"Permintaan apa?" tanya Aeris tidak mengerti."Bukankah sembilan hari yang lalu kita sudah membuat kesepakatan? Barang siapa yang mendesah lebih dulu, maka dia wajib mengabulkan tiga permintaan apa pun si pemenang. Apa kamu lupa?"Mampus! Aeris menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Leon barusan. Leon ternyata masih ingat dengan kesepakatan yang mereka buat dulu.Leon menatap Aeris dengan lekat. "Bagaimana kalau kita ...."Aeris tanpa sadar menelan ludah. Setitik keringat dingin pun keluar membasahi keningnya. Aeris takut Leon mengajaknya berhubungan suami istri sekarang. Dia belum siap.Leon malah sengaja menggantungkan kalimatnya karena dia ingin menikmati wajah Aeris yang sedang ketakutan. Oh ayolah, sebenarnya apa yang sedang Aeris pikirkan? Apa Aeris pikir dia akan mengajaknya bercinta? Astaga, dia tidak mungkin mengajak Aeris bercinta karena gadis itu sedang sakit."Le-Leon, aku ...." Aeris tidak berani melanjutkan kalimatnya karena dia tidak ingin membuat Leon kecewa.
Brian berjalan di sepanjang lorong rumah sakit sambil tersenyum. Aroma obat-obatan seolah-olah tidak mengganggu indra penciumannya karena dia sedang senang. Brian merasa senang karena Leon akhirnya mau membuka hati untuk Aeris.Leon berubah menjadi lelaki yang begitu dingin dan irit bicara semenjak ditinggal Alea. Namun, Leon yang dia temui tadi terlihat begitu berbeda. Leon sekarang sering tersenyum dan banyak bicara. Dia yakin sekali kalau Aeris-lah yang sudah membuat Leon berubah. Semoga saja Leon benar-benar serius membuka hati untuk Aeris dan tidak menjadikan gadis itu sebagai pelarian. Itu harapnya."Aduh, maaf." Alea sibuk mengaduk-aduk tas yang dibawanya karena sedang mencari ponsel hingga tanpa sengaja menabrak seseorang."Tidak apa-apa, Nona." Brian tertegun. Sepasang mata hezel miliknya terpaku pada gadis yang tidak sengaja menabraknya. Wajah gadis berambut cokelat itu terlihat tidak asing di matanya.Alea? Benarkah gadis yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Alea?Bri
Ya Tuhan. Permainan takdir macam apa ini?Kepala Brian rasanya ingin meledak. Dia tidak akan membiarkan Alea bertemu dengan Leon sekarang atau pun nanti."Kita baru saja bertemu kan, Alea. Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar?""Sebenarnya aku juga ingin ngobrol banyak hal bersamamu, tapi aku harus menjenguk Kak Aeris."Brian mendesah panjang. "Oh ayolah, kamu bisa menjenguk kak Aerismu itu lain kali. Mau, ya? Please ...."Alea terdiam, sepertinya tidak ada salahnya kalau dia menerima ajakan Brian. Lagi pula, dia juga ingin menanyakan banyak hal tentang Leon pada lelaki itu. "Baiklah."***Brian dan Alea sedang berada di sebuah kafe kecil yang berada di seberang rumah sakit. Kafe bernuansa cozy ini masih tampak sepi karena baru saja buka. Mereka memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar."Saya pesan Caramell Macchiato dan spageti bolognize," ucap Brian pada pelayan. "Kamu mau pesan apa, Alea?""Teh hangat saja."Kening Brian berkerut dalam mendenga
Aeris keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Leon berulang kali menyuruh Aeris untuk berhenti mengerjakan pekerjaan rumah, tapi istrinya itu selalu mengabaikan perintahnya. Ada saja yang Aeris kerjakan. Menyapu, mencuci piring, menyiram tanaman, bahkan mengelap meja yang tidak berdebu.Apa Aeris tidak tahu jika Leon mengkhawatirkannya?"Berhentilah mengerjakan pekerjaan rumah karena aku tidak ingin kamu lelah, Aeris.""Aku sudah baik-baik saja, Leon. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.""Lebih baik kamu istirahat, ya? Aku tidak ingin kamu sakit lagi. Nanti aku juga kan, yang repot," ucap Leon sambil mengambil alih sapu dari tangan Aeris.Aeris melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang masih jam satu siang. Sejak keluar dari rumah sakit Aeris dan Leon sekarang tidur dalam satu kamar. Leon sendiri yang meminta agar Aeris tidur bersamanya. Aeris pun tidak mampu menolak karena Leon terus saja memaksa. Tolong garis bawahi, MEMAKSA."Sekarang masih jam satu siang,
"Permainan yang sangat bagus, Alea." Krishna memuji permainan Alea sambil bertepuk tangan. Lelaki pemilik senyum manis tersebut menjadi guru Alea selama di Indonesia."Terima kasih, Kak. Tapi menurutku permainan aku tadi tidak sebagus dulu."Krishna mendekat, lantas mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di sebelah Alea. "Menurutku, permainanmu tadi sudah sangat bagus."Alea tersenyum mendengar ucapan Krishna barusan. "Aku dulu bisa bermain piano jauh lebih bagus dari pada yang tadi.""Sungguh?" tanya Krishna tidak percaya.Alea mengangguk. "Iya, yang tadi mah, tidak ada apa-apanya.""Apa kamu bisa menunjukkan permainanmu yang sangat bagus itu padaku?"Wajah Alea seketika berubah sendu. Andai saja Leon masih bersamanya, permainan pianonya pasti jauh lebih bagus dari pada sekarang. Namun, lelaki itu sekarang tidak bersamanya lagi. "Entahlah, Kak. Aku tidak yakin bisa bermain piano sebagus dulu.""Memangnya kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?"Alea menggeleng pelan. Lagi pu
"Kabarku sangat baik, Irene. Dia bukan kekasihku. Perkenalkan, dia Kak Krishna, guru piano pribadiku." Alea pun mengenalkan Krishna pada Irene."Maaf, aku pikir dia kekasihmu." Irene tersenyum tidak enak."Bukan, kamu jadi guru di sini?""Iya, aku mengajar seni musik dan tari di sekolah ini. Aku dengar kamu sekarang menjadi pianis hebat. Aku sering memberi tahu muridku tentang prestasimu yang luar biasa. Mereka takjub pada kemampuanmu saat bermain piano, Alea.""Kamu terlalu berlebihan, Irene," ucap Alea malu-malu."Aku berkata sungguh-sungguh. Mereka pasti senang jika bisa melihatmu bermain piano secara langsung. Apa kamu mau bermain piano untuk mereka?" pinta Irene penuh harap.Alea melirik Krishna yang berdiri tepat di sampingnya. Meminta izin apakah dia boleh bermain piano di depan murid Irene lewat tatapan mata.Krishna tersenyum. "Silakan," katanya.Irene tersenyum senang. "Terima kasih banyak Alea, murid-muridku pasti senang sekali kalau melihatmu."Mereka bertiga pun memasuki
Akhir pekan menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang yang sudah bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, termasuk Leon. Lelaki itu sedang bersantai, menikmati segelas susu pisang yang dibuat oleh Aeris sambil menonton acara komedi di TV."Kamu mau pergi ke mana?" Leon menatap Aeris dengan dahi berkerut dalam. Gadis itu memakai kaos putih dan celana jeans hitam. Rambut hitam panjangnya dicepol asal, menyisakan beberapa helai anak rambut yang menutupi leher jenjangnya. Make up tipis membuat Aeris terlihat cantik."Aku mau keluar sebentar."Leon pun menghampiri Aeris yang sedang mengikat tali sepatu di anak tangga paling bawah. Melihat Aeris berpenampilan seperti ini Leon yakin sekali pasti banyak orang yang mengira kalau Aeris masih anak SMA."Keluar ke mana?""Ke suatu tempat."Aeris memiliki kebiasaan berkunjung ke panti asuhan setiap akhir bulan. Dia ingin berbagi sedikit kebahagiaan ke anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua.Dahi Leon bekerut dalam mendengar uc
Leon menghentikan mobilnya tepat di halaman panti asuhan Kasih Bunda. Beberapa anak kecil sontak berlari mengerubungi mobilnya."Kak Aeris!" teriak mereka saat melihat Aeris turun dari mobil Leon."Mereka mengenalmu?" Aeris mengangguk lalu mengusap puncak kepala anak itu satu-persatu. Gadis itu terlihat sangat menyayangi mereka. "Dia siapa? Kenapa Kak Aeris tidak datang bersama kak Sean?" tanya anak laki-laki berambut keriting, namanya Michael. "Dia ...." Aeris melirik Leon takut-takut. Leon pasti kesal karena Michael menanyakan Sean."Perkenalkan, nama Om Chandra Yasodana Leon, suami Kak Aeris.""Yey! Putri Aeris sekarang sudah memiliki Pangeran Leon!" teriak Michael diikuti anak-anak panti yang lain.Leon mengerutkan dahi bingung. "Kenapa mereka menyebut kita putri dan pangeran?" tanyanya tidak mengerti."Itu ...." Aeris menggaruk rambut yang tidak gatal. Malu untuk memberi tahu jika dia sering menceritakan kisah putri cantik yang hidup bahagia bersama pangeran tampan pada anak-a
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang