"Mulai sekarang, kamu bukan lagi milikku dan aku bukan milikmu. Kita juga bukan lagi teman. Aku dan kamu hanya sebatas Tuan dan pelayan. Tidak lebih. Lupakan apa yang terjadi malam ini. Mengertilah, semua ini kulakukan karena aku tidak ingin nyawamu terancam. Maafkan aku."
Kalimat kemarin malam itu terus terngiang memenuhi setiap ruang dalam benaknya, menciptakan lubang yang begitu dalam di hatinya. Terlebih saat ia menyaksikan orang yang dia cintai tengah mengulum bibir wanita lain usai diresmikan sebagai pasangan suami istri.
"Seharusnya, aku yang ada di sana. Mendampingimu sebagai permaisuri," desisnya dengan tangan terkepal mencerminkan ketidakterimaannya yang terpendam.
***
Bergelimang harta, bermartabat tinggi dan selalu diagungkan bukanlah impian si pelayan dekil berambut hitam kelabu ini—saking kumalnya akibat jarang dicuci. Namun, menjadi permaisuri dari si tampan Nias Lavi sang calon Raja Negeri Halma ketujuh adalah tujuan utama dalam hidupnya.
Seluruh manusia di negeri Halma dipastikan akan terpingkal kalau mengetahui impian dari pelayan buluk tidak tahu diri ini. Namanya Rusmini. Salah seorang putri dari pasangan pelayan setia bangsawan negeri Halma---keluarga kerajaan Halma.
"Heh! Kamu ini kaum Bulvian! Jangan mimpi kamu! Kain pel mau masuk lemari pakaian, Ck. Gila ya, kamu?"
Itulah salah satu cibiran yang didapatkan Rusmini dari sahabatnya sendiri, Gandi.
Terlahir sebagai keturunan Bulvian---kaum kasta terendah negeri Halma adalah sebuah kutukan bagi orang awam. Namun, tidak bagi Rusmini. Dia tidak menyesal terlahir sebagai seorang Bulvian, yang mana seumur hidupnya akan terus mengabdi kepada tuannya tanpa bisa bebas berkeliaran.
"Hati-hati kalau bicara! Atas dasar apa kau menganggapku kain pel? Hah!" tanyanya dengan intonasi meninggi dan kedua tangan berkacak pinggang. Rusmini tidak suka pengibaratan yang disampaikan Gandi.
Sejak dulu, Rusmini beranggapan bahwa seluruh orang di Halma itu sama, baik mereka dari kasta Bangsawan, Ranggi, Granje ataupun Bulvian, mereka tetap sama-sama manusia yang harus dimanusiakan dan memanusiakan sesama. Mereka memiliki kebebasan berpikir, berbicara dan bertindak yang sama.
Namun, pemikiran Rusmini ini selalu mendapat pertentangan dari orang-orang disekitarnya. Bahkan kedua orang tuanya sendiri, yang membiarkan timbangan kehinaan memberat di kaum Bulvian.
"Berhenti berkhayal, Rusmini. Kamu, Ibu dan mendiang Ayahmu hanya seorang golongan Bulvian. Kaum Budak. Kita ini hina! Nggak pantas bersanding dengan mereka, para bangsawan Halma. Jangan menambah dosa!" kata Ibu Rusmini pada suatu hari menjelang pernikahan besar Nias Lavi.
Tentu saja, Rusmini tidak terima. Hina dari mana? Seingat Rusmini, selama hidup, ia tak pernah melakukan perbuatan memalukan atau merugikan orang lain. Dan, apa katanya? Dosa? Apa mencintai seorang putra mahkota adalah dosa?
Cinta datang bukan karena kehendaknya, dan kepada siapa cinta itu berlabuh, Rusmini juga tidak bisa mengaturnya.
"Ibu, kalau mencintai Nias Lavi adalah sebuah dosa. Kenapa Sang Pemilik Semesta memberikan ini kepadaku? Kenapa aku harus jatuh cinta kepada Lavi?" tanyanya menahan sesak di dada. Rusmini menunduk sembari mencabuti mahkota bunga mawar dari tangkainya.
Ibu, yang saat itu sedang duduk nyaman sambil merangkai bunga untuk hiasan pesta pernikahan putra mahkota pun menjawab, "Cinta pemberian Sang Pemilik Semesta memang tidak pernah salah. Tapi, posisimu yang salah, Rusmini," tegas Ibu tak memberikan ketenangan pada Rusmini.
Ibu adalah wanita yang tegas dan keras. Dia sangat mematuhi adat kebudayaan di Halma. Karena sifatnya itulah, Ibu disegani oleh para kaum Bulvian lainnya.
"Ada dua jenis cinta yang ada di dunia ini. Pertama, cinta yang pantas diperjuangkan dan kedua, cinta yang harus dilenyapkan. Dan cintamu kepada Nias Lavi itu adalah yang kedua. Cintamu adalah sebuah ujian, Rusmini. Jika kamu berhasil melenyapkannya, maka dosamu akan dihapuskan. Pun sebaliknya," jelas Ibu.
Wanita berambut hitam berbaur putih yang digelung rapi itu tersenyum senang, melihat hasil rangkaian bunganya yang tampak cantik dengan warna seimbang. Dia sama sekali tidak memperdulikan kesedihan putrinya. Bagi Ibu, kesengsaraan Rusmini adalah hukuman, karena dia telah melanggar aturan kebudayaan. Akan menjadi sebuah dosa besar kalau Ibu memberikan kesempatan untuk Rusmini menangis sampai menyalahkan para leluhurnya.
"Ini tidak adil!" Pikir Rusmini.
Ia meremas sekelopak mawar merah yang hendak dirangkainya.
"Ibu, ini tidak adil! Kenapa cintaku harus dilenyapkan hanya karena aku lahir dari kaum Bulvian? Kenapa kaum Bulvian selalu dipandang hina dan selalu dikekang?" cecar Rusmini, menatap lurus pada Ibu.
Sebisa mungkin Ibu menahan kenelangsaan hatinya melihat sang putri yang menangis di dekatnya. Ibu tahu, patah hati yang dialami putrinya ini sangat menyakitkan, sebab orang yang dicintainya sebentar lagi akan menikah dengan wanita lain. Nias Lavi telah menerima perjodohannya dengan sepupunya sendiri, Niasih Cali Mina.
"Itu sudah menjadi takdir kaum Bulvian. Para leluhur yang menciptakan adat dan kebudayaan di negeri Halma sudah mengaturnya sedemikian rupa. Kamu tidak bisa mempertanyakannya apalagi menentangnya, Rusmini," kata Ibu tanpa mau menatap wajah sembab putrinya.
Ibu kembali mengumpulkan sisa-sisa kembang yang masih layak digunakan. Kemudian memasukkannya ke dalam kantong untuk dijadikan wewangian bagi para kaum Bulvian.
"Menangislah karena menyesali cinta terlarang yang kamu biarkan tumbuh. Sadar dirilah, Nak. Jangan terus menambah dosa," kata Ibu lalu mengusap lembut pundak Rusmini.
Setelahnya, Ibu bangkit dari duduknya, lantas pergi meninggalkan Rusmini di bangku kayu belakang pendopo Istana Raja.
Rusmini melempar asal tangkai mawar tanpa mahkota bunga ke sembarang arah. "Argh!! Terkutuklah siapa pun yang sudah menciptakan kebudayaan tidak waras ini!" ujarnya dengan lelehan air mata.
Ditekankan sekali lagi. Rusmini tidak merasa dikutuk karena terlahir sebagai kaum Bulvian. Tetapi, ia mengutuk siapa pun yang menciptakan kebudayaan yang menurutnya tidak masuk akal ini.
"Dengar! Para leluhur pencipta kebudayaan gila! Aku, Rusmini, seorang wanita Bulvian bersumpah, suatu hari nanti aku akan menjadi permaisuri yang sangat dicintai Nias Lavi dan menjadi orang pertama yang melanggar kebudayaan tidak masuk akalmu ini. Camkan itu!" teriaknya pada awan mendung yang bergulung-gulung, melumat surya ke dalam kandungnya. Suaranya serak bercampur sesengguk tangis yang tak bisa diberhentikan.
***
Kembali kepada masa kini.
Rusmini gagal. Posisi permaisuri sudah terisi oleh wanita yang 180 derajat lebih segala-galanya dibandingkan dengannya. Si cantik berbalut gaun pengantin merah darah itu bernama Niasih Cali Mina. Seorang putri dari mendiang paman Nias Lavi, yang tentunya sudah jelas bahwa dia adalah keturunan bangsawan Halma.
Di tengah gemerlap dekorasi pesta yang mewah di ballroom istana, dengan orang-orang berpakaian menawan yang berdansa di tengahnya. Rusmini hanya mampu terdiam, menikmati lara kepunyaannya di balik dinding kaca yang membatasi ballroom dengan ruang perjamuan di istana.
"Aku belum kalah dan aku tidak akan menyerah," katanya dengan maksud ditujukan kepada para leluhur.
"Nias Lavi telah mengambil suatu hal terpenting dalam hidupku dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Sekali kau bilang aku milikmu dan kamu milikku. Selamanya, akan seperti itu, Lavi."
Mata Rusmini tidak lepas menatap Nias Lavi yang berdansa dengan Cali Mina di tengah-tengah ballroom, dan menjadi pusat perhatian para tamu undangan.
BERSAMBUNG.
Diam, mengikuti arus. Itulah yang Rusmini lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Keinginan menggebunya untuk mendapatkan Nias Lavi harus teredam, saat sang pujaan hati benar-benar menepati ucapannya; melupakan semuanya dan menjalani kehidupan layaknya majikan dan pelayan. Seakan tidak ada kata 'kita' yang pernah terbangun di antara mereka.Berulang kali, Rusmini mencoba meluluhkan hati Nias Lavi dan mengembalikan sikap manis lelaki itu padanya seperti sedia kala. Namun, yang didapatkannya hanya kekosongan belaka. Nias Lavi justru semakin membentangkan jarak, dan enggan bersinggungan dengannya.Mungkin itu karena Cali Mina. Rusmini akui, istri Nias Lavi itu adalah wanita yang sempurna, memiliki paras cantik dan berkulit putih, wangi tubuhnya menyegarkan. Berbeda dengan dirinya, kusam, dekil, berkulit jelaga dan berbau kecut matahari.Marah, kecewa dan terluka adalah tiga rasa yang selalu menemani kesehariannya di puri kediaman Nias Lavi. Rusmini
Dengan malas, Rusmini berjalan melewati selasar puri untuk menuju Whiteroom---ruang keluarga di puri. Dia ingin menjalankan salah satu titah Nias Lavi. Ketika sampai di depan pintu putih, yang tinggi dan besar dengan ukiran dua kepala naga berwarna emas menyembul keluar, Rusmini terdiam sebentar. Ia mendengar suara lirih dari dalam ruangan.Tidak ingin didera rasa penasaran berkepanjangan, akhirnya Rusmini membuat keputusan. Dia celingukkan, memastikan tidak ada orang di selasar puri. Setelah merasa aman, ia pun mendorong pelan pintu Whiteroom sampai terciptalah celah yang cukup untuk digunakannya mengintip."Ayolah, aku jamin hidupmu akan bahagia bila bersamaku. Kamu bisa mengenakan pakaian indah seperti majikanmu, memiliki banyak perhiasan, tinggal di kamar yang mewah, dilayani, dan dihormati, tidak seperti sekarang."Bisa Rusmini dengar dan lihat dengan jelas, ada seorang pria berperawakan tinggi sedang menyudutkan seorang gadis di pojok rua
Sudah menjadi tradisi di Halma. Apabila saudara yang lebih tua berkunjung ke kediaman yang lebih muda, maka perjamuan harus diadakan oleh yang lebih muda untuk menyambut kedatangan saudara tua sebagai bentuk rasa hormatnya. Konon, semakin banyak dan mewah hidangan yang disajikan, semakin tinggi pula rasa hormat yang ingin disampaikan.Dan Nias Lavi selalu menyiapkan hidangan perjamuan yang lebih banyak dan mewah dari pada sebelumnya."Merepotkan! Selalu saja, setiap si brengsek itu datang, kesengsaraan pasti menimpa para abdi Lavi. Disuruh ini-itu, harus selesai jam segini, nggak boleh telat dan bla-bla-bla. Hah!"Rusmini mendesah lelah. Ia seret sekarung sampah dengan kedua tangan sambil berjalan mundur lalu,Bruk!Sekarung sampah dapur, Rusmini lemparkan ke pembuangan akhir. Dan suara kegaduhan yang ia buat memicu dua sosok bayangan berlari pergi. Rusmini melihatnya, cahaya bulan purnama menampakkan bayangan sepasang manusia itu secara n
Malam semakin terbenam dalam kelam. Indurasmi timbul tenggelam akibat bulan yang berkelana menjelajahi awan. Geraknya semakin mendekat ke horizon barat. Keadaan puri sangat begitu sunyi, sampai suara nyanyian burung hantu dari hutan belakang puri terdengar begitu jelas.Rusmini tidak bisa terlelap seperti halnya para pelayan perempuan sekamarnya. Sejak selesai pesta perjamuan, mereka tidur dengan sangat begitu nyenyak. Sama sekali tidak terusik, meski gerombolan burung gagak sempat berkoak-koak di atas atap Puri.Nias Sagala dan Niasih Lovanti telah berpamitan sebelum pesta perjamuan usai. Mereka membawa Niasih Liviani---putri Nias Lavi dan Cali Mina, untuk menginap di penginapan mereka guna melepas rindu, katanya."Kenapa mereka tidur seperti orang mati? Tak bergerak sama sekali!" cibir Rusmini lalu mendengkus kesal.Rusmini berganti posisi, miring menghadap dinding, saat mendengar suara pintu terbuka dan cahaya lampu dari luar ruangan mengenainya. Rusmi
Malam semakin terbenam dalam kelam. Indurasmi timbul tenggelam akibat bulan yang berkelana menjelajahi awan. Geraknya semakin mendekat ke horizon barat. Keadaan puri sangat begitu sunyi, sampai suara nyanyian burung hantu dari hutan belakang puri terdengar begitu jelas.Rusmini tidak bisa terlelap seperti halnya para pelayan perempuan sekamarnya. Sejak selesai pesta perjamuan, mereka tidur dengan sangat begitu nyenyak. Sama sekali tidak terusik, meski gerombolan burung gagak sempat berkoak-koak di atas atap Puri.Nias Sagala dan Niasih Lovanti telah berpamitan sebelum pesta perjamuan usai. Mereka membawa Niasih Liviani---putri Nias Lavi dan Cali Mina, untuk menginap di penginapan mereka guna melepas rindu, katanya."Kenapa mereka tidur seperti orang mati? Tak bergerak sama sekali!" cibir Rusmini lalu mendengkus kesal.Rusmini berganti posisi, miring menghadap dinding, saat mendengar suara pintu terbuka dan cahaya lampu dari luar ruangan mengenainya. Rusmi
Sudah menjadi tradisi di Halma. Apabila saudara yang lebih tua berkunjung ke kediaman yang lebih muda, maka perjamuan harus diadakan oleh yang lebih muda untuk menyambut kedatangan saudara tua sebagai bentuk rasa hormatnya. Konon, semakin banyak dan mewah hidangan yang disajikan, semakin tinggi pula rasa hormat yang ingin disampaikan.Dan Nias Lavi selalu menyiapkan hidangan perjamuan yang lebih banyak dan mewah dari pada sebelumnya."Merepotkan! Selalu saja, setiap si brengsek itu datang, kesengsaraan pasti menimpa para abdi Lavi. Disuruh ini-itu, harus selesai jam segini, nggak boleh telat dan bla-bla-bla. Hah!"Rusmini mendesah lelah. Ia seret sekarung sampah dengan kedua tangan sambil berjalan mundur lalu,Bruk!Sekarung sampah dapur, Rusmini lemparkan ke pembuangan akhir. Dan suara kegaduhan yang ia buat memicu dua sosok bayangan berlari pergi. Rusmini melihatnya, cahaya bulan purnama menampakkan bayangan sepasang manusia itu secara n
Dengan malas, Rusmini berjalan melewati selasar puri untuk menuju Whiteroom---ruang keluarga di puri. Dia ingin menjalankan salah satu titah Nias Lavi. Ketika sampai di depan pintu putih, yang tinggi dan besar dengan ukiran dua kepala naga berwarna emas menyembul keluar, Rusmini terdiam sebentar. Ia mendengar suara lirih dari dalam ruangan.Tidak ingin didera rasa penasaran berkepanjangan, akhirnya Rusmini membuat keputusan. Dia celingukkan, memastikan tidak ada orang di selasar puri. Setelah merasa aman, ia pun mendorong pelan pintu Whiteroom sampai terciptalah celah yang cukup untuk digunakannya mengintip."Ayolah, aku jamin hidupmu akan bahagia bila bersamaku. Kamu bisa mengenakan pakaian indah seperti majikanmu, memiliki banyak perhiasan, tinggal di kamar yang mewah, dilayani, dan dihormati, tidak seperti sekarang."Bisa Rusmini dengar dan lihat dengan jelas, ada seorang pria berperawakan tinggi sedang menyudutkan seorang gadis di pojok rua
Diam, mengikuti arus. Itulah yang Rusmini lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Keinginan menggebunya untuk mendapatkan Nias Lavi harus teredam, saat sang pujaan hati benar-benar menepati ucapannya; melupakan semuanya dan menjalani kehidupan layaknya majikan dan pelayan. Seakan tidak ada kata 'kita' yang pernah terbangun di antara mereka.Berulang kali, Rusmini mencoba meluluhkan hati Nias Lavi dan mengembalikan sikap manis lelaki itu padanya seperti sedia kala. Namun, yang didapatkannya hanya kekosongan belaka. Nias Lavi justru semakin membentangkan jarak, dan enggan bersinggungan dengannya.Mungkin itu karena Cali Mina. Rusmini akui, istri Nias Lavi itu adalah wanita yang sempurna, memiliki paras cantik dan berkulit putih, wangi tubuhnya menyegarkan. Berbeda dengan dirinya, kusam, dekil, berkulit jelaga dan berbau kecut matahari.Marah, kecewa dan terluka adalah tiga rasa yang selalu menemani kesehariannya di puri kediaman Nias Lavi. Rusmini
"Mulai sekarang, kamu bukan lagi milikku dan aku bukan milikmu. Kita juga bukan lagi teman. Aku dan kamu hanya sebatas Tuan dan pelayan. Tidak lebih. Lupakan apa yang terjadi malam ini. Mengertilah, semua ini kulakukan karena aku tidak ingin nyawamu terancam. Maafkan aku." Kalimat kemarin malam itu terus terngiang memenuhi setiap ruang dalam benaknya, menciptakan lubang yang begitu dalam di hatinya. Terlebih saat ia menyaksikan orang yang dia cintai tengah mengulum bibir wanita lain usai diresmikan sebagai pasangan suami istri. "Seharusnya, aku yang ada di sana. Mendampingimu sebagai permaisuri," desisnya dengan tangan terkepal mencerminkan ketidakterimaannya yang terpendam. *** Bergelimang harta, bermartabat tinggi dan selalu diagungkan bukanlah impian si pelayan dekil berambut hitam kelabu ini—saking kumalnya akibat jarang dicuci. Namun, menjadi permaisuri dari si tampan Nias Lavi sang calon Raja Negeri Halma ketujuh adalah tujuan uta