Laki-laki berhidung mancung dan berkulit sawo matang itu, masih menikmati segelas susu jahe favoritnya. Ia hanya bergeming di tengah hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya, yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Nyonya, bunga ini ditaruh dimana?" seorang bertanya pada Mama Tita sambil membawa bucket bunga ditangannya. "Simpan saja di atas meja sana!!" Perintah Tita sambil menunjuk meja kosong, di sebelah kursi pengantin. Tita menatap ke arah Barak, si calon pengantin laki-laki yang sama sekali tak ingin pindah posisi dari duduknya, atau pun hanya berkomentar tentang apapun yang terjadi di sekitarnya. Tita mendekati Barak, anak semata wayangnya yang semenjak tadi hanya fokus pada ponsel di tangannya. "Barak, besok hari pernikahanmu, tapi Kau sama sekali tak bersemangat menyambutnya, apa ada masalah?" Tita mencoba bertanya pada anaknya itu. Barak meletakan ponsel di tangannya, lalu ia menatap mata ibunya dengan dalam. Mata perempuan itulah yang selalu membuat Barak mengalah. Sekalipun ia melawan, namun jika sudah berhubungan dengan ibunya, maka seorang Barak, tak mempunyai kekuatan sama sekali. "Mama, aku sudah menuruti kemauan Mama untuk menikahi gadis pilihan Mama. Yang aku sendiri tak mengenalnya, bahkan melihatnya pun aku belum pernah. Jadi Barak mohon, Mama jangan memaksa Barak untuk ikut terlibat dalam persiapan pernikahan yang tak Barak inginkan," dengan pelan, Barak mencoba menunjukan pada ibunya, kalau dirinya kecewa karena harus menuruti keinginan ibunya, untuk menikahi wanita yang tak ia kenal sama sekali.Sikap Barak yang semakin lama semakin tertutup dan introvert, membuat Mama Tita berupaya untuk menjodohkan Barak dengan anak temannya. Hal itu ia lakukan, agar Barak bisa melupakan kenangan masa lalunya itu. Mendengar Barak berbicara, Tita hanya menghela nafasnya. Ia merasa bersalah, karena memang inilah kemauannya. Namun, ia melakukan ini semua karena Tita tahu, seperti apa istri yang ia pilihkan untuk Barak. "Mungkin saat ini kau membenci pernikahan ini, tapi Mama yakin, suatu saat nanti, kau akan begitu berterima kasih pada Mama, karena telah memilihkanmu istri seperti dia," timpal Tita pelan. Tita hanya memandang nanar anak laki-laki nya yang malah pergi menjauhinya. Semua perasaan yang ia rasakan saat ini, terasa sangat tak karuan. Sehingga akhirnya, ia menyibukan dirinya, untuk membantu mengurus keperluan pernikahan anaknya besok. Sambil memberikan instruksi pada orang-orang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Tita sesekali melirik anaknya, yang kini sudah bersiap entah akan pergi kemana. Ia takut kalau Barak akan pergi dan menggagalkan pernikahnnya besok. Dengan segera, ia mendekati Barak. Secara pelan, Tita memegang pundak anaknya. "Kau mau kemana nak? Mama mohon, jangan lakukan hal aneh yang akan membuat Mama dan keluarga kita malu," pinta Mama, memelas. "Maksud Mama aku akan kabur?" dengan pandangan heran, Barak bertanya pada ibunya. Ia tak habis pikir, kenapa ibunya punya pikiran sedangkal itu. Walaupun ia tak menyukai pernikahannya, tapi dia bukanlah seorang pecundang, yang akan lari dari kenyataan. Mama tak menjawab pertanyaan Barak. Dia hanya menganggukan kepalanya, sambil matanya berkeliaran tak menentu, mencoba menghindari kontak mata dengan Barak. Tangan Barak memegang lengan Tita. Dia menciumnya, sebagai tanda hormat pada ibu tersayangnya. "Aku tak mungkin sebodoh itu Ma, Aku mau keluar sebentar, mencari angin segar. Siapa tahu, aku bisa sedikit merasa tenang dan siap menghadapi hari esok!" pinta Barak pada ibunya. Kemudian, ia mengambil kunci motor yang tersimpan diatas vas bunga. Saat semua orang sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya, justru Barak malah tak ingin ikut terlibat didalamnya. Ia memilih pergi menjauh, untuk menenangkan dirinya, sebelum pernikahan yang tak diinginkannya di laksanakan. "Bagaimana aku bisa hidup bersama perempuan yang tak aku cintai? Bahkan, melihatnya pun aku belum pernah. Seperti apa calon istriku kelak, aku tidak tahu. Kalau bukan karena Mama yang memintaku, aku tak mungkin mau menerima pernikahan konyol ini!" Bara bersitegang dengan dirinya sendiri.*** Di tepi Pantai, Ia duduk sendiri menikmati dinginnya suasana Pantai di malam hari. Matanya memandang lurus ke depan, menyaksikan ombak yang bergulung, dan saling berkejaran. Walaupun ini sudah larut, tapi suasana Pantai tak pernah surut. Justru semakin lama, dia semakin menarik pengunjung, untuk mencicipi suasana nya di malam hari. "Maaf mengganggu mas, barangkali mau kopi hangatnya?" suara halus terdengar di telinganya. Membuat ia memalingkan wajahnya, melihat ke arah suara di sampingnya. "Boleh! Buatkan aku satu gelas kopi pahit yang panas!" perintah Barak, pada perempuan penjaja kopi. Dengan terampil, ia membuatkan kopi yang diminta Barak Dan tak butuh waktu lama, Barak sudah memegang kopi di tangannya. Mata Barak terus memperhatikan gadis si penjual kopi barusan. Namun kembali ia menyeruput kopi hangat itu, dan meneruskan lamunannya. Dua jam lebih ia habiskan sendirian dengan lamunan, Barak melihat jam di tangannya. Waktu sudah semakin larut dan saatnya Barak harus pulang kembali, menuju rumahnya dengan suasana ramai dengan segala persiapan pernikahannya besok. Dengan rasa malas, Barak memasuki rumahnya, yang saat ini sedang ramai oleh banyak orang. Dilihatnya ibunya yang masih duduk berpangku tangan. Terlihat dari matanya, dia begitu merasa kelelahan. Bagaimana tidak? dari kemarin, Tita kurang tidur, karena terlalu bersemangat mempersiapkan pernikahan anak semata wayangnya, Barak. "Kamu baru pulang nak?" tanya Tita dengan muka lelahnya. Ia mengulas senyum melihat anak tersayangnya pulang. Kemudian Barak menghampiri ibunya dan memijat pundak Tita, mencoba menghilangkan rasa pegal yang pasti mengganggunya, sehingga ia belum tidur selarut ini. "Mama kenapa belum tidur?" Barak bertanya, sambil terus memijat pundak ibunya. Tita menoleh ke belakang, menatap wajah Barak dengan intens. "Mama menunggumu nak. Mama khawatir, karena kau belum pulang selarut ini," jawabnya lirih. Barak hanya menghela nafasnya panjang. "Mama pasti takut aku kabur kan? " Barak tahu, ibunya sangat trauma dengan kejadian dulu, dimana. "Barak tak akan melakukan kesalahan fatal Ma.. Jadi Mama tak usah khawatir," Barak mencoba menenangkan ibunya. "Barak akan melakukan apapun demi Mama. Sekalipun harus melakukan pernikahan yang tak Barak inginkan," batinnya dalam hati. Entah mengapa, kegagalannya saat menikah kemarin, membuat Barak merasa trauma, dan mempunyai pemikiran, kalau semua wanita itu sama saja.Ibu Tita hanya menelan salivanya, mendengar perkataan anaknya itu, membuat ia tak enak hati. "Maafkan Mama sayang, tapi ini yang terbaik untukmu!" gumam Tita dalam hatinya. Mengingat calon istri Barak adalah wanita yang paling tepat untuk anaknya. Dia benar benar wanita yang baik, tak seperti wanita lain, yang memilih laki-laki dari materi. Seperti itulah pemikiran Tita tentang Miranda, calon istri dari Barak. Barak yang seolah tak peduli dengan semua yang terjadi didalam rumahnya, malah dengan sengaja, menutup telinganya rapat dan mengunci matanya. Ia tak ingin tahu dengan segalanya. Ia malah memejamkan matanya rapat. Tak lama, ia pun terbang ke alam mimpi, mencoba melupakan semua yang terjadi dan yang akan terjadi besok hari.Waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya. Bahkan, satu malam pun terasa Satu Jam Saja oleh Barak. Seharusnya, Hari ini adalah hari yang paling bahagia untuknya. Tetapi, entah mengapa tak sedikit pun tersirat dalam hatinya,untuk merasakan kebahagiaan i
"Saya terima nikah dan kawinnya Miranda binti Bapak Nano,dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? sah?" tanya Bapak penghulu, pada saksi akad yang duduk didepan. "Sah!" jawab semua serentak. "Alhamdulillah!" jawab semuanya. Dan kini, Miranda dan Barak sudah sah menjadi sepasang suami istri. Barak sedikit merasa tenang, karena sudah mampu mengucapkan akad nikah dengan lancarnya. "Selamat sayang, kamu sekarang sudah menjadi seorang suami, kamu sudah punya istri. Tolong jaga Miranda dengan baik ya," Mama Tita mengucapkan selamat pada anaknya. Dia terlihat sangat gembira dengan pernikahan Barak. Tetapi tidak dengan Barak yang lebih terkesan merasa jijik, pada pernikahan terpaksa ini. "Lelaki macam apa aku ini? Sekedar menolak pernikahan saja, aku tak bisa!" Barak terus menggerutu dalam hatinya. Ia sangat marah pada dirinya sendiri, karena selalu bisa luluh, saat mama membujuknya melakukan sesuatu hal. Apapun itu! Tiba-tiba, sosok wanita, dengan menggunak
Miranda memangku kedua betisnya, dengan kedua telapak tangannya yang menyatu diatas kasur. Ia tenggelamkan wajahnya diatas rangkulan itu. Tak terasa, cairan bening kini mengalir di pojok mata Miranda. Harusnya malam ini menjadi malam panjang yang indah bagi pasangan pengantin baru. Pasangan yang akan memadu kasih, sampai matahari terbit kembali. Miranda tersedu, meratapi nasibnya yang selalu kurang beruntung. Dihapusnya dengan pelan, airmatanya yang tak bisa berhenti mengalir. "Aku harus kuat Miranda kuat! Tak boleh ada yang tahu, kalau malam ini tak ada yang terjadi antara aku dan Barak. Kemudian, dengan langkah tertatih, Miranda menidurkan kembali dirinya di kasur megah miliknya. Karena terlalu lelah menangis, Miranda tertidur lelap diatas kasur, tanpa suaminya di sampingnya. "Aahh.. Barak tiba-tiba terbangun. Tubuhnya terasa remuk, karena semalaman tidur di sofa. Matanya mengitari ruangan yang sedang ia tempati. "Ini dimana? Beberapa kali ia mengusap matanya, memastikan keber
"Silahkan sarapan mas!" Miranda mengembangkan senyumnya, untuk suaminya yang barusaja keluar dari kamar, dengan berpakaian rapi. Dengan terpaksa ia harus menggunakan pakaian yang barusaja di siapkan oleh Miranda. Ia tak punya pilihan lain, karena memang semua bajunya belum ia bawa dari rumahnya. "Kau tampak sangat rapih mas, tapi sayang...sebentar,"Miranda menghampiri Barak ,kemudian membetulkan dasinya yang sedikit miring. "Dasimu miring mas!" ujar Miranda sambil mengedipkan matanya. Cara ampuh untuk meluluhkan laki-laki pendiam yang dingin, irit kata, tak lain dengan menjadi sosok cerewet dan sepertinya, itu bisa sedikit mengubah Barak yang memang tak banyak bicara. Setidaknya merespon apa yang Miranda lakukan. "Tak usah! Biar aku saja yang betulkan. Kau tak usah perhatian begitu. Aku takkan ergoda sedikit pun," perkataan menusuk telinga dan hati Miranda. Ia lontarkan tanpa merasa berdosa sedikit pun. Namun, Miranda yang sudah bertekad untuk membuat Barak jatuh cinta padanya, ta
"Hmmm...mungkin memang dia sedang ada pekerjaan, tolong di maklum ya sayang," ucap Mama Anita, sambil mengelus rambut mantunya itu. "Nanti agak siangan kamu antar mama yah! Kita jalan ke mall sebentar. Ada hal yang harus mama beli sayang," ajak mama Anita. Membuat Miranda terdiam sejenak, memikirkan ajakan mertuanya itu. "Aah iya mah," jawab Miranda pasrah. Baginya, memenuhi keinginan mertuanya merupakan sebuah kebanggan. Karena dengan mama Anita yang menyukainya, siapa tahu Barak semakin lama akan menyukainya pula. "Kalau begitu, kau siap-siap saja dulu. Mamah mau mengobrol sebentar dengan nenekmu," perintah mama Anita, sambil mengelus lembut pipi Miranda, yang saat ini tertunduk malu, mendapat perhatian dari mama mertuanya yang penuh kasih sayang padanya. Dengan segera, Miranda menuju kamarnya. Ia tak mau mengecewakan mama Anita yang mau mengajaknya jalan. "Tak apa, sekarang, mama yang mengajakku, semoga ke depannya, mas Barak akan jatuh cinta juga padaku," harap Miranda dalam
"Kamu tunggu sebentar ya, mama mau telpon Barak. Biar dia yang menjemputmu," ujar mama sambil mencoba mencari kontak Barak. Miranda diam tak mengerti. "Bukannya tadi kita kemari naik mobil mama? kenapa harus menyuruh mas Barak?" sebuah tanda tanya besar di benak Miranda, yang tak berani ia ungkapkan. "Tak usah heran bagitu sayang. Mama sengaja suruh Barak jemput kamu. Biar kalian bisa makin deket," ujar mama sambil mencubit sedikit pipi mulus Miranda. Dengan cepat Miranda mengusap pipinya bekas cubitan mama Anita. "Hallo sayang!" " Iya mah, kenapa? tumben telpon siang begini?" "Sayang, bisa jemput mama di salon langganan mama sekarang enggak?" Barak tak langsung menjawab. Dia yang sedang sibuk menandatangani banyak berkas di mejanya, membuat kurang fokus dan kurang mendengarkan apa yang mama Anita sampaikan. "Kenapa mah? Maaf barusan aku tak dengar," Bara mengulangi pertanyaannya. "Kau jemput mama sekarang ya, di salon langganan mama. Masih ingat kan?" Barak hanya menghela n
"Apa maksdumu menggulung rambutmu ke atas? kau mau aku tergoda melihat kulit lehermu itu? jangan harap!" kata menohok yang tiba-tiba Barak ucapkan pada Miranda, berhasil membuat Miranda menoleh ke arah suaminya. Tak ada niatan sedikitpun di hatinya untuk menggoda laki-laki angkuh dan sombong seperti Barak. "Aah ti tidak! Aku memang kegerahan. Aku jalan begitu jauh. Sehingga keringat ini membuatku teriksa. Jadi aku ikat saja rambutku, setidaknya ini bisa membuat rasa gerahku sedikit berkurang," jawab Miranda polos. Ia malah menggosok gosok Lehernya, hingga nampak sedikit kemerahan di leher putihnya itu. Lagi-lagi, itu berhasil membuat Barak semakin tak bisa diam. Sebagai lelaki normal, ia tentu merasa tergoda melihat kemolekan tubuh istrinya itu. Walau hanya di pandang dari luar, sudah bisa ditebak, kalau isinya sama mulus dan putihnya seperti apa yang nampak. "Kalau kau terus menggosok lehermu begitu. Aku akan menurunkanmu di jalan sekarang juga!" hardik Barak, yang semakin tak kua
"Cepat turun! perihal barusan tak usah kau anggap serius. Itu hanya kesalahan kecil yang tak akan pernah terulang lagi!" gertak Barak menyuruh Miranda untuk tak mengingat kejadian barusan di mobil. Rasa malu sebenarnya yang sedang di rasakannya saat ini, membuatnya harus bersikap lebih dingin dan kejam, agar Miranda benar bisa melupakan kejadian yang hampir membuatnya tak bisa tidur semalaman. "Lagian juga, siapa yang mau dicium sama dia?" dasar laki-laki aneh!" Miranda yang geram mendengar perkataan Barak, mengelus perutnya, seperti seorang ibu hamil. Barak terus berlalu meninggalkan Miranda yang masih terpaku. seolah tak terjadi apa-apa, Barak sangat pandai menyimpan ekspresi wajahnya dengan keangkuhannya. "Kau pilih Pilihlah! baju mana yang akan kau ambil. Ingat, kau harus memilih pakaian yang sesuai dengan selera Mama!" kata Barak sambil memainkan ponselnya, tanpa sedikit pun menatap wajah istrinya. Miranda hanya berjalan-jalan melihat semua pakaian yang tergantung
Muka Barak terlihat sangat frustasi saat tahu kalau Miranda tak ada dirumah nenek Ida. Kini ia bingung harus kemana lagi mencari sosok Miranda. "Apa mungkin dia merasa sangat tersiksa saat bersamaku? itu makanya, dia pergi egitu saja tanpa pamit padaku," terka Barak, tentang hati Miranda. Sebenarnya, Barak tak begitu peduli pada keadaan dan keberadaan Miranda. Hanya saja, ia begitu mengkhawatirkan kesehatan mama nya, yang akan kembali terganggu saat mengetahui kalau Miranda belum juga ditemukan. Ia hampir putus asa karena usahanya mencari Miranda, semuanya sia-sia. Saat ia duduk teemenung di pesisir pantai, berharap ia akan menemukan Miranda, seperti pertemuan awalnya dengan istrinya itu, ponselnya berdering membuyarkan lamunannya. Rasa malas menghinggapi Barak. Ia hanya sedang ingin sendiri, dan melupakan semua masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Namun seolah ingin diperhatikan, ponselnya terus berdering sampai beberapa kali. "Siapa sih? mengganggu sekali. Apa tak bol
"Apa dia punya riwayat penyakit berat?" "Entahlah! aku tak tahu!" jawab Miller singkat. "Sebaiknya tuan bawa saja nona ini ke rumahku. Biar kita lakukan cek lab. Agar terlihat penyakit apa yang sebenarnya sedang dialami nona ini," " Miranda! namanya Miranda!" tegas Miller. "Ya! siapapun namanya, sebaiknya harus segera ditangani serius. Ini bukanlah penyakit enteng!" imbuh dokter kembali, membuat Miller semakin khawatir. "Ya sudah! kita bawa saja sekarang! tunggu apalagi!" tegas Miller, yang kemudian dengan kedua tangannya, ia menggendong tubuh Miranda, dan memasukannya ke dalam mobil mewahnya. "Bawa semua keperluan yang akan di butuhkan Miranda!" perintah Miller pada Mia perawat khusus Miranda. Tak ingin kena marah Tuannya, Mia dengan cepat mempersiapkan semua kebutuhan Miranda. Dari mulai pakaian, pakaian dalam, dan apapun itu, sampai hal terkecil sekalipun, Mia menyiapkannya dengan sangat teliti. "Enaknya jadi perempuan ini. Kenapa tuan bisa jatuh cinta pad
Miranda mengerjapkan matanya sampai beberapa kali. Kepalanya terasa sangat pusing. Ia memijat keningnya menggunakan beberapa jarinya. "Aakhh.. bisa nya aku sampai pusing begini? ini kenapa ya?!" Miranda bertanya pada dirinya sendiri, sambil bangun dari tidurnya, dan bersandar di ranjangnya. Matanya terasa pegal saat harus berhadapan dengan tajamnya sinar matahari. "Apa mau aku pijatkan kepala nona?" "Aah tidak terimakasih!" jawab Miranda. Namun tiba- tiba ia sadar. "Siapa yang menawarkan pijatan padaku?" perlahan, Miran memaksakan matanya untuk terbuka. Dan_ alangkah terkejut ia, saat melihat sosok wanita cantik, masih muda, berseragam suster, berdiri dengan anggunnya didepannya. "Siapa kamu!" Miranda mundur dari tempat awal duduknya. "Tenang nyonya! saya pelayanmu!" jawabnya lembut, sambil membungkukan badannya, begitulah cara pelayan itu menghormati Miranda. "Aah tidak! sebentar! aku tak punya pelayan! katakan siapa kau sebenarnya? mama! dimana mama Anita dan Barak
"Dimana perempuan itu? Kenapa dia selalu saja membuat aku susah! Bukankah tadi aku melihatnya disini?" gumam Barak, sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia duduk sejenak, mencoba mengingat Miranda. Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahu Barak. Tangan halus yang dulu selalu bisa membuatnya tenang. "Barak! kamu ngapain disini? Tadi kamu ninggalin aku, eh tahunya kamu disini sendirian juga. Sebenarnya kamu kenapa sih?" tanya Tiara, mantan kekasih Barak, yang kini kembali ke kehidupannya. "Aku sedang mencari seseorang," "Siapa?" Barak hanya menatap Tiara. Ia belum bisa berterus terang, kalau sebenarnya Barak sudah menikah. "Kenapa tak menjawab? kau sedang mencari siapa?" tanya Tiara kembali mengulang pertanyaannya. "Dia sedang mencari istrinya!!" suara mama terdengar dari belakang. Mama yang seharusnya berbahagia di acara ulang tahunnya ,kini malah sebaliknya. Dia dibuat stres oleh perempuan yang berstatuskan istriku," batin Barak. "Barak, bukankah mama menyuruhmu untu
Suara dentuman musik di ruangan yang luasanya hampir 10x 12 m itu, terdengar menggema. hiruk pikuk keramian, makanan yang tersaji, menghiasi malam pesta ulang tahun mama. Wanita berkepala 4 lebih itu, kini menginjak usia 45 tahun. Kue ulang tahun sudah terpampang jelas di tengah para tamu. "Mama sedang sibuk dengan banyak tamu nya. Begitu pun Barak. Dia tampak asyik berbicara dengan para kolega bisnisnya, yang turut hadir pula disana. Mata Miranda menyusuri setiap sudut ruangan, mencoba mencari tempat yang agak sepi dari orang, dan mengisolasikan dirinya sendiri. "Andai ini bukan pesta ulang tahun mamaku, aku pasti sudah pergi semenjak tadi dari sini!" batin Miranda yang merasa jengah dan tak betah, berada di tengah keramaian seperti ini. Miranda merasa asing berada diantara irang-orang yang berkerumun disana. Untuk menghilangkan kekakuan padanya, ia mencoba berjalan, untuk mengambil minuman yang berjejer di meja panjang. Namun matanya seketika terdiam pada satu objek. Dima
"Kurasa mama terlalu berlebihan!" decak Barak kesal. "Apanya yang berlebihan? mereka harus tahu kalau kau sudah menikah. Dan tak boleh sembarangan menanyakan suami orang bukan?" tanya mama pada Barak. "Mungkin mereka menanyakanku hanya untuk perihal bisnis saja ma!" jawab Barak enteng. "Mereka teman wanitamu dulu! itulah mengapa mama mau kau umumkan pernikahanmu di acara ulang tahun mama nanti!" imbuh mama lagi, sambil membetulkan dandanannya, dan menatapnya di dalam cermin. "Kau harus memperlakukan istrimu dengan baik, sebelum seseorang yang menginginkannya, mengambilnya darimu!" ucap mama sembari sedikit memukul punggung anaknya, yang tengah fokus pada setirnya. Barak hanya menelan salivanya, mendengar perkataan mama. "Apa maksudnya mama bicara seperti itu? apa mama tahu, kalau ada lelaki lain yang selalu mengganggu Miranda?" tanya Barak pada dirinya sendiri. Barak hanya mengerdikan bahunya. Berpura-pura tak peduli dengan apa yang mama katakan. Walau dalam ha
Mama yang sedang duduk didepan tv, melihat Miranda terburu-buru masuk kamarnya. Ia yang tak melihat keberadaan mama, membuatnya terus berjalan tanpa menyapa mama yang semenjak tadi memperhatikannya semenjak pulang. "Kalian sudah pulang? kok mama enggak lihat Miranda bawa paper bag ya? kalian habis pulang belanja pakaian kan?" tanya mama memastikan. Barak yang baru masuk ke dalam rumah, berdiri mematung, mendengar pertanyaan yang mama lontarkan padanya. "Aah- e iya lah ma. Kami baru belanja pakaian untuk Miranda. Memangnya kenapa?" tanya Barak gugup. Dia juga tak tahu kalau ternyata mama sedang duduk didepan tv ,sehingga mengetahui kepulangan mereka. "Coba kau panggilkan istrimu kemari. Mama mau lihat pakaian seperti apa yang ia pilih. Jangan sampai yang jelek ya! ini buat acara ulang tahun mama besok soalnya," Barak kembali bergeming. Kali ini, ia tak bisa berkutik. Pasalnya ,ia tak tahu, kalau ternyata, besok adalah hari ulang tahun mama nya. Sehingga, ia pun tak memp
"Apa? sekali lagi aku mau kau mengulang perkataanmu barusan. Kau bilang dia istrimu? Hahahaha!!" seketika tawa Miller meledak dengan kuat. Kedua tangannya bertepuk tangan, seolah menertawai perkataan Barak. "Kau menganggapnya sebagai istrimu. Tapi kau tak bisa menghargainya?" Miller semakin mendekat, dan kali ini ia sedang berbisik di telinga Barak. "Kalau kau sudah bosan, beritahu aku. Biar aku pungut dia kan ku jadikan istriku!" bisiknya pelan. Perkataan Miller berhasil membuat emosi Barak kembali mencuat. Ia kepalkan kembali tangannya. Kemudian wajah sangarnya, saat ini tengah menatap ke arah Miller. "Kau pikir dia sebuah piala bergilir? Jaga ucapanmu. Kau ini seorang pengusaha hebat, ternama, tapi sayang. Kau tak bisa menggunakan lidahmu dengan gelar dan kedudukanmu itu!" tegas Barak dan lagi-lagi membuat Miller tertawa. "Sudahlah! Aku malas berdebat lebih lama lagi dengan pecundang sepertimu!" jawab Miller sambil mengibaskan tangannya. Ia segera berlalu dan meninggalkan Barak
"Jangan ke ge-er an kamu ya Miranda! Aku menggandengmu, bukan berarti aku peduli padamu. Ini hanyalah sandiwara, agar mama bisa senang melihat kita rukun!" bisik Barak, sambil berjalan, dan masih menggandeng tangan Miranda. "Dalam keadaan seperti ini pun, kamu masih tak mau membuat hatiku senang mas?" tanya Miranda yang heran dengan sikap suaminya itu. Sesampainya ia didalam mobil. Barak melepaskan genggaman tangannya. "Masuk! jangan berharap seperti seorang ratu, yang akan ku bukakan pintu masuk untukmu!" ujar Barak, yang memasangkan kacamata hitam, di matanya. Dengan menghela nafas, Miranda membuka pintu mobil, dan masuk kedalamnya. Ia duduk di samping Barak, yang sudah siap mengendarai mobilnya. "Kali ini, kau boleh duduk disampingku, karena mama masih melihat kita. Nanti beberapa meter didepan, kau pindah naik angkot. Aku tak mau harus duduk bersebelahan denganmu," Sebuah perkataan yang mengiris hati Miranda. Lidah Miranda yang biasanya kaku, memberanikan diri melawan