Pada mata hazel yang terbelalak, Kainan melihat seorang pria asing dalam keadaan terikat di atas kursi. Pria berjas mahal dengan tubuh proporsional duduk tenang meski dalam keadaan seperti itu.
Tidak terlihat jelas wajahnya, sebuah kain hitam menutup kedua mata miliknya. Kain itu hanya menyisakan sudut pipi dengan tulang rahang yang tegas, serta rambut bagian depan yang menjuntai menutupi keningnya.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa pria dengan penutup mata itu adalah pria yang berperan sebagai ujung tombak sebuah perusahaan. Meski jabatannya hanya sebagai direktur utama, dia adalah pria yang cakap dalam pekerjaannya.
"Si-siapa?" Pertanyaan itu dilontarkan Kainan dengan nada tegang. Bahkan, dengan mata yang membulat sempurna. Kakinya kaku tidak bisa digerakkan, tetapi otak wanita itu sudah menemukan kewarasan. Efek mabuknya telah hilang bersama ketakutannya saat ini.
"Siapa kau? Apa maumu!" Bentakan lantang berasal dari pria itu. Meskipun begitu, sikap tenangnya berkebalikan dengan situasi saat ini.
Pria yang tidak juga menyebutkan namanya itu adalah Levin Gerald, pria lajang yang usianya sudah menginjak kepala tiga. Namun, wajahnya yang tampan mampu menyamarkan usianya.
"Si-siapa? A-aku?" Kainan menjawab dengan tidak mengerti. Ujung jarinya ditunjukkan pada dirinya sendiri, lalu menggeleng tanpa sempat menjawab pertanyaan pria asing itu.
Levin yang terikat terdiam sesaat. Dia sedang mengenali situasi yang terjadi padanya saat ini. Bukankah begitu aneh bahwa orang yang dikira Levin telah menyekap dirinya, justru terlihat tidak mengetahui apa pun.
Itu hal yang wajar bagi Levin. Dia tidak mengetahui apa yang terjadi sebelum dirinya jatuh pingsan. Seorang tidak dikenal memukulnya dengan benda tumpul hingga dia jatuh tak sadarkan diri. Sesaat setelah sadar, dia telah mendapati dirinya sudah terikat di suatu tempat yang tidak dikenal. Di tempat itulah Kainan datang tanpa tahu apa yang terjadi.
"Wanita?" ucapnya meraba dari suara Kainan. Dari sumber suara itu, Levin dapat mengetahui arah pergerakan Kainan yang mendekat. Terlihat jelas bahwa dia sedang dalam keadaan waspada. "Siapa yang memerintahkanmu? Apakah kakakku dibalik penculikan yang kau rencanakan?"
Kainan mengerjap tidak mengerti. Dia memiringkan wajah cantiknya dengan penuh tanya. "Apa maksudmu? Aku … menculikmu?"
Levin terdiam. Pria terikat itu kembali mengoreksi ucapannya yang salah. "Bukan kau yang melakukan itu?"
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku menculik orang yang tidak aku kenal?" Kainan mendesah tidak percaya akan tuduhan pria itu. "Kalaupun aku diberi kesempatan untuk melakukan kejahatan, akan aku lakukan pada dua wanita menyebalkan itu."
Syeril dan Jenni adalah dua orang dalam gerutu Kainan. Begitu kesalnya wanita itu sehingga sosok mereka terbayang dalam situasi saat ini.
Levin tidak terlalu menanggapi ucapan Kainan yang tidak dimengerti. Dia mencoba membebaskan diri dari ikatan yang menjerat erat pada kedua tangannya. "Itu tidak penting sekarang. Bisakah kau membuka ikatan ini?"
"Ikatan? Apa kau orang jahat yang sengaja diikat? Apa kau akan menyerangku nantinya?" sanggah Kainan penuh dengan curiga.
Wanita berambut merah itu mendekat tepat di hadapannya. Dan ….
'Srak!'
Kainan membuka kain penutup mata Levin. Seketika itu, dua mata di antara mereka saling bertemu, bertatap lekat hingga hanya meninggalkan jeda untuk saling diam tidak berkomentar.
Pada mata hazel Kainan, dia dapat melihat iris hitam pria itu. Tatapan tajam dengan mata almond membuatnya terkesimah sesaat. Akan tetapi, wanita itu lebih terbuai dengan lekuk indah dari garis di wajahnya.
"Tampan," komentar Kainan yang menyadarkan kebisuan pria itu. Namun, wanita itu bereaksi dengan cepat. Dia menggeleng menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Ah, kau tidak setampan itu. Mulutku hanya kelepasan bicara."
Levin terdiam. Pada mata gelap miliknya, dia dapat melihat seorang wanita dengan rambut merah sebahu, lengkap dengan gaun cocktail yang juga sama-sama merahnya. Pria itu tidak menghentikan tatapannya. Itu membuat Kainan menjadi salah tingkah. Dia menunduk dan menggosok kepalanya yang tidak gatal. Dalam gerakan itu, sesekali dia melirik wajah tampan pria di hadapannya.
"Apa kau bisa menjelaskan apa yang terjadi?" Kainan membuang wajah bodohnya menjauh pada Levin.
"Apa kau tidak melihat keadaanku? Lekaslah buka ikatan ini, bila tidak kau bisa pergi sesegera mungkin." Levin terlihat tenang, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Dia sedang resah memandang keluar jendela. Tepat pada sebuah jendela kecil yang ada dibelakangnya, pria itu memastikan bahwa si penculik sebenarnya belum juga datang.
"Aku hanya perlu melepaskan ikatanmu saja, kan?" Kainan merendahkan tubuhnya dan memastikan ikatan pada tangan Levin pada punggungnya. "Baik, akan aku lakukan. Aku juga bukan orang jahat yang tega meninggalkan orang sepertimu sendirian."
Kainan mulai melancarkan aksinya. Dia sedang berusaha membuka ikatan di tangan Levin. Namun, tidak mudah. Tali yang berukuran tebal itu terikat begitu erat.
"Bagaimana?” tagih Levin ikut memastikan.
"Tidak bisa." Lawan bicaranya menggeleng dengan wajah putus asa. Wanita itu kembali mencobanya. Namun, usahanya tidak berhasil lagi.
"Kau bisa menggunakan lighter untuk membuka tali itu," saran Levin. Kainan kembali menatapnya, mata hazel tampak cerah menyambut ide pria itu.
"Kau memilikinya?"
"Kau bisa mencari di dalam saku jasku dan-" Kata-kata dari Levin terhenti. Tanpa menunggu aba-aba, jari Kainan melesat masuk di dalam jas Levin.
"Ergh …," desah Levin dengan kepala terangkat. Matanya terpejam bersama perasaan menggelitik di sekitar tubuhnya.
"Pria mesum!" cerca Kainan membuyarkan kenyamanan Levin.
Pria itu tidak mengelak akan tuduhan Kainan. Dia lebih tertarik pada lighter yang sudah berpindah di tangan wanita itu.
"Kau mendapatkannya?" tanya Levin memastikan.
Kainan mengangguk senang. Sebuah benda kotak berwarna hitam dipamerkannya pada Levin. Benda itu adalah pemantik api yang selalu dibawanya dalam saku jas.
"Kau bukan perokok? Lalu untuk apa membawa lighter? Padahal, aku tidak menemukan satu batang pun rokok di dalam sakumu," kritik Kainan sambil memantik lighter.
Sebuah api muncul dari ujung benda itu. Dengan cekatan, Kainan membakar ujung tali secara perlahan.
"Diamlah! Jangan bergerak-gerak, kalau tidak tanganmu yang akan terbakar!" ancam Kainan pada Levin yang sebenarnya tidak bergerak sedikit pun.
Terlihat jelas rasa kesal pada ekspresi pria itu, tetapi diurungkan. Dia tampak sibuk berjaga dan memandangi jendela di belakangnya.
Tidak lama, sebuah cahaya datang dari luar jendela. Cahaya itu datang dari sorotan lampu mobil yang baru datang. Ada orang lain yang juga tiba di tempat itu. Bisa saja mereka adalah komplotan penculik yang sebenarnya. Seketika itu, ketenangan Levin terguncang. Dia kembali melihat Kainan yang belum juga berhasil melepaskan ikatan talinya.
"Pergilah! Kau harus pergi secepat mungkin!" Dengan ucapan lantang dan bernada rendah, Levin memerintahkan Kainan. Sontak saja mata hazel wanita itu terangkat pada Levin. Kainan memiringkan kepala. Dari ekspresinya, terlihat jelas bahwa dia tidak menyadari situasi yang sedang terjadi.
"Ikatanmu belum juga terbuka," gerutu wanita itu memandang Levin dengan putus asa.
"Itu tidak penting sekarang. Kau harus pergi, kalau tidak-"
'Tap! Tap! Tap!’
Derap suara langkah kaki mendekat dari luar pintu. Levin yang menyadari hal itu hanya bisa melihat Kainan dengan resah. Dia tahu saat ini nyawanya terancam, tetapi Levin tidak ingin menyeret wanita itu ke dalam masalahnya.
"Terlambat!" tegas Levin yang mendengar suara kaki itu lebih jelas. Dia harus segera mencari cara sebelum penculik sesungguhnya membuka pintu dan mendapati Kainan. Penjahat itu tidak akan tinggal diam. Saksi mata dalam kasus kejahatan akan mengancam kebebasannya. Menyapu bersih saksi mata bukanlah pekerjaan yang sulit untuk dilakukan.
Levin harus segera memikirkan cara untuk menyelamatkan wanita tidak bersalah itu. Dia melambungkan tatapannya di sekitar. Pria itu harus mencari tempat persembunyian yang aman untuk Kainan.
Suara langkah kaki itu berhenti tepat di balik pintu. Namun, Levin belum juga menemukan apa pun. Dalam ruangan kosong yang tidak memiliki perabotan, mustahil ada sedikit ruang untuk menyembunyikan wanita bertubuh ramping sepertinya.
"Sembunyi di balik pintu dan pergilah saat sudah tidak ada orang!" Lagi-lagi Levin memberikan perintah yang tidak dimengerti Kainan.
Ini adalah suasana genting di mana nyawa orang tidak bersalah seperti Kainan dipertaruhkan. Namun, wanita itu tidak menyadari bahaya yang dapat mengancam nyawanya. Sedetik dia terdiam, sedetik lagi dia mengeluh.
"Kau menyuruhku pergi? Tidak! Aku sudah bilang akan membantumu melepaskan ikatan ini," tolak Kainan tanpa berpikir. Wanita keras kepala itu membuat Levin kehabisan kata. Namun, dia harus segera membuat Kainan menuruti ucapannya.
"Pergi sekarang juga!" Itu adalah perintah Levin dengan nada tinggi.
Kainan terdiam sesaat. Pada mata pekat Levin terlihat jelas rasa khawatir yang tertuang dalam ekspresinya.
Selangkah Kainan mundur, selangkah lagi dia bersembunyi di balik pintu sesuai perintah Levin. Rupanya, gertakan pria itu begitu ampuh.
'Brak!'
Pintu terbuka dari luar, seorang pria gendut dengan penutup kepala datang. Pria itu terlihat tidak berbahaya, tetapi di ujung jarinya menggenggam sebuah senjata tajam.
Kainan yang bersembunyi hanya bisa menyaksikan saat pria itu hendak mengayunkan pisau. Ujung tajam dari benda itu siap menancap di dada kiri Levin.
Mata hazel Kainan terbelalak penuh ketakutan. Dia ingin menjerit, tetapi itu adalah hal yang tidak boleh dilakukannya. Kedua tangan wanita itu membungkam mulutnya sendiri. Dia juga ingin membungkam jantungnya agar suara debaran keras tidak terdengar di telinga penjahat itu.
Ujung pisau dari pria gemuk siap menancap pada sasaran dan ....
'Srak!'
"Argh!" eram seseorang kehabisan napas. Suara eraman itu bukan berasal dari Levin yang terluka, tetapi si gendut yang memegangi lehernya. Sesuatu telah menjerat leher pria itu hingga dia jatuh tersungkur di atas lantai. Tidak hanya tubuh gendutnya saja, tetapi juga senjata tajam yang dia pegang ikut terlempar. 'Prang!' "Si-siapa kau-” Pria yang wajahnya mengenakan penutup hitam menoleh ke belakang. Dia melihat Kainan sekuat tenaga menarik sebuah tali. Tali itu adalah tali dari tas yang digunakan untuk menjerat pria gendut itu. "Rasakan itu!" cemooh Kainan memastikan pria itu benar-benar sudah tak berdaya. Tidak puas menjerat, Kainan memberi tendangan untuk akhir dari serangannya. Tendangan kecil itu membuat ujung gaun merah miliknya terangkat dan mengumbar bagian pa
Mendadak Levin terbangun, pria itu tersentak saat melihat adanya perbedaan pada langit-langit kamarnya. Tempat itu bukanlah kamar apartemen Levin tempat dia tinggal, tetapi kamar asing yang tidak pernah didatanginya satu kali pun. “Argh!” eram pelan pria itu saat berusaha duduk. Rasa sakit mendadak muncul di bagian bahunya. Dengan telanjang dada, dia dapat melihat sebuah perban yang di dalamnya masih merembes darah. Rupanya, itu adalah darah yang dia dapat dari kejadian semalam. Sebuah tusukan dari orang yang sudah menculiknya membuat memori Levin bekerja kembali. Bahkan, sepintas sosok Kainan terbesit dalam ingatan. “Wanita itu-" gumam Levin pada dirinya sendiri. “Siapa? Aku?” sahut Kainan menyentak tiba-tiba. Wanita yang sudah duduk di hadapan Levin menanggapinya dengan santai.
Mata monolid milik Elliot terbelalak bulat, bahkan menyerupai bibir cangkir kopi yang baru dia sajikan di atas meja Kainan. “Me-menikah? Aku mendengar kata menikah darimu. Apa aku salah dengar?” Elliot mengambil posisi duduk di depan Kainan. Matanya memandang lurus pada wanita itu. Namun, orang yang dipandanginya hanya tersenyum kecil. Dia lebih tertarik pada kopi di hadapannya. Kainan menyibak kertas-kertas sisa dari pekerjaannya. Dia mengangkat cangkir itu dan meniup lembut kepulan asap kopi di dalamnya. “Ah, rupanya benar, aku yang salah dengar!” ucap lega Elliot dari kesimpulannya sendiri. Pria itu merenggangkan posisi duduknya lebih santai, begitu juga dengan wajah tegangnya. “Apa aku mengatakannya seperti sebuah candaan?” sanggah Kainan setelah menyesap s
"Siapa yang membunuh siapa?" Suasana di lantai 17 mencekam sesaat. Bahkan, kedua pria yang saling berhadapan itu saling bertatap pandang dengan sikap waspada. "Levin Gerald?" Elliot menyebut nama pria yang sudah di hadapannya. Mata monolid miliknya melirik nama di dalam kartu nama itu. Dia sedang memastikan ejaan dari nama Levin diucapkan dengan benar. Sebuah nama tidak membuat ekspresi Levin tergerak sedikit pun. Sikapnya tetap sama dengan pikiran yang menetap pada sebuah kesalah pahaman. Pria yang baru menjadi korban dalam sebuah penculikan itu menaruh curiga pada kedatangan pria asing di depan pintu apartemennya. Dia sedang salah kira bahwa pria itu datang untuk melakukan hal serupa. "Apa kau orang suruhan Elgie
Kainan berusaha kabur. Dia kabur dari pandangan mata salah satu pria tua di sela-sela tamu undangan. Pria berusia 60 tahun itu adalah kepala keluarga Dawson, John Dawson, pria dari benua barat yang namanya memiliki sejarah gelap dalam pembangunan Royal Group. Di sebuah ketinggian, tepatnya pada hall yang ada di lantai paling atas sebuah hotel, musik-musik klasik mengalun elegan. Musik yang sumbernya berasal dari dentingan piano menjadi pusat dari pesta itu. Tidak lama, suara tepuk tangan meriah terdengar setelah melodi itu mencapai klimaks. Terlihat juga seorang pianis muda membungkuk berulang kali untuk memberikan sebuah penghormatan. Ini ada pesta pembukaan gedung Hotel Imperial Lux. Sebuah hotel yang digadang-gadang akan menjadi hotel termewah seantero negeri. Hal
Di bawah pancuran air shower, Levin terdiam menikmati hujanan air yang membasahi tubuhnya. Aroma segar dan classy dari sabun meruah di dalam kamar mandi. Kepala pria itu terangkat, matanya terpejam rapat. Dia merasakan sensasi perih di area sudut bibirnya. “Luka ini tidak akan lekas hilang,” desah Levin yang sudah berpindah di depan wastafel. Dalam pantulan cermin itu, terlihat tubuh berotot Levin yang lembab dengan titik-titik air. Namun, tangan pria itu sibuk memegangi sudut bibirnya yang terlihat merah. Warna merah merupakan sisa darah dari pukulan Elliot yang menyelip di tempat itu. Sebuah ketakutan Levin terhadap darah tidak membuat tubuhnya bergetar atau bahkan pingsan seperti sebuah pisau yang menghujam bahunya tempo hari. Luka di sudut bibirnya memanglah tidak parah, darah tidak mengucur dari tempat
Ketegangan yang diciptakan dari ucapan Levin tidak dapat dipercaya Kainan. Itu membuat lawan bicaranya menggeleng dengan senyum merendah. Pertentangan itu tidak dapat dipungkiri. Pernikahan yang bukanlah karena saling mencintai tidaklah mustahil dilakukan bila kedua pihak memiliki tujuan. Namun, tujuan Levin jelas tidak terlihat di mata Kainan. Tidak mungkin seorang yang bisa mendapatkan wanita manapun seperti Levin mau mengorbankan masa depannya hanya sebagai tanda terima kasih. Tampaknya pria itu menghindari kontak matanya. Dia tersenyum rendah setelah mengakhiri aksinya dan beralih pada meja bar. Di tempat itu, Levin menuang lagi segelas anggur dan menawarkannya pada Kainan. "Hatten Noir," sebut Levin memamerkan merk anggur di tangannya. Kainan tidak tampak menolak. Dia menerima meski tanpa mengiyakan.
= 'Brak!' "Apa yang sudah kau lakukan!" Kemarahan Syeril tertuang dari dalam kata-katanya. Tidak hanya itu, kedatangannya yang langsung melempar sebuah koran di atas meja membuat suasana makan pagi mencekam seketika. Jenni yang tengah menyantap sepotong roti hanya bisa terbatuk-batuk akibat bentakan ibunya, sedangkan Kainan, orang yang menjadi pusat kemarahan wanita itu hanya menanggapi dengan santai. "Kenapa kau berisik sekali," komentar ringan Kainan justru membuat mata Syeril mendelik kesal. Ujung jari Syeril menunjuk ke surat kabar yang ada di atas meja. Sebuah berita pernikahan antara Kainan dan Levin tercetak di halaman utama, melebihi berita selebritis nasional. "Kau masih sempat bertanya apa? Lihatlah ber
“Levin Gerald Jawson, apakah kau berjanji akan setia dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan.”Ucapan dari seorang pendeta di hadapan Levin membuat pernikahan itu menjadi sakral. Tidak ada satu pun yang berbicara, para undangan hanya memperhatikan kedua pengantin dalam balutan gaun putih. Begitu juga dengan Levin, dia terlihat tampan dengan sebuah rangkaian mawar kecil yang disematkan di lapel jas putihnya.Di samping Levin berdiri Kainan. Pria itu menggenggam tangannya seolah tidak ingin lagi kehilangannya. Sebuah tangan dengan ukuran yang lebih kecil dari miliknya itu adalah tangan seorang wanita yang untuk pertama kalinya Levin genggam.Pada mata hitam Levin yang pekat, terefleksikan senyum kecil Kainan dengan wajah merona merah. balutan gaun mermaid sederhananya tidak menghilangkan kesan mewah. Meskipun dia adalah sedikit dari banyaknya pengantin
Di tengah senyum mempelai pria, hati Levin sedang resah. Beberapa Kali mata hitamnya terlihat menatap pintu, terkadang dia menunduk untuk melihat arloji di tangan.“Aku belum melihat mempelai perempuan, aku pikir Kainan datang terlambat.” Suara dari pria pemilik Imperial Lux yang datang menghampiri Levin. Tampaknya dia terlihat terburu, meskipun begitu pria itu tidak bisa langsung pergi tanpa menampakkan wajahnya pada mempelai perempuan.“Tiga puluh menit dari acara yang sudah ditentukan, apa terjadi sebuah masalah?” desaknya yang membuat Levin tersudut. Namun, dia hanya membalas dengan senyuman. Sambil memastikan pada arlojinya sendiri, Levin menutupi rasa cemas. Dia mengambil dua gelas wine putih dan memberikannya pada pria itu.“Kenapa kita tidak menikmati waktu luang ini untuk bersu
‘Brak! Brak! Brak!’Di tengah kegaduhan itu, mata hazel Kainan terbuka perlahan. Sayup-sayup, wanita itu mengerjap sesaat. Penglihatan yang awalnya buram kini terlihat jelas. Namun, mata indahnya memicing melihat penjahat yang telah menculiknya menghajar seseorang secara membabi buta. Tidak terlihat jelas siapa, suasana gelap dan hanya seberkas cahaya kecil dari lampu kuning menghalangi penglihatannya.Kainan yang masih terduduk mencoba mengingat kembali apa yang terjadi padanya, tetapi dia tersadarkan akan suatu hal. Tubuhnya tidak bisa bergerak, sebuah ikatan dari tali membatasi pergerakannya. Seseorang telah mengikat tangan dan kakinya dengan rapat.“Siapa yang berani melakukan hal ini!” geramnya dalam hati. Namun, tidak ada satu pun jawaban yang ditemukan Kainan, kecuali gambaran pria yang telah menculiknya.‘Brak!’Wanita yang masih terikat itu tersentak kaget, dia melihat seseorang jatuh menabrak dirinya, lalu tersungkur tepat di bawah kakin. Kainan dapat m
'Brak!'Sebuah pukulan keras dilakukan Levin pada dinding di dekatnya yang tak berdosa.Pukulan itu membuat tangannya yang terkepal meneteskan cairan darah hingga memercik di atas lantai putih di dalam toilet itu. Perasaan gelisah bercampur mual tidak lagi bisa menutupi amarahnya. Tangan pria itu bergetar sambil mengarahkan tinjunya pada cermin, tubuhnya ambruk sesaat tetapi ditahannya dengan sisa tenaga.“Ceroboh! Aku ceroboh! Seharusnya aku sendiri yang menjemputnya!”Perasaan kesal atas kelemahannya sedang bergejolak di tengah amara. Tanpa adanya kemampuan berkelahi, pria itu tampak tidak berguna dalam keadaan seperti ini, seakan otot yang dimilikinya hanya sebagai aksesoris yang tertempel di tubuh.“Apa yang harus aku lakukan untukmu,” sesalnya pada dirinya sendiri.Levin sungguh ingin menyelamatkan calon istrinya, tetapi tindakan gegabahnya berhasil dicegah Elliot. Akhirnya, dia harus mengalah pada pria yang tidak disukainya untuk menggantikan kewajibann
Satu per satu tamu undangan datang dengan warna-warni gaun glamour dari berbagai desainer ternama. Para pria menggandeng mereka dengan jas mahal yang dikenakannya. Dengan senyum seramah mungkin dia menyalami Levin yang sudah siap menyambut.“Selamat atas pernikahan anda,” ucap pria yang tidak asing di mata Levin. Meskipun mereka tidak saling mengenal, wajah pria di depannya adalah pemilik Imperial Lux yang berpengaruh besar atas pernikahan Levin dan Kainan. Tentunya, Levin tidak akan pernah melupakan wajah itu. Wajah yang membuat pernikahan itu tetap terjadi seperti saat ini.Sebuah senyum ramah dari Levin adalah balasan untuk pria di hadapannya. sambil saling berjabat tangan, Levin mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi, pria pemilik Imperial Lux tidak puas dengan itu saja. Wajahnya tampak mendongak mencari seseorang di sekitar Levin.“Di mana mempelai wanitanya?” Terjawab sudah apa yang pria itu cari. Hubungannya dengan mempelai wanita cukuplah dekat. Meski hanya ter
Sebuah gedung penuh cahaya benderang di bawah sinar bulan, musik-musik siap diputar dengan lagu berkelas. Segala dekorasi bunga terlihat menghias setiap sudut ruangan, bersama renda-renda putih yang menjulur dari langit-langit tinggi gedung itu.Itu adalah gedung di mana nama Kainan dan Levin Gerald akan mengucapkan janji pernikahan mereka. Suasana masih sepi, belum ada undangan datang. Jam menunjukkan tiga jam sebelum dimulainya acara.Terlihat para pelayan sibuk menyiapkan sajian, beberapa sibuk memperbaiki dekorasi meja. Namun, pria berjas hitam dengan gaya parlente terlihat berdiri di sudut ruangan. Matanya berkeliaran memastikan semua berjalan lancar. Itu adalah tugas Elliot untuk mempersiapkan kebutuhan pernikahan Kainan. Meskipun saat ini dia lebih ingin ada di dekat Kainan, tetapi tugasnya sebagai sekretaris menuntut untuk berada di tempat ini dan mengawasi setiap detail persiapannya.“Apa kau semalaman tidak bisa tidur?” pertanyaan tiba-tiba Elliot saat menyampi
Suara telepon kabel di meja Elliot berdering. Seperti biasa, dia menjawab sambungan telepon melalui loudspeaker dengan tangkas, sementara jari-jarinya dengan cepat menekan huruf-huruf pada keyboard komputer.“Selamat siang, Sekretaris Elliot di sini!” sapanya yang tidak ramah dan tidak juga abai. Dia menjawab telepon itu seperti biasa di tengah kesibukan pekerjaan yang menuntutnya cepat.[“Selamat siang, Pak. Kami dari meja resepsionis menyampaikan bahwa saat ini Nyonya Syeril menuju atas.”]Mendengar apa yang ada di dalam telepon itu membuat Elliot menghentikan pergerakannya sejenak. Wajah tegang pria itu menunjukkan akan ada sesuatu yang terjadi dan itu bukanlah sesuatu yang baik. Tentu saja karena Elliot mengetahui alasan Syeril datang di perusahaan.Tatapan monolidnya menatap tajam telepon yang tidak bersalah itu. “Baiklah, aku mengerti.”Sambungan telepon ditutup. Dia ingin merenggangkan duduknya, bersandar sejenak pada kursi putar dan menghela napas berat.
'Bruk!'Dengan sekali pukulan dari Elliot, tubuh Ziel terhempas ke dinding dan jatuh terkapar di lantai."Argh, sakit!" rintihnya sambil mengusap sudut bibir yang sudah berdarah.'Bruk! Bruk! Bruk!'Tidak hanya sekali, Elliot memberi lagi pukulan yang kedua dan ketiga kalinya. Itu berhasil membuat wajah tampan dari Ziel terluka lagi.“Apa yang kau lakukan, El!" Pertanyaan itu ada saat Ziel mendongak ke atas. Dia melihat Elliot berdiri dengan tinjuannya.Tidak banyak bicara, Elliot menarik rambut Ziel hingga tubuhnya terangkat. Melihat wajah itulah membuat Elliot muak untuk membayangkan apa yang terjadi. Ziel mencium Kainan. Itu adalah penyebab Elliot tidak bisa menahan tinjunya lagi. Satu kali … dua kali … bahkan pukulan bertubi-tubi itu dia layangkan pada Ziel hingga tubuhnya tersungkur di atas ubin tangga."Kau pria brengsek!" geram Elliot penuh amarah.Pria itu kembali menarik rambut Ziel hingga tubuh lemahnya terangkangkat. Satu kali dari ti
Gaun pernikahan Kainan rusak!Wanita berambut marun itu menggeleng tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Di depan mata hazel yang membulat lebar, terpantul biasan dari gaun pengantin yang sudah dalam keadaan rusak.Itu adalah gaun ball gown putih dengan payet dari kristal. Model sederhana dan elegan adalah gaya yang cocok untuk dipakai Kainan. Namun, gaun itu tidak bisa lagi dipakai, seseorang sengaja mencacah di berbagai tempat hingga robek di mana pun.“Ada apa, Kai?” Elliot datang dari belakang. Dia begitu cekatan saat mendengar Kainan dengan suara tinggi.Tidak ada satu pun komentar dari Elliot saat Kainan menunjukkan gaunnya yang sudah rusak."Lihat ini, apa yang terjadi dengan gaun cantikku!" Sisi la