Dania melambai pada mobil Raka yang melaju melewatinya. Bernapas dengan lega akhirnya ia bisa menolak ajakan pria itu untuk mengantarnya pulang. Beberapa kali Dewa muncul di apartemennya dengan sangat tidak terduga. Ia tak mau mengambil resiko Raka akan bertemu dengan Dewa dan baku hantam kedua pria itu.Ponsel Dania bergetar. Merasa tekanan dalam batinnya bertambah satu ton ketika melihat caller id yang tertera."Aku sudah menyuruh orang untuk mengurus barangmu. Kau tak perlu kembali ke apartemenmu sepulang kuliah." Suara Dewa dari seberang menghentikan Dania yang akan menuruni tangga café."Aku sudah bilang ...""Aku tahu. Tapi tidak bisakah kau berterima kasih lebih dulu karena aku meringankan pekerjaanmu?"Dania menghela napas. Kelegaannya tak bertahan lama."Aku ada rapat di sekitar kampusmu. Apakah aku harus menjemputmu?""Tidak!" Dania menjawab dengan cepat.Dewa terdiam sesaat. "Kenapa?""Aa ... ku, aku sudah naik taxi." Dania terpaksa berbohong."Benarkah?"Dania terdiam. Nad
Zaffya berjalan mondar-mandir di tengah ruang tamu. Menatap pintu apartemen dengan jantung berdebar keras. Ia belum pernah segugup ini bertemu ketika menunggu seseorang. Dan memangnya siapa yang berani membuatnya menunggu? Inilah alasan kenapa Zafya sangat benci menunggu. Apalagi dengan perasaan mencekam seperti ini. Segala pemikiran buruk dan perasaan tak mengenakkan selalu mengambang naik di saat-saat seperti ini. Membuatnya merasa lemah dan tak mampu.Zaffya kembali masuk ke dalam kamar. Berdiri mematut tubuhnya di kaca. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Lalu bertanya, apakah bajunya terlihat bagus? Adakah bagian yang kusut? Di lengan, kerah, di bagian belakang? Atau apakah pakaiannya sopan untuk disebut sebagai menantu yang baik? Apakah ada bagian tubuhnya yang terlihat dengan tidak sopan?Mamanya Richard adalah orang yang menjunjung tinggi adat istiadat dan pakaiannya tertutup serta sopan. Pembawaannya penuh kehangatan dan kelembutan. Bertolak belakang d
"Papa ingin kita berdua menemui mama," beritahu Zaffya pagi itu ketika mobil mereka mulai melaju keluar dari halaman gedung dan masuk ke jalan raya.Richard mendesah. "Dan mama ingin menemui Dania.""Mamamu sudah tahu?"Richard mengangguk.Zaffya merasakan beban dalam pundaknya bertambah satu ton dengan rasa bersalah yang semakin besar."Aku hanya berharap Dania mau mendengarkan mama.""Semoga.""Lalu, kapan kita akan menjenguk mamamku?"Zaffya mengingat-ingat jadwal yang dikirim Satya. "Aku akan menyuruh Satya mengepaskan jadwalku dengan waktu luangmu.""Tidak perlu, Zaf. Aku bisa meminta bantuan Luna menggantikanku jika memang itu perlu."Cubitan di hatinya selalu muncul saat Richard mengucapkan nama itu. "Mungkin lusa, biarkan mama istirahat selama dua hari untuk menenangkan dirinya.""Hm, Baiklah."Zaffya menatap kembali jalanan. Pikirannya melayang mengingat pembicaraannya dengan Luna semalam. Lagi.***Dania terkesiap ketika Raka tiba-tiba muncul di hadapannya. Membuatnya gugup
"Lepaskan dia!" Dewa menarik tangan kiri Dania dan menghentikan langkah Richard.Richard berputar, menggeram marah, dan siap melemparkan satu tinjunya ke wajah Dewa.Dania terperangah, menghadang kakaknya. "Jangan, Kak.""Jangan memohon pada kakak untuk mengampuni pria brengsek sepertinya, Dan," desis Richard."Kami tidak tahu apa pun tentang rencana ini.""Apa kau percaya pada ucapannya?"Dania menggeleng. "Bukan Dewa yang meminta kami ke sini.""Lalu?"Dania meragu sesaat. "Mamanya Dewa."Richard tersentak."Sepertinya ini memang rencana mamanya kak Zaffya dan mamanya Dewa."Richard merasa napasnya tersengal. Derita apalagi yang telah ia berikan pada adik kesayangannya satu ini. "Apa kau sudah bertemu dengan mama?""Ya, tapi Dania tetap pada pilihan Dan.""Kau!!" Richard benar-benar kehilangan kontrol. Melihat Dewa yang berdiri di belakang Dania. Memegang erat tangan Dania. "Apa yang kaulakukan pada adikku hingga dia menjadi seperti ini?""Bolehkah aku mengajukan pertanyaan yang sam
"Jam berapa kau pulang?" tanya Dewa sebelum Dania menarik pengait pintu mobil dan turun.Kenapa Dewa bertanya? Dania ingin tahu tapi memilih menjawab atau mereka akan kembali berdebat sehingga ia terlambat memasuki kelasnya. "Jam tiga sore.""Aku akan menjemputmu, jadi pastikan kau tidak membuat janji dengan siapa pun sepulang kuliah."Dania hanya mengangguk lalu turun. Dewa rela meluangkan waktu di antara kesibukan pria itu untuk menjemputnya karena ingin menunjukkan pada Raka bahwa hanya Dewalah yang berhak atas diri dan waktunya. Dania pikir, waktu mampu menyembuhkan luka hati Dewa. Tetapi ada kalanya waktu semakin membuat seseorang tenggelam dan terbiasa dengan luka tersebut. Setelah sebulan pernikahan, sifat kekanakan dan sikap sinis pria itu tak berkurang sedikit pun pada Raka. Menikmati ketika melihat Raka terusik saat memamerkan permen yang berhasil direbut.Dania merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Menekan deretan nomor-nomor yang sudah tertulis di ingatan dan menempelkan
Lamunan Raka teralih mendengar pintu di geser dengan pelan dari balkon kamar Dewa dan melihat Dania muncul. Dengan rambut terurai dan kemeja putih kebesaran menyelimuti tubuhnya yang mungil. Sudah jelas itu kemeja yang dikenakan Dewa hari ini. Dan apa yang membuat Dania hingga memakai pakaian Dewa mengganggu pikirannya. Adiknya mencium Dania secara terang-terangan di lift, tentu saja lebih dari sekedar ciuman jika keduanya berada di tempat tertutup.Dengan kaki telanjangnya, Dania berjalan menghampiri pagar balkon. Mengamati dengan pandangan kosong ke arah langit malam. Ya, Dewa benar-benar membuatnya tak bisa tertidur meskipun pria itu kini sudah terlelap seperti bayi tanpa dosa di ranjang setelah menuntaskan gairah pada tubuhnya. Tubuhnya remuk redam karena kelelahan tapi matanya tak bisa terpejam. Menghirup udara malam dengan bebas seperti meredakan rasa sakit di tubuh dan meringankan beban di hatinya. Dalam hati meyakinkan diri bahwa inilah pilihan yang tak akan pernah ia sesali.
"Wajahmu pucat sekali," komentar Richard ketika menyodorkan sepiring nasi goreng.Zaffya menatap tak suka ke arah piring yang disodorkan Richard. Steak dengan beberapa kacang polong."Hanya ini yang bisa kutemukan di kulkas. Kau harus memakan semuanya." Mata Richard melirik kacang polong dengan tatapan tegas.Zaffya mengerutu. "Aku alergi kacang polong.""Itu bukan alergi.""Aku tidak tahan bau dan bentuknya yang aneh.""Ya, dan itu bukan alergi.""Aku tidak menyukainya.""Apa kau tidak tahu berapa banyak nutrisi yang terkandung?""Tidak akan sebanyak uangku." Zaffya mengiris steaknya dan menyuapkan ke mulut. Menikmati bibir Richard yang terkatup rapat."Aku berjanji akan membuatmu memakan makanan itu saat kau mengandung anakku. Aku tidak ingin anakku memiliki alergi aneh yang harus kau turunkan padanya," gerutu Richard sambil melahap makan malamnya.Sesaat Zaffya kembali terpaku dan berhenti mengunyah. Tulang punggungnya terasa kaku dan perutnya kenyang seketika hingga hampir membuat
Pesanan datang tepat ketika Zaffya benar-benar sudah tak bisa menahan rasa lapar dalam perutnya."Apa kau begitu kelaparan?" Richard menarik piringnya mendekat. Ia bahkan belum memegang sendoknya dan Zaffya sudah menyuapkan risotto ke mulut untuk kedua kalinya.Zaffya hanya mengangkat bahu sekali dan masih terus menuntaskan rasa lapar yang melilit tanpa merasa terusik dengan tatapan penuh tanya Richard. "Aku mempunyai pertemuan yang berat tadi sore. Beberapa keluhan dan pekerjaan yang tak sesuai target. Ternyata kemarahan bisa membuatmu sangat lapar.""Ya, kau membuang tenagamu dua kali lipat saat kau marah."Zaffya mengerti. Terlalu sibuk mengunyah daripada membuka mulutnya untuk berbincang seperti biasa.Tak sampai sepuluh menit, isi piring Zaffya tandas dan ia masih merasa sangat lapar. Tapi ia tak akan membiarkan Richard tahu. Berbeda dengan selera makannya yang cukup besar, Richard nampak sedikit enggan menghabiskan makanannya. Pria itu bahkan menyisakan hampir setengah isi pirin
"Bayinya lahir dengan selamat. Karena bayi lahir prematur dan memiliki berat badan di bawah normal, kami membawanya ke ruang NICU di lantai empat. Anda bisa melihatnya di jam-jam tertentu.""Bagaimana keadaan istri saya, Dok?""Istri Anda masih belum sadar dan sedang berada di ruang pemulihan. Setelah sadar, kami akan memeriksanya sekali lagi sebelum membawanya ke ruang perawatan. Keadaannya masih sangat rentan."Rasanya Dewa bisa kembali bernapas. Tubuhnya jauh di kursi dengan kelegaan yang luar biasa. Karena keadaan Dania yang belum boleh dilihat, Dewa pun pergi ke lantai empat, untuk melihat bayinya.Tak ada sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan perasaan Dewa. Pertama kali Dewa menatap bayi mungilnya, dan ia langsung jatuh cinta. Hanya itu satu-satunya perasaan yang bisa ia telaah. Setetes air mata jatuh, kebahagiaan dan rasa pedih bercampur aduk memenuhi dada Dewa. Melihat bayi mungilnya yang rapuh, tak berdaya, dan sangat kecil dan harus berjuang hidup di sana sendirian. Dewa
Sepertinya Raka tak bisa lagi memasang senyum palsu di bibir kepada para tamu yang diperkenalkan mamanya. Dengan alasan hendak ke kamar mandi sebentar, Raka melepas lengan Alra yang melingkari lengannya. Berjalan ke dalam rumah. Entah kenapa, firasat buruk menyergap dadanya hanya dengan memikirkan Dania yang tak berhenti memenuhi kepalanya. Ditambah ia pun tak melihat Dania sejak Zaffya entah pergi ke mana dengan Nadia Farick sedangkan Dewa terjebak dengan teman-temannya tak jauh dari tempatnya.Seorang pelayan berlari ke arahnya dan menyenggol pundaknya. Pelayan itu berhenti sejenak untuk meminta maaf dengan wajah pucat. Lalu berlari ke dalam pesta. Raka hanya mengerutkan kening dan mengabaikannya. Melanjutkan langkahnya. Teapi kemudian jantung Raka berdebar keras, melihat beberapa pelayan berlari ke arah ruang tengah dengan terburu-buru, dan bukan ke arah taman belakang. Raka tak tahu apa yang begitu menarik perhatian para pelayan itu, tapi kakinya ikut bereaksi dan berlari menngiku
Suara musik yang mengalun indah dan pelan, dengan berbagai jenis bunga menghiasi sepanjang jalan masuk ke taman belakang kediaman Sagara. Dengan konsep pesta kebun, yang terlihat santai dan elegan."Kau gugup? Kauingin kembali? Jangan membuatku salah paham, Dan," bisik Dewa mendekatkan bibirnya di telinga Dania saat mereka melintasi halaman samping rumah menuju halaman belakang, tempat pernikahan akan berlangsung. Genggaman tangan Dania di tangannya semakin mengetat, dan kegugupan tergaris jelas di sepanjang bibir wanita itu yang menipis. Menandakan bahwa Dania menggigit bibir bagian dalam. "Kau hanya boleh gugup karenaku."Dania memutar bola matanya jengah. Sempat-sempatnya pria itu mengurusi kecemburuan di saat kegugupan mendera dirinya sekuat ini. Gaun yang ia pakai adalah pilihan terbaik dengan harga fantastis, Dania tak akan bertanya darimana uang Dewa karena suaminya sudah melarang dan mewanti-wanti bahwa ia hanya perlu memilih gaun yang membuatnya terpesona. Dan tanpa sengaja p
Dengan perut besar, Dania tampak begitu riang menatap semua benda-benda yang memenuhi toko tempat peralatan bayi. Dewa tak berhenti mengawasi Dania, mengekor ke mana pun wanita itu melangkah. Setiap gerakan lincah Dania membuatnya was-was, karena terlalu bersemangat memeriksa satu persatu benda-benda mungil yang memenuhi rak-rak yang berjajar panjang.Mata Dania tak berhenti beredar, berpindah dari satu rak ke rak yang lain. Bahkan tak jarang Dewa lah yang dengan sigap menyingkirkan benda-benda di depan Dania sebelum wanita itu menabraknya."Sepertinya sudah cukup." Dania akhirnya merasa kelelahan, menatap tiga troli besar yang penuh dengan pakaian dan segala macam pernak-pernik untuk bayi."Kauyakin?" tanya Dewa sangsi. Ini kalimat 'sepertinya sudah cukup' yang Dania ucapkan untuk ketiga kalinya.Dania mengangguk dengan mantap. Lalu mencari tempat duduk dan menemukan kursi panjang yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kakiku pegal sekali."Dewa menatap Dania yang menjauh,
Take LoveDewa & Dania###Part 28###"Untuk pertama kalinya, Mama melihat mereka sebagai pasangan yang cocok," gumam Monica dengan senyum di bibir.Raka mengikuti arah pandang Mamanya. Sudah cukup kesal hanya dengan mendengar cara bicara Dania dan Dewa bicara, sekarang ia benar-benar merasa gerah melihat pasangan yang duduk di meja. Dewa sibuk menyuapkan makanan dari kotak bekal untuk Dania, -makanan yang katanya dibuat oleh Dewa-. Melihat bentuk makanannya dari jarak sejauh ini, Raka tak yakin dengan rasanya. Tapi Dania tampak menikmati makanan itu seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah gadis itu makan. Padahal, makanan yang ia pesan untuk sarapan Dania adalah makanan khusus wanita hamil yang direkomendasikan oleh ahli gizi, yang kemudian ia berikan pada koki dengan tangan ajaib yang tak mungkin diragukan lagi keahlian memasaknya. Apalagi dibanding dengankan dengan tangan Dewa.Apakah cinta memang sebuta itu? CkDewa bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur, tapi adikny
Take LoveDewa & Dania###Part 27###Raka belum menghabiskan makanannya ketika ponsel pria itu kembali berdering. Wajahnya berubah tegang, setelah mendengar kalimat dari seberang."Kecelakaan?"Dania menegakkan punggung. Tak bisa menahan tubuhnya untuk sedikit condong ke arah Raka."Luar kota?" ulang Raka tak percaya. Kenapa hal seperti ini datang di saat yang tepat seperti ini. "Baiklah. Aku ..." Raka menghela napas pendek. "Aku tak tahu apakah bisa langsung mengeceknya. Aku sedang di rumah sakit.""...""Oke, akan aku usahakan." Raka menurunkan ponselnya, mengurut kening dengan tangan kiri dan pundaknya menurun seolah beban seberat ribuan ton tertumpu di sana."Apa Kak Raka harus pergi?"Raka mendesah keras."Biar Dan yang menjaga Mama. Kak Raka bisa pergi."Raka diam. Mempertimbangkan tawaran Dania."Sepertinya masalah Kakak sangat mendesak.""Bagaimana dengan Dewa? Dia pasti akan menerorku.""Biar Dan yang mengurusnya.""Baiklah," putus Raka setelah memikirkan kembali tawaran Da
Take LoveDewa & Dania###Part 26###"Mau ke mana kau?" tanya Dewa melihat Dania sudah berpakaian rapi dengan sibuk mengaplikasikan pelembab di wajah. Satu tas kecil sudah siap di meja rias."Jika kau tidak ingin ke rumah sakit, sebaiknya kau tak mencegahku." Dania mengakhiri sesi dandannya dengan mengoleskan lipbalm di bibir. Bibirnya sudah merah tanpa bantuan lipstik, setidaknya hal itu yang bisa ia banggakan dibandingkan dengan wanita-wanita yang mengejar Dewa. Dania mengusir pemikiran gila itu, untuk apa dia memedulikan wanita-wanita di sekitar Dewa."Apa kau mencoba menjadi lebih keras kepala melebihiku?""Katakan ya jika memang terlihat seperti itu. Kaupikir hanya kau yang bisa menjadi keras kepala di sini."Dewa menggeram frustrasi. Seperti biasa, langsung mengangkat kedua tangan ke kepala dan menggusur keseluruh jemari di antara rambut yang masih basah. Menang melawan wanita yang sedang hamil jelas bukan kemenangan."Sebelum kau mengalahkan orang lain, kalahkan dulu keegoisa
Take LoveDewa & Dania###Part 25###Dania terkejut melihat Dewa duduk mematung di sofa ruang tamu saat masuk ke dalam apartemen. Pria itu duduk dengan kedua siku disanggah lutut, dan wajah tenggelam dalam kedua telapak tangan. Kefrustrasian jelas terlihat dari rambut kusut Dewa yang sepertinya berkali-kali tergusur oleh jemari. Dania juga melihat jas Dewa yang terlempar begitu saja di sofa, bersama dasi yang jatuh di lantai.Apa Dewa memiliki masalah lagi dengan pekerjaan? Cubitan kecil menyakiti hatinya karena ia tak bisa membantu kesulitan Dewa selain hanya sebagai pendukung dan tempat bersandar pria itu. Dania ingin melakukan lebih."Dewa?" Dania menyentuh pundak Dewa dengan perlahan. Hampir mengira Dewa tertidur karena pria itu sama sekali tak bergerak. Sekali lagi ia mengangkat tangan ke arah Dewa dengan panggilan yang sedikit lebih keras. "Dewa?""Dari mana kau?" desis suara dingin Dewa ketika pria itu bergerak menaikkan kepala menatap Dania yang berdiri di sampingnya.Dania
###Hari ini, Dewa pulang lebih malam. Dania menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi dengan toples dalam pelukannya ketika pintu apartemen terbuka. Dania bergegas menghampiri Dewa. Memeluk tubuh dan menghirup aroma Dewa yang sangat ia rindukan seharian penuh."Apa kau sangat merindukanku?" Dewa merangkul Dania dan keduanya berjalan masuk.Dania mengelak dengan menggelengkan kepala. "Aku bosan seharian menghabiskan waktu di apartemen sendirian.""Kau harus bersabar." Dewa melemparkan jasnya ke sofa dan duduk."Kauingin minum atau langsung mandi?""Kopi." Dewa menyandarkan kepala di punggung sofa. Menatap layar televisi yang menampilkan film romance tanpa suara. Sama sekali bukan seleranya, tapi melihat adegan ketika si pria mencium perut wanita hamil di sampingnya dengan air mata berurai, Dewa memahami perasaan itu. Perasaan takjub dan terharu. Keajaiban yang tak pernah ia sangka datang di hidupnya.Dania melewati sofa menuju dapur. Tak lama kembali dengan cangkir kopi yang m