"Om, apa aku sudah boleh pulang? Aku bosan disini."Kimberly terus merengek sejak pagi tadi. Sudah dua hari ia berada di rumah sakit. Selain tangannya yang terbalut gips, gadis itu sudah terlihat lebih segar dan tenang. Trauma yang sebelumnya datang kembali pun perlahan sidah bisa ia atasi dengan baik. Alan terus memberikan kenyamanan hingga Kimberly tak lagi teringat peristiwa dua hari lalu yang hampir merenggut nyawanya. Ia pun tak diperbolehkan memegang ponsel yang tengah gencar memberitakan perihal Rea Dewantara yang kini mendekam di penjara."Kau masih sakit, Kim.."Alan menanggapinya sedikit acuh. Meski tak beranjak dari ruang tempat Kimberly dirawat sejak dua hari lalu, namun Alan tetap sibuk dengan pekerjaan yang dikerjakan dari laptopnya. Bahkan pria itu harus tetap memimpin rapat meskipun dari jarak jauh."Aku sudah sembuh. Lihatlah, tanganku sudah tak sakit lagi. Ini bisa segera dilepas, Om..""Hhh.. jangan membantah, Moon. Dokter belum menyuruhmu untuk pulang," tegas Alan.
"Anda tak diijinkan masuk ke dalam, Tuan. Silakan pergi dari sini!"Genta hendak menerobos masuk ke ruang perawatan Kimberly, namun dua ajudan yang diperintahkan Alan untuk berjaga di luar tak mengijinkannya."Katakan pada Kimberly Genta datang untuk melihat keadaannya, dia pasti mengijinkan aku masuk.""Nona Kim tak dapat ditemui oleh siapapun. Dia harus beristirahat," sahut seorang ajudan dengan tubuh tinggi besar."Hhh, pasti pria tua bangka itu yang menyewa kalian. Dasar, Brengsek!"Genta mengumpati Alan Satou. Ia yakin pria itu yang tak mengijinkan Kimberly ditemui siapa pun, termasuk dirinya. "Kim, Kimberly, ini aku.. Genta. Biarkan aku masuk, Kim!"Genta mulai membuat keributan dengan berteriak di depan pintu ruang VVIP tempat Kimberly dirawat. Ruang itu cukup luas, pasien tidak akan tahu jika ada keributan di luar."Pak, tolong jangan membuat keributan. Ini rumah sakit." Seorang perawat memperingatkan Genta."Kalau aku tak boleh berteriak suruh pergi dua pria brengsek ini! Ak
"Apa terjadi sesuatu?""Tadi ada laki-laki yang datang ingin menemui nona Kimberly, Tuan."Wajah Alan langsung mengeras. Ia sudah dapat menebak siapa lelaki yang ingin menemui kekasihnya."Kalian membiarkannya menemui kekasihku?""Tidak, Tuan. Kami tak berani membantah perintah, Anda," jawab seorang ajudan."Hem, bagus. Tak ada yang boleh masuk ke dalam tanpa perintah dariku. Kalian beristirahatlah!" titahnya kemudian."Baik, Tuan."Dua pengawal itu pergi meninggalkan koridor ruang VVIP, sedang Alan langsung menemui Kimberly di dalam.Wajah tenang itu sudah tertidur lelap dengan selimut menutupi dadanya. Kimberly tak menyadari kedatangan pamannya. Berjalan mengelilingi rumah sakit serta berbincang bersama suster Soraya cukup membuat gadis itu menghilangkan rasa jenuhnya."Maaf, Moon.. kau pasti kesepian tadi."Alan merapikan anak rambut yang tak beraturan di kening Kimberly, membelai hangat surai hitam lurus yang selalu dibiarkan panjang oleh sang empunya. Pria itu melepaskan jas dan
"Kau mau aku meminta omku untuk mencabut laporannya?" tebak KimberlyBorne menunduk malu, "maaf, Kim. Mungkin aku egois, tapi.. Rea tetap tunanganku. Aku tak sampai hati melihatnya mendekam di penjara terlalu lama. "Hhh.. meskipun dia telah bertindak bodoh, aku pun tak sampai hati melihat Rea di penjara. Kau jangan khawatir, aku akan coba bicara pada omku."Kimberly menepuk bahu Borne agar pemuda itu mengangkat wajahnya. Senyum yang menghiasi wajah cantik Kimberly seakan mengiris dan mengikis harapan Borne padanya. Ya.. pemuda itu masih sangat mencintai Kimberly. Rasa cintanya tak berkurang sedikit pun meski kini dirinya telah memiliki tunangan. Bertahun-tahun Borne memupuk cintanya hingga tak ada yang bisa mencabut akar kuat yang telah tumbuh besar sejak mereka di bangku sekolah."Trimakasih.. Kim."'Aku akan selalu mencintaimu Kimberly.'Kimberly sudah kembali ke kamarnya. Tak ada seorang pun pengawal yang mencurigai gerak geriknya. Suster Soraya membantu gadis itu bersandiwara den
"Kenapa wajahmu seperti itu, hm?"Alan memainkan pipi Kimberly yang sejak sampai di kamarnya, wajah gadis itu tampak cemberut."Tunanganmu! Aku benci melihat tingkahnya yang sok baik," ketus Kimberly.Kanaya memang tampak lain dari biasanya. Ia tak memperlihatkan sikap permusuhan saat Kimberly dan Alan turun dari mobil. Wanita itu justru nampak ramah dan tersenyum hangat pada Kimberly."Tak perlu memikirkan Kanaya. Sikapnya seperti apapun aku tak peduli. Fokus saja dengan kesehatanmu, Kim. Aku tak suka melihat gadisku lemah seperti kemarin."Alan memeluk gadis itu, memberi kehangatan serta mendekap seperti orang yang takut kehilangan."Selamat pagi, Nona. Saya sangat senang nona Kim bisa kembali ke mansion ini."Suara bi Jeni yang langsung masuk karena pintu kamar Kimberly memang tak ditutup membuat Alan melepas pelukannya, meski begitu tangannya masih menggenggam erat tangan mungil Kimberly."Trimakasih, Bi. Aku juga senang bisa kembali ke kamar ini lagi. Meskipun pria ini menyewa ka
2 jam yang lalu..Seorang pelayan muda keluar dari ruang kerja Alan membawa sebuah baki. Setiap harinya perempuan itu bertugas untuk menyiapkan minum di atas meja kerja tuannya sebelum Alan pulang. Pria itu lebih sering berlama-lama di ruang kerja ketimbang kamar pribadinya.Cekrek..Kanaya tampak mengendap-endap masuk ke dalam ruang kerja tunangannya setelah memastikan sang pelayan keluar. Wanita itu menghampiri meja kerja Alan dan menaruh sesuatu di minuman yang tadi disiapkan pelayan."Aku sudah merendahkan harga diriku, Alan, kali ini kau harus benar-benar menjadi milikku. Persetan dengan gadis sialan itu!"Kanaya menyunggingkan senyum smirk di salah satu sudut bibirnya. Ia sangat yakin, kali ini rencananya akan berhasil dan membuat Alan tak bisa lagi kembali pada Kimberly.**"Kenapa tubuhku terasa panas? Apa pendingin ruangan ini rusak?"Alan merasa suhu tubuhnya meningkat, padahal pendingin ruangan di ruang kerjanya berfungsi dengan baik."Ada apa dengan tubuhku?"Semakin lama h
Beberapa jam setelah terkapar tak berdaya di atas ranjang sang paman, Kimberly kembali menyadari apa yang baru dialami olehnya. Rasa sakit yang ia tahan dengan ringisan pelan tak seberapa dibanding dengan rasa malu dan kotor karena telah ternodai. Hal yang paling ia jaga, harus terenggut meski oleh pria yang ia cintai.Tampak Alan masih terlelap dengan dengkuran kecil. Tubuhnya masih setengah bugil karena bagian bawah tubuhnya tertutupi oleh selimut yang terkena noda darah akibat selaput dara Kimberly yang sobek. Gadis itu berusaha bangkit meski tertatih, tubuhnya dibiarkan polos tanpa tertutupi sehelai benang pun. Kimberly memunguti satu per satu pakaian miliknya yang berserakan di lantai, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.*"Tolong maafkan aku, Moon. Jangan marah! Kita akan menikah. Kau tenang saja, kita akan menikah, Sayang..."Mata yang terpejam tak pelak untuk mengeluarkan butir kristal yang sejak kembali ke kamarnya terus mengalir dari bola mata Kimberly. Dulu, ia sangat sena
"Sayang.."Tanpa aba-aba Alan langsung berbaring di samping tubuh Kimberly yang membelakanginya. Ia menciumi setiap jengkal surai hitam beraroma bunga itu."Maafkan aku, Kim. Semalam ada yang menaruh obat perangsang di minumanku. Aku tak bisa mengendalikan rasa panas yang menjalar di tubuhku. Maaf, Sayang.."Kimberly masih berpura-pura memejamkan mata dan tak berkata apapun. Baginya kejadian semalam adalah sebuah aib yang ingin ia lupakan. Rasa nyeri bercampur malu membuat gadis itu tak ingin menatap wajah kekasihnya. Hanya dalam semalam dunianya runtuh, hal yang paling ia jaga harus terenggut begitu saja."Aku tahu kau pasti sangat marah padaku, Moon. Kau boleh memukulku, Kim. Atau.. kau ingin membunuhku? Jangan membisu seperti ini, Kim. Lebih baik kau memukul atau membunuhku daripada kau mengabaikanku. Tolonglah, Sayang.. ampuni aku.."Kimberly masih tak bereaksi sedikit pun. Akhirnya Alan bangkit dari ranjang dan duduk bersimpuh di hadapan gadis itu. Ia tak tahu cara apa lagi yang
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d
"Hhh... oke, jadi apa yang harus saya lakukan untuk meredam berita ini. Kita tak bisa mendiamkanya begitu saja, nama baik Anda bisa tercoreng dan itu akan membuat para pemegang saham ragu dengan kredibilitas Anda.""Kau fokus saja pada peluncuran produk baru kita di Jepang. Masalah ini biar jadi urusanku," titah Alan pada sang asisten."Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu."Mike keluar dari ruang CEO untuk melakukan beberapa pekerjaan di luar kantor.Drt..Drt..Drt..Gawai Alan bergetar, nama Kimberly terpampang disana. Dengan sigap pria itu mendial tombol hijau karena khawatir terjadi sesuatu dengan kekasihnya.”Sayang, apa terjadi sesuatu?”(”Alan, video peristiwa di mall tadi beredar luas di sosial media. Apa kau baik-baik saja?”)”Hhh.. jangan mengkhawatirkanku, Moon. Itu hanya berita sampah, sebaiknya kau tak perlu membuka akun sosial mediamu dulu. Lebih baik kau istirahat.”(”Kau sudah melihatnya? Ada yang merekam saat kau menampar Kanaya, Alan. Itu akan mempengaruhi pekerjaa
Kimberly dan Naina keluar dari toko pakaian dengan membawa tiga paper bag berlogo brand ternama."Nai, aku lapar. Kita makan dulu, ya.""Oke." Naina memberi kode setuju pada jarinya."Hai, Kim. Sepertinya Alan memberimu kompensasi sangat banyak setelah kejadian malam itu."Suara seorang perempuan yang dikenal Kimberly membuat dirinya dan Naina menoleh bersamaan."Apa itu semua kompensasi dari Alan karena telah membawamu ke atas--"Cukup, Kanaya!"PlakkBelum selesai Kanaya menjatuhkan mental Kimberly, Alan yang muncul tiba-tiba lebih dulu melayangkan sebuah tamparan di pipi wanita itu. Matanya tajam menatap nyalang Kanaya yang terkejut mendapat sebuah tamparan keras, padahal Alan tak pernah sekalipun berbuat kasar padanya."Brengsek! Kau--"Kau sudah keterlaluan, Kanaya! Sekali lagi kau mencoba menyakiti calon istriku, aku tak akan segan-segan berbuat lebih kasar lagi padamu!"Ancaman Alan membuat mulut Kanaya ternganga namun kelu. Kata calon istri cukup membuat wanita itu terhenyak s
"Anda memanggil saya, Tuan?""Mike, datanglah ke mansionku dan berikan ini pada Kimberly.Alan menyerahkan sebuah black card pada asistennya."Ini.. untuk nona Kim?" tanya pemuda itu."He em. Itu hadiah karena dia sudah bisa memanggil namaku.""Hah?" Mike tak mengerti dengan apa yang dibicarakan bosnya."Sudah jangan banyak tanya! Kau serahkan kartu ini saja pada Kimberly dan langsung kembali ke kantor. Dua jam lagi kita rapat internal."Bagi Mike, titah Alan adalah sesuatu yang mustahil ia bantah. Apa yang dikatakan pria itu, itulah yang harus ia jalani."Baik, saya pergi sekarang."*"Waaah.. aku baru lihat rumah semegah ini, Kim. Sepertinya aku akan tersesat jika berada disini sendirian."Kimberly sengaja mengundang Naina ke mansion Alan, kebetulan gadis itu tengah libur bekerja."Disini ada petunjuk arah, Nai." Kimberly menunjuk tulisan led yang ada di depannya. Bi Jeni meminta Alan untuk membuat petunjuk arah untuk memudahkan pelayan yang baru bekerja disana."Waaah.. ini bukan
”Hei, gadis sombong! Pantas saja kau tak masuk-masuk kerja, ternyata si Kuda Putih sudah melamarmu, ya!”-NainaBaru saja bangkit dari ranjang, mata Kimberly dibuat mengerjap beberapa kali saat membaca pesan chat dari Naina."Dari mana Naina tahu kalau Alan melamarku?" tanyanya pada diri sendiri.”Kau tahu dari mana, Nai? Maaf aku tak memberi kabar apapun selama beberapa hari ini. Nanti saat masuk kerja akan kuceritakan.”-Kimberly”Hhh, tuan putri pasti baru bangun dan belum melihat berita hangat yang sudah jadi perbincangan. Bukalah sosial mediamu, Kim. Kau akan tahu sendiri dari mana aku bisa tahu.”-NainaKimberly langsung membuka akun sosial medianya. Sudah banyak tag video di akun instagram gadis itu."Video apa ini? Kenapa banyak sekali yang menandai akunku?"Matanya membola dengan mulut ternganga saat prosesi lamaran yang Alan lakukan untuknya terpampang jelas di gawainya. Video itu seperti sudah disetting dan diedit sedemikian rupa oleh seseorang, siapa lagi kalau bukan sang
"A-- A- Lan.""Berikan tanganmu, Moon.."Alan meminta Kimberly memberikan jemarinya untuk disematkan cincin bermata zamrud yang ia beli beberapa hari yang lalu."Tapi--""Kau tak mau menerima lamaranku?""Bu-- bukan! Aku-- Alan, apa-- kau serius? Ini-- bukan hanya karena kejadian malam itu?"Alan bangkit dan berdiri di hadapan gadis itu, menatap tajam wajah cantik yang masih meragukan ketulusannya, "kau masih meragukan ketulusanku, Moon?" tanyanya dengan tangan mendekap wajah Kimberly."Aku hanya tak mau menjadi beban tanggung jawabmu. Aku benci dikasihani, apalagi--"Ssst.. tak ada yang mengasihanimu, Kim. Sebelum peristiwa malam itu pun aku sudah berniat untuk melamarmu. Apapun yang terjadi aku hanya ingin kau yang jadi pendamping hidupku."Jemari Alan memotong ucapan Kimberly. Ia hanya ingin meyakinkan kesungguhannya pada gadis itu. Tak ada yang harus dikasihani, dan tak ada yang harus bertanggung jawab. Semua yang terjadi adalah kesalahan yang sama-sama tak diinginkan, namun kesal