"Sayang.."Tanpa aba-aba Alan langsung berbaring di samping tubuh Kimberly yang membelakanginya. Ia menciumi setiap jengkal surai hitam beraroma bunga itu."Maafkan aku, Kim. Semalam ada yang menaruh obat perangsang di minumanku. Aku tak bisa mengendalikan rasa panas yang menjalar di tubuhku. Maaf, Sayang.."Kimberly masih berpura-pura memejamkan mata dan tak berkata apapun. Baginya kejadian semalam adalah sebuah aib yang ingin ia lupakan. Rasa nyeri bercampur malu membuat gadis itu tak ingin menatap wajah kekasihnya. Hanya dalam semalam dunianya runtuh, hal yang paling ia jaga harus terenggut begitu saja."Aku tahu kau pasti sangat marah padaku, Moon. Kau boleh memukulku, Kim. Atau.. kau ingin membunuhku? Jangan membisu seperti ini, Kim. Lebih baik kau memukul atau membunuhku daripada kau mengabaikanku. Tolonglah, Sayang.. ampuni aku.."Kimberly masih tak bereaksi sedikit pun. Akhirnya Alan bangkit dari ranjang dan duduk bersimpuh di hadapan gadis itu. Ia tak tahu cara apa lagi yang
"Alan, kau tak ke kantor?"Suara Kanaya terdengar saat pintu ruang kerja Alan terbuka.”Kita akan tahu sebentar lagi.”Alan mengakhiri pembicaraannya di telpon bersama sang asisten. Mata elang pria itu tajam menatap Kanaya yang kini tengah tersenyum canggung di hadapannya."Oh, kau sedang menelpon.. siapa?" tanya Kanaya dengan kalimat canggung."Mau apa kau kemari? Ingin melihat hasil perbuatanmu?"Alan tak sedikit pun mengalihkan tatapannya dari wanita itu. Matanya tetap terfokus pada gestur tubuh Kanaya yang sangat kentara kecanggungannya."Hh? Mak-- sudmu? Ah, aku tak mengerti dengan yang kau ucapkan Alan. Apa.. hasil perbuatanku?""Jangan berpura-pura bodoh, Kanaya. Hanya kau disini yang mampu berbuat curang padaku. Kau masih mau mengelak?""Apa-- apa maksudmu?! Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang telah kuperbuat padamu?"Alan tak menggubris elakan dari Kanaya. Pria itu langsung bangkit dari kursi kebesarannya hingga membuat Kanaya spontan menghindar. Ia mengira Alan akan menya
"Selamat siang, Tuan."Mike masuk ke dalam ruang kerja Alan. Tak ingin meninggalkan Kimberly sendirian, Alan pun meminta sang asisten untuk datang ke mansionnya. Masalah dengan Rea Dewantara yang kini merambat pada Boni Brahmaja membuat Alan sedikit dibuat sibuk. Artikel tentang kecerobohan karyawannya berhasil di blow up oleh Boni, ayah Borne. Dan kini mereka merasa berada di atas angin karena bisa mengancam Alan untuk segera mencabut gugatannya terhadap Rea."Kau bawa berkas yang kuminta?" tanya Alan tanpa menjawab sapaan sang asisten."Ya, Tuan. Ini berkas yang Anda minta."Mike menyerahkan satu buah map berwarna hijau di atas meja kerja Alan."Kau sudah menemui lelaki itu?""Sudah, Tuan. Seperti yang Anda duga, Boni Brahmaja membayarnya untuk membuka mulut di media.""He em. Kita tak bisa meremehkan Boni Brahmaja dan Regan Dewantara. Mereka pasti tak hanya menginginkan agar aku mencabut laporan terhadap putrinya. Dua pria bau tanah itu adalah orang-orang licik. Mereka pasti mengin
"Benar, Kim.. kita akan segera menikah."Alan yang sudah masuk beberapa menit yang lalu tanpa disadari dua wanita di dalam kamar itu turut meyakinkan Kimberly."Kita akan menikah, Moon.. bukan karena aku telah melakukan hal bodoh padamu, tapi aku memang sudah berencana untuk menikahimu. Jadilah satu-satunya wanita yang akan mendampingiku seumur hidup, Kim.."Tulus dan penuh kehangatan. Kalimat yang dilontarkan Alan pada Kimberly di depan bi Jeni tak terdengar bualan semata. Pria itu menunjukkan kesungguhannya, bukan semata sebagai rasa tanggung jawab karena telah menodai Kimberly. Pernikahan memang bukan solusi terbaik untuk menutupi peristiwa pahit yang dialami Kimberly, namun kesungguhan Alan mampu menutupi kekhilafan yang ia perbuat. Dan tanpa mereka sadari, jalan pada jenjang pernikahan terbuka semakin lebar di depan keduanya."Tuan, Anda sangat tidak romantis. Apa begini cara seorang konglomerat melamar perempuan yang ia cintai?"Bi Jeni sedikit berkelakar untuk mencairkan suasan
Gagal total. Mungkin itu dua kata yang pantas disematkan pada Boni Brahmaja. Untuk kesekian kalinya pria paruh baya itu kalah dari Alan Satou. Wajahnya memerah dengan tangan terkepal saat keluar dari ruang CEO Satou Group. Boni tak dapat berkutik saat Alan mengeluarkan kartu As yang bisa membuat perusahaannya benar-benar karam tanpa sisa. Ia tak lagi bisa bersikap angkuh seperti saat dirinya baru datang ke gedung Satou Group."Hhh, dasar pecundang! Dia kira bisa membuatku takut dan bertekuk lutut hanya dengan ancaman seperti itu."Alan menautkan kedua telapak tangannya seraya tersenyum penuh kemenangan."Anda mau kemana, Tuan?"Mike langsung bertanya saat Alan bangkit dari kursinya."Kembali ke mansion. Kimberly masih membutuhkanku di sampingnya, kau urus kantor dengan baik."Mike hanya bisa membuang napas kasarnya. Rencana untuk cuti beberapa hari harus tertunda karena sang bos sudah lebih dulu mengambil cuti."Dasar pria bucin. Kau pasti senang sudah bisa membuat nona Kim sepenuhnya
Di ruang kerjanya, Alan meraih gawai yang sejak awal diletakkan di atas meja. Meski tak datang ke kantor namun pria pekerja keras itu tetap memonitor tugas-tugasnya sebagai seorang CEO.”Mike, hubungi pengacaraku dan minta dia untuk mencabut gugatan terhadap Rea Dewantara.”(”Mencabut gugatannya? Apa-- ini permintaan nona Kim?”)”Hem. Aku tak bisa menolak permintaan Kimberly. Dan kurasa gadis itu juga sudah cukup merasakan penderitaan selama beberap hari mendekam di sel tahanan.”(”Baik, Tuan. Saya akan menghubungi pengacara Anda.”)Mike sudah sangat mengenal tuannya. Alan tak akan mencabut begitu saja gugatan terhadap Rea jika bukan karena permintaan Kimberly. Mungkin jika itu permintaan Kanaya, Alan tak akan menyetujuinya. Namun gadis kesayangan yang kini mampu mengambil segenap jiwa dan raga pria itu adalah Kimberly, ia tak bisa berkutik atau menolak apapun permintaan sang keponakan sekaligus kekasihnya."Permisi, Tuan." Bi Jeni masuk mengantarkan minuman Alan."Hem, masuklah, Bi."
Hari ini Alan Satou sudah kembali ke kantornya. Beberapa berkas yang harus ia tanda tangani sudah tertumpuk rapi di atas meja kerjanya. Namun sejak beberapa menit yang lalu Mike terus memperhatikan keanehan yang ia lihat dari bosnya."Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya pemuda itu yang tak lagi bisa menahan rasa penasarannya."Hem? Aku? Ya.. aku baik-baik saja. Malah sangat baik," sahut Alan yang kembali tersenyum sendirian.Mike merasa tuannya tengah terkena sindrom tersenyum. Sejak baru datang hingga kini pemuda itu melihat Alan yang lebih banyak tersenyum seraya memainkan ponselnya."Apa kau sedang berkirim pesan dengan nona Kim?"Kali ini Mike berbicara unformal pada bosnya. Ia masih setia memperhatikan keanehan Alan yang dikira tengah kesurupan jin tersenyum."Tidak. Aku hanya mengawasi Kimberly di kamarnya. Cctv di kamarnya terhubung ke gawaiku, jadi aku bisa melihatnya saat tertidur ataupun saat membaca novel. Dilihat dari posisi mana pun wanitaku sangat cantik, Mike."Alan bicara
"Ya, Tuhan.. mengapa aku jadi paranoid begini. Dimana Alan memasang cctv-nya?!"10 menit telah berlalu sejak Alan menelpon Kimberly, namun gadis itu masih saja sibuk mencari keberadaan cctv di kamarnya.Ting..Kimberly cepat-cepat meraih gawainya,”Aku sudah katakan kau cepat mandi, gadis nakal! Sebentar lagi aku sampai dan kau harus sudah siap!”-Alan"Dasar pria brengsek! Aku sedang kelimpungan mencari kamera yang kau pasang, kau malah seenaknya memerintahku!" Kimberly melempar gawainya ke atas ranjang."Eh, tunggu-tunggu! Om Alan tahu aku belum bersiap-siap, berarti kameranya mengarah kesini, tapi dimana?"Gadis itu tak putus harapan. Ia masih mengobrak abrik isi kamarnya yang mengarah ke ranjang.Ting..”Percuma kau obrak abrik isi kamarmu, Moon. Kau tetap tak akan menemukannya.”-Alan"Hah, dasar sial!"Kimberly terus saja mengumpat kesal. Karena tak juga mendapatkan hasil, dengan wajah tertekuk gadis itu menuju kamar mandi dan meninggalkan kamarnya yang berantakan.*”Hallo, bag
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d
"Hhh... oke, jadi apa yang harus saya lakukan untuk meredam berita ini. Kita tak bisa mendiamkanya begitu saja, nama baik Anda bisa tercoreng dan itu akan membuat para pemegang saham ragu dengan kredibilitas Anda.""Kau fokus saja pada peluncuran produk baru kita di Jepang. Masalah ini biar jadi urusanku," titah Alan pada sang asisten."Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu."Mike keluar dari ruang CEO untuk melakukan beberapa pekerjaan di luar kantor.Drt..Drt..Drt..Gawai Alan bergetar, nama Kimberly terpampang disana. Dengan sigap pria itu mendial tombol hijau karena khawatir terjadi sesuatu dengan kekasihnya.”Sayang, apa terjadi sesuatu?”(”Alan, video peristiwa di mall tadi beredar luas di sosial media. Apa kau baik-baik saja?”)”Hhh.. jangan mengkhawatirkanku, Moon. Itu hanya berita sampah, sebaiknya kau tak perlu membuka akun sosial mediamu dulu. Lebih baik kau istirahat.”(”Kau sudah melihatnya? Ada yang merekam saat kau menampar Kanaya, Alan. Itu akan mempengaruhi pekerjaa
Kimberly dan Naina keluar dari toko pakaian dengan membawa tiga paper bag berlogo brand ternama."Nai, aku lapar. Kita makan dulu, ya.""Oke." Naina memberi kode setuju pada jarinya."Hai, Kim. Sepertinya Alan memberimu kompensasi sangat banyak setelah kejadian malam itu."Suara seorang perempuan yang dikenal Kimberly membuat dirinya dan Naina menoleh bersamaan."Apa itu semua kompensasi dari Alan karena telah membawamu ke atas--"Cukup, Kanaya!"PlakkBelum selesai Kanaya menjatuhkan mental Kimberly, Alan yang muncul tiba-tiba lebih dulu melayangkan sebuah tamparan di pipi wanita itu. Matanya tajam menatap nyalang Kanaya yang terkejut mendapat sebuah tamparan keras, padahal Alan tak pernah sekalipun berbuat kasar padanya."Brengsek! Kau--"Kau sudah keterlaluan, Kanaya! Sekali lagi kau mencoba menyakiti calon istriku, aku tak akan segan-segan berbuat lebih kasar lagi padamu!"Ancaman Alan membuat mulut Kanaya ternganga namun kelu. Kata calon istri cukup membuat wanita itu terhenyak s
"Anda memanggil saya, Tuan?""Mike, datanglah ke mansionku dan berikan ini pada Kimberly.Alan menyerahkan sebuah black card pada asistennya."Ini.. untuk nona Kim?" tanya pemuda itu."He em. Itu hadiah karena dia sudah bisa memanggil namaku.""Hah?" Mike tak mengerti dengan apa yang dibicarakan bosnya."Sudah jangan banyak tanya! Kau serahkan kartu ini saja pada Kimberly dan langsung kembali ke kantor. Dua jam lagi kita rapat internal."Bagi Mike, titah Alan adalah sesuatu yang mustahil ia bantah. Apa yang dikatakan pria itu, itulah yang harus ia jalani."Baik, saya pergi sekarang."*"Waaah.. aku baru lihat rumah semegah ini, Kim. Sepertinya aku akan tersesat jika berada disini sendirian."Kimberly sengaja mengundang Naina ke mansion Alan, kebetulan gadis itu tengah libur bekerja."Disini ada petunjuk arah, Nai." Kimberly menunjuk tulisan led yang ada di depannya. Bi Jeni meminta Alan untuk membuat petunjuk arah untuk memudahkan pelayan yang baru bekerja disana."Waaah.. ini bukan
”Hei, gadis sombong! Pantas saja kau tak masuk-masuk kerja, ternyata si Kuda Putih sudah melamarmu, ya!”-NainaBaru saja bangkit dari ranjang, mata Kimberly dibuat mengerjap beberapa kali saat membaca pesan chat dari Naina."Dari mana Naina tahu kalau Alan melamarku?" tanyanya pada diri sendiri.”Kau tahu dari mana, Nai? Maaf aku tak memberi kabar apapun selama beberapa hari ini. Nanti saat masuk kerja akan kuceritakan.”-Kimberly”Hhh, tuan putri pasti baru bangun dan belum melihat berita hangat yang sudah jadi perbincangan. Bukalah sosial mediamu, Kim. Kau akan tahu sendiri dari mana aku bisa tahu.”-NainaKimberly langsung membuka akun sosial medianya. Sudah banyak tag video di akun instagram gadis itu."Video apa ini? Kenapa banyak sekali yang menandai akunku?"Matanya membola dengan mulut ternganga saat prosesi lamaran yang Alan lakukan untuknya terpampang jelas di gawainya. Video itu seperti sudah disetting dan diedit sedemikian rupa oleh seseorang, siapa lagi kalau bukan sang
"A-- A- Lan.""Berikan tanganmu, Moon.."Alan meminta Kimberly memberikan jemarinya untuk disematkan cincin bermata zamrud yang ia beli beberapa hari yang lalu."Tapi--""Kau tak mau menerima lamaranku?""Bu-- bukan! Aku-- Alan, apa-- kau serius? Ini-- bukan hanya karena kejadian malam itu?"Alan bangkit dan berdiri di hadapan gadis itu, menatap tajam wajah cantik yang masih meragukan ketulusannya, "kau masih meragukan ketulusanku, Moon?" tanyanya dengan tangan mendekap wajah Kimberly."Aku hanya tak mau menjadi beban tanggung jawabmu. Aku benci dikasihani, apalagi--"Ssst.. tak ada yang mengasihanimu, Kim. Sebelum peristiwa malam itu pun aku sudah berniat untuk melamarmu. Apapun yang terjadi aku hanya ingin kau yang jadi pendamping hidupku."Jemari Alan memotong ucapan Kimberly. Ia hanya ingin meyakinkan kesungguhannya pada gadis itu. Tak ada yang harus dikasihani, dan tak ada yang harus bertanggung jawab. Semua yang terjadi adalah kesalahan yang sama-sama tak diinginkan, namun kesal