“Kamu mau nanya apa, Sayang?” tanya Damian dengan lembut. Indi menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Damian yang tengah bersiap menjawab pertanyaan yang akan dia tanyakan kepada suaminya itu. ‘Arion bilang, Damian nggak tahu soal ini. Bahkan sopir yang bawa mereka pun masih dipenjara,’ ucapnya dalam hati. “Indi?” panggil Damian kembali. Indi kemudia menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Damian. “Heuh?” “Kok heuh? Kan, kamu yang mau nanya ke aku.”“Oh, iyaa. Aku tadi lihat ada yang kecelakaan. Jadi inget kamu sama Rachel dulu kecelakaan dan mungkin kayak gitu. Aku mau nanya sama kamu. Apa yang menyebabkan mobil itu harus mengalami kecelakaan?”Damian menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Indi. “Remnya blong. Ada yang coba sabotase tapi sidik jarinya udah hilang karena mobilnya hancur. Nggak tahu siapa dan akhirnya yang jadi tersangka utamanya sopir yang udah bawa kami.”Indi manggut-manggut dengan pelan kemudian menepuk lengan Damian. “Jangan diulangi lagi, nger
“Sesuatu? Apa itu?” tanya Indi ingin tahu. Damian kemudian menerbitkan senyumnya lagi. Raut wajah bahagianya tidak dapat ditutupi lagi karena malam ini adalah malam paling indah menurutnya. Sebuah kotak beludru persegi ia ambil di saku celananya kemudian diberikan kepada Indi. “Untuk kamu.” Indi mengambil kotak tersebut sembari menatap Damian yang sedari tadi menerbitkan senyumnya. Lalu membukanya dengan pelan dan melihat isi di dalam kotak tersebut.“Kalung?” Indi mengerutkan keningnya kemudian menatap Damian dengan tatapan anehnya. “Beli di Diamond Jewelry?” Damian mengedip-ngedipkan matanya. “Kok kamu tahu? Toko langganan kamu, ya?” Indi memutar bola matanya dengan pelan. “Tanpa kamu sadari, kamu udah buat aku ingat sama Rangga lagi, Damian! Itu toko punya si Rangga. Ngapain kamu beli di sana? Kayak nggak ada toko lain aja!” Damian menganga mendengar ucapan Indi. “In—Indi … a—aku benar-benar nggak tahu kalau toko itu punya Rangga. Sumpah, aku nggak tahu. Karena di sana orangn
Tiga puluh menit kemudian akhirnya mereka sampai ke rumah. Damian segera membuka sabuk pengaman yang ia kenakan. “Sayang, sudah sampai.” Damian kemudian menoleh ke arah Indi setelah melepas sabuk pengaman tersebut. “Heuh? Tidur rupanya,” gumamnya kemudian membuka sabuk pengaman sang istri. “Pulas juga, tidurnya.” Lelaki itu lebih dulu keluar dari mobil lalu membuka pintu sebelah kiri yang mana Indi masih ada di dalam sana karena tertidur begitu pulas. Lalu menggendongnya masuk ke dalam seraya menatap wajah ayu milik perempuan itu dengan lembut. Seutas senyum terbit di bibir Damian kala melihat wajah damai Indi yang begitu pulas dalam tidurnya. Ia lalu merebahkan tubuh sang istri di atas tempat tidur setelah mereka tiba di dalam kamar. “Have a nice dream, Indira,” ucap Damian dengan suara lembut kemudian mengecup keningnya. “I love you,” bisiknya lagi. Ia memilih untuk mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum tidur. Kemudian menolehkan kepalanya pada ponsel miliknya yang berderi
Hampir lima jam lamanya Damian menunggu Indi melakukan perawatan yang dimulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sampai ketiduran dan itu membuat hiburan tersendiri bagi Indi yang melihatnya. "Damian?" Indi membangunkan Damian yang tengah tertidur pulas di sebuah sofa ruang tunggu. Damian lantas membuka matanya kemudian menoleh ke arah Indi yang tengah duduk di sampingnya. "Sudah selesai, heum?" tanya Damian sembari mengucek matanya. "Sudah. Yuk! Beli kalung. Tapi di toko lain, bukan di tokonya Rangga." Damian menerbitkan cengiran kepada Indi kemudian beranjak dari duduknya. "Iya, Sayang. Maafin aku. Jangan diingat lagi, yaa." "Heeumm ...." Indi hanya menjawab seperti itu. Keduanya lantas keluar dari salon tersebut dan mencari toko perhiasan yang ada di sana. "Indi. Ini, untuk kamu." Damian memberikan sebuah black card kepada Indi. Perempuan itu menaikkan alisnya sembari menatap Damian. "Untuk apa ini?" tanyanya kemudian. "Untuk digunakan sebagai alat transaksi lah, Indi. M
Damian mengusap wajahnya dengan pelan setelah mendengar pertanyaan yang ditanyakan oleh istrinya itu. “Aku harus apa agar kamu bisa melihat kalau aku sangat bahagia karena sudah menikah denganmu? Ada hal yang menjanggal sampai kamu bertanya seperti itu padaku?” Damian balik bertanya kepada Indi.Perempuan itu menggelengkan kepalanya. “Bukan itu yang ingin aku dengar, Damian. Iya, atau tidak?”“Iya. Aku sangat bahagia meskipun harus menunggu kamu balik mencintaiku, Indi. Jangan bahas itu lagi, oke? Ada yang lebih penting dari itu. Belanja. Kayaknya pikiran kamu akan jernih kembali kalau sudah membeli semua yang kamu butu—“Indi meninggalkan Damian yang masih berbicara. Melangkahkan kakinya sembari mencari toko yang bisa dia kunjungi untuk membeli semua yang dia inginkan. Damian kemudian mengikutinya dan menjajarkan langkahnya di samping Indi.“Kenapa ninggalin aku?”“Kamu banyak omong.”“Kan, kamu tanya.”“Iya. Dan aku hanya meminta jawaban iya atau nggak. Dan kamu malah jawab panjang
“Indiraa?” teriak Gladis—salah satu sahabat Indi. Kebetulan sekali mereka bertemu di sana. “Lagi ngapain lo, di sini? Kok sendirian? Nggak sama Damian?” tanyanya kemudian. “Damian lagi pengen ngerokok dulu katanya. Elo sendiri?”“Sendiri juga. Lagi beli apa sih? Jangan sampai khilaf lo, Indi. Kalau udah belanja biasanya elo udah kayak orang kesurupan. Nggak sadar apa yang elo beli. Suka, beli. Suka, ambil.”Indi lantas tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. “Nggak usah khawatir. Gue dapat black card dari laki gue.”“Cieeee … udah dianggap suami ya, sekarang mah? Dulu-dulu aja manggilnya si kunyuk, kampret dan segala panggilan menjijikan semua. Udah cinta ya, lo?” tebak Gladis sembari menunjuk tepat di wajah Indi. “Apaan sih! Nggak ada! Nggak usah berasumsi yang aneh-aneh, Gladis.” Indi menyangkal ucapan perempuan itu. Gladis hanya menyunggingkan bibirnya kemudian menarik tangan Indi. “Gue punya toko jam tangan baru. Tadi gue abis ke sana. Sekalian kasih hadiah buat ayang tercint
Indi tertawa mendengar ancaman yang dilontarkan oleh Cindy kepada Damian. Sementara Gladis menganga melihat orang yang tengah mengancam suami dari sahabatnya itu. “Siapa dia, Ndi? Pacarnya Damian?” tanya Gladis kepada Indi. Perempuan itu mengendikan bahunya. Mirip jablay tapi bukan. Karena pakaiannya masih terbilang sopan. Salah satu orang yang gagal move on, Glad. Dan kebetulan deketnya sama Damian waktu dia mau nikah sama gue,” ucapnya dengan mata menatap kedua orang itu. “Ooh. Kenapa nggak elo samperin? Mau gue bantu, nggak?” Indi menoleh pelan kepada Gladis. “Nggak perlu. Gue nggak mau ada yang ikut campur urusan rumah tangga gue,” ucapnya kemudian menarik napas dengan panjang. Lalu menghampiri kedua orang itu dengan langkah santainya. Namun, Damian tampak ketakutan melihat Indi menghampirinya lantaran tidak memberi tahu Indi terlebih dahulu kalau dia tidak sengaja bertemu dengan Cindy. Takut Indi salah paham dan akhirnya marah kembali padanya. “Sayang ….” Damian berucap den
Keduanya sudah berada di rumah. Indi tampak puas setelah melihat semua barang belanjaan yang sudah dia beli. Sementara Damian menganga melihat banyaknya barang yang dibeli oleh istrinya itu.“Sayang, mau diapakan semua barang-barang ini?” tanya Damian kepada sang istri.Indi mengendikan bahunya. “Terserah aku lah. Mau diapain juga aku yang berhak menentukan. Kenapa? Nyesel, karena udah ngasih kartu unlimited kamu itu?” Damian menggelengkan kepalanya. “Nggak. Aku hanya tanya.”Indi menghela napas kemudian menatap Damian dengan tangan melipat di dadanya. “Sudah jam delapan. Kamu nggak mau melakukan apa, gitu?”Damian menaikkan alisnya sebelah sembari menatap Indi bingung. “Euh … mandi dulu kayaknya, yaa?” Indi menganggukkan kepalanya. “Boleh. Duluan aja. Aku mau beres-beres belanjaan aku dulu.”Damian kemudian mengangguk lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang ada di otaknya itu. Sudah traveling dengan santai agar tidak terlih
Satu minggu kemudianIndi sudah merasakan mulas yang tidak biasa. Setiap sepuluh menit sekali, la merasakan nyeri itu di perutnya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Damian yang baru masuk ke dalam kamar langsung menghampiri Indi yang tengah meringis kesakitan sembari memegang perutnya"Sayang. Damian memegang tangan Indi."Damian kayaknya aku mau lahiran deh. Perut aku sakit banget, lirih Indi lalu meringis kembali."Heeuh?" Damian tampak linglung dan juga panik. Ia kemudian menghubungi sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit"Ketuban kamu kayaknya udah pecah juga. Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang juga. Damian lalu menggendong tubuh Indi dan membawanya masuk ke dalam mobil"Ke rumah sakit sekarang juga!" titah Damian kepada sopirnya itu.Ia lalu menghubungi Ayu untuk memberi tahu kalau Indi akan melahirkan sekarang juga"Regina. Indi mau lahiran. Tadi gue lihat air ketuban dia udah pecah." Damian menghubungi Regina untuk mempersiapkan ruang persalinan untuk Indi.Oke, oke. Gu
Damian lalu menerima panggilan tersebut meski hatinya sudah was-was khawatir pihak kepolisian tahu siapa yang telah menyebabkan kematian Daniel"Selamat malam, Pak Damian. Mohon maaf telah mengganggu waktu Anda di malam-malam begini," ucap kepala polisi-Iman di seberang sana."Malam. Ada apa ya, Pak?" tanyanya dengan suaranya yang terdengar begitu santai. Padahal jantungnya berirama dengan cukup kencang."Jadi begini, Pak Damian. Kami mendapat laporan dari tetangga sebelah rumah yang ditempati oleh Saudara Daniel dan Pak Pradipta. Ada jasad yang dikubur di belakang rumah. Setelah diidentifikasi, ternyata mayat tersebut adalah Pak Pradipta dengan luka bekas tembak di bagian kepalanya."Kami pun melakukan memeriksa rekaman CCTV di rumah itu, dan yang telah membunuh beliau adalah anaknya sendiri yaitu Saudara Daniel. Untuk itu, besok pagi dimohon untuk membuat laporan pengambilan jenazah agar dimakamkan dengan layak. Juga dengan jasadnya Saudara Daniel yang masih ada di ruang jenazah."D
Indi menerbitkan sentumnya dengan lebar lalu menganggukkan kepalanya. "Yuk! Aku juga kepengen."Damian lantas terkekeh mendengarnya. Ia kemudian menarik tangan Indi dan membawanya masuk ke dalam kamar yang tak jauh dari tempat di mana mereka mengobrol.Setibanya di dalam kamar. Indi memilih untuk membuka bra-nya terlebih dahulu karena bra yang ia kenakan cukup susah dibuka bila selagi bercinta itu akan dilakukan.Sementara Damian membuka jam tangan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci miliknya terlebih dahulu."Damian memang rajin. Kalau mau bercinta, pasti dicuci dulu." Indi geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis.Sembari menunggu Damian selesai, Indi memilih untuk membuka ponselnya dan memainkannya sebentar.Sampai akhirnya Damian pun masuk kembali ke dalam kamar. Hanya mengenakan handuk yang dia lingkarkan di pinggangnya lalu menghampiri Indi dan menautkan bibirnya dengan lembut. Tangannya menyusup di balik dress yang Indi gunakan. Mengusapi paha mulus Indi dengan lembu
Satu minggu berlaluDamian sudah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik. Kini, mereka sudah berada di rumah bersama Diego dan juga Manda. Sementara Arnold tengah menyelesaikan masalahnya dengan keluarga besarnya"Ngapain juga lo harus pulang. Minggu depan juga ke rumah sakit lagi. Pan Indi mau lahiran. Udah ngos-ngosan tuh orangnya. Udah gak kuat kayaknya pengen ngeluarin tuh hasil keringat kalian." Diego menunjuk Indi yang tengah duduk menyandar di sandaran sofa.Ia lalu menoleh pada Diego dan mengusapi perut buncitnya itu. "Kayaknya nggak akan sampai seminggu deh. Dua sampai tiga hari juga udah mau bro jol Ini anak. Punggung gue udah kerasa panas soalnya," ucap Indi memprediksi kalau la akan lahiran dalam hitungan hari."Aku akan ambil cuti sampai kamu melahirkan, Sayang. Sesuai janjiku, akan menemani kamu saat lahiran nanti." Damian lalu mengulas senyumnya. Mengusapi perut buncit istrinya dengan lembut."Iya, Damian. Ternyata kamu nggak jadi pengangguran karena papa kamu m
Arnold merelakan jabatan serta statusnya demi menyelamatkan Damian agar jangan sampai diusik oleh keluarganya yang kini sudah mengetahui bila Damian adalah anak kandungnya.Sekali pun Bara tidak pernah keluar dari rumahnya padahal berita itu sudah surut karena permintaan dari Arnold. Sudah satu minggu berlalu, semuanya menjadi normal kembali setelah Arnold menyatakan yang sebenarnya tentang Damian."Jadi, Papa sama istri Papa mau udahan?" tanya Indi sembari menemani mertuanya itu makan siang di kantin rumah sakit.Arnold mengangguk. "Dan Papa tidak perlu harus ke pengadilan lagi. Karena Papa tidak akan mencari pasangan lagi. Selama ini, Papa hanya mencintai mamanya Damian, Kiran. Hanya dia satu-satunya perempuan yang mengisi hidup Papa."Indi manggut-manggut dengan pelan. "Tahu begini mah, kenapa nggak dari dulu, yaa." Indi meringis pelan menahan malu.Arnold terkekeh pelan. "Karena Om Ferdy baru kasih tahu kalau dia ternyata bukan anak kandung dari istrinya Kakek Bara. Makanya Papa t
Damian sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Banyaknya media yang berdatangan ke rumah sakit untuk meminta penjelasan kepada Damian lantas membuat Indi geram."Hhh! Sialan bener ini media. Nggak tahu aра, kalau ini rumah sakit. Pengen gue bogem satu- satu kayaknya ini orang!"Indi lalu beranjak dari duduknya."Indi, Indi. Indiraaaaa!!" Bahkan Damian tidak mencegah istrinya yang ingin melabrak awak media."Heh!" Indi sudah tidak tahan lagi dan akhirnya keluar dari ruang rawat suaminya itu. "Kalian tahu privasi orang, nggak? Suami saya masih sakit! Nggak bisa diganggu apalagi ditanyakan dengan pertanyaan konyol kalian!"Semua awak media lantas terdiam mendengar Indi yang marah-marah sembari berkacak pinggang sebab kesal."Kalau memang benar suami saya adalah anaknya Pak Arnold, kalian mau apa? Mau ngantre j
Bugh!"Berita konyol apa ini, Arnold? Bahkan sudah tersebar dua hari yang lalu, hanya saja kami baru tahu sekarang! Beritanya baru saja ramai sekarang!" pekik Bara-sang papa yang begitu marah melihat berita tersebut.Arnold hanya diam. la pun bingung kenapa berita itu bisa tersebar dan orang yang menyebarkannya adalah Daniel-orang yang hampir membunuh anaknya itu."Katakan, Arnold!" pekik Bara lagi. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Semua orang membicarakan kamu karena hal bodoh yang sudah kamu lakukan ini, Arnold!"Bugh!Sekali lagi, lelaki berusia tujuh puluh lima tahun itu memukul wajah Arnold yang tidak mau berucap sepatah kata pun.Tak lama setelahnya, Lyra-istrinya Arnold yang tak
Dua hari berlaluPerlahan, mata Damian terbuka. la lalu mengedarkan pandangannya di seluruh sudut ruangan tersebut. Hanya terdengar suara dari monitor detak jantungnya saja. Tidak ada suara apa pun di sana.Baru saja Indi masuk ke dalam sana, ia lantas terkejut kala melihat mata Damian yang akhirnya terbuka. Dengan langkah lebarnya, ia kemudian menghampiri Damian dan menggenggam tangannya."Damian. Akhirnya kamu siuman juga," lirih Indi lalu mencium tangan suaminya itu.Damian mengulas senyum tipis. Kondisinya masih sangat lemas belum bisa berucap sepatah kata pun. Hanya menatap Indi yang tengah memanggil Dokter Ryan menggunakan tombol di sana."Lihat kamu udah buka mata kayak gini buat aku lega, Damian. Itu artinya kamu sudah
Hampir dua jam lamanya proses operasi pengambilan peluru yang menancap di dalam perut. Damian akhirnya selesai dilakukan.Damian dibawa ke dalam ruang ICU untuk dilakukan pemulihan pascaoperasi."Proses operasinya berjalan dengan lancar Beruntung, peluru itu tidak masuk ke bagian yang paling dalam. Dalam dua sampai tiga hari, Pak Damian pasti akan sluman," tutur Dokter Ryan menjelaskan kondisi Damian setelah operasiIndi meme jamkan matanya, lega mendengar ucapan Dokter Ryan karena operasi berjalan dengan baik. "Dokter gak bohong, kan? Suami saya tidak mengalami hal yang buruk, kan?" tanya Indi memastikan kembali kepada Dokter Ryan.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Tentu saja. Bu Indi. Kami tidak pernah memberikan keterangan palsu bila mengenai kondisi pasien. Pak Damian hanya mengalami kritis pascaoperasi saja.