Apa yang disampaikan di internet seratus persen benar. Aku sangat takjub saat melihat sendiri hasilnya. Ternyata menghadapi wanita yang sedang marah tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Aku hanya perlu memeluknya sampai dia merasa tenang.
Celeste bukan hanya tidak marah lagi kepadaku, dia bahkan tidak menolak ciumanku. Aku tidak percaya masih beberapa minggu lalu dia bukan hanya menolak, tetapi juga tidak tahu bagaimana cara mencium dengan benar. Sekarang dia bukan hanya membalas ciumanku, dia juga sudah belajar melakukannya dengan benar.
Debaran di dadaku saat kami berada begitu dekat terhadap satu sama lain dan rasa sedih ketika harus menjauhkan diri hanya memiliki satu arti. Aku jatuh cinta semakin dalam kepada gadis ini. Karena kalau bukan itu alasannya, aku tidak akan bertingkah seperti tadi saat mengetahui dia memakai baju renang itu.
Kami sedang berada di kolam renang, dia berencana untuk berenang bersama teman-temannya, tentu saja dia memakai baju renang
Hatiku terasa lebih ringan setelah kami bicara baik-baik di kamar. Kami duduk begitu dekat di sofa dan mendiskusikan banyak hal. Tentu saja banyak berciuman juga. Ehem. Sampai akhirnya perutku berbunyi merusak suasana indah tersebut.Kami keluar dari kamar sambil bergandengan tangan. Aku menekan bel kamar Nola, tetapi tidak ada respons. Aku menekan bel kamar teman kami, juga tidak ada respons. Sepertinya mereka sudah turun ke restoran lebih dahulu.Dan dugaanku benar. Nola menyambut kedatangan kami dan mengajak kami untuk duduk bersama mereka. Makan malam itu sangat menyenangkan sampai para pria kenalan teman-temanku datang ke meja kami. Salah satu dari mereka mengenal Jonah dan bersikap tidak sopan dengan meletakkan tangannya di atas meja agar bisa menjabat tanganku. Tepat di atas piring Jonah.“Pria yang banyak bicara itu adalah anak salah satu pengusaha besar di Jakarta,” ucap Jonah yang akhirnya membuatku mengerti mengapa dia bersikap seolah-olah
“Sialan kamu. Berengsek! Jangan sentuh aku! Jauhkan tanganmu dariku!” pekikku dengan kesal.“Apa yang sedang kamu lakukan?” Jonah berbicara dengan suara seraknya. Aku membuka mata dan melihat kami sedang berbaring bersama di salah satu tempat tidur.“Pergi kamu! Enak saja kamu mau menyentuh tubuhku sebelum menikah! Pindah! Tempat tidurmu bukan di sini!” Aku memberontak ingin lepas dari pelukannya.“Ini tempat tidurku. Kamu saja yang pindah.” Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga ke leher, lalu kembali terlelap. Aku menatapnya dengan heran. Apa yang telah terjadi? Bukankah dia ingin melakukan sesuatu denganku? Mengapa sikapnya malah acuh tak acuh begini?Aku melihat ke balik selimut. Pakaianku masih lengkap. Bahkan aku masih mengenakan pakaian yang aku ingat aku pakai saat makan malam. Apa yang terjadi? Aku duduk dan melihat ke sekujur tubuhku. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang terasa aneh j
Minggu ini benar-benar minggu yang melelahkan bagiku. Ucapan selamat yang tidak henti -hentinya berdatangan atas terjualnya seluruh unit apartemen kami. Celeste yang mengalami nyeri datang bulan. Penerbangan dari Jakarta ke Bali sekaligus pekerjaan yang menumpuk. Ditambah lagi aku harus menghadapi tunanganku yang tantrum, lalu trauma karena perbuatan pria kurang ajar itu, dan perkelahianku dengan mereka. Aku hanya ingin beristirahat pada hari Minggu.Sayangnya, aku tetap bangun pagi dan terpaksa menyibukkan diri dengan membaca berita terbaru di media berita daring. Aku akui aku iri dengan tunanganku yang bisa tidur begitu pulas di tempat tidurnya. Aku ingin sekali mengganggunya agar dia menemaniku berbincang, tetapi mengingat apa yang baru dialaminya, dia layak untuk mendapatkan waktu istirahat beberapa jam lebih lama.Aku mencium keningnya sebelum keluar dari kamar. Lebih baik aku mandi agar saat dia bangun, kami bisa ke ruang makan. Aku mengenakan salah satu kaus dan
“Pa, ayo, cepat. Aku tidak mau sampai terlambat!” pekikku panik.Hari ini adalah hari wisudaku. Hari yang sudah aku tunggu-tunggu. Bangun lebih pagi dari biasanya, aku jalani tanpa mengeluh. Bunda mengirim penata rias dan rambut agar aku bisa tampil sempurna pada hari besarku. Kebaya yang aku kenakan pun dijahit oleh seorang desainer kebaya terkenal. Padahal aku harus menutupinya dengan toga, tetapi aku tidak menolak pemberiannya tersebut.“Hanya acara wisuda, mengapa kamu hebohnya seperti acara pemberkatan pernikahan saja,” ucap Papa sambil berjalan terburu-buru mendekati mobil. Aku memutar bola mataku dan meminta Kakak untuk segera menyetir mobilnya.“Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian ketika aku memasuki aula, Pa.” Aku mengambil ponselku yang bergetar di dalam tasku. Jonah. “Ya?”“Apakah kamu sudah berangkat?” tanya Jonah dengan nada dinginnya.“Baru saja keluar dari gerbang,
Aku tidak pernah merasa semalu ini dalam hidupku. Hanya sebuah ciuman singkat di depan orang yang tidak kami kenal saja sudah membuat jantungku berdebar kencang. Apalagi di depan orang yang kami kenal. Yang kami lakukan tadi bukan ciuman biasa, tetapi kami saling melepaskan kerinduan dan aku tidak ingin melakukannya di depan siapa pun. Siapa pun. Termasuk Bunda.Wajahku pasti merah padam semerah yang sanggup dilakukan oleh kulitku. Sikap Jonah tidak membantuku sama sekali. Dia malah mempererat pelukannya.“Aku memintamu membawanya ke sini supaya kami bisa memperbaiki riasannya, Jonah,” kata Bunda kepada putranya.“Dan aku membantu sebisaku,” ujar Jonah acuh tak acuh. Aku menatapnya tidak percaya. Melihat lipstik yang aku pakai mengenai bibirnya, cepat-cepat aku menghapusnya dengan jariku. Ini benar-benar memalukan. Dia malah tersenyum. Senyum manisnya yang mampu membuat lututku lemas.“Ayo, Celeste. Orang-orang sudah menunggu
Perasaanku tidak enak ketika melihat Jason berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu di mana tadi Celeste keluar. Entah mengapa setiap kali tunanganku ke kamar mandi, kejadian di Bali terputar ulang di kepalaku. Seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Ada seorang wanita yang selalu mengawasinya untukku. Jovita berdiri dan dia juga berjalan keluar aula dari pintu yang sama. Aku ingin menguji pengawal Celeste yang baru, tetapi aku tidak mau mengambil risiko. Jason dan Jovita bukanlah kombinasi yang baik. Aku tidak ingin mereka bertengkar, lalu tunanganku dijadikan kambing hitam. “Aku permisi sebentar,” kataku kepada keluargaku. “Ada yang mengkhawatirkan tunangannya,” goda Bunda. Aku hanya memutar bola mataku. Dugaanku benar. Jovita melihat Jason sedang bicara dengan Celeste. Dia malah menyuruh istrinya untuk pergi. Melihat tunanganku tidak punya kesempatan untuk menjauh darinya, aku memilih untuk membantunya. Celeste bisa ada dalam b
“Selamat pagi.” Aku memasuki ruang makan dengan langkah terseret.Nola curhat semalaman mengenai pertengkarannya dengan orang tuanya. Mereka ingin dia bekerja di sebuah perusahaan yang besar, sedangkan sahabatku ingin melamar lowongan sebagai akuntan di restoran milik Papa. Dia ingin bisa bekerja dekat dengan ayah dan ibunya.Akibatnya, pagi ini aku bangun dalam keadaan masih mengantuk. Badanku sakit semua tetapi perutku yang lapar tidak bisa lagi aku tahan. Aku terpaksa turun untuk mengisi perut. Beberapa pelayan libur pada hari Minggu, jadi aku tidak mau membebani salah satu dari mereka yang tetap bekerja untuk mengantar sarapan ke kamar.“Pagi, sayang,” jawab Papa.“Pagi, Este,” balas Kak Nevan.“Pagi,” Suara ketiga membuatku mengarahkan pandangan kepadanya. Seorang pria duduk di sebelah kursi yang biasanya aku duduki.“Jonah? Ada apa kamu datang sepagi ini?” tanyaku heran. Oh, a
“Mengapa kamu diam saja?” tanyanya. “Apakah kamu tidak suka dengan ide itu?”“Aku menunjukkan semua ini kepadamu bukan karena aku ingin kamu mewujudkannya untukku. Aku menunjukkannya untuk berbagi impianku.”“Kamu menyusun semua ini saat kamu masih sendiri. Kamu sudah memilikiku sekarang, mengapa kamu harus berusaha sendiri untuk mewujudkannya? Impianmu adalah impianku juga. Uangku adalah uangmu juga.”“Memangnya, apa impianmu?” tanyaku ingin tahu. Dia sudah memiliki segalanya. Apa lagi yang akan diharapkan oleh orang-orang seperti dia?“Aku ingin orang-orang bisa melihat potensiku tanpa membanding-bandingkan aku dengan Jason. Aku tidak akan bisa menjadi direktur utama, tetapi setidaknya aku bisa menjadi yang terbaik walaupun hanya mendapatkan posisi kedua,” katanya. “Ada banyak orang yang takut menjadi orang kedua. Aku tidak. Posisi tidak menentukan kualitas seseorang.”
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi
“Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men
“Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me
Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh
Celeste terlihat sangat bahagia saat aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Dia tidak berhenti bicara mengenai pekerjaannya, rekan-rekannya, dan berita viral yang mereka bicarakan. Iya, itu adalah berita yang paling menggegerkan sepanjang hari ini. Penangkapan Om Gunawan, Jovita, dan Yosef. Hukuman Jovita akan sangat berat karena aku memberikan rekaman CCTV restoran di mana dia berusaha untuk menyakiti tunanganku. Yang sebentar lagi sudah bukan milikku lagi. Merencanakannya ternyata tidak semudah melakukan. Aku terdiam cukup lama di dalam mobil saat kami sudah sampai di pekarangan rumahnya. Mungkin dia berpikir aku tidak berniat membukakan pintu untuknya sehingga dia mengucapkan selamat malam dan memegang kenop pintu. Tetapi aku memintanya untuk menunggu. Aku hanya berniat untuk menyentuh wajahnya dan melihatnya untuk terakhir kalinya. Sayangnya, tubuhku mempunyai rencananya sendiri. Aku menciumnya seolah-olah itu adalah ciuman terakhir kami. Selamanya aku tidak akan
Semuanya terasa tidak berarti lagi untukku. Mengetahui sebuah fakta dibandingkan dengan mendengar langsung pengakuan dari orang jahat yang telah melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Yang satu terlihat tidak nyata, ketika yang satu lagi menyerangmu pada titik yang paling menyakitkan. Jantungmu. Aku hanya bisa diam mendengar alasan yang Jovita ucapkan dan Yosef utarakan sehingga mereka melakukan semua ketidakadilan itu. Cinta, nafsu, harta, kedudukan, apa artinya semua itu jika nurani mati? Mereka tidak hanya mengorbankan masa depan seseorang, tetapi juga nyawanya. Pada Minggu pagi, aku berlari hingga kepalaku berhenti berpikir. Aku tidak bisa memejamkan mata sekejap pun semalam dan tubuh serta jiwaku sangat letih. Rasa sakit saat pertama kali mengetahui Jason pergi tidak seperih ini. Setelah tahu apa yang dialaminya menjelang hari kematiannya membuat rasa kehilangan itu semakin menyakitkan. Paru-paruku terasa begitu sesak dan aku mulai kesulitan bernapas,
Acara menonton itu jadi terasa aneh karena teman-temanku sesekali menoleh ke arah Kak Nevan dan Naura. Mereka berdua duduk dengan tegak dan menjaga jarak, sangat berbeda dengan posisi duduk mereka sebelumnya yang sangat dekat. Hanya aku yang mengetahui mengenai hubungan mereka, jadi wajar jika teman-temanku percaya tidak percaya melihat mereka bersama. Begitu film berakhir, kami keluar bersama melalui pintu keluar. Kakak dan Naura berjalan dengan kaku saat mendekati kami yang menunggu mereka di depan elevator. Tidak ada seorang pun yang bicara, maka aku juga tidak mencoba untuk mencairkan suasana. “Kalau kalian tertarik, bagaimana jika kita ke restoran dan ikut menghabiskan sisa bahan makanan untuk minggu ini?” tanya Nola yang sedang membaca pesan yang ada di ponselnya. “Ayahku mengirim pesan. Dia koki di sana.” Nola menoleh ke arahku. “Tidak hanya makanan berat yang disajikan, ada juga menu makanan ringan. Ayo, kita ke sana,” ajakku. Retno dan Sari menoleh k