Barra terbangun dari tidurnya saat merasakan ada tangan kecil yang mengelus pelan wajahnya, lembut dan hangat bahkan sesekali mencubit ujung hidungnya. Dhafin beringsut mundur ketika mata Barra terbuka sempurna, "Maaf, aku pasti mengganggu." "Tidak apa-apa, sekarang sepertinya sudah pagi ya?" tanya Barra sembari meregangkan tubuhnya, Dhafin mengangguk. "Dimana ibumu?" "Mama sedang di dapur menyiapkan makan untuk kita semua," Barra bangkit dan menggandeng Dhafin keluar dari kamar, harum aroma masakan Sheila merebak ketika mereka tiba di meja makan. Sheila memang pintar memasak jenis makanan apapun, karena dulu ia sempat mengikuti kursus memasak agar bisa memasak semua makanan kesukaan Barra."Kalian sudah bangun? ayo silahkan dinikmati, mumpung masih hangat." Sheila menuangkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Barra dan juga Dhafin. Dhafin yang tidak tebiasa memakan nasi, agak tidak bersemangat saat melihat sarapannya. Dhafin mendorong makanan tersebut bahkan sebelum mencicipinya
Sarah tiba di rumah bertepatan dengan kembalinya Barra setelah mengajak Dhafin jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, terlihat dari bagasi mobil Barra yang nampak penuh juga paper bag yang Gabriel bawakan dengan merek pakaian anak-anak terkenal. Sarah agak terkejut saat melihat Dhafin, namun Arista segera menyadarkannya agar bersikap tenang. Sarah maju mendekati Barra dan memeluknya dengan penuh cinta, meskipun saat ini ia sangat marah karena Barra meninggalkannya di malam pernikahan mereka hanya demi menemui Sheila. Barra pun sempat tercengang saat melihat Sarah datang bersama ibunya, padahal yang ia tau Arista sangat tidak menyukai Sarah bahkan sempat menentangnya. Tapi hari ini mereka muncul di hadapan Barra seperti seorang ibu dan anak, bahkan Arista sangat perhatian pada Sarah melebihi ke Luna dulu. "Kalian darimana?" tanya Barra dengan wajah heran. "Dari dokter kandungan, ibu kan mau lihat calon cucu ibu." ujar Arista seraya mengelus perut Sarah. "Oh ya? kenapa kamu tidak menung
Sarah dan Barra menghampiri Dhafin di kamarnya setelah urusan pribadi mereka selesai, Sarah tadinya enggan menghampiri Dhafin karena ia tau Dhafin mungkin akan menolaknya tapi Barra terus memaksanya untuk ikut. Sarah berjalan mengekori Barra di belakang, ia membawa sebuah pesawat remote control yang baru saja Gabriel bawakan demi membuat Sarah bisa mendekati Dhafin. "Dhafin ini ayah, boleh ayah masuk?"Tidak lama pintu kamar terbuka, begitu melihat Barra Dhafin langsung menghambur ke dalam pelukannya namun saat melihat Sarah tatapan polosnya berubah menjadi ketakutan. "Halo sayang, tante bawa sesuatu untuk kamu." ucap Sarah seraya mengacungkan pesawat remote di tangannya.Dhafin menepis pesawat remote tersebut hingga menabrak dinding dan patah sayapnya, "Aku gak mau! tante jahat! tante ibu tiri jahat!" Barra mulai tidak bisa menahan kesabarannya lagi, meskipun Dhafin adalah anak kandungnya namun tingkah Dhafin benar-benar sudah kelewatan. Dhafin bahkan belum mengenal Sarah, tapi di
Sesuai janji Barra, mereka hari ini mendatangi rumah Sheila namun kali ini Sarah ikut bersama mereka. Sarah membawakan beberapa perlengkapan memasak untuk Sheila karena Barra bilang Sheila suka sekali memasak, Sarah juga berharap dengan kedatangannya kali ini hubungannya dengan Sheila bisa terjalin dengan baik. Mungkin saja Sheila tidak seburuk yang Arista katakan, Sarah juga harus menilai Sheila dari pandangannya sendiri meskipun ia harus tetap bersikap waspada.Awalnya Sheila begitu senang saat melihat Barra dan Dhafin datang mengunjunginya, namun rasa senang itu langsung musnah sampai ke akar ketika ia melihat Sarah ikut serta bersama mereka. Tapi di depan Sarah Sheila tetap mempertahankan wajah ramahnya, ia harus bermain cantik untuk menyingkirkan Sarah dari Barra hingga tidak ada yang tau bagaimana sifat aslinya. "Kata Barra kamu pintar memasak, jadi aku memberikan alat masak ini untuk kamu. Semoga kamu suka," ucap Sarah sembari meletakkan peralatan memasak itu di meja makan."A
"Sheila, aku minta maaf sama kamu dan Dhafin. Aku benar-benar tidak sengaja menyakitinya, tolong maafkan aku." pinta Sarah memohon dengan mata berkaca-kaca.Melihat Sheila yang tidak kunjung bergeming meskipun Sarah sudah memohon maaf membuat Barra sedikit jengkel, Barra menarik Sarah keluar dari apartemen Sheila tanpa pamit karena tidak tahan melihat Sarah memohon sampai seperti itu. Sarah merasa sangat bersalah, meskipun ia tidak sengaja menyakiti Dhafin namun faktanya ia memang memukul pipi Dhafin. "Barra, aku benar-benar tidak sengaja menyakiti Dhafin. Tolong percaya padaku," ucapnya seraya memegangi ujung lengan kemeja Barra. "Aku tau Sarah, tapi kita tidak bisa berbuat apapun untuk membuktikan kalau kamu memang tidak sengaja memukul Dhafin." "Tapi kamu lihat sendiri kan tadi pipinya Dhafin bentol seperti terkena gigitan nyamuk, tidak ada jejak telapak tanganku disana.""Iya aku melihatnya, sekarang tenangkan dirimu dulu Sarah. Lagipula Dhafin sudah baik-baik saja," "Tapi dia
Sheila terbangun di pagi hari saat alarm di ponselnya berbunyi, senyum sumringah mengembang di bibirnya kala membayangkan rencana yang ia sudah susun akan berjalan sesuai rencana. Namun senyum Sheila mendadak lenyap ketika ia tiba di kamar Dhafin, tubuh kecil itu terbaring di lantai dengan wajah pucat pasi dan nafas yang nyaris tidak terasa. Suhu tubuh dhafin begitu tinggi, ia bahkan tidak merespon ketika Sheila berkali-kali berusaha membangunkannya. Sheila membawa tubuh Dhafin ke dalam gendongannya, ia lalu membawa Dhafin ke rumah sakit terdekat dari apartemennya. Sheila menangis memohon maaf pada Dhafin, ia tidak menyangka jika rencananya ini akan mencelakakan anaknya sendiri. "Ananda Dhafin mengalami dehidrasi, juga demamnya yang cukup tinggi hampir 40°. Kami sudah memberikan obat lewat dubur untuk menurunkan panasnya, juga infus." ujar dokter UGD yang menangani Dhafin. "Baik dok terimakasih," sahut Sheila. Dhafin masih terus terpejam meskipun kini sudah diberi obat, keadaannya
"Lebih baik kamu pulang saja Sarah? biar aku dan Gabriel yang ke rumah sakit," ujar Barra saat pesawat mereka tiba di bandara. "Tidak apa-apa, aku mau ikut denganmu Barra. Aku ingin melihat kondisi Dhafin, biar bagaimanapun dia anak tiriku sekarang." Iya Sarah harus ikut bersama Barra, ia ingin tau seberapa parah sakitnya Dhafin sampai harus membuat honeymoonnya berantakan. Gabriel bilang Dhafin hanya demam dan sudah membaik tidak seperti yang Sheila katakan, namun tetap saja Barra lebih memilih untuk melihat keadaan Dhafin daripada melanjutkan honeymoon dengannya. Di tangannya, Sarah kini membawa sebuah bingkisan berisi buah-buahan juga makanan ringan sehat untuk anak-anak. Sedangkan Barra membawa dua buah kotak makan berisi makanan orang dewasa yang ia pesan dari restoran China, Gabriel mengikuti dari belakang dengan membawa beberapa selimut tebal untuk Sheila selama menemani Dhafin disini. Dokter bilang untuk sementara Dhafin harus di rawat dulu, namun fasilitas yang Sheila guna
Setelah berganti pakaian, Claudia segera menghampiri Sarah dan Gabriel yang sudah menunggunya di ruang keluarga. Claudia duduk di sebelah Gabriel yang berada bersebrangan dengan Sarah, berada di posisi seperti ini membuat Gabriel seakan-akan seperti tengah di interogasi oleh Sarah. "Kakak mau ngomong apa?" tanya Claudia membuka obrolan."Ehm, kakak mau tanya soal hubungan Sheila dan Barra. Kamu kenal Sheila sejak dulu kan?"Claudia tersenyum sinis, "Perempuan ular itu? apa dia membuat ulah dan mengganggu kakak? atau dia mencoba merebut kakakku dari kak Sarah?""Kakak tidak terlalu yakin, tapi feeling kakak berkata demikian. Kakak merasa Sheila sedang berusaha merebut Barra dari kakak dengan menggunakan Dhafin," jawab Sarah lesu. "Sudah aku tebak, anak itu akan menjadi senjatanya di kemudian hari jika tetap dibiarkan hidup." ujar Claudia."Senjata? maksud kamu Claudia?""Ya senjata untuk mendapatkan kak Barra dan kekayaan keluarga ini,"Sarah mengernyitkan keningnya, ia semakin tidak
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes