Ayo share karya ini agar otor semangat ngetiknya.
"Bunda! Bunda, kenapa," pekik Delia menatap Ibunya yang memegang perut, ia terlihat mengatur napas dan dahi berkeringat.
Gadis kecil itu langsung mendekati sang Bunda, lalu matanya membulat saat melihat Maura bangkit dari duduk. Terlihat dengan jelas darah di daster wanita itu, Delia semakin terkejut dan berteriak memanggil semua orang. Mertua Maura lekas berlari tergesa-gesa kala mendengar pekikkan sang cucu, dia mendekat memandang Delia bingung.
"Itu Nek, baju Bunda ada darahnya, merah-merah gitu," seru Delia menunjuk Maura yang bersandar di sofa lagi, ia terus mengatur napasnya.
"Ra! Kamu mau lahiran," pekik Aulia, lalu segera menelepon anaknya.
"Aji! Maura mau lahiran," pekik Aulia saat sambungan telepon terhubung, handphone lelaki itu hampir terlempar saking terkejut.
"Langsung bawa ke rumah sakit, Mah. Nanti aja nyusul, Aji langsung berangkat ke rumah sakit yang suda
Terus dukung author, dengan memberi bintang 5 dan gams"Ra, jangan teriak. Lihat cucuku nangis," tegur Aulia membuat Maura menoleh dan meminta maaf."Maafin, Mama ya, Sayang," lirih Maura pelan, mengusap sayang kepala anaknya lalu melihat sang suami tengah meminta dibukakan gerbang dan masuk membuka pintu utama."Lo masuk dulu ya, gue parkirin mobil dulu," seru Aji dengan santai mengulas senyum mempersilakan gadis itu masuk ke kediaman lalu melangkah ke mobil."Mas," panggil Maura terhenti saat melihat suaminya tengah menerima telepon."Ahh ... ayo berkumpul, kalian ke rumahku saja," seru Aji lalu mematikan sambungan telepon dan memasuki gerbang, tak lupa memarkirkan kendaraan roda empat miliknya."Ayo keluar," ajak Aji membantu sang istri menuju ke rumah.Gadis itu memandang Maura yang dipapah oleh Aji. Melihat perlakuan sayang Aji pada wanita yang menyandang sebagai istri, membuat ia cemburu, menatap Maura dengan
Tolong berikan bintang 5, agar saya semakin smngt untuk nulis. Jangan lupa kasih gams jga ya, biar karya ini dipromosikan oleh pihak GNSedangkan tatapan Maura ke arah mereka sulit sekali diartikan. Melihat suaminya mengangguk serasa beribu jarum menancap di jantung, sakit tapi tak berdarah. Angel melihat tingkah Shilla pada Aji jadi serba salah, seperti ia harus mengingatkan sahabatnya."Ya sudah, gue sama Angel pergi beli makanan. Kalian buat tenda ya! Mengenang masa dulu," perintah Shilla membuat semua orang saling memandang."Gue beli tenda kalau gitu," seru Bagas lalu pergi."Bocah itu maen nyolong aja," gerutu Shilla menatap kepergian Bagas."Ampun ... gak nyadar kalau dia sendiri yang bocah, udahlah dia ngerasa jadi nenek-nenek kali," ucap Dimas membuat Shilla menatapnya dengan tajam."Awas ya, lo!" geram Shilla lalu mendekati Dimas yang sudah kabur takut kena amukan Shilla."Shilla kadang masih bertingkah sep
Terimakasih dukungannya, terus dukung saya ya.Waktu berlalu begitu saja, sudah tiga hari Shilla menginap di kediaman mereka. Gadis itu terus menempel pada suaminya. Maura mengembuskan napas kesal, memilih fokus dengan sang buah hati."Mas berangkat kerja dulu ya, Sayang," pamit Aji mencium kening sang anak dan istrinya."Mas, Shilla ikut ya," ucap Shilla yang telah rapi tak lupa menenteng tas."Boleh," kata itu meluncur dari bibir Aji, membuat Maura terdiam seketika."Ngapain dia ikut, Mas. Mendingan dia bantuin Mama," seru Maura menatap sinis ke arah Shilla membuat gadis itu mendengkus marah."Enak saja, Shilla ke sini buat liburan sambil belajar, masa disuruh di rumah terus, bosen dong! Apalagi Shilla anak gaul," seru Shilla protes memandang Maura penuh permusuhan."Udah-udah, jangan berantem. Biar Shilla ikut sama aku, Ma. Kasian udah beberapa hari dia diem di rumah bantuin Mama," ujar Aji membuat Maura hanya mengerucu
terimakasih atas dukungannya, kira² mau gak baca kalau saya lembar naskah ke sini, judulnya. Malam Pertama Dengan Kakak IparNetra Maura membulat kala melihat sebuah foto yang membuat dia terbakar cemburu. Tanpa sadar ia mencengkram lengan kiri anak perempuannya yang tengah diam di meja lipat untuk belajar. Gadis kecil itu mengaduh lalu menarik tangan mungil yang terasa sakit."Bunda ... sakit!" pekik Delia dengan mata berkaca-kaca."Apa tulisan Lia jelek, jadi Bunda marah?" tanya gadis kecil itu sambil terisak hingga wajah mungil itu basah oleh air mata. "Sayang, maaf. Bunda gak sengaja nyakitin kamu," jelas Maura kala sadar memandang anaknya yang sudah berurai air mata lalu menghapus jejak itu di pipi. "Sakit, Bun," keluh Delia mengusap tangannya yang sedikit memerah."Maafkan Bunda," kata Maura langsung mendekat anak perempuannya."Pasti karna tulisan Lia jelek, makanya Bunda marah," ucap Delia masih teguh dengan pe
maaf karna gak post, otor sebenernya masih sakit. otor paksain buat setengahnya. oh iya, otor udh kirim naskah Malam Pertama Dengan Kakak Ipar kalian bisa mampir kali aja jatuh hati, tapi masih dalam versi web ya, karena baru ajukan kontrak☺Kaki Shilla telah diobati, Aji menghembuskan napas lega. Gadis dihadapannya ini ceroboh tak hilang-hilang. Ia baru teringat jika dia tengah video call tadi, dengan cepat melihat ke arah handphone yang telah mati."Haduh, baterainya segala habis," keluh Aji lalu mendaratkan bokong di kursi kebesaran."Pasti Maura mengerti, dia tak akan marah," gumam Aji pelan menyakinkan hatinya."Kenapa Mas, berbicara sendiri? Sudah gila ya," seru Shilla disertai tawa kala mendapatkan tatapan tajam Aji. "Santuy, Mas. Maaf Shilla jadi ngerepotin deh," ucap gadis itu lalu bahagia karena rencananya berhasil, tak sia-sia menyakiti diri sendiri."Kamu memang selalu merepotkan," tutur Aji membuat Shilla memasukan bibir ce
"Ayo, Mas! Aku pengen ke kamar," pinta Shilla dengan manja, membuat Aji akhirnya mengangguk dan melangkah.Setelah mengantar Shilla ke kamar perempuan itu, kala keluar dari ruangan tersebut tangannya ditarik oleh sang ibu membuat Aji terkejut. Ia memandang wanita yang melahirkannya saat sampai, tatapan teduh Aulia layangkan pada sang anak. Lalu mengajak Aji duduk kursi."Ada apa, Mah?" tanya Aji membalas tatapan wanita yang telah melimpahkan kasih sayang pada dirinya."Jangan terlalu dekat dengan Shilla, kamu harus lebih memperhatikan Maura, dia baru beberapa hari habis melahirkan, Aji," nasehat Aulia membuat Aji mengangkat alisnya bingung."Sikapku sepertinya gak berlebihan, Mah. Aku bersikap seperti biasa," sahut Aji pelan."Maura juga sudah tau, kan, karena kami berteman," jelas Aji membuat Aulia menghela napas karena anaknya sama sekali tak peka dengan keadaan sang istri. "Iya, tapi harusnya kamu memberikan batasan pada Shi
jangan lupa terus dukung author agar smngt lagi"Mas, aku ingin ngomong empat mata denganmu," ajak Maura menarik lengan suaminya ke kamar."Ngomong apa, Sayang?" tanya Aji semangat, karena istrinya mulai mengajak bicara setelah cukup lama mereka saling diam."Shilla nginep berapa lama?" Maura bertanya kala mendaratkan bokong di kasur dengan tatapan sedingin es."Memang kenapa, Sayang. Shilla sudah Mas anggap seperti adik, orang tuanya pun menitipkan dia pada kami," ujar Aji memandang istri yang tak memberikan sedikit senyuman."Kalau gitu, kamu harusnya jaga jarak sama dia," ucap Maura membuat Aji mengernyitkan alisnya.Baru saja Aji hendak menjawab, Maura telah menyela. "Mas dan Shilla itu terlalu dekat, udah kaya prangko lengket banget!" tutur Maura dengan memggebu-gebu. "Mas itu pria beristri, harus menjaga jarak. Mas dan Shilla itu bukan mahram, Mas!!" sembur Maura membuat Aji perlahan menerbitkan senyuman.
Sudah sekitar dua puluh enam menit Maura berada di kamar menenangkan hatinya. Suara tangisan sang buah hati langsung membuat dia bangkit lalu dengan kasar mengusap air mata. Ia bertekad tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan, dan akan terus memperjuangkan mahligai rumah tangga yang sudah lama ia serta suaminya bina."Sayang, anak kita nangis. Tolong keluar," panggil Aji seraya mengetuk pintu lalu perlahan benda itu terbuka.Maura membuka pintu, wajahnya terlihat sembab. Ia menatap datar sang suami, lalu melangkah menuju ruang tengah. Terlihat Aulia sedang kewalahan mendiamkan cucu pertamanya. Dengan sigap lekas mengambil bayi itu, dan cepat memberikan ASI dan duduk si sofa."Kamu kenapa, Ra?" tanya Aulia ikut duduk di samping sang menantu, menatap wajah sembab Maura."Aku gak papa, kok Mah," sahut Maura pelan seraya menggelengkan kepalanya. "Mah, aku boleh bicara sesuatu?" tanya Maura kala melihat suaminya mendekat."Kami mau
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me