Kedatangan mereka disambut bahagia oleh Alina. Semalam, tidur wanita itu tak nyenyak karena memikirkan kedua anaknya. Ia takut Pandu menemukan mereka, kemudian membawanya pergi. Walaupun Zyan dan Zea bukan anak kecil yang mudah untuk dibujuk, tetapi ia tetap waspada.“Masuk, Bryan,” ucap Alina pada anak majikan yang ikut serta. “Berarti, semalam Bryan juga enggak pulang?” tanya Alina pada pria muda itu.“Iya, Bu. Semalam kami ada pesta kecil-kecilan.”“Zyan juga ikut?” tanya Alina menatap putra sulungnya. “Iya, Ma. Lagi pula, mana mungkin Zyan membiarkan Zea pergi keluar sendirian, apalagi acaranya malam hari.”Wanita itu mengangguk paham. “Mama sangat cemas kemarin.”“Kan, Zyan sudah hubungi Mama.”“Tetap saja, Mama selalu khawatir selama kalian enggak ada di samping Mama.”Zyan memeluk wanita itu. “Sampai kapan pun, kami enggak akan meninggalkan Mama.”Setelah berbincang sebentar, pria itu pamit. Sedangkan Zea langsung ke kamar berganti pakaian secepat mungkin, sebelum Alina memerg
“Ternyata gadis itu membalikkan semua fakta,” ujar Zyan, setelah keluar dari ruang rawat Chika.“Dia memang enggak menyukai Zea dari dulu, Mas. Karena itu, ia selalu memancing Zea untuk marah.”“Karena dia menyukaimu,” tebak Zyan.Bryan menatap Zyan yang berjalan menyusuri koridor rumah sakit. “Saya bisa melihat, sorot matanya mengungkapkan ia menyukaimu dan kamu menyukai Zea. Karena itu, ia merasa Zea adalah ancaman baginya.”Ucapan Zyan tak bisa disanggah Bryan. Ia yakin, kelakuan Chika yang sangat memusuhi Zea tak lepas dari rasa suka gadis itu padanya. Beberapa kali gadis itu protes pada Bryan karena merasa diabaikan dan tak dihargai cintanya. “Saya minta maaf, Mas.”“Semua sudah berlalu, sekarang kita memikirkan cara membebaskan Zea dari tuntutan.”Keduanya bergerak menemui Malik di kantornya. Mereka menyerahkan salinan rekaman CCTV dan hasil visum Zea. Malik harus mulai melancarkan strategi, karena pihak Martin telah memiliki bukti lengkap dan kasus yang menimpa Zea akan segera
Sebuah panggilan dari orang tak dikenal masuk ke ponsel Rosa. Tanpa curiga, wanita itu langsung menjawab panggilan. Selama ini banyak mitra dan konsumen yang menghubunginya tentang bisnis yang ia jalani. “Assalamu’alaikum.” “Wah, sudah salihah sekarang, ya?”Tiba-tiba wajah Rosa berubah. Dadanya naik turun, menahan kemarahan mendengar suara pria yang sangat ia kenal. “Apa maumu?” tanya Rosa dengan suara bergetar.“Aku ingin kita bertemu di tempat biasa. Kamu pasti ingat.”Sambungan terputus. Rosa bimbang, apa yang diinginkan Daniel darinya? Haruskah ia izin pada Pandu untuk keluar rumah? Agama memperingatkan, haram hukumnya seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Setelah menimbang beberapa saat, Rosa pergi tanpa menghubungi Pandu. Ini untuk kebaikan mereka, Rosa akan menyelesaikan semua urusannya dengan Daniel untuk menyelamatkan rumah tangganya yang sedang kritis. Wanita itu berpamitan pada asistennya. Dengan mengendarai sebuah minibus keluaran terbaru, Rosa pergi menemui pria
Regina mendatangi Alina yang sedang mengelap meja makan. Wanita itu ikut membantu pekerjaan Alina, meskipun beberapa kali Alina melarangnya. “Enggak apa-apa, ini juga rumah saya. Jadi, sewajarnya jika saya harus membersihkannya,” ungkap Regina, ketika Alina memintanya untuk duduk. Semenjak Alina bekerja di rumah ini. Wanita itu seperti punya teman bicara, apalagi Regina tipe wanita rumahan dan tak suka hidup glamor, ikut arisan tak penting, atau saling pamer kekayaan suami dengan teman-teman sosialita. Ia akan keluar rumah jika menghadiri acara bersama Bagas.“Oh, ya, lulus SMA, Zea mendaftar kuliah di mana?” tanya Regina, kemudian menarik salah satu kursi dan duduk di sana.Alina mendesah, ia tak mengerti apa yang dipikirkan putrinya itu. “Zea enggak ingin kuliah, Bu.”“Bryan pun begitu. Ia enggak berminat kuliah. Karena memang dari awal papanya sudah meminta untuk bergabung di perusahaan. Jadi, ia merasa untuk apa lagi kuliah kalau pekerjaan sudah menanti.” Regina terkekeh, kala me
Bryan berkunjung ke rumah Zea dengan membawa parsel buah dan cheesecake. Walaupun duduk di hamparan tikar, tak mengurai kebahagiaan Bryan kala menjumpai gadis yang ia rindukan. Perasaannya tak bertepuk sebelah tangan, ketika menyaksikan senyum Zea menyambut kedatangannya. Di lantai beralaskan tikar, mereka bercengkerama. Ada keingintahuan yang besar tentang kondisi kesehatan Zea. Namun hal itu tak bisa ditanyakan Bryan, karena Alina berada di antara mereka. Bryan memberanikan diri meminta izin Alina untuk mengajak putrinya jalan bersama. Di rumah ini mereka tak bebas bicara, apalagi mengenai kasus yang menimpa Zea.“Ke mana?” Alina bertanya.“Kita ke Max Cafe, Bu. Sekalian melihat Mas Zyan bekerja,” jawab Bryan.Wanita itu memberi kesempatan. Beberapa kali ia berpesan pada sang putri untuk hati-hati. Entah apa maksud pesan itu, yang jelas ada kekhawatiran dalam diri Alina membiarkan putrinya berduaan dengan Bryan. Meskipun ia tahu bahwa Bryan adalah pria yang baik.Sudah lama Zea tak
Pandu menunggu di depan sekolah menengah atas tempat putrinya menuntut ilmu. Satu per satu siswa dan siswi keluar dari gerbang. Deretan kendaraan telah menunggu mereka untuk kembali ke rumah. Mata Pandu menatap liar satu per satu para siswa yang keluar dari area sekolah. Hingga sekolah itu kosong, tetapi wajah Zea tak tampak jua. Pandu mendatangi dua orang siswi yang berjalan pulang. Ia memberanikan diri untuk bertanya.“Saya enggak mengenal Rayna Zea Dirgantara, Pak,” jawabnya yang seketika membuat Pandu lesu.Zea bukanlah siswi yang menonjol di sekolah. Ia bukan pengurus OSIS atau siswi berbakat dengan prestasi di bidang seni dan olahraga. Zea hanya siswi biasa yang menutup diri dari teman-temannya yang lain. Rasa rindu tak bisa terbendung, Pandu ingin mendekap buah cintanya. Ia rindu kala mereka bersama dan mendengar keluh kesah kedua anaknya menjalani kehidupan. Sekarang, enam tahun telah berlalu, ia tak pernah mendengar cerita mereka. Pasti ada banyak kisah sedih yang disimpan r
Pandu tiba di kantor setelah mediasi selesai. Sebenarnya ia penasaran pada gadis yang dibela oleh Bryan sampai Bagas diminta turun tangan. Namun karena harus mewakili Bagas dalam sebuah pertemuan, terpaksa ia melewatkan kesempatan itu. “Bagaimana mediasinya?” tanya Pandu pada Bryan yang duduk di sofa.“Alhamdulillah, Om, semua berjalan lancar. Bapak Martin menyerah dan meminta maaf langsung pada kakaknya Zee.”“Kenapa enggak dijebloskan ke penjara saja? Biar kapok,” cetus Pandu.“Iya, Om. Saya pun berpikir begitu. Zee dikeroyok, ia mendapatkan luka lebam di wajah dan sekujur tubuh. Ia sakit, tetapi selalu terlihat tegar untuk menyembunyikan luka. Kakaknya bilang, Zee memang begitu, semenjak orang tua mereka berpisah, ia sering menyendiri bahkan menangis sendiri. Di sekolah pun sama, Zee enggak punya banyak teman dan sering melamun seperti memikirkan sesuatu.”Pandu terharu mendengar kisah gadis itu. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sekaligus rasa kasihan pada teman Bry
Kejadian tadi siang membuka begitu banyak cerita. Enam tahun berlalu, entah berapa banyak air mata yang mereka lalui. Pandu terlalu lalai, hingga membuat rasa kecewa kedua buah hatinya makin menebal. Untuk kesekian kalinya, pria itu larut dalam penyesalan. ‘Zee’, gadis yang selalu diceritakan Bryan ternyata putrinya. Gadis pintar yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Gadis yang sering di-bully dan dihina, karena keadaan. Gadis yang mengalami luka fisik, karena dikeroyok teman-temannya sendiri.Tubuh tegap itu bergetar hebat. Tetesan air mata jatuh menyesali perbuatannya enam tahun lalu. Hanya karena seorang Rosa, ia mematahkan hati orang-orang yang seharusnya dijaga. “Papa akan bawa kalian kembali ke sini. Bagaimanapun caranya.”Pandu tak akan lagi membiarkan mereka menderita, hidup dalam keterbatasan, dan menjadi hinaan orang. Sudah cukup kesedihan yang mereka lalui. “Papa akan kembalikan apa yang seharusnya milik kalian.”Pandu bangkit, kemudian berjalan menuruni anak tangga menuju
“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.
Beberapa Bulan kemudian ....Bertempat di halaman rumahnya yang luas, Zidan yang kini berusia satu tahun mulai melangkahkan kaki kecilnya di atas rumput hijau yang sangat terawat. Pandu merentangkan kedua tangan seraya memanggil nama putranya. Kaki kecil Zidan melangkah menuju sang papa yang disambut dengan gembira oleh Pandu.Alina yang melihat interaksi keduanya sangat bahagia. Tawa Zidan menggema. Ia merentangkan kedua tangan, ketika Pandu mengayunkan tubuh kecilnya seperti akan terbang. Pria itu tampak makin sehat dan muda, meski usianya hampir setengah abad. Senyumnya begitu merekah dan kebahagiaan begitu terlihat dari bibirnya yang tak henti tertawa. Bahkan, sorot matanya mengisyaratkan begitu banyak cinta untuk wanita yang berdiri di sampingnya.Sementara itu, tak jauh dari sana, seorang wanita memakai gamis dan sebagian wajahnya tertutup cadar. Ia berdiri, terpaku menatap keluarga bahagia itu. Hampir setiap hari ia berdiri di balik pagar rumah hanya untuk melihat pria yang hi
Kehadiran anggota baru keluarga membuat rumah mewah Pandu menjadi ceria. Suara tangis, tawa, dan celoteh kecil terdengar bak mantra yang mampu menghipnotis para penghuninya. Zea dan Bryan lebih banyak bermalam di rumah itu, supaya bisa dekat dengan adik kecilnya. Sedangkan Zyan menghabiskan waktu luangnya setelah pulang bekerja untuk mengasuh Zidan. Laki-laki kecil itu menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seperti magnet yang menarik semua anggota keluarga untuk berkumpul. Kebahagiaan Pandu makin bertambah, perusahaan mereka makin maju. Zyan mewarisi bakat Pandu dalam berbisnis. Ia begitu pintar mengelola perusahaan dan jeli dalam membaca peluang. Pandu sangat bangga, ketika menghadiri rapat petinggi perusahaan untuk mendengar perkembangan perusahaan sekaligus kerja sama baru yang sedang mereka kerjakan. Zyan dan Bryan bekerja sama dalam menggarap sebuah proyek pemerintah yang sangat menantang dalam skala besar. Pandu dan Bagas tersenyum dan saling melirik, ketika kedua pria muda itu
Rosa hanya bisa menunduk dengan air mata berlinang saat mendatangi Ustazah Ana. Ia malu dan merasa hina, setelah semua aibnya terbongkar. Walaupun wanita itu tak pernah mengusik masa lalunya, tetapi Rosa yakin, Ustazah Ana mengetahui semuanya. Apalagi ia pernah sombong dan menolak nasihat wanita itu hingga memblokir kontak Ustazah Ana. Kini, ia terpaksa menjilat ludah sendiri. “Maafkan saya, Ustazah, saya salah. Saya menyesal, karena enggak mengikuti nasihat Ustazah,” lirih Rosa penuh penyesalan.Ustazah Ana menatap Rosa yang bersimbah air mata. Dengan terbata-bata, Rosa menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam dan tak bahagia. Tak hanya itu, dosa-dosa yang telah ia perbuat ikut terucap dari bibirnya hingga menjelaskan bagaimana buruknya seorang Rosalina di masa lalu.“Hijrah itu harus dari hati yang terdalam. Benar-benar ingin berubah dan siap menjalani kehidupan sesuai tuntunan agama. Hijrah akan terasa sangat berat bagi hamba yang mengagungkan dunia. Perbaiki diri, niatkan dal