“Kau punya mata tidak sih? ini sudah dua kalinya kamu memecahkan piring, restoran ini bisa rugi jika begini,” omel seorang Wanita pemilik Rumah Makan ini.
“Maafkan aku Boss, aku akan lebih berhati-hati,” ucap Gadis berambut hitam gelap itu.
“Gajimu bulan ini akan dipotong akibat keteledoranmu,” sahut Wanita itu.
“Jangan, aku butuh uang gaji bulan ini untuk biaya berobat nenekku,” pinta Gadis berambut hitam. Ia memohon pada pemilik Rumah Makan tempatnya bekerja paruh waktu. “Aku minta maaf Boss, aku kurang tidur karena pagi harus berkuliah jadi kumohon ... aku akan lembur tapi jangan potong gajiku.” Gadis itu memelas.
“Masa bodoh! Itu salahmu sendiri pokoknya gajimu dipotong.” Wanita itu berucap sambil meninggalkan sang gadis yang duduk merunduk. “Kemaskan pecahan piring itu, dasar pegawai tak berguna,” cibirnya.
Sang gadis bermata kenari menatap pecahan piring. Ini sudah jadi piring ketiga yang ia pecahkan. “Kenapa tanganku gampang sekali merusak sesuatu,” ucapnya. Gadis itu berbohong jika sedang mengantuk padahal sebenarnya ia punya tenaga yang kuat. Gadis itu mantan seorang murid ahli pedang. Ia harus meninggalkan hobinya karena harus berkuliah dan bekerja untuk biaya pengobatan neneknya.
“Aku tak boleh sedih, jika pulang nanti Nenek pasti cemas,” gumam Gadis itu. Ia pun buru-buru mengambil sapu untuk membereskan pecahan kaca.
Sepulang berkerja. Gadis berambut hitam panjang itu pulang berjalan kaki dengan tampang lesu. Dia melewati gang sempit yang dijejeri oleh gerombolan preman yang tak sesekali bersiul kepadanya. Gadis itu mendecih namun tetap melewati dengan tak gentirnya.
Gadis itu berjalan dengan berani tanpa mengenal ketakutan. Baru saja melangkah nyaris tiba di rumah susunnya. Sebuah tangan terasa membelai punggungnya dengan sensual. Gadis langsung mengcekrem tangan Pria itu dengan keras, menarik tubuh gempal salah satu preman yang bersikap tak bersahabat dengannya. Dalam hitungan dengan mudahnya ia membanting tubuh preman itu menghantam tiang listrik.
Brukkk! Tubuh Pria itu terpental. Sang gadis hanya memberi tatapan tajamnya. “Tch!” decihnya menatap sekawanan preman lain. “Kalau tidak mau tulang kalian patah cepat pergi,” gertak Gadis itu. Dia memberi tatapan tajam.
Senyuman puas tersungging dari bibir ranumnya. Tatapannya meledek kawanan preman yang berlari terbirit-birit akibat ulah ancamannya. “Dasar pria-pria tak berguna,” ucap Gadis itu sembari mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Gadis ini memang kuat. Tenaganya tidak main-main meski sebenarnya tubuh gadis ini seperti gadis normal seusianya.
“Nah! maafkan aku membuatmu menunggu, Nek!” Gadis itu menatap pintunya tertutup rapat. Tidak biasanya sang Nenek tak langsung membukakan pintunya. Gadis itu jadi panik.
Tok! Tok! Tok!
Tangan Gadis itu menggedor pintu tak sabaran. Tatapan matanya berubah menjadi cemas. Sekali lagi tangannya mengetuk pintu kayu itu berharap sang pemilik segera membukanya. Saat pintu itu berdecit menyembulkan kepala seorang anak kecil yang lumus, kerdil dan memprihatinkan.
“Nona muda Senna bergegaslah karena Nyonya Yue Ran semakin lemah,” ucap Bocah kecil itu.
“Kau siapa? Ah tidak penting, Nenek aku pulang!” teriak Gadis itu sembari melesat masuk. Paniknya lebih besar daripada harus penasaran dengan sosok bocah misterius yang ada di kediamanya ini.
“Nek! Nek! Senna pulang!” Gadis itu berseru sembari mencari sosok tua renta itu. Gadis itu justru mendapati tubuh renta yang tengah berbaring dengan damainya. Gadis itu berlari menghambur padanya. Dia memengangi nadi tangan dan nadi leher keriput sang nenek, dia juga mencoba menelisik kelopak mata bawah sang nenek dan yang terakhir dia pun menguncang-nguncang tubuh sang nenek dengan keras.
“Nenek, aku melupakan medical kit karena Senna terburu-buru kemari, kumohon bertahanlah Nek, kita segera ke Rumah Sakit saja ya Nenek?” pintanya dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca itu. Gadis itu menggengam tangan keriput neneknya.
Sebuah tangan keriput meraih permukaan wajahnya dengan lembut. “A-Sen cucu Nenek ... Selamat ulang tahun yang ke delapan belas tahun,” ucap Wanita tua rentan itu.
“Nenek punya hadiah kecil-kecilan, ammbil didalam lemari itu dan buka saat seluruh hatimu tengah damai.” Sang Nenek memberi permintaan terakhirnya pada Cucu kesayangannya itu. Sunggingan senyuman dari nenek tua itu terpancar dengan tulus. “Anak baik ... Satu-satunya yang selalu menganggap orang sepertiku, A-Sen berbahagialah ... Tugas Nenek sudah selesai.” Tatapan teduh itu perlahan-lahan menutupkan sepasang kelopak matanya.
“Tidak, Nenek Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Teriak Senna menangis histeris dan memeluk tubuh tua itu dengan erat.
Bocah laki-laki kecil itu menepuk pundak Senna dengan perlahan. “Nona muda Senna tidak baik menangisi Nyonya Yue Ran,” nasehat Bocah kecil itu pada Senna yang tak bergeming, dirinya tetap memeluk tubuh tua itu sementara rohaninya telah pergi dengan damai.
Besok paginya kematian dari Wanita tua ini berlangsung di kediaman mewah. Wanita tua ini aslinya seorang kaya raya yang memilih mengasuh anak dari Putrinya yang sudah lama menghilang itu. Yue Ran tua meninggal membawa rasa berkabung untuk Gadis berambut hitam ini.
Suasana berkabung tengah menyelimuti mansion mewah saat ini. Seluruh orang mengenakan pakaian serba hitam. Semuanya tengah berduka dan yang paling terpukul adalah gadis yang mengenakan gaun hitam serba panjang ini.
“Nenek, hiks, Nenek.” Tangis sang Gadis tak berhenti.
“Berhentilah bodoh. Kau ini menangisi orang yang jelas-jelas bukan nenekmu,” sinri pedas terdengar dari suara seorang wanita yang berdiri disebelahnya.
Gadis itu mengepalkan kedua tangannya namun bocah kecil itu segera menggenggam kepalan tangan gadis itu. “Tenanglah Nona Muda,” ucap Bocah itu.
“Kau itu bukan anggota keluarga Ran kenapa kau malah ada disini? Orang asing sepertimu tidak tahu malu ya?” hina Wanita itu lagi.
Tak semuanya ucapan wanita itu salah. Gadis itu mulai merasa bersalah, dia pun menundukkan tatapannya serta melangkah pelan meninggalkan peti jati itu. “Maafkan aku Bibi,” ucap Senna, nama sang gadis berambut hitam ini.
“Masih berani menyahut! Cepat pergi dari sini, kau pasti yang membuat Ibu kami meninggal!” bentak Wanita itu.
Senna pun beranjak sembari menundukkan tatapannya. Gadis muda itu hanya bisa menahan kesedihannya dalam diam bahkan tubuhnya menubruk seseorang yang tengah terdiam diambang pintu. “Ah maafkan aku Tuan,” lirih Senna. Dia menunduk kembali.
“Nona rubah anda melupakan rubah anda.” Suara seorang Pria membuat atensi Senna teralihkan. Suara pria yang sudah Senna tak sengaja tabrak dengan tubuh linglungnya itu.
Senna segera mendongkak. Dia baru menyadarinya jika bocah laki-laki itu tak mengikuti langkahnya. Gadis itu pun menatap pemuda yang raut wajah datar dengan tatapan yang dingin. “Sie! Baise... Baise!” teriak Senna memanggil nama bocah laki-laki itu. Seharusnya dia ada disampingnya bahkan gadis itu masih bisa merasakan pegangan tangannya beberapa saat yang lalu.
“Apa kau ini sudah gila?! Kami tengah berkabung sementara kau berteriak-teriak. Tidakkah kau menghormati nyonya besar Yue Ran?” Lagi-lagi gadis itu dilempar kata-kata yang tak mengenakkan hatinya. Belum lagi tatapan semua orang yang mencemoohnya.
“Dia tak sengaja,” sahut suara yang berat dan dingin. Suara yang terucap berasal dari seorang pemuda yang berdiri di dekat Senna. Pria yang Senna tak sengaja tabrak. Pria itu melangkah dengan anggun mendekati gadis bersurai kelam itu. Dia bisa melihat kedua pundaknya bergetar. Tentu saja tangisannya tengah ditahan.
“Tu-tuan muda Han!”
Semua orang jadi riuh pada tindakan Pria itu yang tiba-tiba saja mendekati Senna. Seluruh orang yang hadir di sana membungkuk dengan sopan. Pria ini berasal dari keluarga yang disegani. Beruntungnya masih berhubungan baik dengan keluarga Ran.
“Tuan Muda, Anak ini memang tidak tahu diri tuan sama seperti ibunya,” hina wanita itu seraya menunjuk gadis itu dengan keji. “Mohon Tuan menjauhi anak kutukan ini,” ucap Wanita itu.
Kesabaran gadis itu sudah habis tersulur oleh api kemurkaannya. “Kalian pikir kalian sudah benar? kalian bahkan tega membiarkan nenek Yue Ran menghabiskan masa tuanya di rusun yang kumuh,” bentak Senna.
Gadis itu dengan tatapannya yang membara tersulut murka. “Ibuku wanita yang baik! seharusnya kalian yang harus sadar diri.” Senna berucap sembari melenggang pergi. Mengacuhkan sahut-sahutan yang menghujami dirinya.
Pemuda itu terdiam tak bergeming sembari menatap sang gadis yang berlalu pergi. Tujuan awalnya adalah mengucapkan belasungkawa terhadap Nyonya Besar Yue Ran yang sudah tiada. Pria muda ini perwakilan dari kerabat keluarga besar Han tetapi dibalik wajah dinginnya. Kedua manik mata biru tuanya senantiasa mengekori sosok gadis manis bersurai kelam yang sudah melenggang meninggalkan kediaman Ran.
Senna berjalan di tepian trotoar dengan kedua mata sembabnya. Kedua pipi gempalnya sudah merah, iris kenarinya sudah sembab serta hidungnya sudah kemerahan. Dia terisak berkali-kali. Langkah pelan Senna membawanya kembali pulang ke rumah kumuh itu. Dia pun membuka pintu reot itu kemudian melangkah menuju ranjang kasur tua serta duduk di ujung ranjang yang tak layak pakai ini.
“Nona muda Senna.” Bocah lelaki itu menampaki wujudnya lagi.
“Siapa namamu?” tanya Senna.
“Baise Nona, hamba ditugaskan Nyonya Yue Ran untuk menjagamu,” jawab Bocah itu.
Senna tak kuasa menahan tangisnya. Neneknya yang tiada bahkan memberikan pengawal kecil untuk menemaninya. “Baise, kemarilah,” ucap Senna sembari menarik bocah laki-laki itu ke dalam dekapannya. “Jangan tinggalkan aku seperti Nenek,” ucap Senna.
Bocah itu menggeleng singkat membalas ucapan gadis itu. “Nona tak perlu khawatir saya akan terus menjaga nona seperti pinta nyonya Yue Ran,” sahut Baise.
Tak lama seberkas cahaya menyelimuti bocah laki-laki itu. Perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi bola seputih salju dengan bulu lebat yang lembut. Tangan sang gadis membelai rubah kecil itu dengan lembut. Baise adalah roh rubah liar yang sudah lama menjadi peliharaan Yue Ran, sekarang pemiliknya adalah gadis bersurai hitam itu.
“Sulit diterima oleh akal sehatku tapi kurasa inilah cara Nenek memberitahu jati diriku,” ucap Senna sembari membelai rubah kecil ini. “Oh, iya, bagaimana pemuda itu bisa melihatmu Baise?” tanya Senna.
Baise jadi rubah kecil yang lucu. Rubah yang sudah lelap tidur dalam pangkuan Senna. Gadis itu menghela nafas panjang. Dia pun mengedarkan seluruh pandangannya pada ruangan bobrok ini. Kini kenangan hidupnya bersama sang Nenek yang tersisa. Dia ingat pertama kali bertemu Nenek ketika ibunya menitipkannya pada Nenek tapi sang Ibu tak kunjung datang menjemputnya.
Senna mengalihkan pandangannya pada sebingkai foto kecil yang terdapat gambar dirinya, sang ibu dan tentunya nenek Yue Ran. Lamunannya memandang jauh peristiwa lama yang sangat hangat dimemorinya. Hidup masa kecil bersama Nenek yang mengajarinya bela diri, berpedang, memanah dan mengenal ilmu pengetahuan.
“Oh iya aku nyaris melupakannya.” Gadis itu baru terhenyak dari lamunannya. Dia baru mengingat perkataan terakhir dari sang nenek. Dia pun beranjak berdiri untuk menuju sebuah lemari disudut ruangan. Kedua tangan mungilnya membuka lemari itu, dia pun mendapati sebuah kotak kayu kecil disana. Dia pun meraih kotak kecil itu, dipandanginya kotak indah dengan pahatan motif bunga anggrek disetiap sisinya.
“Oh, Nenek,” gumam Senna.
Gadis manis itu membuka kotak kecil bermotif anggrek. Dia mendapati sebuah stick tusuk rambut yang terbuat dari giok dengan ujungnya sebuah permata putih yang membentuk bunga anggrek. Gadis itu meraihnya kemudian memegang tusuk rambut itu.
“Ini sangat indah terima kasih Nek, Senna menyukainya,” ucap Senna. Dia pun memeluk stick rambut itu selayaknya mendekap seseorang yang amat disayanginya. Gadis itu melihat pahatan sebuah tulisan didalam kotak itu. Iris kenarinya memandangi kotak kayu itu.
“Akhiri kehidupan seorang malaikat yang mengkhianati surgawi. Langit merah, tentukan pilihanmu, i bersama atau diam menanti kematian.” Gadis itu membaca pahatan ukiran setiap kata yang berasal dari ukiran kotak kecil itu. Kedua alisnya mengkerut beradu satu.
Tok ... Tok ...
Suara pintu berbunyi. Senna beranjak berdiri kemudian membukakan pintunya. Ia mendapati Pria berdiri di luar. Pria yang memakai masker hitam itu mengeluarkan belati dari balik jaketnya kemudian menghunuskan belati pada Senna.
“Ugh, apa yang ... yang kau lakukan?” Senna menatap cairan merah memenuhi dirinya. Sensasi nyeri pada perutnya semakin menjadi kemudian Senna pun ambruk tak sadarkan diri. Kedua pandangan Senna perlahan-lahan memudar sebelum semuanya gelap Senna menatap tangannya yang berlumuran cairan merah.
"Apakah ... aku sudah tiada?"
Seberkas cahaya mentari pagi yang silau lolos dari celah dinding kayu. Sungguh menyilaukan bagi anak gadis manis yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Sembari mengeliat dia pun membuka sepasang kelopak matanya. Membiarkan iris langit magenta nan bening itu terbias oleh cahaya mentari. Buru-buru diarahkan telapak tangannya menutup berkas cahaya itu. Ketika si Gadis hendak beranjak berdiri. Pergerakannya jadi terbatas karena sepasang rantai menjerat kedua kakinya sehingga memaksa bokongnya kembali terjatuh menghantam kerasnya lantai kayu ini. Senna bangun mendapati dirinya dipasung dalam ruangan yang aneh. “Aw, aw, sakit!” jerit Senna. Dia merintih sembari memengangi bokongnya itu. Sepasang iris magentanya membulat dengan sempurna. Seluruh pandangannya menelisik ruangan yang sangat asing untuknya. “Di mana aku?” tanyanya seorang diri. Tatapannya juga tak lepas melihat kedua tangannya yang turut diikat dengan rantai karat yang sudah meninggalkan bekas luka dikedua pergelangan tang
“Tuan Puteri Ran Xieya saya membawa makanan untuk Anda,” Ran Xieya mengulum senyuman yang manis. “Terima kasih,” sahut Ran Xieya sambil menyaksikan gadis itu menunduk dengan sopan sembari pamit untuk meninggalkan kamarnya. “Eh, sebentar, sebentar, temani aku di sini ... aku butuh teman bicara,” ucap Ran Xieya yang terkekeh dengan canggung. “Baiklah Yang Mulia," sahut Gadis itu. Dia berbicara dengan patuh. Gadis Pelayan ini mengenakan gaun panjang berwarna hijau tosca muda itu duduk bersila di sebelah Ran Xieya. Ran Xieya menyeruput teh hangat itu. Dia pun tersenyum jahil. “Hei, ceritakan padaku apa menurutmu aku segila itu?” tanya Ran Xieya. Gadis itu tampak mendehem ragu-ragu, posisi duduknya mulai gelisah. “Ergh ... sebelumnya Yang Mulia tak akan bersikap seperti itu," jawab Gadis itu. Kedua mata Ran Xieya membelalak sempurna. “Eh serius!” jerit Ran Xieya. Ran Xieya mendeham sejenak kemudian mencoba bersikap dengan tenang. "Lalu apa lagi?" tanya Ran Xieya. “Cara bicara anda ju
"Kalau begitu aku harus berhati-hati juga," ucap Ran Xieya. Raut wajahnya serius sembari mencerna situasinya saat ini. "Yang Mulia lebih baik sekarang Anda membersihkan diri karena Lin May akan menyiapkan air hangat untukmu, jangan lupa pertemuan malam ini yang mulia." Lin May berucap sembari membungkuk hormat pada Ran Xieya. Gadis itu menggeser pintu kemudian keluar dari kamar Ran Xieya dengan pelan. Ran Xieya seorang diri masih memikirkan dirinya saat ini. "Ah, jujur saja aku jadi pusing, bagaimana aku bisa masuk ke dunia ini kemudian ada di tubuh Putri Malang seperti ini!" jerit Ran Xieya. Dia pun menarik napas agar bisa membuat dirinya dengan tenang. "Baiklah, tenang ... Ran Xieya, Ran Xieya, serahkan semua masalahmu padaku." Ran Xieya beranjak berdiri kemudian keluar dari kamarnya. Ran Xieya baru selesai mandi. Tubuhnya sudah terasa segar kembali. "Ah, mandi air hangat memang paling terbaik," ucap Ran Xieya. Dia tengah duduk menikmati citrus senja di gazebo istana. Ran Xieya
"Lin May, kenapa aku bahkan tidak tahu jika saat ini ada perjamuan?" tanya Ran Xieya. Dia sembari menoleh pada Lin May. Senyumnya jadi hambar karena tidak tahu mengenai perjamuan Permaisuri yang ternyata sedang hamil. Lin May mengelus pundak Ran Xieya. "Lin May paham, ingatan Tuan Putri memang payah," hibur Lin May. "Aiya ... kau seperti mengolokku," sahut Ran Xieya sembari meringis pelan. Lin May menggeleng. "Itu katamu sendiri, Yang Mulia," ungkap Lin May. Ah benar juga, batin Ran Xieya. Dia pun terkekeh pada Lin May. "Ayo kita keluar dari aula ini, jujur saja aku benci tatapan mereka padaku," bisik Ran Xieya sembari beranjak berdiri. "Mari kita kembali ke kamarmu, Yang Mulia," sahut Lin May. Beberapa langkah lagi kedua gadis ini akan tiba di depan pintu kamar Ran Xieya. Gadis itu sudah mengeluh lapar. “Kenapa kamarku sangat jauh dari aula itu? aku merasa mengelilingi lapangan stadium,” ucap Ran Xieya mengeluh. Biarpun Lin May tak terlalu mengerti dengan ucapan Ran Xieya teta
"Ibu ... kalau begitu sekarang aku antar ke kamar ya, ini sudah malam sebaiknya Ibu istirahat," ucap Ran Xieya. Malam sudah menampaki bulannya yang bersinar dengan terang. Ran Xieya duduk bersama sang Permaisuri baru tiba di kamar pribadinya yang luas. Ran Xieya hanya bisa duduk sembari menikmati teh hangat yang dituangkan pada cangkirnya. Keadaan di luar sedang kacau. Ran Xieya menatap dengan was-was. Namun dia tetap menyembunyikan kegusaran hatinya dengan mengelus bola salju yang sedang dipangkunya itu.Sudah berselang tiga puluh menit dari peristiwa itu. Stick giok Ran Xieya masih berbentuk berupa pedang giok dengan gagang putihnya. Pedang itu sengaja diletakkan disampingnya terduduk. Ran Xieya bahkan tak berani menatap Permaisuri, takut jika dia heran usai Putri ini jadi berubah akibat kerasukan jiwa dari seorang Senna. “Aku tak tahu puteri manisku mahir berpedang," puji Permaisuri. “Ah itu ... aku hanya melihat dan meniru saja.” Ran Xieya tersenyum hambar. Sang Permaisuri kem
“Xieya! astaga, Tuan Muda Kedua ... tolong bawa anakku ke dalam," Han Xue Tian mengangguk singkat. "Baik, Permaisuri." Han Xue Tian menggendong tubuh Ran Xieya kemudian membawanya masuk ke kamar Permaisuri. Han Xue Tian yang menggendong tubuh tak sadarkan diri Ran Xieya meletakkannya dengan pelan untuk berbaring disebuah kursi panjang yang berada disisi lain ruangan itu. Surai hitam Ran Xieya tergerai menutupi paras manisnya yang sedang tertidur. Jemari panjang Han Xue Tian dengan perlahan menepikan helaian rambut hitam Ran Xieya. Lin May segera menggeserkan pintu kamar permaisuri. "Yang Mulia, kenapa tiba-tiba seperti ini," ucap Lin May kemudian sibuk mengurusi Ran Xieya. “Permaisuri Ran Lan Hua." Han Xue Tian menunduk hormat ketika Permaisuri mendekati Ran Xieya. Permaisuri duduk dipinggiran kasur. Ia menatap Ran Xieya yang masih terlelap kala itu. "A-Xie pasti kelelahan, Xue Tian bagaimana keadaan di luar istana?” “Mahluk kegelapan sampai di pusat kota, Xue Tian diperintahk
"Hentikan! jangan menyerangnya!" sergah Ran Xieya.Sorak keributan dari para pelayan itu berasal dari luar aula utama. Beberapa tamu yang penasaran pun turut keluar. “Baise!” teriak Ra Xieya pada Rubah itu. Ran Xieya tak bergeming karena melindungi sosok Rubah yang justru tampak jinak padanya padahal Rubah berukuran besar itu dua kali lipat darinya. Ran Rinyou bergegas mendekati kerumunan usai mendengar hal Ran Xieya memanggil nama rubah kesayangannya dengan setengah berteriak yang segera berlari. “Ran Xieya jangan mendekat ke sana!” teriak sang Kakak yang turut mencegahnya."Grrrghhhh," erang Rubat itu.Rubah itu tampak terpojok karena beberapa prajurit menodongnya dengan ujung tombak. Dia bisa saja menyerang namun Baise masih mengingat tuannya yang berhati lembut. Apalagi rubah itu melihat usaha Ran Xieya yang menghadang todongan ujung tombak yang mengarah padanya. “Sie! kamu tidak terluka, kan?" tanya Ran Xieya disela-sela terpojoknya. Ran Xieya berdiri di depan rubah putih beruk
"Apa ... apa kau mau menghakimiku juga?" tanya Ran Xieya dengan kedua mata berkaca-kaca. "Aku ... tidak ...," ucap Han Xue Tian tertahan karena menatap Ran Xieya hendak terisak lagi. Lin May baru tiba dengan langkah terbirit-birit. Pelayan itu memberi hormat pada Han Xue Tian. “Sudahlah Tuan Putri setelah para pemimpin clan berdiskusi kita bisa bertemu dengan Sie lagi," ucap Lin May sudah kewalahan menenangkan sang Putri yang terisak dengan tangisannya. Dia tak henti-hentinya mengelus pundak Ran Xieya. "Tuan Muda kedua Han, terima kasih sudah menghantar Putri Xieya kemari," ucap Lin May. "Hm." Han Xue Tian mengangguk. "Kalau begitu, selamat tinggal Xieya." Han Xue Tian berucap sembari meninggalkan Ran Xieya bersama Lin May. Lin May dan Ran Xieya lanjut berjalan memasuki kamarnya. Di sana lagi-lagi Ran Xieya cemas akan keberadaan Rubah putih itu. “Kalau dia disakiti oleh si Yu itu bagaimana?" rengek Ran Xieya. “Tidak akan, Lin May ini pasti yakin Han Suiren Hua dan Han Xue Tian
Srrrryashhhhhhh Kedua mata magenta Ran Xieya menatap Lian Xia Tian yang terkena sebuah sebilah pedang yang menghunus punggungnya hingga bagian perutnya mengeluarkan cn. "Tidak, tidak, tidak," ucap Ran Xieya berulang kali. "Xieya ... Xie ... lari," ucap Lian Xia Tian yang mengeluarkan cairan merah dari ujung bibirnya. Tubuh Lian Xia Tian ambruk seketika."Mengapa kau melakukannya?" tanya Ran Xieya dengan tatapan nanarnya. "Tuanku sangatlah bodoh," celetuknya sembari berjalan mendekati Guan Yu. "Ia merawatku sejak bayi namun yang ia lakukan setiap hari hanyalah mengangumimu, padahl Dunia Bawah membutuhkannya." Pemuda itu merubah wujudnya jadi seorang Pria Muda yang berjubah hitam. "Lu Fei, aku ... anak dari Guan Yu dengan salah seorang manusia, Ayah ... aku sudah menghabisi Iblis Bodoh itu apakah aku juga harus menghabisi Dewi Yue?" tanyanya sembari menatap Ran Xieya.Guan Yu tertawa puas menikmati Ran Xieya yang mematung menatap Lian Xia Tian yang sekarat itu. "Dia tak akan bisa di
"Jadi kau melepaskan hubungan dengan semua orang untuk misi bunuh dirimu ini, tapi semua itu tak berlaku padaku karena aku memang membenci Guan Yu sejak dulu ... kau pikir saja sendiri, kekasih mana yang terima jika selama ini wanitanya di segel oleh Dewa Keparat itu selama ribuan tahun?" omel Lian Xia Tian sembari menatap Ran Xieya dengan tajam. Ran Xieya tak mengubrisnya kemudian berjalan mendekati Gunung Rai. "Jika begitu terserah padamu dan lakukan sesukamu tapi jangan menghadang keinginanku untuk melenyapkan Guan Yu," ucap Ran Xieya pada Lian Xia Tian. Gerhana tak dirasa justru datang lebih cepat. Hal itu membuat Ran Xieya tertegun. "Aneh sekali, kenapa terjadi lebih cepat?" gumam Ran Xieya sendiri."Itu karena Guan Yu juga menipu alam semesta," sahut Jing Xiu sembari waspada. "Yue ... aku rasa rencanamu berjalan lebih cepat dari dugaan kita," ucap Jing Xiu sembari bercahaya terang yang hangat. Ran Xieya mengangguk. "Tolong ya, aku serahkan perlindungan padamu." Ran Xieya beru
"Aku bersamamu, dalam suka dan duka, Yang Mulia Hua Zhen ...," ucap Pria bermata ungu cerah itu. Ran Hua Zhen tersenyum namun tiba-tiba saja ia tak sadarkan diri. Ran Hua Zhen langsung berada dalam gendongan Shin Chen Jun. Ia mendengar derapan langkah namun tak lama sosok Han Suiren Hua muncul dengan telunjuk bercahayanya. Shin Chen Jun menghela napas."Hua Ge, melumpuhkan energinya bukanlah hal yang baik," celetuk Shin Chen Jun."Benar, selagi ini kekuatan baru Yang Mulia, dan guncangan jiwa dapat membangkitkan kekuatannya ... An Tian bukan sesuatu yang bisa Yang Mulia tangani, sebaliknya ... itu akan mempersulitnya," ucap Han Suiren Hua. "Kedatanganku kemari juga karena hendak berbincang denganmu Ketua Shin." Pria itu berucap sembari melipat kedua tangannya di belakang punggungnya dengan tenang. Shin Chen Jun beranjak berdiri sembari menggendong tubuhnya Ran Hua Zhen yang sudah tak sadarkan diri berkat Han Suiren Hua yang menghentikan aliran energinya untuk sementara, ini bukan p
"Tapi Yang Mulia, harap Anda memikirkan lagi mengenai tindakanmu ini," ucap Shin Chen Jun pada Ran Xieya yang tengah duduk dihadapannya menikmati secangkir teh.Ketibaan Ran Xieya membawa harapan bagi Shin selain berkat Ran Xieya yang memusnahkan Dewi Naga Kabut. Ia juga mengembalikan warga Shin yang terperangkap dalam kabutnya, insiden ini terjadi sejak Baosheng berhasil dikalahkan dan para pemberontak berhasil padam dan mengalah.Shin Chen Jun, masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Ran Xieya, dia hidup akrab dengan Ran Xieya sejak masih muda tapi baru kali ini Shin Chen Jun merasakan ketenangan yang berbahaya dari Ran Xieya yang biasanya bersikap ceria, banyak bicara dan ceroboh itu. "Rencanaku sudah bulat A-Jun, aku memutuskan untuk mengakhiri peperangan ini ... maka dari itu, jika sesuatu terjadi padaku, aku mau kau jadi Penasehat Shizu Ran serta dampingi Ran Hua Zhen," ucap Ran Xieya menatap Shin Chen Jun dengan datar.Shin Chen Jun menggeleng. "Itu tidak bisa, anakmu yang
"Xieya ... kau memaksakan diri lagi ya?" tanya Lian Xia Tian sembari mendekati Ran Xieya. "Tidak, tidak sama sekali, ini pilihanku," jawab Ran Xieya tak ragu. Lian Xia Tian melirik Ran Xieya yang tampak terdiam tenang, ini bukan Ran Xieya yang ia kenal. Lian Xia Tian mencoba memahami perilaku Ran Xieya. Banyak hal yang dilalui oleh Ran Xieya bahkan ia telah mengorbankan banyak hal termaksud dirinya sendiri. "Aku tak butuh kau mengasihiku," terka Ran Xieya sembari beranjak pergi lebih dulu. Lian Xia Tian tertegun, ia tak menyangka jika Ran Xieya menjadi 'datar' saat ini. Tatapan dan sikap dingin seperti ini mirip seperti An Tian, tapi Lian Xia Tian sendiri sudah sangat yakin jika An Tian sendiri telah lenyap karena kehadirannya sirna digantikan oleh sebatas energi kekuatan pada Ran Hua Zhen yang sejak tadi membungkam. "Xieya, perjalanan kita lumayan panjang untuk tiba di Shizu Ran ... jika, kau ingin istirahat, Kediaman Shin terletak diperbatasan," ucap Lian Xia Tian menunggangi k
Ran Xieya berjalan dengan tenang, kala itu hari hendak menampaki fajar. Kedua mata magenta Ran Xieya bersinar terang. Wajahnya memasang raut serius. Ia berjalan belok memasuki sebuah ruangan usai menggeser pintu yang terbuat dari bambu itu. Ran Xieya menatap adiknya, Ran Hua Zhen yang tidak sadarkan diri. "Kau memutuskan jaringan kehidupanmu dari dunia fana, An Tian, tapi anak seperti ini yang kau pilih untuk melanjutkan harapanmu ... sebegitunya kau mau aku hidup bebas tanpa belenggumu lagi, ya?" Ran Xieya duduk dipinggiran ranjang kasurnya. Ia bisa merasakan energi gelap dan hitam pada Ran Hua Zhen namun energi itu tidak waspada padanya. Ran Xieya menatap kehampaan saat ini. Ia teringat saat-saat dirinya 'menyandera' jiwa An Tian pada tubuhnya. Kehancuran dan kehidupan bercampur aduk, Ran Xieya pernah menghancurkan perbatasan wilayah Iblis dan manusia bahkan pernah menyatukan kedamaian Iblis dan Manusia berkat An Tian yang ada pada dirinya. Kini semuanya sudah usai, Ran Xieya hidu
"Nak, keinginanmu kuat ... terimalah ...,""Tidak! tidak, jangan lagi lakukan hal seperti itu!" Lian Xia Tian langsung mendekap An Tian yang sudah perlahan-lahan berubah jadi abu. Ia tahu jika An Tian hendak memindahkan inti jiwanya pada Ran Hua Zhen meski tidak pasti keberhasialnnya."Percayalah Xia Tian, dia tetap hidup jadi dirinya bersama kekuatanku," sahut An Tian tak mengubris Lian Xia Tian. Melainkan membuat cahaya dari tangannya dan memberikannya pada Ran Hua Zhen. Ia tersenyum saat menatap Ran Hua Zhen yang mirip seperti Ran Xieya. "Hiduplah ... lindungi semuanya," ucap An Tian kemudian berubah jadi abu dan sirna.Ran Hua Zhen membeku kala cahaya itu memasuki tubuhnya sendiri kemudian kekuatan tinggi merasuki dirinya. "Ahhhh!" Ran Hua Zhen menjerit kemudian tak lama ia pun pingsan tak sadarkan diri. Lian Xia Tian mematung menatap abu dari An Tian dan Ran Hua Zhen yang sudah mengambil alih seluruh kemampuan An Tian. Jalan ini berbeda dari sebelumnya, Ran Hua Zhen tak perlu ke
"An Tian, tunggu, perlahan langkahmu," ucap Han Suiren Hua."Apa? kau mau aku menuruti kemauanmu dengan menipu Xieya? kau ... Kakak yang keji dengan membiarkan Lian Xia Tian menipunya jadi Han Xue Tian hanya untuk menenangkan Xieya," sahut An Tian. "Aku tidak sanggup melihatnya tidak tahu menahu jika Han Xue Tian juga dalam keadaan sekarat!" bentak An Tian."Ini bukan salahmu, An Tian." Han Suiren Hua menarik pergelangan tangan An Tian. An Tian menatap Kepala Klan Muda itu. An Tian menepis tangannya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku harus melenyapkan wadah ini, karena apa jadinya jika Xieya menatapku dengan wujud yang membuatnya menderita," ucap An Tian sembari beranjak pergi. An Tian berlari keluar dari kediaman Han. Ia sempat berpapasan dengan Ra Byusha yang langsung mengenalinya. "Carikan aku wadah, aku ... aku tak mau Xieya menatapku menderita," ucap An Tian setengah memelas."Murid bodoh itu pemaaf," sahut Ra Byusha."Bahkan jika tahu suaminya kritis dan saat ini orang
"Lakukan! Hahaha ...," tawa Baosheng tak lama terhenti. Ia mematung dengan bayangan hitam yang pedar keluar darinya. "Xieya, tusuk jantungnya ... satu-satunya cara membuatku bebas dengan membunuh wadah ini sama sepertimu dulu," ucap Baosheng dengan nada suara An Tian."Aku ... tidak yakin," ucap Ran Xieya mendadak gemetar karena jika itu ia lakukan maka Baosheng akan tewas."Guan Yuu akan melemah karena ia menggunakan sebagian kekuatanku," ucap An Tian.Brukkkk ... Ran Xieya menoleh kala menatap nanar sosok An Tian yang mengulurkan tangannya itu. Ran Xieya mencoba meraihnya namun dirasanya percuma karena sosok Baosheng sudah kembali sembari menyerang Ran Xieya dengan membabi buta. Ran Xieya akhirnya bisa menahan serangannya dengan membuat pedang dari Baosheng terlempar kemudian memengang kedua tangan Baosheng. "Aku tak mau semuanya berakhir sia-sia," ucap Ran Xieya berusaha membujuk Baosheng."Hentikan omong kosongmu Anak Kecil," sergah Baosheng.Brukkkk ...Ran Xieya menoleh saat t