semua benda-benda yang memenuhi toko tempat peralatan bayi. Dewa tak berhenti mengawasi Dania, mengekor ke mana pun wanita itu melangkah. Setiap gerakan lincah Dania membuatnya was-was, karena terlalu bersemangat memeriksa satu persatu benda-benda mungil yang memenuhi rak-rak yang berjajar panjang.Mata Dania tak berhenti beredar, berpindah dari satu rak ke rak yang lain. Bahkan tak jarang Dewa lah yang dengan sigap menyingkirkan benda-benda di depan Dania sebelum wanita itu menabraknya."Sepertinya sudah cukup." Dania akhirnya merasa kelelahan, menatap tiga troli besar yang penuh dengan pakaian dan segala macam pernak-pernik untuk bayi."Kauyakin?" tanya Dewa sangsi. Ini kalimat 'sepertinya sudah cukup' yang Dania ucapkan untuk ketiga kalinya.Dania mengangguk dengan mantap. Lalu mencari tempat duduk dan menemukan kursi panjang yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kakiku pegal sekali."Dewa menatap Dania yang menjauh,
Take LoveDewa & Dania###Part 28###"Untuk pertama kalinya, Mama melihat mereka sebagai pasangan yang cocok," gumam Monica dengan senyum di bibir.Raka mengikuti arah pandang Mamanya. Sudah cukup kesal hanya dengan mendengar cara bicara Dania dan Dewa bicara, sekarang ia benar-benar merasa gerah melihat pasangan yang duduk di meja. Dewa sibuk menyuapkan makanan dari kotak bekal untuk Dania, -makanan yang katanya dibuat oleh Dewa-. Melihat bentuk makanannya dari jarak sejauh ini, Raka tak yakin dengan rasanya. Tapi Dania tampak menikmati makanan itu seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah gadis itu makan. Padahal, makanan yang ia pesan untuk sarapan Dania adalah makanan khusus wanita hamil yang direkomendasikan oleh ahli gizi, yang kemudian ia berikan pada koki dengan tangan ajaib yang tak mungkin diragukan lagi keahlian memasaknya. Apalagi dibanding dengankan dengan tangan Dewa.Apakah cinta memang sebuta itu? CkDewa bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur, tapi adikny
Take LoveDewa & Dania###Part 27###Raka belum menghabiskan makanannya ketika ponsel pria itu kembali berdering. Wajahnya berubah tegang, setelah mendengar kalimat dari seberang."Kecelakaan?"Dania menegakkan punggung. Tak bisa menahan tubuhnya untuk sedikit condong ke arah Raka."Luar kota?" ulang Raka tak percaya. Kenapa hal seperti ini datang di saat yang tepat seperti ini. "Baiklah. Aku ..." Raka menghela napas pendek. "Aku tak tahu apakah bisa langsung mengeceknya. Aku sedang di rumah sakit.""...""Oke, akan aku usahakan." Raka menurunkan ponselnya, mengurut kening dengan tangan kiri dan pundaknya menurun seolah beban seberat ribuan ton tertumpu di sana."Apa Kak Raka harus pergi?"Raka mendesah keras."Biar Dan yang menjaga Mama. Kak Raka bisa pergi."Raka diam. Mempertimbangkan tawaran Dania."Sepertinya masalah Kakak sangat mendesak.""Bagaimana dengan Dewa? Dia pasti akan menerorku.""Biar Dan yang mengurusnya.""Baiklah," putus Raka setelah memikirkan kembali tawaran Da
Take LoveDewa & Dania###Part 26###"Mau ke mana kau?" tanya Dewa melihat Dania sudah berpakaian rapi dengan sibuk mengaplikasikan pelembab di wajah. Satu tas kecil sudah siap di meja rias."Jika kau tidak ingin ke rumah sakit, sebaiknya kau tak mencegahku." Dania mengakhiri sesi dandannya dengan mengoleskan lipbalm di bibir. Bibirnya sudah merah tanpa bantuan lipstik, setidaknya hal itu yang bisa ia banggakan dibandingkan dengan wanita-wanita yang mengejar Dewa. Dania mengusir pemikiran gila itu, untuk apa dia memedulikan wanita-wanita di sekitar Dewa."Apa kau mencoba menjadi lebih keras kepala melebihiku?""Katakan ya jika memang terlihat seperti itu. Kaupikir hanya kau yang bisa menjadi keras kepala di sini."Dewa menggeram frustrasi. Seperti biasa, langsung mengangkat kedua tangan ke kepala dan menggusur keseluruh jemari di antara rambut yang masih basah. Menang melawan wanita yang sedang hamil jelas bukan kemenangan."Sebelum kau mengalahkan orang lain, kalahkan dulu keegoisa
Take LoveDewa & Dania###Part 25###Dania terkejut melihat Dewa duduk mematung di sofa ruang tamu saat masuk ke dalam apartemen. Pria itu duduk dengan kedua siku disanggah lutut, dan wajah tenggelam dalam kedua telapak tangan. Kefrustrasian jelas terlihat dari rambut kusut Dewa yang sepertinya berkali-kali tergusur oleh jemari. Dania juga melihat jas Dewa yang terlempar begitu saja di sofa, bersama dasi yang jatuh di lantai.Apa Dewa memiliki masalah lagi dengan pekerjaan? Cubitan kecil menyakiti hatinya karena ia tak bisa membantu kesulitan Dewa selain hanya sebagai pendukung dan tempat bersandar pria itu. Dania ingin melakukan lebih."Dewa?" Dania menyentuh pundak Dewa dengan perlahan. Hampir mengira Dewa tertidur karena pria itu sama sekali tak bergerak. Sekali lagi ia mengangkat tangan ke arah Dewa dengan panggilan yang sedikit lebih keras. "Dewa?""Dari mana kau?" desis suara dingin Dewa ketika pria itu bergerak menaikkan kepala menatap Dania yang berdiri di sampingnya.Dania
###Hari ini, Dewa pulang lebih malam. Dania menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi dengan toples dalam pelukannya ketika pintu apartemen terbuka. Dania bergegas menghampiri Dewa. Memeluk tubuh dan menghirup aroma Dewa yang sangat ia rindukan seharian penuh."Apa kau sangat merindukanku?" Dewa merangkul Dania dan keduanya berjalan masuk.Dania mengelak dengan menggelengkan kepala. "Aku bosan seharian menghabiskan waktu di apartemen sendirian.""Kau harus bersabar." Dewa melemparkan jasnya ke sofa dan duduk."Kauingin minum atau langsung mandi?""Kopi." Dewa menyandarkan kepala di punggung sofa. Menatap layar televisi yang menampilkan film romance tanpa suara. Sama sekali bukan seleranya, tapi melihat adegan ketika si pria mencium perut wanita hamil di sampingnya dengan air mata berurai, Dewa memahami perasaan itu. Perasaan takjub dan terharu. Keajaiban yang tak pernah ia sangka datang di hidupnya.Dania melewati sofa menuju dapur. Tak lama kembali dengan cangkir kopi yang m