“Tidak cocok lagi, Dok?” tutur Khaysan setelah menghela napas kasar. “Ini sudah ketiga kalinya, apa memang sesulit itu?” “Mohon maaf, tapi hasilnya memang tidak cocok. Sulit atau tidaknya itu sebenarnya bergantung dari keberuntungan juga. Orang yang bersedia mungkin tidak cocok. Sedangkan yang tidak bersedia malah cocok,” balas sang dokter sembari menatap Khaysan dan Melody secara bergantian. Melody yang duduk di samping Khaysan hanya diam membisu. Jujur saja, ia berharap besar jika orang yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakang pada Nathan itu memiliki sumsum tulang belakang yang cocok untuk putranya. Sayangnya, mereka harus kembali menelan kekecewaan karena hasilnya. Dalam dua bulan terakhir, Khaysan berhasil mendapatkan 3 orang yang memiliki golongan darah sama dengan putranya dan bersedia melakukan donor. Namun, setelah diperiksa lebih lanjut, rupanya tidak ada satu pun dari mereka yang bisa mendonorkan sumsum tulang belakang pada Nathan. Apalagi hingga saat ini, belum
“Hei, kamu kenapa? Sakit? Pusing? Atau ada masalah di kantor?” tanya Melody sembari mengusap kepala Khaysan yang kini bertumpu di ceruk lehernya. Sudah lama Khaysan tidak menempel seperti ini padanya. Terutama setelah Nathan masuk rumah sakit. Mereka tak sempat memikirkan diri mereka sendiri selain fokus dengan kesehatan Nathan yang masih jalan di tempat. Ditambah lagi sejak memasuki ruangan ini tadi, Khaysan sudah terlihat berbeda. Melody yakin pasti ada yang tidak beres dengan suaminya ini. Belakangan ini lelaki itu selalu menjaga jarak dengannya kecuali jika mereka akan melakukan ‘sesuatu’. Dan, tidak mungkin juga Khaysan ingin melakukannya sekarang, di tempat seperti ini. Karena tak kunjung mendapat respon, Melody pun membiarkan Khaysan memeluk tanpa suara. Jika boleh jujur, ia merindukan pelukan ini. Rengkuhan hangat yang biasanya lelaki itu berikan ketika mereka tidur, namun dalam beberapa pekan terakhir, keduanya kembali asing. Seakan ada tembok tinggi yang membatasi mereka.
“Kamu ‘kan tidak suka makanan pedas. Kenapa tiba-tiba malah ingin makan rujak? Jangan aneh-aneh! Kalau kamu sakit perut, bagaimana? Apalagi semalam kamu sudah seperti itu!” sembur Melody menolak mentah-mentah keinginan Khaysan. Meskipun tak benar-benar tahu selera suaminya, tetapi Melody tahu kalau Khaysan tidak menyukai makanan pedas. Dulu, ia pernah memasak makanan yang sedikit pedas, lelaki itu marah besar karena diare setelah mengkonsumsi makanannya. Apalagi sejak semalam Khaysan sudah terlihat kurang sehat. Bahkan, pagi ini pun muntah-muntah. Suaminya itu sudah benar-benar aneh kalau masih nekat mengkonsumsi makanan yang jelas-jelas akan membuat perutnya semakin bermasalah. “Bagaimana kalau sup? Atau olahan berkuah yang segar lainnya? Aku yakin di kantin pasti ada sesuatu yang enak dan cocok di perutmu. Yang pasti itu bukan rujak,” saran Melody yang masih menerka dalam hati sebenarnya ada apa dengan suaminya ini. “Aku tidak mau makanan lain. Aku hanya ingin rujak. Sepertinya i
“Aku tidak hamil, Ma. Kebetulan beberapa hari lalu aku sudah mengeceknya dan hasilnya negatif. Mungkin memang belum waktunya,” sahut Melody dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Menutupi kekecewaan yang masih terasa. “Benarkah?” Senyum sumringah yang tadinya tersungging di bibir Melisa sedikit surut. “Tapi, apa kamu sudah memeriksakannya ke dokter kandungan? Kalau hanya alat tes kehamilan, mungkin saja ada kekeliruan. Atau kehamilan itu belum terdeteksi saat kamu mengeceknya.” Melody spontan melirik Khaysan yang ternyata menatap ke arahnya juga. Khaysan mengangkat bahu, sama-sama tak yakin apakah Melody hamil atau tidak. Walaupun kehamilan itu sangat mereka harapkan, tetapi beberapa hari lalu keduanya baru menelan kekecewaan. “Kalian juga bingung, ‘kan? Berarti sekarang Melody harus periksa ke dokter kandungan. Apa pun hasilnya, itu tidak masalah. Yang penting kalian cek dulu supaya ada kejelasan. Biar Mama dan Papa yang menemani Nathan,” tutur Melisa sembari mengelus lengan
Melody menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Tidak ada satu pun orang yang berkeliaran di sana, termasuk petugas rumah sakit. “Mungkin hanya perasaanku saja. Lebih baik aku segera kembali ke ruangan Nathan.” Melody bergerak cepat. Ia sangat menyayangkan lokasi pembuangan sampah yang cukup jauh dengan ruang perawatan Nathan. Tahu begini, ia tidak akan membuang sampah ke sana. Atau lebih baik dibiarkan saja di kamar rawat Nathan. Tadinya Melody ingin sedikit membantu meringankan pekerjaan petugas kebersihan dan dirinya pun ingin berjalan-jalan. Namun, bukannya dapat menghirup udara segar, dirinya malah panik sendiri seperti ini. Lagi, Melody merasa ada orang yang mengikutinya. Kali ini ia tak berani menoleh ke belakang lagi. Gerak langkahnya kontan semakin cepat. Berharap dapat sampai di ruangan putranya secepatnya. Rumah sakit ini masih sangat sepi, dan dirinya pun tidak membawa ponselnya. “Ya ampun! Aku malah salah belok!” rutuk Melody sembari menepuk keningnya. Karena pani
“Kami tidak pernah menjodohkan dengan siapapun lagi setelah perceraian kalian. Mama yakin Khaysan pasti bersikap buruk sampai istri cantiknya kabur,” jawab Melisa dengan senyum tipis. “Setahun yang lalu, Khaysan mengenalkan Rosetta sebagai kekasihnya. Mama tidak tahu bagaimana awal hubungan mereka.” Melody mengangguk paham. Berarti hubungan Khaysan dan Rosetta memang murni karena keinginan mereka sendiri. Wajar jika Rosetta tak terima Khaysan tiba-tiba memutuskan hubungan sepihak. Dirinya pun akan melakukan tindakan yang sama jika berada di posisi Rosetta. “Tapi, kamu jangan sedih. Mama yakin Khaysan tidak akan macam-macam lagi sekarang. Hubungan mereka sudah selesai sebelum kamu datang. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kalau sampai Khaysan berani menyakitimu lagi, dia akan berhadapan dengan Mama!” sahut Melisa menggebu-gebu. Melody hanya tersenyum tanpa memberi tanggapan. Melisa tidak tahu saja kalau sebenarnya yang meminta Khaysan memutuskan hubungan dengan Rosetta adalah dirinya
Melody buru-buru menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi wajahnya. Khaysan yang mengiranya menangis karena kesakitan sudah nyaris menggendongnya beranjak dari tempat tidur. “Tunggu dulu! Aku baik-baik saja. Kita tidak perlu menemui dokter.”“Jangan menyepelekan masalah kecil. Lebih baik kita periksa kandunganmu dulu supaya jelas. Kamu sampai menangis, pasti sangat sakit. Apa aku terlalu keras menekan perutmu?” Khaysan menyingkap kasar selimut yang menggulung di kaki Melody dan bersiap menggendong wanita itu, namun Melody kembali menghalanginya. “Tidak ada yang sakit. Aku baik-baik saja. Tadi aku hanya kelilipan, aku tidak berbohong,” alibi Melody cepat. Tak ingin kepanikan Khaysan akhirnya membuat mereka menjadi tontonan di lorong rumah sakit. Melody tak mungkin mengatakan dengan gamblang jika dirinya terharu karena tindakan Khaysan barusan. Lelaki itu akan menertawakannya dan besar kepala. Ia sendiri tak sadar mengapa dirinya sampai menangis hanya karena perlakuan se
“Jangan sembarangan memanggil orang dengan sebutan seperti itu, Nathan lupa kata-kata Daddy?” Sembari mengeratkan genggaman pada sang putra yang akan berlari ke arah David. Sedangkan matanya menyorot tajam nan membunuh ke arah tamu tak diundang itu. “Maaf, Daddy,” gumam Nathan dengan bibir mengerucut. Sebenarnya bocah itu tak setuju dengan larangan daddy-nya, namun tidak berani melontarkan protes. Melody meringis pelan di tempatnya berdiri. Walaupun tak bisa melihat ekspresi sang suami yang berdiri di depannya. Ia tahu lelaki itu marah besar. Melody tak tahu kalau David akan datang, lelaki itu tidak memberi kabar sama sekali. Melody juga tidak memberitahu David jika Nathan masuk rumah sakit lagi. Sudah lama mereka tidak saling berkomunikasi. Terakhir kali Melody dan David bertukar pesan adalah ketika David mengatakan tak jadi menemui Nathan saat di villa waktu itu karena harus pulang lebih awal. “Jadi, begitu caramu mengajari anak, dengan mengancamnya agar menuruti perintahmu?” sin