"Fe, pulang kapan?" tanya Nisa pada Feiza. Gadis itu duduk di samping Feiza di deretan bangku yang ada di barisan depan kelas.
Beberapa saat lalu, kelas telah diakhiri oleh dosen mereka dan teman-teman sekelas Feiza yang lain sudah mulai bejibun keluar meninggalkan ruangan itu."Bentar ya, Nis. Aku masih ada urusan bentar di kampus. Kamu balik aja duluan ke kos sama Ririn-Binta. Nggak pa-pa, ya?" tutur Feiza."Ohh. Iya, Fe. Oke deh." Nisa yang sudah merapikan barang-barang yang ada di atas bangkunya tersenyum."Balik, yuk!" ajak Ririn yang kini berdiri di depan bangku Feiza dan Nisa dengan Binta yang ada di sebelahnya.Jika Feiza dan Nisa suka duduk di bangku deretan depan. Maka Ririn dan Binta sebaliknya. Kedua gadis yang sama-sama berasal dari Kediri itu lebih suka duduk di deret tengah atau bangku belakang.Feiza itu gampang mengantuk kalau mengikuti pelajaran di kelas formal. Apalagi di siang, tengah hari. Jadi, duduk di bang"Mas Fahmi, ini pesanannya."Sekeluarnya Feiza dan Fahmi dari ruangan dosen ketua jurusan mereka guna mendapatkan surat rekomendasi pencalonan, seseorang menghampiri Fahmi dan Feiza, menyerahkan sebuah kresek bening berukuran sedang kepada Fahmi."Eh, Fatkhur? Makasih, ya. Udah di sini lama?" Fahmi menerimanya. Ia cepat mengeluarkan dompet dari saku celana dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada pemuda pengantar makanan itu."Sama-sama, Mas. Baru aja kok, terus sampean keluar," jawabnya sembari menerima uang Fahmi. "Matur nuwun juga ya, Mas. Bentar, tak carikan uang kembalian dulu."Fahmi langsung mencegah tangan Fatkhur yang hendak merogoh saku jaketnya. "Nggak usah. Kembaliannya anggap aja ongkir sama sedikit bonus." Laki-laki itu tersenyum."Wah, beneran, Mas?""Iya."Anak dari salah satu penjual di kantin kampus yang menjadi langganan Fahmi itu langsung memekarkan senyumnya. "Siap, matur nuwun, Mas Fahmi."
Feiza dan Fahmi masih saling bertatapan.Keduanya benar-benar tidak ahu apa yang terjadi. Bagaimana bisa Tiara yang mencalonkan diri sebagai lawan Feiza dalam pemilwa? Seharusnya Wisnu yang katanya akan ikut maju bersama Arif. Tapi, kenapa malah Tiara? Apa yang terjadi sebenarnya?Ya, belum lama ini memang terdengar kabar jika Wisnu dan Tiara sudah putus setelah sempat digosipkan renggang sejak dua bulan yang lalu. Tapi, bagaimana bisa Wisnu tidak jadi maju dengan Arif? Lalu, kenapa Tiara yang malah maju mencalonkan diri dengan teman sekelas Feiza itu? Apa yang terjadi? Kenapa Arif tidak jadi mendampingi Wisnu?Keduanya masih saling berpandangan sampai sebuah suara lantang terdengar."Eh?! Masyaallah subhanallah. Tumnya PAI nih! Ahlan wa sahlan, Gus Furqon."Feiza mematung.Gus Furqon?Ia langsung menolehkan kepala ke belakangnya.Tepat di depan pintu masuk ruangan UKM yang digunakan sebagai pos untuk mendaftar
"Huft."Feiza kembali menghela napasnya, entah untuk yang ke berapa kalinya."Kenapa, Fe? Kudenger dari tadi kayaknya kamu bulik-balik ngehela napas?" tanya Nisa yang saat ini duduk di jok belakang boncengan motor gadis bermanik mongoloid itu.Feiza yang ditanyai kembali menghela napas. Bibirnya kemudian mencoba mengulas senyum. Ia tidak boleh berlarut-larut memiliki mood buruk karena sikap Furqon kepadanya.Menurut penelitian, tersenyum dapat membuat suasana hati orang yang melakukan dan melihatnya menjadi lebih baik. Dan kini Feiza kembali membuktikannya sebab ia berusaha mengulas senyum dengan sepenuh hatinya. Suasana buruk di hatinya sedikit mereda."Nggak pa-pa, Nis." Feiza menjawab pertanyaan Nisa. "Cuma agak capek kuliah sampe malam gini," lanjut gadis itu."Hemm." Nisa menganggukkan kepala meski Feiza yang duduk di depannya mungkin tidak bisa melihat anggukannya. "Oh iya, kamu sama Fahmi dari mana tadi, kok izin telat mas
"Assalamu'alaikum." Feiza berucap pelan masuk ke dalam kamar Ririn dan Binta. Ia langsung beringsut mendekati Binta yang tampak berwajah kusut menatap Nisa yang ada di pelukan Ririn. "Orang salam dijawab dong!" ujar Feiza. Binta menoleh ke arah Feiza sambil mendengkus. "Wa'alaikumussalam. Tadi udah kujawab di dalam hati, Fe," katanya. Feiza mengangguk dan tersenyum dibuatnya. "Nisa kenapa?" kemudian tanyanya. Binta kembali menghela napas. "Bertengkar sama pacarnya, terus katanya mereka putus." Gadis itu menjelaskan. "Ya Allah." Feiza langsung ikut menghela napas. Tidak tahu harus senang atas berakhirnya hubungan non halal temannya atau malah ikut prihatin melihat kesedihan temannya. Di antara mereka berempat, Feiza dan Binta yang tidak berpacaran. Bisa dibilang, prinsip keduanya hampir sama jika menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi, Feiza sama se
"Aku ingin membatalkan kesepakatan kita." "Hah?" Feiza seperti mendengar bahasa orang Mongolia yang tak bisa dipahami olehnya. Meski Feiza mungkin memiliki ciri fisik yang sama dengan mereka, yakni pada mata mongoloid alias sipit yang dimilikinya, tentu bukan berarti Feiza paham akan bahasa mereka. Dan Furqon, apa yang sebenarnya ingin ia katakan? Laki-laki itu tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Aku mau membatalkan kesepakatan kita yang sebelumnya kusetujui." Feiza terbengong selama beberapa saat mendengarnya. "Apa maksud njenengan? Kesepakatan yang mana?" tanya gadis itu. Furqon kembali tersenyum kecil. "Kesepakatan soal menyembunyikan status pernikahan kita, Feiza. Aku tidak ingin lagi melakukannya." Kedua manik mata Feiza langsung terbelalak lebar. "Gus! Njenengan jangan bercanda!" ucapnya penuh penekanan dengan ekspresi terkejut yang
"Aku serius. Aku tidak ingin pernikahan kita disembunyikan lagi." "Apa? Tapi .... Apa maksud njenengan, Gus?! Tadi pagi njenengan sudah setuju! Kenapa tiba-tiba berubah? Njenengan tidak bisa langsung berubah seperti ini?" Dada Feiza terasa sesak. "Aku tidak berubah tiba-tiba, Feiza. Hal ini sudah kupikirkan baik-baik. Aku ingin kita tidak perlu menyembunyikan status kita," ucap Furqon serius namun tetap dengan nada lembutnya. "Tapi apa alasannya?!" sambar Feiza. Gadis itu kembali menatap tajam laki-laki yang ada di depannya. "Alasannya?" Furqon menjeda. "Tentu saja karena kita memang sudah menikah. Aku suamimu dan kamu adalah istriku." Kepala Feiza menggeleng kuat. "Nggak! Aku nggak mau!" tolaknya. "Njenengan nggak bisa seperti itu, Gus Furqon! Njenengan nggak bisa seenaknya begini." Feiza sudah tersulut emosi. "Seenaknya bagaima
"Apa yang kamu bicarakan, Feiza?! Istighfar!" Furqon benar-benar membentak.Laki-laki itu langsung berdiri dari tempat duduknya di sofa sembari berkacak pinggang dengan kepala yang mendongak ke langit-langit. Ia berusaha mengendalikan amarahnya yang terasa langsung memuncak dengan mengatur napasnya. Kata-kata Feiza benar-benar melukai hatinya.Feiza yang baru saja mendapat bentakan langsung menciut di tempat duduknya. Sedikit banyak, gadis itu menyesali kalimat yang baru saja ia ucapkan. Feiza seharusnya tidak pernah mengatakan itu.Tes tes tes.Air mata Feiza kembali menetes satu demi satu."Kamu sadar apa yang baru kamu katakan, Fe?" tanya Furqon setelah beberapa lama, masih berdiri di depan Feiza. Wajah laki-laki itu tampak dingin melihat Feiza dengan tatapan tajam yang seolah menusuknya.Feiza tidak menjawab dan hanya terisak dalam diam.Furqon menghela napasnya kasar. "Allah membenci perceraian, Feiza," ucap Furqon.
"Eungh ...." Feiza menggeliat dalam tidurnya.Suara azan Subuh yang samar terdengar di perungunya mengembalikan sedikit demi sedikit kesadaran gadis cantik itu.Saat kesadarannya sudah terkumpul hampir setengahnya dengan kedua mata yang masih terpejam rapat, Feiza yang gagal saat akan mengubah posisi tidurnya secara lebih intens daripada menggeliat tadi---sebelum bangun---langsung mengernyitkan dahi.Sesuatu yang terasa berat menghalangi pergerakannya.Feiza mengucek sebelah matanya dan membuka kelopak matanya itu lantas melirik sesuatu yang ada di bawahnya.Set!Sedetik, mata Feiza langsung membola dengan kesadaran penuh yang langsung menyentak dan memeluknya.Di bawah sana, tepatnya di bagian atas perutnya, ada sebuah tangan besar yang menindih dan memeluk tubuh Feiza.Feiza segera menoleh ke arah sampingnya dan langsung merasa syok saat melihat sosok Furqon berada di situ. Kedua kelopak mata laki-laki itu tam
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang
"Ya udah, gih sana berangkat!" ucap Feiza sembari mengangkat tangan kanannya yang sudah tidak lagi memegang sendok dengan posisi punggung tangan di atas lantas mengibaskannya beberapa kali ke depan menyerupai dorongan. "Ha ha ha." Furqon tertawa melihat gerakan tangan Feiza. "Kamu ngusir aku, Fe?" katanya. "Hm." Feiza mengangguk sambil tersenyum. "Oke kalau begitu," balas Furqon lalu bangun dari tempat duduknya. Feiza kira suaminya itu akan benar-benar berangkat ke kampus seperti yang dikatakannya. Namun, rupanya Furqon bangkit dari tempat duduk untuk berjalan ke sisinya lalu berdiri tepat di samping Feiza. "Ada apa, Mas?" tanya Feiza. Tanpa kata, Furqon merendahkan badannya hingga sejajar dengan Feiza lalu mencium pipi kanannya. Cukup lama. Feiza yang terkejut pun hanya bisa membelalakkan mata. "Ngecas dulu," kata Furqon setelah mencium Feiza. Feiza yang wajahnya merona hanya mengerjapkan matanya. "Ya-ya udah, sana berangkat, Mas!" suruh Feiza kemudian. Furqon