"Gus, ngapunten, Neng Feiza di mana lho?" tanya laki-laki itu kepada Furqon di sela-sela acara makan.
"Feiza?" tanya balik Furqon. "Iya, Gus. Kok ndak terlihat dari tadi. Apa jangan-jangan, Neng Feiza kurang nyaman, ya, kalau makan malam bertiga denganku juga? Sudah aku bilang ke njenengan kan, Gus, aku ndak usah ikut makan malam bersama. Kalau sudah begini jadi makin sungkan rasanya sama Neng Feiza." Furqon menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum mendengar penuturan Salim. "Kamu ini ngomong apa, Lim, Lim," gumam Furqon. Ia kemudian menghela napas. "Feiza ndak di sini. Dia ada di kosnya." Salim langsung membelalakkan mata mendengar informasi yang baru didengarnya dari gusnya iu. "Hah? Maksud njenengan, Gus?" tanya laki-laki itu dengan wajah terkejut menatap Furqon. "Ya." Furqon kembali menghela napasnya. "Feiza meminta pernikahan kami disembunyikan,Kamis. Jika menurut pada kesepakatan yang sudah sama-sama disetujui Feiza dan Furqon, hari ini adalah hari di mana Feiza harus tinggal di rumah laki-laki jangkung yang secara agama sah menjadi suaminya itu.Furqon meminta Feiza tinggal di rumah kontrakannya dengan durasi yang lebih banyak daripada Feiza yang tinggal di indekosnya dalam rentang waktu satu minggu. Maka jika dinalar, itu artinya Feiza harus tinggal di rumah Furqon selama empat hari dari tujuh.Feiza sudah tinggal tiga hari di indekosnya semenjak ia kembali dari Jombang ke Plosojati. Mulai dari hari Senin, Selasa, dan Rabu. Meski di hari Senin malam sekembalinya ke Plosojati, Feiza sebenarnya sudah menginap di rumah Furqon. Namun, tetap saja. Di Kamis alias hari ini, gadis itu harus mulai tinggal di rumah Furqon seperti kesepakatan mereka. Hingga hari Minggu.Feiza bingung apa yang harus ia katakan kepada teman-temannya.Ia mau menginap di rumah saudara? Tapi, saudara yang mana? Feiza
Gus Furqon: Sudah kubilang kamu harus sudah ada di rumah sebelum aku berangkat kuliah kan?Gus Furqon: Nanti malam kamu harus mendapat hukuman FeizaPandangan Feiza masih menatap lurus pesan Furqon yang masih terpampang nyata di layar ponselnya.Tatapan mata gadis itu horor.Feiza benar-benar tidak habis pikir oleh apa yang diketik sebagai pesan balasan oleh Furqon, laki-laki yang telah menjadi suaminya itu.Hukuman? Hukuman apa?Meski jantung Feiza berdebar dan perasaan tidak enak mendominasi hatinya, gadis bernetra mongoloid itu akhirnya memilih menayakan langsung kepada sang pengirim pesan apa maksud pesannya.Feiza: Hukuman apa Gus?Feiza berhasil mengirim pesan balasannya pada Furqon.Drtt ... Drtt ....Tidak lama, Furqon sudah membalas pesan Feiza.Gus Furqon: Kamu akan tahu sendiri nanti FeizaGus Furqon: Yg jelas hukumannya akan sangat kamu sukai jugaEntah ke
Feiza itu perempuan cerdas! Untung saja.Gadis itu tidak kehilangan akal saat Furqon meminta Feiza memasakkan makan siang untuknya.Seperti dugaan Feiza, tidak ada apa-apa di dapur Furqon selain persediaan mie instan, sosis, dan selusin telur ayam yang tampaknya baru diletakkan di dalam kulkas.Sekalian dan demi menghemat waktu, Feiza langsung memasak bahan-bahan yang tersedia itu, mandi super kilat, bersiap, lalu berangkat ke kampus setelah mampir ke salah satu warung yang dilewatinya.Peduli setan! Feiza membelikan nasi matang untuk Furqon di warung itu. Sebab akan terlalu memakan waktu jika menanak sendiri.Ya, Feiza tahu, tidak baik makan mie instan dengan nasi. Namun, apa boleh buat? Feiza khawatir Furqon tidak cukup kenyang jika hanya makan nasi dan olahan dari bahan telur ft. sosis. Jadi, Feiza mengolah mie instan juga dengan kedua bahan yang ada itu. Dan jika Feiza hanya membawakan bekal mie tanpa nasi, jelas kurang afdal disebut
"Ada yang bisa kubantu?"Feiza yang sedikit melamun terlonjak kaget mendengar suara Furqon yang terasa tepat di belakangnya itu. Dan benar saja, Feiza langsung mendapati sosok tinggi Furqon di belakangnya ketika menoleh.Baru saja gadis itu melamunkan pertemuan tak disengajanya dengan Tiara, teman satu angkatan dan jurusan dengannya yang kini sedang menjadi rivalnya dalam Pemilwa ketika berbelanja bahan-bahan makanan dengan Furqon.Untung Furqon sedang tidak bersama dan tidak di dekatnya saat itu. Jika tidak, Tiara tentu akan langsung curiga atas kebersamaan Feiza dan Furqon.Furqon sedang memilih barang belanjaan yang lain ketika itu, sedangkan Feiza sedang memilih sayur-mayur dan buah, sampai Tiara datang menghampirinya dan menyapa. Menyombong lebih tepatnya dengan barang-barang belanjaannya yang terlihat 'wah' dan cukup banyak sedangkan Feiza tampak tidak membawa apa-apa karena troli belanjanya sedang Furqon bawa. Namun, Feiza tentu tidak mengh
"Astaghfirullah. Kenapa jantung deg degan gini, ya?" Feiza bergumam sembari meremat kerudung yang dipakainya menutup dada sebelah kiri, letak jantungnya berdetak dengan cepat saat ini. "Hukuman apa yang akan diberikan Gus Furqon? Bukan sesuatu yang aneh-aneh, kan?" Feiza bermonolog dengan suara pelan. "Ya Allah, tolong hamba." Gadis cantik itu saat ini sedang duduk di sebuah sofa panjang yang ada di ruang keluarga, menunggu Furqon yang masih berkutat dengan cucian piring dan alat-alat bekas memasak yang tadi digunakan Feiza di dapur. Beberapa saat menunggu dengan jantung yang bertalu-talu, Furqon akhirnya menampakkan diri sembari tersenyum cerah ke arah Feiza. "Lama, ya?" tanya Furqon. "Eh. E-enggak kok, Gus." Feiza gugup menggeleng. "Jadi, njenengan mau hukum aku apa?" tanya Feiza setelah merasa mampu kembali menguasai dirinya. "Aku tadi padahal sampek ke rumah ini tepat waktu l
"Lebih keras, Fe." Feiza menghela napas. Seperti yang diminta Furqon, kini ia sedang memijat tubuh laki-laki jangkung itu di atas ranjang queen size kamarnya. Sejak sekitar satu jaman yang lalu. Lelah? Tentu saja. Tapi Furqon memang sepertinya benar-benar berencana menghukumnya. Feiza pun berusaha menekan semakin kuat punggung Furqon yang sedang dipijatnya dengan kedua tangan. Tangan Feiza yang capek sampai sudah terasa kemang karena memjiat Furqon sejak tadi. "Em ... arghh ... iya, gitu. Enak, Fe." Feiza hanya mendengkus menahan kekesalannya. Furqon benar-benar sungguh tega menguji kesabarannya. "Feiza," panggil Furqon di sela-sela pijatan Feiza. "Iya," sahut gadis cantik itu tak acuh. "Menurutmu." Furqon menjeda. "Bagaimana kalau seorang suami meminta istrinya yang belum disentuh melakukan malam
Hari kedua. Feiza langsung berkutat di dapur pagi-pagi sekali selesai salat Subuh berjemaah dengan Furqon. Ia tidak ingin mengingat kejadian semalam dan mencoba menghindar dari suaminya itu.Ketika sarapan, Feiza juga memilih duduk berjarak dengan Furqon. Dibiarkannya Furqon mengambil sendiri sarapannya sedang Feiza pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia juga cepat-cepat menyelesaikan sarapannya dan memilih pergi ke kampus lebih dulu. Meski seharusnya, Feiza baru memiliki jam perkuliahan pukul sembilan nanti. Furqon ditinggalnya sendiri."Lho, bukannya kelas kamu baru jam sembilan?" tanya Furqon ketika Feiza berpamitan tepat pukul tujuh.Feiza tentu tidak heran mendengar pertanyaan Furqon. Laki-laki itu memang tahu jadwal perkuliahan Feiza. Bahkan, sepertinya hafal di luar kepala."Iya, Gus, he he. Hari ini aku ada urusan, Gus. Jadi mau berangkat pagi." Feiza mencari alasan."Urusan apa?""Itu. Masalah pencalonan. Aku mau ke BC PGM
"Njenengan mau bicara apa, Gus?" tanya Feiza begitu dirinya mendudukkan diri di samping Furqon yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Seperti yang Furqon minta, Feiza langsung pulang ke kontrakan Furqon begitu kelasnya usai dan tiba di kontrakan itu sepuluh menit kemudian. "Aku mau minta maaf," kata Furqon. "M-maaf kenapa?" Feiza sedikit gugup mendengar Furqon yang tiba-tiba meminta maaf kepadanya. "Kejadian semalam." Feiza langsung diam. "Aku harus ninggalin kamu tanpa penjelasan apa-apa." Feiza tidak tahu harus merespons bagaimana kata-kata Furqon yang kini menatap intens ke arahnya. Kejadian semalam, ya? Mengenai Furqon yang menghukumnya? Mengenai Furqon yang akan menciumnya? Atau ... mengenai Furqon yang memang akan mengajak Feiza melakukan malam pertama seperti apa yang Feiza pikirkan sebelumnya?
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang