Lelaki bernama Kai itu menarik napas dalam-dalam. Berusaha menghalau sesak yang begitu menghimpit di dalam dadanya. Sudah empat bulan berlalu, tapi perasaan itu ternyata masih tersimpan rapi dalam hatinya. Entah kenapa dia sulit sekali untuk melupakan Aeris. Sepertinya dia sudah jatuh terlalu dalam pada pesona wanita itu.Kai kembali menyantap makan siangnya yang kini terasa hambar. Tidak ada rasa seperti perasaannya yang telah mati. Berhenti di satu nama, Aeris Lilyana. Wanita yang telah menikah dengan Leon. Mantan kekasih Alea.Leon benar-benar berengsek, masih bisa tertawa bahagia bersama Aeris sementara adiknya tengah terpuruk. Ini sungguh tidak adil bagi Alea. Seharusnya Alea meraih kebahagiannya bersama Leon, bukan dengan Aeris. Namun, takdir Tuhan tidak pernah ada yang tahu. Haruskah dia menghancurkan kebahagiaan Aeris demi Alea?Ah, Kai tidak mungkin melakukannya karena dia tidak ingin menjadi lelaki barengsek seperti Leon."Leon, aku kebelet pipis," ucap Aeris saat Leon akan
Leon malah terkekeh. "Maaf," katanya sambil menepikan Range Rover-nya karena mereka sudah sampai.Leon pun turun dari mobilnya, lantas membuka pintu untuk Aeris. Perhatian sekali, kan?"Terima kasih," ucap Aeris sambil menyambut uluran tangan Leon. "Guardian Restourant?!" Kedua mata Aeris sontak membulat menatap bangunan yang berdiri megah di hadapannya."Kenapa kita makan malam di sini?" tanya Aeris tidak bisa menyembunyikan kekesalan di wajahnya. "Kamu pasti ingin ketemu Meeta, kan?""Astaga, tidak Sayang. Mr. Dinata yang mengundang kita untuk makan malam di sini," jelas Leon."Apa tidak ada tempat makan lain?" tanya Aeris masih kesal."Jangan cemburu seperti itu, Sayang. Di dunia ini hanya ada tiga wanita yang aku cintai. Pertama kamu, kedua mama, dan yang ketiga nenek. Sudah cukup, tidak ada yang lain."Wajah Aeris sotak bersemu merah mendengar ucapan Leon barusan. Jantung pun berdebar hebat. "Sungguh?" "Aku berani bersumpah.""Baiklah, ayo kita masuk ke dalam."Aeris memperhatika
'Ingin aku melupakan, tapi kenangan itu begitu menyakitkan'~Aeris Lilyana~"Mama!"Leon sontak terbangun dari tidurnya karena mendengar Aeris berteriak. Dia langsung menarik tubuh Aeris yang gemetar hebat ke dalam dekapan. Aeris terlihat sangat ketakutan. Dia bahkan bisa merasakan jantung sang istri yang berdegub kencang."Papa jahat, Leon. Papa orang jahat, a-aku takut ...." Aeris tanpa sadar mencengkeram lengan Leon dengan erat. Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipinya. Perasaan Aeris mendadak tidak tenang setelah bertemu lagi dengan Kris di restoran. Dia takut lelaki itu tiba-tiba datang lalu kembali memukulinya."Tenanglah, Sayang. Sekarang ada aku. Aku tidak akan membiarkan papa menyakitimu lagi." Dengan penuh pengertian Leon mengusap air mata yang membasahi pipi Aeris.Wajah Aeris terlihat sangat pucat, suhu tubuhnya pun juga panas. Sepertinya Aeris demam karena belum siap bertemu lagi dengan ayahnya."Aku takut sekali, Leon. Bagaimana kalau papa datang lagi?" Le
Leon meletakkan semangkok bubur yang ada di tangannya kembali ke meja kemudian naik ke atas tempat tidur dan menarik tubuh Aeris ke dalam dekapan. Dia membelai punggung Aeris dengan lembut agar merasa lebih tenang."Jangan takut, aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu, Aeris.""Sungguh?" Aeris menatap sepasang mata hezel milik Leon dengan lekat. Berusaha mencari kesungguhan di sana.Leon mengangguk. "Aku berani bersumpah. Sekarang kamu makan dulu, ya?"Aeris mengangguk, perasaannya sekarang sudah lebih tenang setelah mendengar sumpah Leon. Aeris yakin sekali Leon tidak akan pergi meninggalkannya seperti Kris.Leon pun menyuapi Aeris bubur yang dia buat tadi pagi. Akan tetapi perut Aeris tiba-tiba terasa sangat mual. Dia ingin muntah. Aeris pun cepat-cepat berlari ke kamar mandi lalu memuntahkan cairan bening dari mulutnya."Kamu nggak apa-apa?" tanya Leon sambil memijit tengkuk Aeris. Raut cemas tergambar jelas di wajah tampannya.Wajah Aeris terlihat sangat pucat, keringat dingi
Leon dan Hana pun pergi ke ruang tengah agar mereka bisa bicara dengan leluasa dan tidak mengganggu Aeris."Kenapa Aeris bisa sampai sakit seperti ini, Leon? Apa kalian berantem lagi?"Leon mendengkus kesal mendengar pertanyaan Hana barusan. Apa Hana pikir Aeris sakit karena bertengkar dengan dirinya? Astaga! Sejahat itukah dia di mata Hana?"Iya, kami memang berantem, bahkan sampai berguling-guling. Tapi di atas tempat tidur," jawab Leon kesal.Hana malah terkekeh mendengar jawaban Leon barusan. Sepertinya bukan Leon yang menyebabkan Aeris sakit. "Lalu karena apa?""Karena Mr. Kristian Hardinata." Tubuh Hana menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar nama seorang lelaki yang baru saja disebut oleh Leon."Mr. Kristian Hardinata? Maksudmu Kris?" tanyanya untuk memastikan.Leon mengangguk.Hana tidak tahu harus berkata apa lagi karena lidahnya mendadak kelu. Hana tidak pernah menyangka Aeris akan bertemu lagi dengan Kris. Lelaki yang sudah membaw
'Ibu kamu wanita jalang.''Perusak rumah tangga orang.''Kamu tidak pantas bersanding dengan cucu saya.''Pergilah, tinggalkan Leon!"Alea meremas rambutnya kuat-kuat karena ucapan Hana empat tahun yang lalu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Apa kesalahannya sampai Hana dan Aerin menentang hubungannya dan Leon?Azura memang pernah menjadi seorang pelacur, bahkan merebut suami sahabat baik Hana, tapi bukan berarti dia sama seperti sang ibu."Tuhan, apa salahku?" rintih Alea menahan sesak yang begitu menghimpit di dalam dadanya.Andai saja dia bisa memilih, Alea tidak ingin terlahir dari rahim seorang perempuan yang pernah menjadi seorang pelacur. Akan tetapi kenyataannya Azura memang pernah menjadi seorang wanita penghibur. Alea sangat membenci kenyataan itu karena yang Azura lakukan di masa lalu membuatnya tidak bisa bersatu dengan Leon. Kai masuk ke kamar Alea sambil membawa setangkup roti bakar dan segelas susu untuk adik perempuannya itu."Selamat pagi, Alea," ucapnya sambil
Leon mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Dia begitu terkejut sekaligus panik karena Aeris sudah tidak ada di sampingnya saat pertama kali membuka mata. Dia pun cepat-cepat beranjak dari tempat tidur untuk mencari Aeris."Sayang, kamu di mana?" teriaknya."Aku di sini," balas Aeris ikut berteriak dari dapur.Leon pun segera pergi ke dapur. Tanpa sadar dia mengembuskan napas lega karena Aeris ternyata sedang membuat nasi goreng untuk sarapan untuk mereka. "Kamu mau aku buatin apa? Kopi atau susu?" Leon malah diam sambil menatap Aeris dengan lekat. Padahal kemarin Aeris masih sakit, tapi sekarang malah memasak. Apa Aeris sudah baik-baik saja?"Kenapa kamu menatapku seperti itu, sih?" tanya Aeris karena merasa risih diperhatikan."Kamu udah nggak sakit lagi?" Leon menempelkan punggung tangannya di kening Aeris. Embusan napas lega sontak lolos dari bibirnya karena suhu tubuh Aeris s
Hari ini Aeris kembali bekerja setelah libur selama dua hari. Leon sebenarnya tidak tega membiarkan Aeris bekerja karena kondisinya baru saja pulih. Namun, Aeris terus saja memaksa. Akhirnya dia pun terpaksa mengizinkan."Kalau kamu mengeluh pusing atau kurang enak badan, segera telepon aku," pesan Leon sebelum Aeris turun dari mobil.Aeris memutar bola mata malas. "Astaga, iya, Leon. Kamu sudah mengatakan hal itu sebanyak dua puluh kali. Aku pasti mengingatnya."Leon malah terkekeh. "Aku kan, khawatir sama kamu, Sayang."Makasih atas perhatiannya, tapi kamu terlalu berlebihan, Leon. Aku ke butik dulu, ya?" Aeris ingin membuka pintu mobil, tapi Leon malah menahan pergerakan tangannya.Aeris mendesah panjang. "Apa lagi sih, Leon?" tanyanya berusaha sabar."Kamu lupa ini," ucap Leon dengan menunjuk bibir sendiri.Wajah Aeris sontak bersemu merah. Apa Leon minta cium?"Ayo cepat, Sayang ...," rengek Leon tidak sabar.Aeris menghela napas panjang lantas mengecup bibir Leon singkat. "Sudah?
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang