"Kamu tunggu sebentar ya, mama mau telpon Barak. Biar dia yang menjemputmu," ujar mama sambil mencoba mencari kontak Barak. Miranda diam tak mengerti. "Bukannya tadi kita kemari naik mobil mama? kenapa harus menyuruh mas Barak?" sebuah tanda tanya besar di benak Miranda, yang tak berani ia ungkapkan. "Tak usah heran bagitu sayang. Mama sengaja suruh Barak jemput kamu. Biar kalian bisa makin deket," ujar mama sambil mencubit sedikit pipi mulus Miranda. Dengan cepat Miranda mengusap pipinya bekas cubitan mama Anita. "Hallo sayang!" " Iya mah, kenapa? tumben telpon siang begini?" "Sayang, bisa jemput mama di salon langganan mama sekarang enggak?" Barak tak langsung menjawab. Dia yang sedang sibuk menandatangani banyak berkas di mejanya, membuat kurang fokus dan kurang mendengarkan apa yang mama Anita sampaikan. "Kenapa mah? Maaf barusan aku tak dengar," Bara mengulangi pertanyaannya. "Kau jemput mama sekarang ya, di salon langganan mama. Masih ingat kan?" Barak hanya menghela n
"Apa maksdumu menggulung rambutmu ke atas? kau mau aku tergoda melihat kulit lehermu itu? jangan harap!" kata menohok yang tiba-tiba Barak ucapkan pada Miranda, berhasil membuat Miranda menoleh ke arah suaminya. Tak ada niatan sedikitpun di hatinya untuk menggoda laki-laki angkuh dan sombong seperti Barak. "Aah ti tidak! Aku memang kegerahan. Aku jalan begitu jauh. Sehingga keringat ini membuatku teriksa. Jadi aku ikat saja rambutku, setidaknya ini bisa membuat rasa gerahku sedikit berkurang," jawab Miranda polos. Ia malah menggosok gosok Lehernya, hingga nampak sedikit kemerahan di leher putihnya itu. Lagi-lagi, itu berhasil membuat Barak semakin tak bisa diam. Sebagai lelaki normal, ia tentu merasa tergoda melihat kemolekan tubuh istrinya itu. Walau hanya di pandang dari luar, sudah bisa ditebak, kalau isinya sama mulus dan putihnya seperti apa yang nampak. "Kalau kau terus menggosok lehermu begitu. Aku akan menurunkanmu di jalan sekarang juga!" hardik Barak, yang semakin tak kua
"Cepat turun! perihal barusan tak usah kau anggap serius. Itu hanya kesalahan kecil yang tak akan pernah terulang lagi!" gertak Barak menyuruh Miranda untuk tak mengingat kejadian barusan di mobil. Rasa malu sebenarnya yang sedang di rasakannya saat ini, membuatnya harus bersikap lebih dingin dan kejam, agar Miranda benar bisa melupakan kejadian yang hampir membuatnya tak bisa tidur semalaman. "Lagian juga, siapa yang mau dicium sama dia?" dasar laki-laki aneh!" Miranda yang geram mendengar perkataan Barak, mengelus perutnya, seperti seorang ibu hamil. Barak terus berlalu meninggalkan Miranda yang masih terpaku. seolah tak terjadi apa-apa, Barak sangat pandai menyimpan ekspresi wajahnya dengan keangkuhannya. "Kau pilih Pilihlah! baju mana yang akan kau ambil. Ingat, kau harus memilih pakaian yang sesuai dengan selera Mama!" kata Barak sambil memainkan ponselnya, tanpa sedikit pun menatap wajah istrinya. Miranda hanya berjalan-jalan melihat semua pakaian yang tergantung
"Ceroboh kau ini! sudah tak pandai menjaga penampilan, tak pandai juga kau menjaga matamu?! Hanya membawa barang begini saja, kau tak bisa? Lalu apa kelebihanmu?!" sambil berkacak pinggang, Barak menghakimi Miranda yang jatuh terpeleset. Bukannya menolong, justru dengan seenaknya, Barak memaki istrinya di depan umum. Ia tak peduli seberapa pasang mata menatapnya dan Miranda. Dengan keangkuhannya, Barak mempertontonkan siapa dirinya pada orang yang berlalu lalang. "Tega sekali kamu mas, kenapa sampai hati kamu memarahiku di tempat umum begini? Apa tak bisa kau membantuku, aku sedang kesulitan membereskan semua baju ini?" lirih Miranda sambil menahan tangis yang siap meledak. Barak jongkok, dan memegang dagu Miranda. "Ini hanyalah permulaan, atas keberanianmu menerima lamaran mamaku," sambil memicingkan sebelah matanya, tatapan Barak terlihat penuh dendam. Namun, tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih Miranda dan membantunya untuk berdiri, dari ke tidak berdayaannya. "Mbak engg
"Mas... kau tak apa-apa kan?" tanya Miranda yang khawatir dengan kondisi Barak. Namun Barak tak menjawab sepatah kata pun.Ia hanya fokus dengan setir didepannya. Miranda memberanikan diri memegang tangan Barak. Ia berharap, Barak bisa menoleh dan menjawab pertanyaannya. Namun sikap angkuh yang sudah melekat dalam jiwanya, membuatnya tak sedikitpun peduli dengan perhatian Miranda."Lepaskan tanganmu! Berani nya kau memegang tanganku begitu?!" bentak Barak, sambil melepaskan tangan Miranda dari atas tangannya. "Maaf mas, aku hanya_ "Hanya apa? Dasar wanita jalang! Beraninya memegangku. Aku tak suka kau perhatikan!" sungguh hinaan yang keluar dari mulut Barak, telah berhasil mengiris hati Miranda. Sosok yang sangat ia hormati, bisa mengeluarkan perkataan buruk seperti itu? Miranda tak bisa lagi membendung air mata nya. Semenjak tadi ia bertahan untuk tak mengeluarkan air mata, namun ia hanya manusia biasa. Rasa sakit mendengar perkataan yang amat kotor keluar dari seseorang
Saat mereka berdua sedang bersitegang, tiba-tiba nenek mengetuk pintu dari kamar. Belum sempat terucap maaf dari mulut Barak, nenek sudah menggagalkan niat Barak. "Miranda! Ada tamu yang mau bertemu denganmu!" ujar nenek dibalik pintu kamar. Seketika Miranda dan Barak terdiam, mendengarkan nenek berbicara. "Siapa nek?" tanya Miranda. Seingatnya, ia tak mengenal siapa pun di tempat neneknya ini. "Aku keluar dulu mas," ucap Miranda dan bergegas keluar kamar, untuk menemui orang yang nenek maksud. Barak hanya bergeming. Dia tak mau berbicara apapun pada Miranda, yang lebih memilih meninggalkannya sendirian, ketimbang berdiam di kamar bersamanya. Dengan berlari kecil, Miranda menemui tamu yang sudah menunggunya. Langkahnya sejenak ia pelankan, saat melihat punggung seseorang yang berdiri menatap keluar. "Laki-laki? siapa dia? Apa temannya mas Barak?" Miranda bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian, untuk memastikannya, ia semakin mendekati lelaki itu. "Ehemm... maaf, den
Seperti biasa, Barak berlalu tanpa menghiraukan Miranda sama sekali. Kedatangan Miller ia jadikan alasan untuk bisa pergi dari rumah nenek. Ia akan membawa segudang alasan untuk mama Anita, agar mama Anita mau mengabulkan keinginannya ,untuk berpisah dengan Miranda. "Hahaha...sebuah alasan yang sangat bagus. Dengan begini, aku bisa dengan mudah melepaskan gadis kampung itu," batin Barak, yang saat ini sedang mengendarai mobilnya. Barak bersiul dengan bersemangat. Betapa dia sangat bahagia karena perkiraannya, pernikahannya dengan Miranda akan segera berakhir dan Barak bisa bebas dari hubungan yang tak membuatnya nyaman. Barak memasang wajah kecewa. Kini, ia tengah bersandiwara di hadapan Mama nya. Sambil sedikit memijit hidungnya agar terlihat merah. Ia memang pandai berakting. Pandangan Anita langsung tertuju pada Barak, ketika anak semata wayangnya itu menginjakan kaki di rumahnya tanpa istrinya. Ia memandang dengan heran. Pasalnya, Mama Anita yakin, kalau usahanya kemarin, denga
"Andai saja dulu aku tak menerima tawaran nenek, untuk menikah dengan Barak, pasti aku takkan selalu merasa kecewa dan sakit hati seperti ini," lirih Miranda menyesal. Namun nasi sudah menjadi bubur. Pernikahannya sudah berlangsung. Tak mungkin jika dia harus meminta berpisah begitu saja. Nenek dan ibunya pasti akan kecewa pada Miranda. Sungguh Miranda berada dalam kebimbangan. Segera ia seka air mata yang keluar tanpa bisa di kompromi itu. Dengan menggunakan tisu, ia hapus tetesan air mata yang kini membasahi pipinya. Miranda keluar dari kamar mandi. Ada hati yang terluka dan tak mudah ia sembuhkan begitu saja, saat mendengar suaminya yang masih menyebut nama mantannya. Mungkin itulah alasan mengapa Barak membenci nya. Miranda duduk di samping Barak, di kasur yang sama. Ia hanya diam, bingung harus melakukan apa. Di lihatnya wajah suaminya yang penuh dengan keringat. Terlihat suaminya yang ke gerahan. Badannya mulai menggeliat kesana kemari. Merasakan panas di tubuhnya. Segera ia
Muka Barak terlihat sangat frustasi saat tahu kalau Miranda tak ada dirumah nenek Ida. Kini ia bingung harus kemana lagi mencari sosok Miranda. "Apa mungkin dia merasa sangat tersiksa saat bersamaku? itu makanya, dia pergi egitu saja tanpa pamit padaku," terka Barak, tentang hati Miranda. Sebenarnya, Barak tak begitu peduli pada keadaan dan keberadaan Miranda. Hanya saja, ia begitu mengkhawatirkan kesehatan mama nya, yang akan kembali terganggu saat mengetahui kalau Miranda belum juga ditemukan. Ia hampir putus asa karena usahanya mencari Miranda, semuanya sia-sia. Saat ia duduk teemenung di pesisir pantai, berharap ia akan menemukan Miranda, seperti pertemuan awalnya dengan istrinya itu, ponselnya berdering membuyarkan lamunannya. Rasa malas menghinggapi Barak. Ia hanya sedang ingin sendiri, dan melupakan semua masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Namun seolah ingin diperhatikan, ponselnya terus berdering sampai beberapa kali. "Siapa sih? mengganggu sekali. Apa tak bol
"Apa dia punya riwayat penyakit berat?" "Entahlah! aku tak tahu!" jawab Miller singkat. "Sebaiknya tuan bawa saja nona ini ke rumahku. Biar kita lakukan cek lab. Agar terlihat penyakit apa yang sebenarnya sedang dialami nona ini," " Miranda! namanya Miranda!" tegas Miller. "Ya! siapapun namanya, sebaiknya harus segera ditangani serius. Ini bukanlah penyakit enteng!" imbuh dokter kembali, membuat Miller semakin khawatir. "Ya sudah! kita bawa saja sekarang! tunggu apalagi!" tegas Miller, yang kemudian dengan kedua tangannya, ia menggendong tubuh Miranda, dan memasukannya ke dalam mobil mewahnya. "Bawa semua keperluan yang akan di butuhkan Miranda!" perintah Miller pada Mia perawat khusus Miranda. Tak ingin kena marah Tuannya, Mia dengan cepat mempersiapkan semua kebutuhan Miranda. Dari mulai pakaian, pakaian dalam, dan apapun itu, sampai hal terkecil sekalipun, Mia menyiapkannya dengan sangat teliti. "Enaknya jadi perempuan ini. Kenapa tuan bisa jatuh cinta pad
Miranda mengerjapkan matanya sampai beberapa kali. Kepalanya terasa sangat pusing. Ia memijat keningnya menggunakan beberapa jarinya. "Aakhh.. bisa nya aku sampai pusing begini? ini kenapa ya?!" Miranda bertanya pada dirinya sendiri, sambil bangun dari tidurnya, dan bersandar di ranjangnya. Matanya terasa pegal saat harus berhadapan dengan tajamnya sinar matahari. "Apa mau aku pijatkan kepala nona?" "Aah tidak terimakasih!" jawab Miranda. Namun tiba- tiba ia sadar. "Siapa yang menawarkan pijatan padaku?" perlahan, Miran memaksakan matanya untuk terbuka. Dan_ alangkah terkejut ia, saat melihat sosok wanita cantik, masih muda, berseragam suster, berdiri dengan anggunnya didepannya. "Siapa kamu!" Miranda mundur dari tempat awal duduknya. "Tenang nyonya! saya pelayanmu!" jawabnya lembut, sambil membungkukan badannya, begitulah cara pelayan itu menghormati Miranda. "Aah tidak! sebentar! aku tak punya pelayan! katakan siapa kau sebenarnya? mama! dimana mama Anita dan Barak
"Dimana perempuan itu? Kenapa dia selalu saja membuat aku susah! Bukankah tadi aku melihatnya disini?" gumam Barak, sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia duduk sejenak, mencoba mengingat Miranda. Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahu Barak. Tangan halus yang dulu selalu bisa membuatnya tenang. "Barak! kamu ngapain disini? Tadi kamu ninggalin aku, eh tahunya kamu disini sendirian juga. Sebenarnya kamu kenapa sih?" tanya Tiara, mantan kekasih Barak, yang kini kembali ke kehidupannya. "Aku sedang mencari seseorang," "Siapa?" Barak hanya menatap Tiara. Ia belum bisa berterus terang, kalau sebenarnya Barak sudah menikah. "Kenapa tak menjawab? kau sedang mencari siapa?" tanya Tiara kembali mengulang pertanyaannya. "Dia sedang mencari istrinya!!" suara mama terdengar dari belakang. Mama yang seharusnya berbahagia di acara ulang tahunnya ,kini malah sebaliknya. Dia dibuat stres oleh perempuan yang berstatuskan istriku," batin Barak. "Barak, bukankah mama menyuruhmu untu
Suara dentuman musik di ruangan yang luasanya hampir 10x 12 m itu, terdengar menggema. hiruk pikuk keramian, makanan yang tersaji, menghiasi malam pesta ulang tahun mama. Wanita berkepala 4 lebih itu, kini menginjak usia 45 tahun. Kue ulang tahun sudah terpampang jelas di tengah para tamu. "Mama sedang sibuk dengan banyak tamu nya. Begitu pun Barak. Dia tampak asyik berbicara dengan para kolega bisnisnya, yang turut hadir pula disana. Mata Miranda menyusuri setiap sudut ruangan, mencoba mencari tempat yang agak sepi dari orang, dan mengisolasikan dirinya sendiri. "Andai ini bukan pesta ulang tahun mamaku, aku pasti sudah pergi semenjak tadi dari sini!" batin Miranda yang merasa jengah dan tak betah, berada di tengah keramaian seperti ini. Miranda merasa asing berada diantara irang-orang yang berkerumun disana. Untuk menghilangkan kekakuan padanya, ia mencoba berjalan, untuk mengambil minuman yang berjejer di meja panjang. Namun matanya seketika terdiam pada satu objek. Dima
"Kurasa mama terlalu berlebihan!" decak Barak kesal. "Apanya yang berlebihan? mereka harus tahu kalau kau sudah menikah. Dan tak boleh sembarangan menanyakan suami orang bukan?" tanya mama pada Barak. "Mungkin mereka menanyakanku hanya untuk perihal bisnis saja ma!" jawab Barak enteng. "Mereka teman wanitamu dulu! itulah mengapa mama mau kau umumkan pernikahanmu di acara ulang tahun mama nanti!" imbuh mama lagi, sambil membetulkan dandanannya, dan menatapnya di dalam cermin. "Kau harus memperlakukan istrimu dengan baik, sebelum seseorang yang menginginkannya, mengambilnya darimu!" ucap mama sembari sedikit memukul punggung anaknya, yang tengah fokus pada setirnya. Barak hanya menelan salivanya, mendengar perkataan mama. "Apa maksudnya mama bicara seperti itu? apa mama tahu, kalau ada lelaki lain yang selalu mengganggu Miranda?" tanya Barak pada dirinya sendiri. Barak hanya mengerdikan bahunya. Berpura-pura tak peduli dengan apa yang mama katakan. Walau dalam ha
Mama yang sedang duduk didepan tv, melihat Miranda terburu-buru masuk kamarnya. Ia yang tak melihat keberadaan mama, membuatnya terus berjalan tanpa menyapa mama yang semenjak tadi memperhatikannya semenjak pulang. "Kalian sudah pulang? kok mama enggak lihat Miranda bawa paper bag ya? kalian habis pulang belanja pakaian kan?" tanya mama memastikan. Barak yang baru masuk ke dalam rumah, berdiri mematung, mendengar pertanyaan yang mama lontarkan padanya. "Aah- e iya lah ma. Kami baru belanja pakaian untuk Miranda. Memangnya kenapa?" tanya Barak gugup. Dia juga tak tahu kalau ternyata mama sedang duduk didepan tv ,sehingga mengetahui kepulangan mereka. "Coba kau panggilkan istrimu kemari. Mama mau lihat pakaian seperti apa yang ia pilih. Jangan sampai yang jelek ya! ini buat acara ulang tahun mama besok soalnya," Barak kembali bergeming. Kali ini, ia tak bisa berkutik. Pasalnya ,ia tak tahu, kalau ternyata, besok adalah hari ulang tahun mama nya. Sehingga, ia pun tak memp
"Apa? sekali lagi aku mau kau mengulang perkataanmu barusan. Kau bilang dia istrimu? Hahahaha!!" seketika tawa Miller meledak dengan kuat. Kedua tangannya bertepuk tangan, seolah menertawai perkataan Barak. "Kau menganggapnya sebagai istrimu. Tapi kau tak bisa menghargainya?" Miller semakin mendekat, dan kali ini ia sedang berbisik di telinga Barak. "Kalau kau sudah bosan, beritahu aku. Biar aku pungut dia kan ku jadikan istriku!" bisiknya pelan. Perkataan Miller berhasil membuat emosi Barak kembali mencuat. Ia kepalkan kembali tangannya. Kemudian wajah sangarnya, saat ini tengah menatap ke arah Miller. "Kau pikir dia sebuah piala bergilir? Jaga ucapanmu. Kau ini seorang pengusaha hebat, ternama, tapi sayang. Kau tak bisa menggunakan lidahmu dengan gelar dan kedudukanmu itu!" tegas Barak dan lagi-lagi membuat Miller tertawa. "Sudahlah! Aku malas berdebat lebih lama lagi dengan pecundang sepertimu!" jawab Miller sambil mengibaskan tangannya. Ia segera berlalu dan meninggalkan Barak
"Jangan ke ge-er an kamu ya Miranda! Aku menggandengmu, bukan berarti aku peduli padamu. Ini hanyalah sandiwara, agar mama bisa senang melihat kita rukun!" bisik Barak, sambil berjalan, dan masih menggandeng tangan Miranda. "Dalam keadaan seperti ini pun, kamu masih tak mau membuat hatiku senang mas?" tanya Miranda yang heran dengan sikap suaminya itu. Sesampainya ia didalam mobil. Barak melepaskan genggaman tangannya. "Masuk! jangan berharap seperti seorang ratu, yang akan ku bukakan pintu masuk untukmu!" ujar Barak, yang memasangkan kacamata hitam, di matanya. Dengan menghela nafas, Miranda membuka pintu mobil, dan masuk kedalamnya. Ia duduk di samping Barak, yang sudah siap mengendarai mobilnya. "Kali ini, kau boleh duduk disampingku, karena mama masih melihat kita. Nanti beberapa meter didepan, kau pindah naik angkot. Aku tak mau harus duduk bersebelahan denganmu," Sebuah perkataan yang mengiris hati Miranda. Lidah Miranda yang biasanya kaku, memberanikan diri melawan