“Kenapa Sekar?” tanya Renita saat langkahku terhenti. Pandanganku masih tertuju pada laki-laki yang berdiri di sebelah perempuan dengan setelan baju kerja yang sedang memilih-milih sepatu. Beberapa kali perempuan itu mencoba sepatu itu di kakinya. Lalu ia menoleh ke lelaki yang berdiri di sebelahnya, seolah ingin meminta pendapat. Dan lelaki itu menanggapinya dengan senyum lembut. Sesekali pria terlihat memberikan pendapatnya. Aku menjadi kesal melihatnya. Tapi, mataku tetap terus mengamatinya, hingga tepukan halus menyentakku. “Siapa, Sekar?” tanya Renita lagi. Aku baru tersadar jika pertanyaan pertama Renita tadi belum kujawab. “Apakah kamu mengenalnya?” sambungnya sambil ikut melihat kemana aku menatap. Aku menggeleng lemah. Lalu kualihkan pandangan ke tempat lain karena tak ingin membuat Renita penasaran.“Mungkin hanya mirip,” gumanku pelan, berharap Renita mendengarnya. Lalu tangan Renita kutarik menjauh, mencari posisi yang terlindung, tidak terlihat oleh kedua orang itu.
Sakina. Sakina. Aku terus bergumam dalam hati. Jadi, wanita ini yang bernama SKN. Jadi, SKN itu namanya Sakina? Jadi chattingan dia yang selalu membuatmu sumringah? Jadi, panggilan telpon dari dia yang selalu membuatmu bahagia?“Sekar! Jadi, nggak?” Tiba-tiba terdengar suara Renita dari rak di sebelah. Dia sedang sibuk mencari diskonan model lainnya. Gegas kutinggalkan kedua orang itu. Bodo amat sama Sakina. Aku tak mengingatnya sama sekali. Mungkin memang memoriku sudah terlampau kacau. Hatiku kesal luar biasa pada lelaki bernama Gilang!Setelah mendapatkan sepatu yang kuincar, aku dan Renita meninggalkan mall itu. Meski hatiku kebat-kebit tak karuan, ingin mencakar Mas Gilang yang malah pura-pura tak mengenalku, tapi masih dapat kutahan, karena aku sedang bersama Renita. Kami memilih menyusuri warung tenda di sekitar mall untuk mengisi perut terlebih dahulu, sebelum pulang ke kosan masing-masing. Masih kusembunyikan rasa campur aduk. Perutku harus terisi. Aku harus sehat. Karena m
Kupejamkan mata ini. Benarkah mas Gilang menyimpan hatinya untuknya? Lalu, buat apa dia menikah denganku. Dadaku bergemuruh. Ada rasa cemburu, bercampur kesal. Tapi, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bukannya memang Mas Gilang mengatakan padaku jika dia memang mau menikah bukan denganku. Bukannya pernikahan denganku pun lantaran desakan ibuku dan mamanya.Aku menghela nafas. Kepalaku terasa pening. Apalagi, diam-diam, sejak beberapa hari terakhir, perasaanku padanya mulai berubah. Ternyata, baru kali ini rasanya sakit dicampakkan, meski sebenarnya aku sudah tahu, kalau Mas Gilang sudah punya rencana lain, sebelum memutuskan menikah denganku. Kenapa, dia harus menyelesaikan masalahku, jika pada akhirnya menambah masalah baru padaku? Tanganku masih bergerilya di layar ponsel, entah informasi apalagi yang ingin kucari, sementara hal yang paling menyakitkan telah kutemukan. Namun, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk.[Aku di bawah]Aku menghela nafas, saat menyadari pesan itu b
Sesampai di kosannya, Mas Gilang menggandeng tanganku. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Kami berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di lantai bawah. Sebelum mengetuk pintu yang bertuliskan “ruang pengelola”, Mas Gilang mengeluarkan sesuatu dari map plastik. Selembar kertas fotokopian. “Permisi, Pak!” sapa Mas Gilang saat pintu dibuka usai diketuk. Tampak seseorang dengan seragam warna biru navy keluar dari balik pintu. “Ya, Mas Gilang. Ada yang bisa dibantu?” tanya petugas itu setelah mempersilahkan kami masuk. Dalam ruangan itu terdapat satu buah meja kerja, dan satu set sofa. Lalu ada pintu, mungkin kamar atau toilet. Entahlah. Mas Gilang tersenyum ramah padanya, lalu ia menyuruhku duduk di sofa. Sementara, dia duduk di depan meja kerja si bapak petugas tadi.Entah apa yang dibicarakannya, aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Sepertinya dia sedang melapor karena aku akan menginap. Karena kulihat dia mengisi sebuah buku tamu dan memberikan lembar kertas fotokopian yan
Kusandarkan kembali badanku ke kepala ranjang. Kubiarkan kakiku slonjor di kasur Mas Gilang yang tidak begitu lebar. Hanya berukuran 140x200 meter. Cukuplah untuk berdua. “Kamu sudah nggak sabar?” Tiba-tiba suara Mas Gilang yang baru keluar dari kamar mandi dengan kerlingan menggoda menyentakkan lamunanku. Lelaki itu masih sama seperti kemarin. Keluar hanya dengan handuknya saja. Dasar bar-bar! Apa begini orang kalau hidup sendiri. Seenaknya saja tidak langsung memakai baju dari kamar mandi? Aku langsung memalingkan pandanganku darinya. Meskipun tak dipungkiri kalau aku menyukainya. Menyukai pemandangan indah itu tepatnya. Tidak! Aku masih marah padanya. Aku tidak mau lemah. Bisikku dalam hati. Untungnya, dia segera memakai baju rumahnya. Celana training dan kaos oblong bahan katun yang tipis. Lumayan nyaman sepertinya. Mas Gilangtersenyum cerah dan berjalan mendekatiku. Berbeda dengan hari biasanya yang selalu dingin dan jutek. Apakah ada angin yang membuatnya berubah?Meskipun
Gilang berdiri mematung di depan kosan Sakina. Baru saja Sakina menelponnya, bahwa besok dia harus pulang ke Yogya, karena orang tuanya akan menjodohkannya dengan anak kawannya. Tak dapat dipungkiri, kabar ini membuat Gilang shock. Dua hari lalu, dia baru saja mengucapkan selamat ke Sakina yang promosi naik jabatan di kantornya. Prestasi yang luar biasa karena dia baru dua tahun bekerja di perusahaan itu. Dan kini, Sakina mengabarkan bahwa dia akan dilamar. Berita yang amat mendadak ini membuat Sakina kaget. Juga Gilang. Sakina belum bisa menebak, dengan siapa dia akan dijodohkan. Tapi, tentu saja ini bukan main-main lagi. Kalau kemarin-kemaren Sakina masih putus sambung dengan pacar-pacarnya dan tidak ditarget kapan menikah, kini orang tuanya mulai mengambil peran. Artinya, ini sangat serius. Lalu, apa hubungannya dengan Gilang? Sakina adalah teman Gilang sejak di bangku SMA. Mereka satu angkatan. Sama-sama aktif di OSIS. Sakina yang cantik dan pintar, tentu saja menjadi inca
Lidah Gilang terasa kelu. Ada penyesalan mengapa dia tak kunjung mengungkapkan perasaannya ke Sakina. Tapi juga bercampur rasa malu, pantaskah dia mengatakannya bahwa hatinya hancur. Bukannya itu hanya akan menjadi lelucon buat Sakina. Gilang hanya bisa mengangguk lemah. Lalu dia mengecek jam di ponselnya.“Sudah jam sepuluh. Aku pulang,” pamit Gilang. “Jangan lupa yang, Lang. Besok kamu pesan tiket juga pulang ke Yogya. Sabtu kamu ke rumahku, ya!” kata Sakina sambil melambaikan tangan saat Gilang mulai melajukan motornya. Gilang tidak langsung pulang. Dia mampir ke sebuah café yang sering dia kunjungi bersama Sakina. Disesapnya kopi hitam sampai tandas. Pikirannya melayang-layang kemana-mana. Berandai-andai, tapi semuanya ditepiskan begitu saja. Dia memang bodoh. Mengharapkan cinta Sakina yang tak pernah menganggap cintanya. Sakina hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak lebih!Ingin rasanya menyalahkan kehadiran Sekar. Tapi? Apakah Sekar salah? Tentu tidak. Ada atau tidak ada
“Sekar! Aku ingin bicara,” ujar Mas Gilang usai pulang dari tempat Mba Sakina. Sepertinya sangat serius. Aku yang tadi sedang ngobrol dengan Mbak Ratih, kakaknya Mas Gilang, segera beranjak mengikutinya masuk ke kamarnya. Aku duduk di sisi ranjang, sedang dia duduk di kursi belajarnya menghadap ke arahku. Wajahnya terlihat tak baik-baik saja. Ada sendu, gelisah dan was-was bercampur menjadi satu. “Ada apa?” tanyaku saat kulihat dia seperti ragu ingin mengucapkan sesuatu. “Ternyata, pria yang melamar Sakina adalah Fajar,” ujar Mas Gilang sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Terlihat seperti orang frustasi. Aku tersentak kaget. Antara percaya tidak percaya. Bukankah Mas Fajar sudah memiliki pacar. Lalu, mengapa dia justru menikah dengan Sakina. Oh iya, aku ingat, Bude Nurul, orang tua Mas Fajar tidak menyetujui pacar Mas Fajar. Tapi, akupun tak tahu alasannya. Daniar pun cantik. Sesuai selera Mas Fajar. Tapi, mungkin ada pertimbangan lain.Mendengar nama Mas Fajar, mengingatkan
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi