Home / Romansa / Mengejar Cinta Ustaz Tampan / BAB 4: Si Ustaz Tampan

Share

BAB 4: Si Ustaz Tampan

Author: LeeNaGie
last update Last Updated: 2022-03-09 12:19:19

Dian tersenyum sendiri ketika ingat dengan bacaan ayat al-qur’an yang dilantunkan oleh ustaz tampan ketika salat subuh tadi. Suaranya begitu merdu, iramanya juga indah. Terdengar seperti bacaan imam salat Ied di televisi.

“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas,” kata wanita paruh baya bernama Jamilah, yang tadi duduk di sebelah Dian. Dialog itu tercipta ketika ia memuji kefasihan ustaz tampan bernama Fajar dalam membacakan ayat demi ayat al-qur’an.

Gadis itu langsung menelan ludah ketika ingat dengan nama Fajar. Seperti baru saja didengar dua hari terakhir, tapi di mana ya?

“Astaga!” serunya menepuk kening sendiri saat berdiri di depan cermin kamar.

“Namanya sama dengan cowok yang kemarin bikin dinding mobil kantor lecet. Mana gue lupa lagi telepon gara-gara kebanyakan pikiran,” sambung Dian segera mengambil ponsel dari atas nakas.

“Kartu nama!” Dian auto panik ketika ingat belum menyimpan nomor pria itu di daftar kontak. “Celana jeans gue mana?”

Kakinya langsung bergerak cepat keluar dari kamar menuju dapur, tempat mesin cuci berada. Pandangan Dian berhenti ketika melihat keranjang pakaian kotor telah kosong, berarti celana jeans sudah masuk ke mesin cuci.

No! No! Kambing.” Dian frustasi luar biasa ketika membayangkan celana jeans sudah berendam bersama dengan pakaian lain di dalam genangan air sabun. “Duh, kok gue jadi ikut-ikutan Rara sih ngumpat nyebut kambing?!”

Gadis itu langsung membungkukkan tubuh melihat kaca bulat bagian depan mesin cuci. Wajahnya pucat seketika melihat celana jeans sudah berputar ria di dalam sana. Dia tidak bisa mengeluarkan celana tersebut dari dalam mesin sampai proses cuci mencuci selesai. Alhasil Dian terduduk merana di lantai.

“Ngapain lu duduk di sono?” Suara Royati tiba-tiba membuat Dian terperanjat.

“Ya ampun, Nyak. Kayak jelangkung aja, nongol dadakan. Bikin jantung mau copot,” gerutu Dian dengan wajah mengerucut.

“Habis tumbenan elu duduk di sono kayak orang habis putus cinte.”

Bibir tipis miliknya melengkung ke bawah seiringan dengan raut menyedihkan. “Habisan Nyak cuci celana jeans aye kagak bilang-bilang.”

“Lha emang sebelumnya kagak pernah ngomong juga, pan. Emang ade ape sih?” tanya Royati kebingungan.

“Ada kartu nama di saku. Aye lupa keluarin kemarin.”

“Kartu nama apaan?”

Dian berdiri, lalu melangkah lunglai menuju kursi meja makan. “Kemarin mobil kantor keserempet motor.”

Astaghfirullah. Trus? Mobil kantor jadi lecet?” Royati jadi ikut-ikutan duduk berhadapan dengan putrinya.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu bergerak pelan ke atas dan bawah. Dalam hitungan detik sebuah tepukan langsung terasa di lengan Dian. Wajah gadis itu meringis kesakitan.

“Makanya kalau orang tua ngomong elu kudu dengerin, kagak kaburan kayak kemarin. Kualat pan jadinye,” omel Royati semangat.

“Dih, Nyak. Senang banget lihat anaknya menderita. Duit aye nih kagak bisa balik lagi, karena nggak bisa tagih ke yang nabrak,” sungut Dian nyaris menangis. Dia sudah berencana membeli handphone Samsung keluaran terbaru dengan gaji bulan ini.

“Syukurin. Lain kali jangan kabur kalau nyak lu lagi ngomong,” pungkas Royati berlalu meninggalkan putrinya yang menatap lesu mesin cuci.

“Apes banget dah gue,” keluhnya seraya merebahkan kepala di atas meja.

Satu-satunya pilihan sekarang adalah menunggu mesin cuci berhenti, kemudian mengeluarkan celana. Semoga saja kartu nama tersebut tidak lecet, sehingga nomor ponsel yang tertera di sana masih bisa dibaca.

***

Dian mengembuskan napas lesu ketika duduk di meja kerja. Kelopak mata berkedip pelan menatap kartu nama yang sudah lusuh, karena ikut tercuci oleh Royati tadi pagi. Alhasil nomor ponsel si pemilik kartu nama tidak bisa dibaca dengan jelas. Tepatnya tiga angka bagian terakhir.

“Kenapa dua hari ini nasib gue apes terus ya?” keluh Dian nyaris berbisik.

“Itu tandanya lo disuruh perbanyak ibadah, Di.” Terdengar suara entah dari arah mana.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu langsung tegak. Bulu tengkuk merinding ketika ingat tidak ada lagi orang di ruang kerja, karena sudah menyebar ke lapangan mencari berita. Pandangan Dian berhenti tepat di kubikel depan.

“Astaga, Mbak! Lo bikin gue kaget aja,” tutur Dian mengusap dada sendiri saat mendapati rekan kerjanya duduk di sana. Perempuan berambut panjang itu sedang menyantap mie ayam dengan lahap.

“Kapan baliknya?” sambung Dian setelahnya.

“Sejak lo lihatin itu kartu nama.”

Tilikan netra hitamnya berpindah ke kartu nama yang ada di tangan. “Batal deh beli handphone baru gara-gara benerin mobil kantor.”

“Emangnya kenapa sih?” tanya perempuan itu sesekali mengunyah mie yang masuk ke mulut.

“Kemarin waktu berangkat ke Senayan, ada motor nyerempet mobil kantor trus dinding belakang tergores. Nah, si pengendara cuma tinggalin kartu nama. Katanya sih dese (dia) lagi buru-buru, ada kuliah atau apa gitu lupa,” papar Dian mengenang kejadian kemarin.

“Trus lo yang bayar biaya perbaikan?” Perempuan tersebut menegakkan kepala, agar bisa melihat Dian.

“Terpaksa, daripada kena omel bos.”

Gadis itu kembali merebahkan kepala ke atas meja.

“Ya udah, telepon aja orangnya. Udah dikasih kartu nama ini,” saran senior yang sudah lama bekerja di Yohwa.com and Magazine.

Dian mengangkat tangan ke atas, lalu memperlihatkan kartu nama yang sudah tidak berbentuk. “Kalau udah begini, gimana bisa baca nomornya, Mbak?”

Terdengar suara cekikikan di balik kubikel depan. “Beneran deh, Di. Lo harus perbanyak ibadah. Teguran tuh kayaknya.”

Dian menegakkan lagi kepala, kemudian menatap sengit seniornya. “Apaan sih, Mbak? Orang lagi kena musibah malah diketawain.”

“Dian, sini!” Suara bas menyela percakapan dua orang wartawati tersebut.

“Ya, Pak?” sahut Dian menoleh ke arah pintu ruangan redaktur.

Gatot menggamit tangan pertanda menyuruh Dian ke ruangannya. Gadis itu langsung berdiri seraya merobek kartu nama yang sudah tidak berarti apa-apa lagi, lantas membuangnya di tempat sampah. Dia kemudian melangkah cepat ke ruangan redaktur.

“Besok, kamu pergi temui orang ini.” Gatot meletakkan map cokelat tepat di depan Dian duduk.

Kening gadis itu berkerut bingung ketika ingin membuka map tersebut.

“Nanti saja bukanya. Sekarang dengarkan pengarahan saya dulu.” Perkataan Gatot menyurutkan niat Dian membuka map dan memilih fokus dengan apa yang akan disampaikan.

“Orang itu pakar politik Islam. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi sekarang, ‘kan? Ada sensitivitas terhadap ulama yang memberikan ceramah berkaitan dengan politik.” Gatot menyandarkan punggung di sofa.

“Kamu tahu ‘kan sekarang ceramah di masjid-masjid mulai dibatasi. Nah, kita harus muat berita tentang Islam dan politik. Sejauh mana keduanya berkaitan.” Pria itu melirik map yang ada di tangan. “Dia orang yang tepat untuk kamu tanyai. Jangan lupa siapkan pertanyaan yang bagus, agar bisa mengulik hal ini.”

Dian manggut-manggut paham dengan pengarahan dari redaktur. Meski tidak pernah datang ke masjid sebelumnya, tapi ia mendengar bagaimana pemerintah mulai sensitif dengan ceramah sekarang. Bahkan tak jarang ada intel yang disuruh mengawasi ceramah agama di beberapa masjid besar.

“Sekarang kamu bisa persiapkan materi yang akan ditanyakan untuk wawancara besok.” Gatot mengangkat jari telunjuk ke atas ketika menatap serius Dian. “Ingat! Jangan melakukan kesalahan. Jangan pernah menyudutkan Islam dan ulama juga. Kamu harus berada di posisi netral. Paham?!”

Terdengar tarikan napas dari sela hidung Dian sebelum menganggukkan kepala. “Paham, Pak. Ada lagi yang ingin disampaikan?”

Kepala yang dihiasi rambut model layered undercut itu menggeleng tegas. “Saya beri kamu waktu yang lama untuk menyelesaikan artikel itu, karena sangat sensitif. Buat semenarik mungkin.”

“Oke, Pak. Laksanakan.” Dian berdiri seraya menenteng map yang ada di tangan. “Kalau gitu saya permisi dulu, Pak. Mau persiapkan materi buat besok.”

Gatot mengangguk singkat sebelum mempersilakan Dian kembali ke kubikelnya.

Kaki Dian terasa berat ketika melangkah ke meja kerja. Beban di sana semakin berat mengingat berita yang akan ia buat benar-benar sensitif. Apalagi saat ini banyak perdebatan baik di media sosial dan nyata terjadi, karena tidak sepemahaman dalam agama. Politik dan Islam, jauh lebih sensitif lagi di zaman sekarang.

Dian terduduk lesu ketika mematut map cokelat yang ada di atas meja. Tarikan napas panjang terdengar di sela hidung yang tidak mancung dan berukuran sedang itu. Seperti yang dilakukan sebelum mewawancarai narasumber, dia selalu membaca profilnya terlebih dahulu, agar bisa menentukan pertanyaan yang akan diajukan nanti.

Dalam hitungan detik, biodata seorang pria sudah terpampang jelas di depan mata. Manik hitamnya bergerak terlebih dahulu ke atas, melihat foto berukuran 3x4 berada di sudut kiri atas kertas. Kelopaknya mengecil saat berusaha mengenali sosok yang ada di foto tersebut.

“Kayak nggak asing lagi. Pernah lihat di mana ya?” gumam Dian berusaha mengingat wajah yang mirip dengan pria yang ada di foto.

Pergerakan netranya berpindah ke tulisan nama yang ada di bagian bawah, Fajar Faizan MSc., Ph.D. Kelopak mata auto membulat sempurna ketika membaca latar pendidikan pria itu.

“S1 Islamic University of Madinah. S2 SOAS University of London (Politic and International Studies - Politics of Conflict, Rights and Justice). S3 SOAS University of London (Politic and International Studies - Islam and Politics),” gumam Dian nyaris histeris.

“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas.” Perkataan yang pernah dilontarkan oleh Jamilah tadi pagi terngiang di telinga.

Dian menepuk bagian atas pembatas kubikel. “Mbak,” panggilnya.

“Kenapa?” sahut wartawati senior tadi.

“Ada berapa nama Fajar yang Mbak kenal?”

“Banyak.”

“Ada berapa persentase seorang Fajar yang lulusan S1 di Madinah?” tanya Dian lagi memastikan.

“Kayaknya sih satu atau dua orang, kalau lo omongin orang Indo ya. Kenapa emang?” Perempuan itu kembali mendongakkan kepala sehingga bisa melihat binar di wajah Dian.

Gadis itu tersenyum lebar ketika ingat dengan Fajar yang ditemui saat subuh tadi, bukan Fajar yang telah membuat dinding mobil kantor lecet. Jantungnya kembali berdebar ketika melihat paras mirip dengan ustaz tampan yang mampu menghadirkan getar di hati.

“Tuhan permudah urusan gue bertemu dengannya, Mbak!” seru Dian girang.

“Maksudnya apaan?” Wanita berambut panjang itu menatap bingung.

“Gue … bisa dekat dengan si ustaz tampan,” cetus Dian tersenyum lebar dengan penuh suka cita.

Bersambung....

Related chapters

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 5: Pertemuan Kedua atau Ketiga?

    Seperti pagi sebelumnya, Dian kembali melakukan salat Subuh ke masjid. Tentu saja berharap bisa berjumpa lagi dengan ustaz tampan bernama Fajar yang telah mencuri perhatiannya. Ah, hatinya juga.Jangan pernah berpikir gadis itu telah menunaikan salat lima waktu, seperti yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Tidak! Dian hanya menunaikan salat Subuh saja, itupun dengan niat yang salah. Apalagi jika bukan mencari jodoh dan pagi tadi untuk bertemu dengan Fajar.Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pria yang diidamkan ternyata tidak menunjukkan batang hidung di masjid tersebut. Dian kecewa luar biasa sampai berkali-kali ingin bertanya kepada ibu kemarin. Untuk menjaga wibawa, akhirnya ia menelan mentah-mentah pertanyaan tersebut.“Cari ape sih, Mpok?” tanya Citra ketika melihat Dian krasak-krusuk mencari sesuatu di lemarinya.Dian menoleh malas sebentar ke sela pintu, kemudian fokus lagi mengacak bagian dalam lemari.“Ditany

    Last Updated : 2022-03-09
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 6: Pertemuan Mendebarkan

    “Bapak lagi nggak bercanda, ‘kan?” Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.“Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak.” Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.Dia ingat wajah gue? Jan

    Last Updated : 2022-04-07
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 7: Langkah Pertama

    Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang dis

    Last Updated : 2022-04-07
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 8: Weekend Bersama Rempongers

    Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya

    Last Updated : 2022-04-08
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 9: Mencari Tahu Tentang Fajar

    Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh

    Last Updated : 2022-04-08
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 10: Belajar Menjadi Muslimah

    Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,

    Last Updated : 2022-04-10
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 11: Perubahan Pertama Dian

    Dian mematut lama pantulan diri sendiri di cermin. Sebuah kerudung persegi empat yang dibentuk segi tiga warna abu-abu polos, kini telah membungkus rapi bagian kepala. Style sederhana yang dipelajarinya dari youtube. Tentunya masih menutupi bagian dada.“Kerudung yang benar itu menutupi dada ya, Kak.” Kalimat yang dilontarkan oleh Syukria kemarin menjadi acuan mencari style kerudung.Turun ke bawah blus berwarna abu-abu gelap dipadu dengan rok celana berwarna hitam, menutupi tubuh yang tidak tinggi dan tidak terlalu kurus.Terdengar tarikan napas dari sela hidung berukuran sedang milik Dian, ketika mempersiapkan diri menghadapi berbagai tanggapan yang akan diberikan oleh Royati dan Citra. Mereka berdua pasti syok melihat perubahan pertama dari gadis itu. Apalagi ia tidak pernah bercerita tentang keinginan mengenakan jilbab kepada mereka.“Lo udah biasa dengerin ledekan dari mereka, Di. Sekarang nggak perlu dihiraukan lagi.” Dian me

    Last Updated : 2022-04-10
  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 12: Hati yang Berbunga

    Entah berapa pasang mata yang menatap tak percaya ketika Dian menginjakkan kaki di gedung milik Yohwa Entertainment ini. Banyak yang tidak menyangka seorang perempuan tomboi dan berbicara sering tidak pakai filter, tiba-tiba berubah menjadi sosok wanita muslimah yang menutup aurat.Sebagian di antara mereka nyaris tidak mengenali Dian yang benar-benar tampak berbeda. Tidak tanggung-tanggung, ia mengenakan pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Kerudung bagian depan kanan juga terulur menutupi dada, meski bagian sisi kiri disematkan di bagian belakang kepala.“Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Mau cari siapa, Bu?”Beragam respons didapati oleh gadis itu sepanjang perjalanan menuju lantai lima, tempat Yohwa.com and Magazine berada. Hingga pada akhirnya Dian tiba di ruang kerja.“Hari ini ada anak baru ya?” tanya salah satu wartawan di bidang entertainment ketika melihat Dian memasuki area resepsionis lantai li

    Last Updated : 2022-04-11

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   EXTRA PART: Wedding Party, London I’am Coming

    Dian terkagum-kagum melihat keindahan gemerlap lampu di pinggir sungai Thames, London. Apalagi kerlap-kerlip lampu mobil yang menyeberangi London Bridge. Sudah lama ia tidak ke kota ini, tepatnya semenjak Raline dan Aaron mengadakan private wedding party di Green Park, London. Tidak banyak yang berubah, kota London masih tetap sama dengan kesibukan yang semakin padat.“Si Kambing pinter banget pilihkan apartemen buat kita,” gumam Dian menyandarkan kepala di dada bidang Fajar.“Raline, Dian. Nggak baik berikan julukan binatang sama orang,” tegur Fajar lembut di samping kepalanya.Fajar bisa melihat pantulan ekspresi wajah sang Istri di kaca kamar kondominium milik keluarga Brown. Tidak ada kesal di sana, hanya senyum lebar terulas di paras chubby Dian yang tidak mengenakan jilbab.“Habis dia kalau ngumpat pasti bilang Kambing. Makanya suka dijuluki Rara Kambing,” balas Dian mengenang asal mulai Raline d

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 42: Aku dan Kamu Menjadi Kita

    Fajar dan Dian berjalan bergandengan tangan setelah pulang dari masjid terdekat dari apartemen yang ada di daerah Cempaka Putih. Memakan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di sana. Pukul 03.00 pagi mereka sudah bangun, kemudian mandi junub. Yup, setelah menunaikan salat sunah, Fajar langsung membawa istrinya jalan-jalan. Dia tidak menduga wanita itu masih menjaga kesucian sampai menikah.Selesai mandi, mereka melaksanakan salat Tahajud berjamaah. Ini adalah pengalaman pertama bagi Dian salat diimami seorang pria di sepertiga malam terakhir. Rasanya begitu takzim. Sangat beruntung rasanya memiliki suami sesaleh Fajar. Terlebih pria itu membangunkannya dengan penuh kelembutan.“Bangun, Sayang. Kita salat Tahajud berjamaah dulu,” kata Fajar kemudian memberi kecupan di kening dan bibir Dian.Alhasil, Dian harus mandi pukul 03.00 agar bisa menunaikan salat sunah di malam hari. Haha!Gadis itu sempat terkejut ketika mendapati sosok tampan y

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 41: Apa yang Tidak Diketahui Dian

    POV FajarSeorang pria telah mengenakan atribut lengkap mengendarai motor. Jaket kulit berwarna hitam melekat di tubuh tinggi dan bidang miliknya. Begitu helm full face terpasang di kepala, tampak sepasang mata berbentuk almond berwarna cokelat di bagian terbuka. Setelah mencantolkan tas di pundak, ia menoleh sebentar ke arah ruang tamu.“Umi, Fajar berangkat dulu. Assalamu’alaikum,” ucapnya mengulang lagi kalimat pamitan. Padahal sebelum bergerak ke dekat pintu, ia sudah mengatakan kalimat serupa.“Wa’alaikum salam. Jangan lupa pulang ke rumah, Jar. Umi mau ngomong serius sama kamu,” sahut sang Ibu dari radius lima meter.“Insya Allah, Fajar pulang kok,” balasnya lagi.Sembari menimbang kunci motor di tangan, ia melangkah menuju garasi tempat kendaraan yang menemani perjalanan menuju tempat kerja. Begitu menaikinya, Fajar langsung menarik gas, sehi

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 40: Kamu yang Kutunggu

    Suasana ruangan di masjid mendadak hening, hanya suara bariton melafalkan kalimat ijab dengan lugas dan jelas yang menggema. Tak lama kemudian kata sah diucapkan oleh kedua saksi, setelah dipastikan terlebih dahulu oleh penghulu. Akad nikah diadakan di masjid dekat rumah Dian dan Fajar.Tampak kelegaan di wajah Dian yang sejak tadi tegang. Gadis itu mengucapkan kalimat syukur diiringi dengan tetes bulir bening di pipi. Allah begitu baik kepadanya, karena sudah mengabulkan doa yang dipanjatkan, agar dipersatukan dengan Fajar dalam mahligai pernikahan. Saat ini, pria tersebut telah resmi menjadi suaminya.Tubuh Dian berputar sedikit ke kanan memeluk erat sang Ibu yang menangis haru, karena putrinya telah melepas status lajang. Mereka berada di bagian jamaah perempuan yang masih dibatasi oleh tirai. Sesuai dengan permintaan Fajar, Dian tidak duduk di samping ketika akad nikah dilaksanakan.“Selamat datang di keluarga kecil Umi, Neng,” sambut Jamilah mem

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 39: Kamu adalah Pilihan Terbaikku

    Malam sebelum pernikahanDian sedang duduk di tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Mata menatap serius layar yang menampilkan lima kotak yang berisi wajah Raline, Keysa, Ina, Gita dan dirinya. Malam ini Rempongers merayakan pesta bujangan satu-satunya wanita lajang di geng mereka. Kelima perempuan absurd tersebut sedang melakukan video conference di aplikasi Zoom.“Gimana hari-hari lo setelah jadi pengangguran, Di?” Keysa menjadi penanya pertama.“Not bad. Gue bisa punya me time. Nggak perlu kejar deadline lagi. Nggak terpapar sinar matahari lagi.” Dian memajukan wajah ke arah kamera, lalu menaikkan tangan. “Tuh lihat! Kulit asli gue jadi keluar ‘kan?”Ina mengangguk setelah mengamati paras sahabatnya. “Wajah lo juga sekarang lebih cerah, Di.”“Kau betul, Na. Bahagia kali rupanya sekarang si Dian,” imbuh Gita sembari memangku an

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 38: Ujian Pertama

    Setiap hubungan pasti ada ujian yang harus dilewati. Tidak terkecuali dengan pasangan yang baru saja melakukan lamaran beberapa jam yang lalu. Bagaimana Dian bisa alfa dengan hal ini? Bukankah ia juga ikut mendengarkan penjelasan mengenai isi kontrak waktu itu?“Dian bego, kok bisa lupa sih?” gerutunya pada diri sendiri seraya menggetok kepala.Begitu Gatot dan Fajar keluar untuk mendiskusikan sesuatu, Dian duduk sendirian di ruang meeting, hingga Syukria datang. Gadis itu tidak henti menyalahkan diri, karena lupa dengan isi kontrak.“Udah, Kak. Jangan salahkan diri sendiri lagi. Nggak baik,” komentar Syukria menatap prihatin.Dian merebahkan kepala lesu di atas meja seraya beristighfar. Mata terpejam ketika embusan napas keras meluncur di sela bibir. Jika hal ini terjadi sebelum hijrah, mungkin ia akan mengeluh sejadi-jadinya. Namun sekarang, ia harus memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya dan Fajar.“Nggak usah kh

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 37: Rasa Penasaran Dian

    Setelah melewati diskusi panjang yang hampir memakan waktu satu jam, akhirnya tercapai kesepakatan. Dian dan Fajar akan menikah di hari yang sama dengan Citra, tapi mereka setuju untuk tidak melakukan pesta terlebih dahulu. Raline yang dihubungi oleh Keysa tadi meminta Dian untuk menunda pesta pernikahan, karena ingin mengadakannya di London.“Siapa yang mau dateng kalau pesta di London, Ra?” tanya Dian ketika video call tadi. Raline sebagai sahabat juga ikut berdiskusi dengan kedua belah pihak keluarga.“Aku punya teman dan rekan kerja juga selama kuliah di sana,” jawab Fajar ketika melihat Dian bingung.“Teman-temanku gimana, Mas?” balas Dian dengan tatapan memelas.(Cie sudah panggil Mas nih sekarang ya, Dian. Aku dan kamu juga, bukan saya dan Bapak lagi. Haks!)“Kita-kita sahabat lo, insya Allah ikut, Di,” tanggap Keysa mengedipkan mata, karena belum pernah berkunjung ke rumah ke

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 36: Drama di Hari Lamaran

    Dian menutup wajah dengan kedua telapak tangan ketika malu luar biasa. Bagaimana ia bisa tidak tahu kalau Jamilah adalah ibu kandung Fajar? Seharusnya gadis itu mengetahuinya dari bentuk mata mereka yang sama-sama terlihat seperti almond. Lebih gila lagi, ia sampai curhat mengungkapkan isi hati kepada wanita paruh baya itu.“Ya Allah, Bu. Saya malu,” cetus Dian langsung ngacir memutar balik tubuh ke kamar.“Neng Dian,” panggil Jamilah menyusul gadis itu ke kamar.Sementara Dian memasuki kamar dengan perasaan campur aduk. Ada kaget, malu, senang dan bingung. Kaget karena ternyata yang datang melamarnya adalah Fajar. Malu sudah jelas penyebabnya apa. Senang, karena doa-doa diijabah oleh Allah. Bingung, kenapa pria itu bisa melamarnya?Di sela beragam rasa yang berkecamuk di hati saat ini, Dian memutuskan untuk sujud syukur di lantai kamar. Rasa syukur tak terhingga diucapkan kepada Sang Maha Kuasa. Atas izin dari-Nya, keajaiban ini t

  • Mengejar Cinta Ustaz Tampan   BAB 35: Lamaran

    Pagi keesokan hari, Dian menatap nanar ponsel yang ada di depan mata. Pesan yang dikirimkan Fajar dua hari lalu masih belum dibalas hingga sekarang. Tubuh yang bersandar di headboard tempat tidur, akhirnya tegak saat ada dorongan untuk membalasnya.Me: Wa’alaikum salam, Pak. Maaf baru balas sekarang.Me: Saya minta maaf atas kejadian dua hari yang lalu. Syukria udah cerita semua. Bapak benar, saya salah paham. Sekali lagi saya minta maaf.Me: Kejadian itu tolong dilupakan aja ya, Pak. Ini nggak akan pengaruh pada kerjasama kita. :)Dian mengembuskan napas lega setelah mengirimkan pesan kepada Fajar. Mata yang kembali menghangat terpejam erat, menahan bulir bening yang ingin turun.Ikhlas, Di. Ikhlas. Mungkin dia bukan jodoh lo. Sekarang fokus dengan lamaran hari ini, batinnya menenangkan diri.Gadis itu segera berdiri, kemudian beranjak menuju lemari kayu tem

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status