'Leon, aku takut ....''Tenanglah, semua akan baik-baik saja.''Bagaimana jika aku hamil?''Aku akan bertanggung jawab.''Sungguh?''Iya.''Aku mencintaimu, Leon.''Aku lebih mencintaimu, Alea ....'Leon terkesiap, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Wajahnya pun seketika berubah pucat karena kenangan yang pernah dia lalui bersama Alea tiba-tiba melintas di ingatannya saat menatap Aeris. Entah kenapa wajah gadis itu terlihat mirip sekali dengan mantan kekasihnya. Aeris membuka kedua matanya perlahan karena Leon tidak lagi menyentuhnya. Gadis itu mengerutkan dahi heran karena wajah Leon terlihat sedikit pucat."Kamu kena—" Aeris tidak melanjutkan pertanyaanya karena Leon meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. "Maafkan aku." Leon mengecup kening Aeris sekilas lalu pergi begitu saja, meninggalkan sebuah tanda tanya besar di kepala gadis itu.***Leon menyalakan shower. Dia membiarkan air dingin itu jatuh begitu saja membasahi tubuhnya. Leon butuh ketenangan k
Brian kembali melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ternyata sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Leon tidak juga berhenti bekerja. Selama satu minggu ini Leon memang sengaja pulang ketika Aeris sudah tidur. Dia bahkan melarang gadis itu membawa bekal makan siang ke kantor. "Kamu nggak pulang, Le?" tanya Brian sambil mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Leon. Lelaki berwajah tampan itu merasa jika Leon sedang ada masalah.Leon hanya melirik Brian sekilas lalu kembali memperhatikan laptopnya."Aku sedang bicara denganmu. Jangan mengabaikanku." Brian berdecak kesal lantas menutup laptop Leon dengan paksa."Brian, apa yang—""Apa, hah?" sengit Brian menatap Leon tanpa takut.Leon mengembuskan napas panjang. Ternyata mempunyai sahabat yang sangat peka seperti Brian cukup merepotkan. Lelaki itu pasti tahu kalau dia sedang mempunyai masalah."Apa kau sedang ada masalah?""Tidak."Brian menyeringai. "Bohong. Tidak mungkin CEO kit
Brian benar-benar tidak habis pikir dengan Leon. Bagaimana mungkin sahabatnya itu masih memikirkan Alea padahal sudah menikah dengan Aeris? Apa Leon tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Aeris?"Dasar bodoh!" Brian tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah menyangka pemimpin perusahaan hebat seperti Leon ternyata sangat payah saat berhadapan dengan cinta. Leon tidak bisa tegas dengan perasaannya sendiri. Sahabatnya itu masih saja memikirkan Alea padahal hatinya sudah berpaling ke Aeris.Brian menghentikan mobilnya tepat di depan minimarket yang berada tidak jauh dari rumahnya. Dia ingin membeli mie instan karena perutnya mendadak lapar."Total semuanya sepuluh ribu lima ratus. Apa Anda tidak ingin membeli barang yang lain?"Brian menggeleng sambil memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan pada kasir."Ada promo minyak goreng beli dua dapat satu?" "Rugi dong, Mbak kalau saya beli dua cuma dapat satu."Kasir tersebut tersenyum malu. "Apa Anda ingin membeli pulsa sek
"Kamu sudah makan belum? Kalau belum aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Aeris ingin ke dapur, tapi Leon malah menahan pergelangan tangannya."Kenapa?" tanyanya tidak mengerti."Aku tidak lapar.""Kamu ingin mandi? Aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng, kedua matanya menatap Aeris dengan lekat. Tatapan matanya terasa begitu dingin dan menusuk. Seolah-olah mampu membekukan dan membunuh Aeris kapan saja."Kenapa kamu berubah dingin lagi sama aku, Leon? Apa aku punya salah sama kamu?" Aeris memberanikan diri untuk menatap Leon. Tatapan gadis itu terlihat begitu sendu, ada ngilu yang menjalari hatinya.Leon tersentak melihat butiran bening yang menghiasi kedua sudut mata Aeris. "Aku minta maaf kalau punya salah."Leon bergeming karena Aeris tidak bersalah. Semua ini terjadi karena dia belum berani mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya bersama Alea. Dia memang pengecut.Leon ingin masuk ke kamar karena tidak tahan melihat Aeris menangis, tapi gadis itu malah menahanny
Aeris memijit keningnya yang terasa penat. Inilah alasan yang membuat Aeris takut menikah. Dia takut pernikahannya berakhir dengan perceraian seperti yang terjadi pada pernikahan kedua orang tuanya. Namun, dia akan berusaha keras mempertahankan rumah tangganya dengan Leon karena bagi Aeris pernikahan itu sangat sakral dan hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup.Aeris memoles make up tipis untuk menutupi wajahnya yang sedikit pucat. Aeris sebenarnya merasa kurang enak badan, tapi dia sudah ada janji bertemu dengan klien penting siang ini. Lagi pula dia ingin mengalihkan sedikit pikirannya dari Leon."Kamu mau pergi ke mana, Aeris?" tanya Sean saat berpapasan dengan gadis itu di lorong apartemen."Aku ada kerjaan."Sean memerhatikan Aeris dengan lekat. Wajah gadis itu masih terlihat pucat meskipun sudah ditutupi make up."Kamu sakit?"Aeris menggeleng, tapi Sean tidak percaya begitu saja."Kamu mau pergi ke mana? Aku antar, ya?" Aeris kembali menggeleng. Kali ini dia tidak ingin mer
"Apa tempatnya masih jauh?"Kai tersenyum mendengar pertanyaan yang keluar dari gadis cantik yang duduk di sebelahnya."Sebentar lagi kita sampai," jawabnya sambil memperhatikan jalanan yang ada di hadapan."Ternyata banyak yang berubah dari kota ini, ya?"Kai kembali tersenyum. "Makanya sering-seringlah pulang supaya kamu tahu kalau ada banyak hal yang berubah dari kota kelahiranmu ini, Alea."Alea meringis mendengar ucapan Kai barusan. Memang banyak hal yang berubah dari kota yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ada satu hal yang tidak berubah. Perasaannya. Alea masih menyimpan rasa pada Leon. Perasaan itu tersimpan begitu rapi hingga tidak ada satu pun lelaki yang mampu menggeser nama Leon dari dalam hatinya.Lima tahun bukan waktu yang singkat. Dia dan Leon bahkan pernah tidur di bawah selimut yang sama. Dia merasa sangat bahagia dan beruntung dicintai oleh lelaki tampan dan baik hati seperti Leon hingga rela menyerahkan harta paling berharga yang dimilikinya. Alea tidak merasa m
Leon sedang memeriksa beberapa berkas dibantu oleh Brian. Suami Aeris itu terlihat sibuk karena sebentar lagi akan menghadiri rapat bersama klien penting."Sebenarnya kamu tidak perlu ikut rapat kali ini karena aku sanggup meng-handle pekerjaan ini sendiri, Leon."Leon hanya melirik Brian sekilas lalu kembali memeriksa berkas yang ada di tangan.Brian memutar bola mata malas karena Leon selalu saja mengabaikan ucapannya. "Aku tahu kamu mendengar ucapanku. Kenapa kamu ikut ke sini, Leon?""Aku ingin proyek ini berjalan lancar."Brian tersenyum miring mendengar ucapan Leon barusan. "Kamu meragukan kemampuanku?" Leon hanya diam. Sebenarnya dia tidak perlu ikut ke luar kota karena Brian pasti bisa menangani proyek mereka sendiri."Kamu tidak menghindari Aeris, kan?"Tubuh Leon menegang. Dia memang sengaja pergi ke luar kota karena ingin menghindari Aeris. Bagaimana pun juga dia belum siap menceritakan masa lalunya pada gadis itu. Menghindar mungkin cara yang tepat, pikirnya.Brian kembali
"Tema konsermu tentang apa?"Temanya tentang cinta pertama.""Wah, tema yang sangat bagus. Nanti pasti banyak pasangan yang datang melihat konsermu," komentar Anne lantas meminta salah satu karyawannya membuat minuman untuk Alea dan Kai."Kalian mau minum apa?""Apa pun asalkan jangan sirup kelapa," jawab Kai membuat Anne tercengang karena Alea memiliki alergi yang sama dengan Aeris. Selain wajah mereka yang mirip, Aeris dan Alea ternyata memiliki alergi yang sama.Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Aeris untuk merancang gaun yang sesuai dengan keinginan Alea. Gadis itu menggambar setiap detail gaun tersebut dengan sangat teliti karena tidak ingin mengecewakan Alea. Gaun sabrin yang menjuntai hingga menutupi mata kaki dengan hiasan pita di bagian belakang sepertinya cocok dengan tema cinta pertama yang Alea inginkan. Entah kenapa Aeris memikirkan Leon ketika menggambar gaun tersebut. Mungkin karena lelaki itu yang menjadi cinta pertamanya.Aeris memejamkan kedua matanya erat-erat ka
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang