Tiga hari kemudian,
Suasana terdengar hening di ruangan wartawan bagian berita politik. Hanya terdengar suara ketikan di keyboard laptop diselingi bunyi scroll bagian tengah mouse. Dian sedang fokus mengerjakan artikel berita yang harus diserahkan kepada redaktur menjelang sore.
Embusan napas lega meluncur di sela bibir beberapa saat kemudian, setelah email berisi artikel berhasil dikirimkan. Dian mengangkat tangan ke atas, kemudian menggerakkan kepala ke kiri dan kanan seraya mengurut pundak. Tanpa sengaja, ia melihat Syukria berjalan terseok-seok menuju meja kerja. Wajah wanita itu tampak memerah.
“Kenapa lo?” tanya Dian melihat Syukria tidak semangat seperti biasa.
“Di luar panas banget, Kak. Padahal udah mau sore loh,” keluh Syukria dengan wajah seperti kepiting rebus.
Dian mengambil kipas elektrik yang kerap dibawa ke lapangan, kemudian menyalakannya. Dalam hitungan detik embusan angin yang dihasilkan s
Pagi hari berikutnya disambut dengan suka cita oleh Dian, karena Fajar akan berkunjung ke Yohwa.com and Magazine untuk membahas talkshow. Sehingga sebelum waktu Subuh, ia sudah terjaga. Mata tidak dapat dipejamkan lagi, karena telah terbiasa bangun jam segini. Untuk mengisi waktu, gadis itu langsung beranjak ke dapur menyiapkan sarapan. Hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.Hei, jangan berpikir Dian tidak bisa memasak. Gadis itu memiliki keahlian masak memasak dari Raline. Sahabatnya yang mengajarkan bagaimana cara membuat makanan yang sedap. Hanya saja ia terlalu malas melakukannya, karena selalu bangun satu jam menjelang berangkat ke kantor.“Apaan sih pagi-pagi udeh berisik?” Terdengar suara serak khas bangun tidur dari belakang.Kepala Dian auto menoleh dengan ekspresi terkejut. Khawatir jika yang berbicara tadi Mbak Kunti atau Mbak Sun, eh Kuntilanak atau Sundel Bolong maksudnya. Haha!“Ngagetin aja lo, Cit,” ka
Kebingungan yang sempat melanda hanya mampu dipendam di dalam hati. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya kepada Syukria perihal keanehan sikapnya. Dian memilih untuk berusaha tersenyum di tengah prasangka yang mulai muncul di kepala.“Saya panggil Pak Gatot dulu ya, Pak. Sekalian persiapkan keperluan meeting,” ujar Dian kepada Fajar yang berdiri santai di depan Syukria.“Silakan, Mbak,” sahut Fajar mengangguk singkat.“Ada yang bisa dibantu, Kak?” Syukria menawarkan bantuan seraya cengar-cengir.Tuh, ‘kan. Syukria aneh nggak sih? batin Dian sebelum menggelengkan kepala.“Makasih ya, Syuk. Gue ke ruang redaktur bentar,” sahut Dian menunjuk ruangan yang ada di belakang.Akhirnya gadis itu pergi meninggalkan Syukria dan Fajar di dekat kubikel. Tangan terangkat ke atas ketika berada di depan pintu, lalu mendorong pintu kaca tersebut.“Pak Fajar udah da
Pertemuan dengan tim produksi berlangsung selama dua jam lebih. Banyak hal yang dibahas mulai dari rencana program hingga detail materi acara talkshow. Setelahnya ada penjelasan juga perihal kontrak kerja sama yang akan berlangsung hingga tiga bulan.“Pak Fajar tidak sendirian. Akan ada host yang bertindak selaku moderator. Setiap episode akan menghadirkan empat orang politikus yang akan beroposisi. Posisi Pak Fajar nanti adalah sebagai penengah dan penyeimbang. Kami juga mengundang ulama berbeda di setiap episode. Acara akan tayang setiap hari Senin, satu kali dalam seminggu. Untuk syutingnya akan diambil hari Minggu. Karena isu ini sangat sensitif, jadi acara tidak akan kami tayangkan secara langsung,” papar produser acara talkshow tadi ketika rapat berlangsung.Sekarang, Fajar sedang menandatangani kontrak setelah membaca dan mendengarkan penjelasan isi poin yang ada di dalam kontrak dari tim legal Yohwa TV. Pria itu resmi menj
Satu hari menjelang syutingMeninggalkan rasa penasaran mengenai hubungan Syukria dan Fajar, Dian mulai disibukkan dengan kegiatan baru yaitu menjadi bagian dari penanggung jawab produksi. Gadis itu ingin fokus dengan pekerjaan, karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gatot bulan lalu, jika acara ini sukses maka ia akan dipromosikan menjadi redaktur.Dian melihat Fajar sedang fokus mempelajari materi yang akan dibahas dalam acara talkshow perdananya besok. Senyum menghias paras ketika dagu tertumpu di telapak tangan, dengan pandangan tidak lepas dari pria itu.Masya Allah. Ganteng banget sih. Udah gitu saleh juga. Idaman banyak cewek, batin Dian terkagum-kagum.Sesaat kemudian bola matanya terangkat ketika ingat dengan Aafiyah. Pikiran Dian mulai berkelana ke mana-mana. Tidak mungkin wanita seperti Aafiyah tidak tertarik dengan lelaki seperti Fajar.“Poin ketiga di
Menjelang datang waktu Subuh, Dian uring-uringan di kasur. Perkataan Gatot kemarin berputar bagai kaset kusut di benaknya. Dia tidak menyangka kalau atasan yang selama ini terkenal idealis mengajaknya makan malam, berdua saja karena masalah pribadi.Gatot berusia 40 tahun dan masih single. Dia redaktur favorit di Yohwa.com and Magazine, karena memiliki jiwa pemimpin yang mengayomi bawahan. Meski terkadang galak, tapi sikap yang adil tanpa pilih kasih menjadikannya sebagai atasan yang disukai oleh bawahan.Dian juga ingat dengan reaksi Fajar yang mendadak lebih banyak diam, setelah Gatot kembali ke ruangan. Percakapan hangat yang tercipta sebelumnya tidak lagi menemani. Hanya keheningan menyapa mereka berdua hingga pria itu selesai membaca skrip keseluruhan untuk kedua kali.“Cemburu?” Dian cekikikan ketika pikiran konyol hinggap di kepala. “Nggak mungkin ah!”Setelah membuang napas singkat, Dian langsung mengubah posisi me
Dian duduk termenung di meja kerja menanti datangnya waktu Zuhur. Mulai sekarang, ia terpaksa harus merelakan hari libur diambil satu hari demi kelancaran acara talkshow. Lagi pula, acara ini hanya tiga bulan setelah itu dia akan menikmati bekerja office hour sebagai redaktur.“Hayo lagi ngelamun apa?” Syukria tiba-tiba datang membuat Dian terperanjat.“Astaghfirullah.” Gadis itu mendelik nyalang seraya mengurut dada. “Kok masuk?”Syukria mengangkat bahu singkat, kemudian duduk di kursi kerjanya. “Lagi males di rumah, jadi ke sini deh lihat syuting acara Kak Dian.”“Acara gue apaan.” Dian menggoyangkan jari telunjuk. “Gue cuma ditugaskan urus keperluan Pak Fajar doang kok.”“Ya tetap aja Kakak ada andil di acara itu, ‘kan?” Syukria tersenyum seraya memiringkan kepala. “Pak Fajar udah datang belum?”“Belum. Ka
Dada Dian terasa sesak menyaksikan keakraban yang ada di depan mata. Tak hanya dengan Fajar, Aafiyah juga tampak dekat dengan Subroto. Sudah pasti hubungan mereka bukan hanya sebatas rekan kerja atau antara dosen dan mahasiswa.Dian memutar tubuh membelakangi ketiga orang tersebut. Gadis itu tidak ingin melihat hal yang menghadirkan nyeri di hati. Tanpa disadari kakinya maju dua langkah.“Kakak mau ke mana?” tanya Syukria menahan tangan Dian.Sementara Jamilah hanya memperhatikan reaksi Dian yang di luar dugaan. Biasanya gadis itu selalu tersenyum dan ceria. Paling tidak itulah yang bisa ia tarik kesimpulan setelah sekian kali berinteraksi dengannya.“Tolong temani Bu Jamilah, Syuk. Gue mau ke toilet,” jawab Dian menoleh sebentar dengan air mata menetes di pipi, lalu melepaskan pegangan tangan Syukria.“Kak,” panggil Syukria tanpa dihiraukan oleh gadis itu.Tilikan netra cokelat Syukria beralih ke arah Faj
“Trus Fajar pergi gitu aja, tanpa ngomong maksud dia panggil lo?” tanya Keysa dengan mata membesar ketika Dian menceritakan kejadian tiga hari lalu.Dian menganggukkan kepala lesu, kemudian menopangnya dengan telapak tangan. Embusan napas lesu meluncur ketika gadis itu mengaduk jus alpukat menggunakan sedotan dengan tangan kiri.“Tau tuh Pak Gatot pakai acara ganggu segala. Udah gitu yang mau dikatakan juga nggak penting-penting banget.” Dian mendengkus kesal dengan mata menajam, lantas menegakkan kepala.“Cuma tanyain, kamu udah makan, Dian?” Gadis itu menirukan gaya bicara Gatot dengan nada setengah mencemooh.Keysa mendesah keras seraya menepuk pelan meja restoran junk food. Dia jadi ikut-ikutan kesal, karena niat Fajar untuk menyampaikan sesuatu jadi diurungkan.“Kalau ada di sana waktu itu, pasti udah gue seret si Gatot. Gangguin orang aja,” gerutu Keysa berang sambil menyingsingkan lengan kemeja
Dian terkagum-kagum melihat keindahan gemerlap lampu di pinggir sungai Thames, London. Apalagi kerlap-kerlip lampu mobil yang menyeberangi London Bridge. Sudah lama ia tidak ke kota ini, tepatnya semenjak Raline dan Aaron mengadakan private wedding party di Green Park, London. Tidak banyak yang berubah, kota London masih tetap sama dengan kesibukan yang semakin padat.“Si Kambing pinter banget pilihkan apartemen buat kita,” gumam Dian menyandarkan kepala di dada bidang Fajar.“Raline, Dian. Nggak baik berikan julukan binatang sama orang,” tegur Fajar lembut di samping kepalanya.Fajar bisa melihat pantulan ekspresi wajah sang Istri di kaca kamar kondominium milik keluarga Brown. Tidak ada kesal di sana, hanya senyum lebar terulas di paras chubby Dian yang tidak mengenakan jilbab.“Habis dia kalau ngumpat pasti bilang Kambing. Makanya suka dijuluki Rara Kambing,” balas Dian mengenang asal mulai Raline d
Fajar dan Dian berjalan bergandengan tangan setelah pulang dari masjid terdekat dari apartemen yang ada di daerah Cempaka Putih. Memakan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di sana. Pukul 03.00 pagi mereka sudah bangun, kemudian mandi junub. Yup, setelah menunaikan salat sunah, Fajar langsung membawa istrinya jalan-jalan. Dia tidak menduga wanita itu masih menjaga kesucian sampai menikah.Selesai mandi, mereka melaksanakan salat Tahajud berjamaah. Ini adalah pengalaman pertama bagi Dian salat diimami seorang pria di sepertiga malam terakhir. Rasanya begitu takzim. Sangat beruntung rasanya memiliki suami sesaleh Fajar. Terlebih pria itu membangunkannya dengan penuh kelembutan.“Bangun, Sayang. Kita salat Tahajud berjamaah dulu,” kata Fajar kemudian memberi kecupan di kening dan bibir Dian.Alhasil, Dian harus mandi pukul 03.00 agar bisa menunaikan salat sunah di malam hari. Haha!Gadis itu sempat terkejut ketika mendapati sosok tampan y
POV FajarSeorang pria telah mengenakan atribut lengkap mengendarai motor. Jaket kulit berwarna hitam melekat di tubuh tinggi dan bidang miliknya. Begitu helm full face terpasang di kepala, tampak sepasang mata berbentuk almond berwarna cokelat di bagian terbuka. Setelah mencantolkan tas di pundak, ia menoleh sebentar ke arah ruang tamu.“Umi, Fajar berangkat dulu. Assalamu’alaikum,” ucapnya mengulang lagi kalimat pamitan. Padahal sebelum bergerak ke dekat pintu, ia sudah mengatakan kalimat serupa.“Wa’alaikum salam. Jangan lupa pulang ke rumah, Jar. Umi mau ngomong serius sama kamu,” sahut sang Ibu dari radius lima meter.“Insya Allah, Fajar pulang kok,” balasnya lagi.Sembari menimbang kunci motor di tangan, ia melangkah menuju garasi tempat kendaraan yang menemani perjalanan menuju tempat kerja. Begitu menaikinya, Fajar langsung menarik gas, sehi
Suasana ruangan di masjid mendadak hening, hanya suara bariton melafalkan kalimat ijab dengan lugas dan jelas yang menggema. Tak lama kemudian kata sah diucapkan oleh kedua saksi, setelah dipastikan terlebih dahulu oleh penghulu. Akad nikah diadakan di masjid dekat rumah Dian dan Fajar.Tampak kelegaan di wajah Dian yang sejak tadi tegang. Gadis itu mengucapkan kalimat syukur diiringi dengan tetes bulir bening di pipi. Allah begitu baik kepadanya, karena sudah mengabulkan doa yang dipanjatkan, agar dipersatukan dengan Fajar dalam mahligai pernikahan. Saat ini, pria tersebut telah resmi menjadi suaminya.Tubuh Dian berputar sedikit ke kanan memeluk erat sang Ibu yang menangis haru, karena putrinya telah melepas status lajang. Mereka berada di bagian jamaah perempuan yang masih dibatasi oleh tirai. Sesuai dengan permintaan Fajar, Dian tidak duduk di samping ketika akad nikah dilaksanakan.“Selamat datang di keluarga kecil Umi, Neng,” sambut Jamilah mem
Malam sebelum pernikahanDian sedang duduk di tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Mata menatap serius layar yang menampilkan lima kotak yang berisi wajah Raline, Keysa, Ina, Gita dan dirinya. Malam ini Rempongers merayakan pesta bujangan satu-satunya wanita lajang di geng mereka. Kelima perempuan absurd tersebut sedang melakukan video conference di aplikasi Zoom.“Gimana hari-hari lo setelah jadi pengangguran, Di?” Keysa menjadi penanya pertama.“Not bad. Gue bisa punya me time. Nggak perlu kejar deadline lagi. Nggak terpapar sinar matahari lagi.” Dian memajukan wajah ke arah kamera, lalu menaikkan tangan. “Tuh lihat! Kulit asli gue jadi keluar ‘kan?”Ina mengangguk setelah mengamati paras sahabatnya. “Wajah lo juga sekarang lebih cerah, Di.”“Kau betul, Na. Bahagia kali rupanya sekarang si Dian,” imbuh Gita sembari memangku an
Setiap hubungan pasti ada ujian yang harus dilewati. Tidak terkecuali dengan pasangan yang baru saja melakukan lamaran beberapa jam yang lalu. Bagaimana Dian bisa alfa dengan hal ini? Bukankah ia juga ikut mendengarkan penjelasan mengenai isi kontrak waktu itu?“Dian bego, kok bisa lupa sih?” gerutunya pada diri sendiri seraya menggetok kepala.Begitu Gatot dan Fajar keluar untuk mendiskusikan sesuatu, Dian duduk sendirian di ruang meeting, hingga Syukria datang. Gadis itu tidak henti menyalahkan diri, karena lupa dengan isi kontrak.“Udah, Kak. Jangan salahkan diri sendiri lagi. Nggak baik,” komentar Syukria menatap prihatin.Dian merebahkan kepala lesu di atas meja seraya beristighfar. Mata terpejam ketika embusan napas keras meluncur di sela bibir. Jika hal ini terjadi sebelum hijrah, mungkin ia akan mengeluh sejadi-jadinya. Namun sekarang, ia harus memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya dan Fajar.“Nggak usah kh
Setelah melewati diskusi panjang yang hampir memakan waktu satu jam, akhirnya tercapai kesepakatan. Dian dan Fajar akan menikah di hari yang sama dengan Citra, tapi mereka setuju untuk tidak melakukan pesta terlebih dahulu. Raline yang dihubungi oleh Keysa tadi meminta Dian untuk menunda pesta pernikahan, karena ingin mengadakannya di London.“Siapa yang mau dateng kalau pesta di London, Ra?” tanya Dian ketika video call tadi. Raline sebagai sahabat juga ikut berdiskusi dengan kedua belah pihak keluarga.“Aku punya teman dan rekan kerja juga selama kuliah di sana,” jawab Fajar ketika melihat Dian bingung.“Teman-temanku gimana, Mas?” balas Dian dengan tatapan memelas.(Cie sudah panggil Mas nih sekarang ya, Dian. Aku dan kamu juga, bukan saya dan Bapak lagi. Haks!)“Kita-kita sahabat lo, insya Allah ikut, Di,” tanggap Keysa mengedipkan mata, karena belum pernah berkunjung ke rumah ke
Dian menutup wajah dengan kedua telapak tangan ketika malu luar biasa. Bagaimana ia bisa tidak tahu kalau Jamilah adalah ibu kandung Fajar? Seharusnya gadis itu mengetahuinya dari bentuk mata mereka yang sama-sama terlihat seperti almond. Lebih gila lagi, ia sampai curhat mengungkapkan isi hati kepada wanita paruh baya itu.“Ya Allah, Bu. Saya malu,” cetus Dian langsung ngacir memutar balik tubuh ke kamar.“Neng Dian,” panggil Jamilah menyusul gadis itu ke kamar.Sementara Dian memasuki kamar dengan perasaan campur aduk. Ada kaget, malu, senang dan bingung. Kaget karena ternyata yang datang melamarnya adalah Fajar. Malu sudah jelas penyebabnya apa. Senang, karena doa-doa diijabah oleh Allah. Bingung, kenapa pria itu bisa melamarnya?Di sela beragam rasa yang berkecamuk di hati saat ini, Dian memutuskan untuk sujud syukur di lantai kamar. Rasa syukur tak terhingga diucapkan kepada Sang Maha Kuasa. Atas izin dari-Nya, keajaiban ini t
Pagi keesokan hari, Dian menatap nanar ponsel yang ada di depan mata. Pesan yang dikirimkan Fajar dua hari lalu masih belum dibalas hingga sekarang. Tubuh yang bersandar di headboard tempat tidur, akhirnya tegak saat ada dorongan untuk membalasnya.Me: Wa’alaikum salam, Pak. Maaf baru balas sekarang.Me: Saya minta maaf atas kejadian dua hari yang lalu. Syukria udah cerita semua. Bapak benar, saya salah paham. Sekali lagi saya minta maaf.Me: Kejadian itu tolong dilupakan aja ya, Pak. Ini nggak akan pengaruh pada kerjasama kita. :)Dian mengembuskan napas lega setelah mengirimkan pesan kepada Fajar. Mata yang kembali menghangat terpejam erat, menahan bulir bening yang ingin turun.Ikhlas, Di. Ikhlas. Mungkin dia bukan jodoh lo. Sekarang fokus dengan lamaran hari ini, batinnya menenangkan diri.Gadis itu segera berdiri, kemudian beranjak menuju lemari kayu tem