Hari Minggu bagi Aufal adalah hari dimana dia harus menuruti semua keinginan Azwa, atau dengan kata lain mengidam. Laki-laki itu dibuat kelimpungan sendiri dengan acara ngidam istrinya yang tak jarang membuatnya susah. Seperti sekarang ini. “Huwaaaaa…! Hus hus! Sana, jangan dekat-dekat.” Andra berdiri di atas kursi sambil mengibas-ngibaskan tangannya berusaha mengusir makhluk kecil berbulu abu-abu loreng yang menatapnya bingung dan terus berjalan mendekat. Laki-laki itu semakin melompat-lompat tak karuan. “Hus hus! Kemarin-kemarin nggak ada, kok sekarang nongol sih? Hus! Pergi pergi!” Azwa? Dia dengan santai menikmati sepiring siomay dan kelapa muda sambil menonton televisi, sedangkan Aufal tengah memasak untuk makan siang di dapur atas permintaan sang istri. Wanita itu sama sekali tak terusik dengan teriakan heboh dari Andra, malah terkesan tak peduli. “Azwa, tolongin gue…! Kucing lo ini. Hus hus! Hih! Azwa…!” “Apaan sih, Kak? Wong kucingnya pengen main sama Kakak kok.” Bagaima
“Ada perlu apa, Fal, malam-malam begini berkunjung?” tanya Papi Kafka membuka pembicaraan. Setelah melalui perdebatan panjang lebar disertai dengan perjalanan yang lumayan, kini Aufal dan Azwa sudah berada di hadapan seluruh anggota keluarga Kahfi yang berkumpul di ruang tamu. Untung saja, Ilham masih begadang menyelesaikan tugas kuliahnya. Jadi, dia bisa membukakan pintu untuk keduanya dan ikut bergabung juga. “Em… sebelumnya Aufal minta maaf udah ganggu waktu istirahat kalian. Aufal mau minta tolong.” “Minta tolong apa, Fal? Insyaallah, kami akan bantu,” ujar Mami Asha. Aufal menatap Kahfi ragu-ragu. “Duh… gimana ya, ngomongnya? Gue mau minta tolong sama lo, Fi.” “Minta tolong apa? Bilang aja nggak usah sungkan,” ucap Kahfi membuka suara. “Gini, em…. Ini menyangkut ngidamnya Azwa. Dia pengen… lo usapin perutnya.” Semua orang yang ada di sana terkejut bukan main. Mereka kompak menatap Azwa yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Gue?” tanya Kahfi memastikan sambil menunjuk
Hari demi hari telah berlalu. Satu minggu sudah Azwa menjalani kegiatan PKL di perusahaan Papi Kafka. Azwa ditempatkan di bagian pemasaran online yang pekerjaannya tidak terlalu berat. Dia tidak sendirian, ada mahasiswa dari kampus lain dan siswa SMK yang menjadi teman magangnya. Semua pegawai di sana pun begitu baik padanya. Mereka tidak membiarkan Azwa kerja berat-berat atas perintah Papi Kafka karena kehamilannya. Dan sesuai ucapan beliau waktu di pernikahan Kahfi, Papi Kafka sendiri yang menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Azwa. Dalam seminggu ini pula, Aufal sangat sibuk dengan pekerjaan membuat waktunya untuk Azwa berkurang. Hampir tiap hari dia lembur, bahkan tak jarang pulang larut saat istrinya sudah tertidur pulas. Kadang, Azwa merasa jenuh dan bosan karena tidak ada temannya. Dia bertemu Aufal hanya saat pagi sebelum berangkat ke kantor. Pulang PKL pun dia di rumah sendirian. Benar-benar membosankan. Semuanya berjalan lancar. Aufal yang sibuk kerja, sedangkan Azw
“Azwa, kamu pulang naik apa?” “Eh, Mbak Ilya. Naik ojol, Mbak, kayak biasanya.” “Oh…. Gimana kalau bareng aku aja?” tanya cewek bernama Ilya menawarkan. “Rumah kita kan searah. Lumayan hemat ongkos juga.” “Nggak usah, Mbak, makasih. Azwa udah pesen ojol ini.” “Gitu, ya? Yaudah deh, aku duluan, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku aja.” “Iya, Mbak.” “Aku tinggal, ya. Kamu hati-hati. Dah….” Ilya berlalu dari hadapan Azwa menuju parkiran. Sebenarnya, Azwa berbohong mengenai pesan ojol. Pasalnya dia bingung mau kemana. Hari ini dia pulang agak awal. Pukul setengah empat. Masih terlalu awal untuk pulang ke rumah. Lagi pula kalau pun pulang, sudah pasti dia sendirian di rumah. Aufal mengirimkan pesan kalau akan pulang telat. Azwa menghembuskan napas bosan. Tangannya memain-mainkan ponselnya bimbang. Tiba-tiba dia teringat dengan Nazhan. Ah, iya, kenapa dia tidak main ke kedai milik cowok itu saja? Hm… ide bagus. Dengan semangat, Azwa memesan ojol dengan alamat kedai Nazhan. Dia me
Aufal mendudukkan dirinya di sofa setelah meletakkan berkas di meja. Dia baru saja kembali dari ruang rapat. Kepalanya disandarkan dengan mata terpejam lelah. Kedatangan tim audit beberapa hari yang lalu membawa dampak cukup besar bagi perusahaan. Kekhawatirannya benar-benar terjadi yang mana masalah internal diketahui oleh publik. Harga saham menurun drastis membuat beberapa investor menarik pendanaannya karena perusahaan ini terbukti mengalami penurunan laba dan pendapatan yang signifikan. Selain itu, sejumlah perusahaan yang masih menjalin hubungan kerja sama pada akhirnya memilih mundur sehingga perusahaan ini sudah tidak mempunyai kontrak kerja sama dengan perusahaan manapun. Aufal merasa pusing memikirkan semua masalah itu. Belum lagi hasil rapat pemegang saham tadi yang berlangsung sangat alot. Beberapa dari mereka mengusulkan agar Aufal turun jabatan. Untungnya belum ada persetujuan terkait hal tersebut dan akan dilakukan rapat lagi kedepannya. Oleh karena itu, dia mas
Azwa tak tahu harus menjawab apa. Dia berdiri dengan gelisah dan mata yang bergerak liar. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Nabhan. Hingga tak berapa lama, Nazhan datang bagaikan penyelamat baginya.“Kak Nabhan,” sapa Nazhan seraya mengulurkan tangannya mengajak salaman.Nabhan menerima uluran tangan Nazhan dengan senang hati. “Oi, Zhan. Lama nggak ketemu.”“Iya, Kak. Lo juga udah jarang ke sini lagi padahal gue nunggu pelanggan setia gue loh.”“Gue sibuk ngurus wisuda, belum lagi gue harus kerja. Jadi ya, gitu deh. Ini aja gue pulang kerja cepet, makanya gue sempatkan mampir.”Nazhan manggut-manggut paham. “Oh ya, lo pesen seperti biasa kan? Kebab original satu dibungkus.”“Yoi.”“Oke, ditunggu, ya.” Nazhan berlalu memasuki kedai untuk membuatkan pesanan Nabhan.Beberapa saat menunggu, cowok itu kembali dengan membawa pesanan Nabhan. “Nih, Kak, pesanannya.”Nabhan berdiri, menyerahkan uang kepada Nazhan, dan menerima pesanannya. “Thanks, Bro,” ujarnya. Dia melirik Azwa y
Aufal dan Azwa menikmati sarapan dengan tenang. Tak ada obrolan hangat seperti sebelum-sebelumnya. Sudah beberapa hari ini suasana di meja makan tampak lebih dingin tidak seperti biasanya. “Dek,” panggil Aufal setelah menyelesaikan sarapannya. “Kapan kita check-up lagi?” tanyanya begitu teringat kalau selama di sini Azwa sama sekali belum check-up. Azwa yang tengah membereskan piring kotor, menghentikan aktivitas. “Besok,” jawabnya singkat. “Jam berapa?” “Rencananya pagi sekitar jam delapan.” Aufal terdiam, tampak memikirkan sesuatu. “Maaf, Dek. Kalau besok, Mas nggak bisa nemenin. Mas ada meeting pagi.” Azwa tersenyum tipis menutupi rasa kecewanya. “Nggak papa. Pekerjaan Mas jauh lebih penting.” “Bukan gitu–” “Azwa ngerti.” Aufal mencekal lengan Azwa yang hendak pergi. “Sayang, maaf.” “Nggak papa. Azwa bisa pergi sendiri.” Azwa melepaskan tangan Aufal lantas berlalu ke dapur untuk mencuci peralatan makan. Mata bulatnya berkaca-kaca menahan tangis. Sungguh, hatinya benar-be
Satu minggu telah terlewati. Selama itu pula, hubungan Aufal dan Azwa menjadi renggang. Mereka semakin sulit menemukan waktu untuk berdua. Azwa bahkan belum memberitahukan hasil check up-nya kepada Aufal. Bukan tak mau ataupun lupa, tapi Aufal yang tidak memiliki waktu untuknya sama sekali, seperti menghindar. Berangkat ke kantor lebih pagi dan pulang semakin larut bahkan sampai tengah malam. Sebagai istri, dia mengerti kesibukan suaminya. Namun jika seperti ini terus, kapan Aufal punya waktu untuknya? Hingga pada akhirnya, Azwa mengikuti alur yang dibuat Aufal dengan bersikap cuek dan tidak peduli. Dia juga menjadi lebih dekat dengan Nazhan. Cowok itu mampu membuatnya bahagia walau dengan cara sederhana. Lalu bagaimana dengan perasaannya? Entahlah, Azwa tidak mengerti. Di satu sisi, perasaannya untuk Nazhan semakin bersemi. Namun di sisi lain, Azwa sedih, tak rela, dan kecewa saat Aufal mengabaikannya. Wanita itu ingin Aufal seperti dulu lagi. Aufal yang menyayanginya, Aufal
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup